GEMERLAP

.

.

By: Emily Weiss

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing: Kakashi Hatake – Sakura Haruno

Rated: M (16+)

.

Sakura terpaksa meninggalkan dunianya yang gemerlap dan menikahi Kakashi, membantu sang sahabat mencairkan warisan bersyarat. Awalnya mereka memang setuju untuk tetap bergaul dengan bebas, tidak terikat. Sampai keduanya sadar bahwa rasa ingin memiliki mulai tumbuh dan menjadi sumber konflik yang mendera rumah tangga mereka.

.

.

WARNING: AU. M-rated for mature content, detraction and lime.

A/N: Kakashi tidak menggunakan masker dan kedua matanya hitam. Lime karena pembahasan dewasa, umpatan kotor, dan adegan berciuman yang eksplisit. Jadi kurasa 16+ toh sudah pantas membacanya. Tidak untuk ditiru.

*Chapter ini mengandung adegan ranjang walaupun samar-samar.


.

Chapter 2

.

.

Tak butuh waktu lama bagi Kakashi untuk mendapat restu dari ibunya, pula dari kedua orang tua Sakura. Berhubung keluarga keduanya cukup mengenal, pihak Hatake maupun Haruno tampak senang dengan keputusan anak-anak mereka. Dan mengingat umur Kakashi serta Sakura yang tak lagi belia, mereka menghargai keputusan Kakashi untuk mempersunting Sakura dalam waktu dekat. Walau dengan sedikit pertimbangan alot, akhirnya orang tua mereka toh menyetujui bahwa sakramen dan resepsi pernikahan akan terlaksana dalam waktu dua minggu ke depan.

.

Dan tak terasa, bagaikan sekejap saja, pernikahan megah nan mewah yang selalu diimpikan setiap gadis telah di depan mata.

.

Sakura meremas jari dengan gelisah, bagaimanapun nakal dan liarnya Sakura pada gaya hidup, sesungguhnya ia hanyalah gadis biasa. Ia selalu menginginkan keluarga kecil yang harmonis dengan suami yang tampan dan mencintainya, juga satu atau dua anak yang periang. Namun sedihnya, pernikahan di hadapan Sakura sekarang adalah sebuah sandiwara, kebohongan, dan tidak lebih dari sebuah topeng.

Gadis berlapiskan gaun pengantin itu menatap dirinya sendiri di cermin, orang yang meriasnya baru saja selesai memoleskan sentuhan terakhir pada wajah tirusnya yang cantik. Sakura menunduk, dalam hati ia berdoa agar semuanya berjalan tidak terlalu menyakitkan dirinya sendiri. Ia memang tak pernah menarik kata-katanya untuk membantu Kakashi, hanya saja ia baru menyadari bahwa ia tengah menyerahkan momentum paling berharga dalam hidupnya.

Mata emerald itu nampak sayu namun sedetik kemudian ia mendongakkan wajah. Tersenyum dengan angkuh dan bicara pada bayangannya di cermin, "Well, Sakura. Ini hanya sekedar membantu sahabatmu."

Sakura tertawa pilu. Lalu berdiri dari kursinya dan mematut diri sekali lagi.

Gaun berwarna ivory berkilauan yang dibuat hanya untuknya, dan untuk malam ini. Gaun kemben dengan detail lipit pada bagian dada bertabur kristal Swarovski terjuntai sampai kira-kira dua meter panjangnya dari bawah mata kaki. Punggung dan lengannya yang putih bersih terpampang sempurna. Kedua tangan Sakura menggunakan sarung tulle berwarna senada dengan gaunnya. Rambut merah muda yang ikal panjang kali ini di gelung keatas, sebuah mahkota kecil tersemat di atas kepalanya dengan apik—menyimbolkan ratu semalam, tak lupa bridal veil yang tak kalah panjang dari gaunnya menjuntai dengan indah. Khas eropa.

"Lagipula ini hanya untuk sementara, bukan begitu Sakura Haruno?" ujarnya lagi pada diri sendiri. Sakura memandang dirinya di cermin, memandang diri dengan marga Haruno untuk terakhir kali setelah dua puluh tiga tahun disandangnya dengan bangga. Nama sang ayah yang menegaskan bahwa darah bangsawan mengalir pada dirinya.

Sakura masih terus mematut diri hingga sebuah ketukan dari luar pintu terdengar, "Sakura-chan, bersiaplah keluar."

Gadis itu memasang atribut gaun terakhir, menutup cadar birdcage yang tersampir dari kepala sampai sebatas tulang pipi, merapikan kain jala itu hingga menyamarkan sebagian wajah—membuatnya terlihat semakin mempesona bak putri kerajaan.

Sakura menggenggam erat buket mawar merahnya, lalu keluar dari ruangan itu dibantu Ino, Hinata, dan Tenten selaku bridesmaid.

.

.

Perpaduan suara biola, piano dan harpa mengalunkan aransemen lagu A Whole New World. Mengiringi Sakura yang berjalan anggun menuju altar didampingi seorang pria paruh baya—ayahnya. Gadis-gadis kecil pendamping Sakura menebarkan confetti berupa kelopak mawar putih di sepanjang jalan yang akan dijejakinya.

.

I can show you the world

Shining, shimmering, splendid

Tell me, Princess.. Now when did you last let your heart decide?

.

Penyanyi pria dengan suara menyerupai John McLaughlin mengalunkan lagu kesukaan Sakura. Gadis itu tersenyum, ia selalu menyukai lagu ini. Tentu saja dia yang memilih lagu pengiringnya. Memangnya Kakashi mau peduli apa soal pernikahan mereka—pernikahan ini. Bagi Sakura, pernikahan tetaplah pernikahan, sesuatu yang sakral. Terlebih lagi—tentu saja- ini adalah pernikahan pertamanya.

.

I can open your eyes

Take you wonder by wonder

Over, sideways and under

On a magic carpet ride

A whole new world

.

A new fantastic point of view

No one to tell us 'no'

Or where to go

Or say we're only dreaming

.

Sakura dapat melihat Kakashi tersenyum, menunggunya di altar dengan senyum mengejek. Hanya Sakura yang tahu. Satu meter lagi dan Sakura akan sampai, ia membalas senyuman Kakashi dengan menarik salah satu sudut bibirnya, juga sorot mata menghina dari iris matanya yang hijau terang. Kakashi mengulum senyum semakin dalam, kain jala yang menyamarkan sebagian wajah Sakura tak menutