Bab 5: Apa Perlu Sebuah Rencana Cadangan?

Suasana perpustakaan di hari Minggu tergolong sepi. Hanya ada beberapa orang yang menempati meja-meja bersekat. Si penjaga perpustakaan hari itu juga tampaknya menikmati kebosanan yang ada. Dia sibuk mengecat kuku-kuku jari tangannya dengan kuteks berwarna merah darah daripada mengurusi orang-orang yang sedang bekerja.

AC berdengung dengan nyaring dan dengan ketiadaan suara, dengungan itu semakin terasa nyaring. Sinar mentari pagi menjelang siang menerobos masuk ke bilik-bilik rak buku, menerangi tiap debu-debu halus yang beterbangan, beserta dengan kertas-kertasnya. Detak jarum jam yang statis nyaris memecahkan semua kesunyian yang konstan. Suara gesekan kertas sesekali terdengar ketika halaman buku dibalik. Suasana yang sangat kondusif untuk belajar.

Hari ini Naruto dan Sakura memutuskan untuk berkencan di perpustakaan sekaligus belajar. 2 buah Macbook terbuka di hadapan masing-masing orang. Naruto memakai sebuah kacamata berframe hitam yang lensanya berlapis anti UV, untuk melindunginya setiap dia melihat layar laptop atau komputer. Di depan Macbook-nya, Naruto menulis dengan tekun semua materi pelajaran yang menjadi materi utama untuk Ujian Masuk Universitas. Sakura sedang membolak-balik beberapa koran sambil menulis materi di Macbook-nya sendiri. Poni Sakura di jepit sehingga keningnya yang lebar dan datar terlihat jelas. Raut wajahnya serius dan sesekali dia bergumam dan mencoret-coret di halaman koran.

Setelah beberapa lama tidak ada yang berbicara, akhirnya Naruto meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Dia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya kembali ke tempat kacamatanya. Sakura melirik kekasihnya. "Sudah selesai?" tanyanya.

Naruto mengangguk. "Targetku sudah tercapai hari ini," katanya. "Akan aku lanjutkan di rumah nanti sore. Bagaimana risetmu?" tanya Naruto.

Sakura menghela napas. "Yup, aku sudah mengambil beberapa materi yang ada di koran-koran. Sisanya aku tinggal menggabungkannya dengan materi sebelumnya." Naruto menutup Macbook-nya dan memasukkannya ke dalam tas sandangnya, beserta buku-buku pelajaran yang lain. Sakura masih menatap layar Macbook-nya sambil berkerut. "Nanti saja aku lanjutkan saat latihan berikutnya. Jadi, kita mau kemana setelah ini?" tanya Sakura.

Naruto melihat jam tangannya dan waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Sudah 4 jam mereka habiskan di perpustakaan hanya untuk belajar. Perut Naruto sudah mulai keroncongan dan dia juga butuh jalan-jalan untuk mengusir penat setelah berkutat dengan pelajaran-pelajaran.

"Kau mau makan siang dimana?" tanya Naruto.

Sakura tampak berpikir. "Sepertinya masih terlalu siang kalau kita makan ramen. Mau makan sushi saja?"

Naruto mengangguk. "Oke."

Mereka berdua keluar dari perpustakaan. Sisa-sisa udara lembab musim panas sudah menghilang sepenuhnya, digantikan udara menusuk khas musim gugur. Orang-orang telah mulai memakai mantel musim gugur dan syal untuk menahan udara dingin. Pepohonan sudah mulai menguning dan beberapa di antaranya telah banyak kehilangan daun-daun yang jatuh lemas ke jalanan. Orang-orang di depan toko sibuk menyapu daun-daun yang berguguran sehingga depan toko mereka tetap tampak bersih dan apik.

Saat Naruto menghembuskan napas, uap tipis ikut keluar. Dia mengeratkan jaket yang dikenakannya. Sakura terkikik melihatnya. "Kau sih, terlalu sombong untuk pakai mantel."

Sakura sendiri memakai mantel tipis berwarna merah muda yang lembut dan dipadukan dengan celana legging hitam dan sepatu boot hitam. Tampilannya segar serta manis di saat yang bersamaan. Dia memakai tas ransel dengan motif hello kitty, tempatnya menaruh semua barang-barang belajarnya.

"Tadi pagi belum sedingin ini. Lagipula ini masih jam 12 siang kan. Harusnya masih sedikit hangat," kata Naruto memberi pembelaan.

"Kau tidak dengar ramalan cuaca pagi ini? Tokyo sudah mulai berangin."

"Wah, maaf saja Bu Guru. Saya sibuk memikirkan kencan dengan pacar saya."

Sakura merona, tapi dia menyembunyikan rasa malunya dengan memukul main-main lengan Naruto. "Bodoh!" gerutunya pelan.

Naruto hanya tertawa melihatnya. Mereka berjalan sampai ke sebuah Restoran Sushi yang cukup populer di Tokyo Barat. Restoran Sushi yang mereka masuki bukanlah restoran dengan tipe tradisional. Interiornya seperti restoran keluarga pada umumnya. Hanya saja, penyajian Sushi-nya adalah self-service. Restoran sudah lumayan ramai ketika mereka berdua masuk. Suasana restoran yang ramai setidaknya membuat hangat tubuh Naruto yang dari tadi sedikit kedinginan.

Mereka duduk di meja untuk 4 orang di depat mesin sushi berputar. Naruto membuka jaketnya dan Sakura membuka mantelnya. Mereka menaruhnya di kursi samping mereka yang kosong dan juga digunakan untuk menaruh tas mereka. Seorang pelayan mendatangi meja mereka dan meletakkan dua handuk gulung basah yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, sekaligus cuci tangan. Di atas meja sudah tersedia berbagai jenis sumpit yang bisa digunakan untuk makan sushi.

Mereka mulai mengambil satu per satu piring yang berisi Sushi yang lewat di depan meja mereka. Dua teh oolong tawar diletakkan di meja.

"Sudah dengar? Katanya Ino akan coba tes masuk ke Juilliard," jata Sakura sambil mengunyah sushi.

"Oh ya? Yah, aku sudah menduganya sih. Dia terlalu bersinar jika hanya di Jepang."

Sakura mengangguk. "Dia sedang kerja ekstra keras untuk mempersiapkan portofolionya. Kurasa dia juga sedang riset mengenai drama era abad 17 atau apa."

"Berarti dia akan bolak-balik Amerika Serikat?" tanya Naruto.

"Kurasa begitu. Ayahnya tinggal di New York dengan istri barunya."

"Juilliard, wow." Naruto mendesah kagum. Semua teman-temannya sedang melangkah menuju masa depan masing-masing. Mereka sedang mempersiapkan diri dalam pertempuran masing-masing.

"I know," kata Sakura. "Kalau dia sudah tampil di Broadway, sulit membayangkan bahwa dia pernah satu sekolah dengan kita. Apalagi membayangkan dulu aku pernah saling jambak-jambakan dengannya."

Naruto terbahak. "Yeah, kasus heboh itu tidak akan dilupakan. Apa baiknya kita menyetel videomu jambak-jambakan dengannya saat kelulusan?"

"Jangan! Reputasiku hancur nanti!"

Mereka memakan sushi lagi dalam diam sampai Sakura kembali bicara. "Kalau kita sudah lulus nanti, apa kita masih bisa bertemu ya? Teman-teman kita sudah memulai hidup masing-masing. Dan Amerika Serikat itu jauh." Dia menatap sushi yang belum termakan.

"Tapi memang itu tujuan SMA kan? Batu loncatan ke Universitas," kata Naruto.

Sakura menatap pemuda pirang di depannya. Dia mendengus sambil terkekeh kecil. "Kau itu harus lebih rileks sedikit, tahu. Sudah berapa lama kau bekerja keras?"

Naruto mengerjap. "Aku rileks. Dan aku tidak ke Amerika Serikat. Aku akan di Tokyo dan kau di Kyoto. Masih bisa ditempuh dengan Shinkansen selama 2 jam perjalanan. Kita berdua masih di Jepang."

Benar. Naruto akan mengambil Ujian Masuk ke Universitas Tokyo jurusan Fakultas Kedokteran dan Sakura akan mengambil Ujian Masuk ke Universitas Kyoto jurusan Fakultas Hukum. Bukan berarti mereka akan terpisah selamanya. Mereka hanya akan berada di kota dan provinsi yang berbeda saja. Tanah yang dipijak masih sama. Langit yang dilihat masih sama. Namun, jelas setelah lulus SMA semuanya akan berubah.

"Kau sudah bicara dengan Yamanaka?" tanya Naruto.

Sakura mengangguk. "Dia akan izin lagi minggu ini untuk mengurus berkas-berkas ke Juilliard. Tapi sepertinya sekolah juga paham. Sekolah kita kan memang sekolah persiapan. Sarutobi-sensei membantunya menyiapkan berkas-berkasnya."

Asuma Sarutobi adalah wali kelas Ino Yamanaka. Dan, di SMA ini setiap wali kelas berkewajiban membantu para murid untuk mempersiapkan diri menuju Ujian Masuk Universitas. Bukan hanya secara nilai dan latihan soal, tapi juga secara persiapan seperti berkas-berkas. Karena itulah, SMA Konohagakure menjadi salah satu SMA terbaik di Jepang.

"Apa kabar wali kelas kita ya?" tanya Naruto. Sebenarnya dia tidak sepeduli itu jika Kakashi Hatake mengurusnya atau tidak. Naruto sudah tahu apa saja yang harus dipersiapkan. Dia telah mempersiapkan diri sejak tahun pertama bersekolah di SMA ini. Dia telah menetapkan target untuk dilampauinya sendiri. Dia juga belum ada konsultasi pilihan karir lagi, karena dia sangat yakin dengan pilihan karirnya. Biasanya, konsultasi dilakukan kepada para siswa yang masih bingung dengan karir yang akan dipilihnya setelah lulus SMA. Lanjut ke Universitas atau tidak.

"Kurasa aku akan bicara dengannya minggu depan, setelah lomba debat," kata Sakura.

"Eh, kenapa? Kupikir kau sudah pasti akan mengambil Fakultas Hukum."

Sakura menggeleng. "Bukan. Tapi aku mau tahu berapa besar peluangku bisa dengan beasiswa dan ujian masuk. Aku juga harus mulai buat rencana cadangan kan?" katanya. Naruto mengangguk. "Kau sendiri bagaimana? Aku tahu kau pasti akan mendaftar untuk kedokteran di Todai. Tapi, kau punya rencana cadangan juga?" tanyanya.

Pertanyaan itu menghentikan sumpit Naruto yang hendak mengambil potongan sushi. Rencana cadangan, hal itu tidak pernah terpikirkan oleh Naruto barang sekejab saja. Dia hanya berpikir bahwa dia tidak boleh gagal, jadi rencana cadangan bukanlah pilihan. Rencana cadangan membuatnya lebih malas karena berpikir ada pilihan karir lain dalam hidupnya.

"Ah tapi kau sih sudah pasti akan masuk Todai." Sakura juga yang berkata seperti itu. Naruto tidak menanggapinya. Dia hanya tersenyum saja. Rasa acar jahe merah yang dimakannya tiba-tiba saja menjadi hambar.

.

"Aku pulang," kata Naruto sambil membuka sepatu kets yang dipakainya seharian. Waktu telah menunjukkan pukul 5 sore dan Naruto sudah benar-benar kedinginan. Dia mencatat bahwa besok dia akan mulai mengeluarkan mantel untuk dipakai.

Kushina menyambutnya. "Selamat datang… Kau tidak pakai mantel ya?" tanyanya. "Dasar, padahal Ibu sudah bilang tadi pagi kau harus pakai mantel."

Naruto hanya diam saja saat Ibunya berceloteh seperti itu. Pipinya sudah merah karena kedinginan. "Aku mau teh hangat," kata Naruto.

"Ibu panaskan air dulu," kata Kushina sambil ke dapur. Naruto naik ke lantai 2 dan menuju kamarnya. Dia membereskan semua isi tasnya dan meletakkannya di tempat masing-masing. Macbook-nya diletakkan di atas meja belajar, buku catatannya diletakkan di sebelah Macbook, dan kacamatanya ditaruh di laci meja belajar.

Kamar Naruto rapi. Dia meletakkan semuanya sesuai urutan dan prioritas. Rak buku gantung yang berada di atas meja belajar Naruto berisi semua buku-buku pelajaran dan buku-buku latihan soal yang selama ini dikumpulkannya selama 3 tahun. Sebagian sudah selesai dikerjakan dan dikoreksi. Jika sudah selesai, biasanya dia meletakkannya ditumpukan paling bawah. Semua jawaban yang salah dan dikoreksi dari kumpulan buku-buku latihan soal dikumpulkan dalam sebuah buku tebal yang biasa dia gunakan untuk mengerjakan soal-soal. Buku-buku pelajarannya tersusun rapi dan mudah diraih.

Di meja belajarnya terdapat Macbook yang terkadang dia gunakan untuk belajar, buku latihan soal, dan buku catatan semua materi pelajaran untuk Ujian Masuk Universitas. Terkadang dia me-review ulang semua materi, terkadang dia mencatat materi baru.

Dia melepaskan jaketnya dan meletakkannya di keranjang baju kotor. Barulah dia turun ke bawah dan menuju dapur. Aroma wangi teh yang baru diseduh menguar di seluruh dapur. Ibunya sedang duduk di salah satu kursi makan dengan dua gelas teh hangat dan satu piring kecil berisi 3 tusuk dango.

"Wah, Ibu beli?" tanya Naruto sambil mengambil tempat di depan Ibunya. Kedua tangannya menangkup gelas beling di depannya dan rasa hangat menjalar ke seluruh telapak tangannya. Uap panas masih mengepul dari permukaan teh, jadi dia tidak bisa meminumnya.

"Tadi Ibu melihat-lihat toko manisan dan kepikiran membeli camilan manis. Sudah lama kita tidak makan manis-manis dan teh hangat, kan?"

Naruto mengangguk dan dia meniup permukaan tehnya sebelum menyeruputnya dengan pelan. Rasa hangat memasuki kerongkongannya dan menghangatkan perutnya. "Hangat," bisiknya. "Ayah mana?" tanya Naruto. Ini hari Minggu dan tidak mungkin ada jadwal praktek. Dan seingat Naruto Ayahnya tidak pernah mengambil jatah on call di hari Minggu, karena Minato sudah merupakan dokter yang lumayan senior.

"Ada operasi yang butuh konsultasinya, jadi dia pergi ke RS," ujar Ibunya.

"Oh begitu," kata Naruto, dia mengambil satu tusuk dango dan memakannya. Rasa manis memenuhi lidah dan rongga mulutnya. "Dango dan teh hangat memang kombinasi paling enak."

Kushina mengangguk setuju. Dia juga ikut memakan dango. "Kapan-kapan kita harus makan ini lagi."

Naruto menyeruput teh setelah memakan satu tusuk dango. Rasa teh yang sedikit pahit membasuh sisa-sisa rasa manis karena dango. Inilah sebabnya mereka kombinasi yang cocok, saling melengkapi satu sama lain sekaligus menetralisir rasa satu sama lain.

"Bagaimana tadi dengan Sakura-chan?" tanya Kushina.

"Kami belajar di perpustakaan. Sakura riset untuk materi debatnya dan aku hanya mencatat ulang pelajaran kimia. Lalu kami makan sushi."

"Kapan lombanya?" tanya Kushina.

"Minggu depan." Naruto lalu melanjutkan ceritanya. "Yamanaka akan mencoba tes Juilliard."

Kushina berpikir sebentar, seolah mencari memori mengenai Yamanaka yang dikatakan oleh Naruto. "Yamanaka, si gadis blasteran Amerika itu?" Naruto mengangguk. "Juilliard. Wah, hebat ya."

Naruto mengangguk. "Dia memang mengesankan. Selama SMA dia beberapa kali memenangi penghargaan untuk Sutradara Amatir dan Penulis Naskah."

"Mungkin itu juga bakatnya. Kadang jalan hidup orang juga ditentukan oleh bakat, kan?"

Naruto mengangguk lagi. Dia menatap Ibunya. Pertanyaan Sakura tadi mengganggunya, tapi dia tidak mau mengucapkan kegundahan itu pada Kushina. Jadi, dia menyusun kata-katanya dulu di dalam otaknya sebelum ditanyakan. "Bu, kalau seperti itu, apakah seharusnya Yamanaka punya rencana cadangan?" tanya Naruto.

Kushina menatap putra keduanya. "Memangnya Yamanaka bilang tidak ada rencana cadangan?" tanya Kushina.

Naruto menggeleng. "Bukan begitu. Aku hanya penasaran. Juilliard adalah sekolah seni paling bagus di dunia kan? Seleksinya juga sangat ketat dan itu dari seluruh dunia. Bukankah ada baiknya punya rencana cadangan?"

Kushina tampak berpikir. "Benar. Rencana cadangan memang diperlukan, apalagi mengenai masa depan. Tapi yah, hidup kadang tidak bisa terprediksi ke arah mana berjalan. Kita semua hanya bisa berencana, tapi takdirlah yang menentukan."

Naruto terdiam. Tehnya sudah lumayan hangat, jadi dia tidak perlu lagi meniup permukaan teh sebelum diminum. Menurut Naruto, Kushina bisa berkata seperti itu karena hidupnya sudah bahagia. Tidak ada lagi impian yang ingin dicapainya. Suaminya seorang Dokter Bedah, putra pertamanya seorang Dokter Bedah Saraf, dan Naruto. Naruto yang masih berada di persimpangan kehidupan. Naruto juga ingin jadi bagian dari keluarga yang selalu membanggakan ini. Dia ingin masuk ke dalam jajaran yang selevel dengan Ayah dan kakaknya. Dia ingin ketika Ibunya bercerita di Arisan Bulanan, raut wajahnya bangga karena semua keluarganya dokter yang terhormat. Dia tidak mau menjadi pengecualian.

"Benar juga," gumam Naruto.

.

Sakura kembali dispensasi. Lomba Debat Nasional akan diadakan kurang dari satu minggu dan gadis itu mempertaruhkan segalanya di sana. Jadi, lagi-lagi Naruto tidak punya teman sebangku. Dia tidak kesepian, karena semua orang akan mengajaknya bicara. Semua orang ingin masuk ke dalam kelompok pertemanannya. Naruto tidak menolaknya. Namun, yang jadi masalah adalah ketika para sensei memberi tugas kelompok dengan teman sebangku. Karena dia tidak punya teman sebangku dan kebetulan pula bahwa Sasuke tidak punya teman sebangku (jumlah siswa di kelas mereka ganjil sejak kepindahan Sasuke), akhirnya Naruto harus bekerja sama dengan Sasuke.

Dan itu bukanlah pengalaman yang paling menyenangkan.

Iruka Umino adalah guru Sejarah Dunia. Dan, kali ini mereka disuruh berkelompok dengan teman sebangku untuk membuat Peta Timbul mengenai Perang Dunia Pertama dan rute perangnya. Akan dipresentasikan 3 minggu lagi. Lagi-lagi, Naruto harus berkelompok dengan Sasuke karena, hey! mereka sendiri.

Semua orang sudah sibuk berdiskusi dengan teman mejanya. Namun, Naruto belum bergerak. Dia melirik ke arah Sasuke yang tampak cuek dan malah asyik menatap jendela ke arah lapangan tennis. Tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda Uchiha itu akan berinisiatif mendatanginya dan mengajaknya berdiskusi. Dia juga tidak bisa terus berlama-lama sendiri karena Iruka akan curiga, akhirnya dialah yang memutuskan untuk mendatangi meja Sasuke.

Karena aku orang baik yang bisa berteman dengan siapapun, dia terus mengulang-ulang kalimat itu selama dia menuju meja Sasuke. Sasuke masih belum menunjukkan ketertarikan bahwa Naruto sudah duduk di meja sebelahnya, menggeser meja agar lebih gampang bicara dengan Sasuke.

"Ayo kita diskusi mengenai tugas ini," kata Naruto membuka percakapan. Sasuke hanya meliriknya sekilas tanpa ada minat apapun.

Sejujurnya, Sasuke sendiri beranggapan tugas yang diberikan oleh Iruka itu tidak penting dan buang-buang waktu. Untuk apa mereka membuat peta timbul mengenai Perang Dunia Pertama? Kenapa tidak tinggal buat makalah dan presentasi seperti biasa saja? Sasuke tidak menyukai hal-hal merepotkan seperti itu. Apalagi melihat Naruto yang akan berada satu kelompok dengannya. Dia tidak menyukai semua energi yang terlalu positif dari pemuda pirang itu. Energi yang terlalu dibuat-buat, sehingga Sasuke selalu ingin mengacaukan energi itu.

"Oke, jadi untuk membuat petanya kita bisa gunakan papan tipleks dan gumpalan koran bekas. Aku pernah melihat Klub Drama membuat miniature Peta Dunia dengan bahan-bahan itu. Yang harus kita bahas duluan adalah awal mula Perang Dunia Pertama. Mungkin kita harus membuat mind map untuk tahu arah peperangan."

Naruto mulai berceloteh sendiri. Buku Sejarahnya terbuka dan dia mulai menulis-nulis konsep tugas mereka. Sebenarnya, jika dia sendiri pun tugas akan selesai dengan sendirinya. Sasuke tergoda untuk mengabaikannya terus. Namun, Naruto berhenti menulis dan menatap Sasuke. Tatapannya kesal dan kebingungan.

"Kau mendengarkan tidak? Aku sedang menulis mind map untuk tugas ini," katanya kesal.

Sasuke mendengus. "Lanjutkan saja tugasmu. Jangan biarkan aku menghalangimu."

"Ini tugas kelompok, Uchiha. Yang artinya kau dan aku terlibat sama banyaknya dalam tugas ini." Suaranya ditahan agar tidak meledak di tempat. Ini di dalam kelas dan Naruto tidak boleh lepas kendali di sini.

"Dan itulah yang aku lakukan. Aku diam karena kau sudah mengerjakannya dengan baik."

Ini di dalam kelas, ini di dalam kelas. Kalimat itu terus di ulang-ulang Naruto di dalam hati agar dia tidak lepas kendali. Dia ingin sekali menghajar Sasuke detik itu juga.

"Aku pun tidak mau satu kelompok denganmu, tapi kita terpaksa. Jadi, ayo kita bekerja sama," ujar Naruto. Dia berusaha menjaga suaranya supaya tetap tampak santai. Dia menatap Sasuke lekat-lekat, mencari setidaknya kelemahan yang bisa digunakan Naruto untuk menyudutkan Sasuke. Namun, lelaki itu terlalu tangguh. Naruto tidak bisa menemukan apapun yang tersisa selain kegelapan dan rasa apatis.

Rasanya seperti mustahil menembus pertahanan itu.

Karena dia tidak mendapatkan reaksi apapun, Naruto menyerah. Dengan menahan seluruh rsaa dongkolnya, dia membuat mind map sendirian. Dia akan menyelesaikan tugas ini dengan atau tanpa bantuan Sasuke.

.

"Kau tidak makan bersama kita, Uzumaki-kun?" tanya Shino ketika di jam istirahat. 100 menit pelajaran Sejarah Dunia begitu menyiksa dan berjalan lambat. Naruto berhasil membuat setengah dari mind map dari keseluruhan Perang Dunia Pertama. Naruto sendirian, tanpa bantuan si Uchiha brengsek itu. Dan sekarang otaknya terlalu penuh sehingga dia butuh ketenangan.

"Aku mau ke Kantor OSIS dulu," kata Naruto berbohong. Dia tidak tahan jika dalam keadaan mood jelek dan harus bersosialisasi dengan orang lain. Naruto tidak ke Kantor OSIS, tapi dia naik ke balkon yang ada di lantai 4. Suasana di balkon sepi karena angin musim gugur telah berhembus. Para siswa memilih untuk makan di kelas dengan penghangat ruangan.

Ketika Naruto sampai, angin menerpa seluruh tubuhnya, membuat rambutnya acak-acakan. Untugnya dia memakai blazer, jadi dinginnya tidak begitu menusuk. Dia berjalan dengan tenang sampai berada di pinggir balkon yang memiliki kawat tinggi pembatas, demi mencegah insiden-insiden yang tidak diinginkan. Dia menarik napas dan menghembuskannya. Setidaknya situasi yang tenang ini bisa memperbaiki suasana hatinya. Dan dia berharap untuk sisa jam pelajaran tidak usah ada lagi tugas kelompok.

"Baru begitu saja kau sudah mau bunuh diri?"

Suara menyebalkan itu membuat Naruto membuka matanya. Tanpa melihat dia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Nada merendahkannya yang begitu terasa sehingga kerongkongan Naruto selalu terasa pahit karena asam lambungnya naik.

"Dimana pun kau berada, kau selalu membuat orang kesal ya," kata Naruto datar. Dia masih belum menatap Sasuke. Sasuke berjalan ke arahnya dan berdiri di sebelahnya. Naruto bisa melihat figurnya dari samping, tapi dia menolak menatap pemuda Uchiha itu.

"Hanya kau yang merasa seperti itu."

Naruto mendengus. "Kau mengabaikanku selama 100 menit pelajaran dan sekarang kau berkata hanya aku yang merasa seperti itu. Jelas kau melakukannya untuk membuatku marah!" Naruto menatapnya nyalang. Alisnya tertekuk penuh perhitungan. Sasuke tidak merespon apapun. "Ada masalah apa sebenarnya kau denganku? Kenapa sedari awal kau selalu mencari masalah denganku?" tanya Naruto dingin. Dia jarang memukul orang dan jelas dia tidak mau melakukannya.

Sasuke mendengus. "Jangan terlalu percaya diri, Ketua OSIS. Aku mencari masalah dengan semua orang. Aku ini siswa yang bermasalah di setiap sekolah, ingat?"

Jawaban seperti itu jelas tidak memuaskan Naruto, yang ada dia semakin meradang dengan jawaban asal-asalan dari Sasuke. Tanpa sadar, dia telah mencengkram kerah baju Sasuke. Hidung mereka hampir bersentuhan. Rahangnya bergemelutuk. "Teme," desisnya.

Sasuke masih belum merespon apapun. Dia sudah sering berkelahi dan dia telah menghadapi berbagai jenis ancaman, jika hanya ditarik kerahnya saja itu tidak membuatnya takut. Justru dia sangat penasaran apa yang akan dilakukan Naruto selanjutnya. Apakah dia akan dihajar? Dia menantikannya.

Iris birunya berkilat-kilat, seperti petir di siang bolong.

"Aku tidak peduli apa yang telah kau lakukan sebelum berada di SMA ini dan aku juga tidak peduli apa yang akan kau lakukan setelah dari SMA ini. Aku tidak peduli seberapa banyak masalahmu. Tapi, ada orang yang bersungguh-sungguh untuk menjalani SMA ini karena mereka punya masa depan. Kau tidak berhak mengganggu mereka, Teme. Kalau kau mau hancur, hancurlah sendirian!"

Dia melepaskan cengkraman itu dan mendorong tubuh Sasuke. Sasuke mundur beberapa langkah. Dia terpaku menatap Naruto.

"Lakukan semaumu Uchiha, tapi aku tidak akan membiarkanmu merusak rencana masa depanku."

Setelah berkata seperti itu, Naruto berjalan masuk lagi ke dalam gedung. Sasuke tinggal sendirian dalam kondisi terpaku setelah konfrontasi itu. Setelah beberapa saat, barulah dia bisa menghela napas dan tertawa kecil.

Itu tidak mengerikan, sama sekali jauh dari kata mengerikan. Naruto bahkan tidak menghajarnya. Namun, kata-kata itu begitu mengandung beban. Ketika Naruto menyampaikannya, Sasuke bisa merasa adanya beban berat yang sedang dipikul oleh pemuda itu. Benar juga, Sasuke berbeda dengan Naruto. Sasuke memang tidak punya masa depan. Dia telah menyerah lama sekali, tapi Naruto tidak. Dia sedang dalam tahap meraih masa depannya. Karena itu setiap tugas, setiap pelajaran, itu semua berharga baginya. Semua nilai yang dikumpulkannya akan menjadi anak tangga yang membawanya semakin dekat dengan masa depan.

Dia marah bukan karena Sasuke tidak membantunya, tapi dia marah karena Sasuke menghalangi jalannya. Naruto tidak keberatan bekerja sendiri jika artinya dia harus menyeret semuanya. Naruto tidak keberatan dengan banyaknya tugas dan tidak pentingnya tugas di sekolah ini. Dia akan menjalani semuanya sendirian.

Pribadi Naruto lebih rumit dan kompleks dari yang dia kira. Dia bukan hanya sekedar orang yang suka berpura-pura untuk terlihat baik di depan orang lain. Entah kenapa, Sasuke sedikit menyesal sudah berbuat agak jahat padanya. Lalu, ketika dia merasa menyesal, dia terheran-heran. Kenapa dia merasa menyesal?

Naruto Uzumaki dengan segala kerumitan pribadi dan perasaannya, Sasuke tanpa sadar tertarik ke dalam hidupnya. Dia semakin ingin tahu.

Dia akan menguak siapa itu Naruto Uzumaki.

.

BERSAMBUNG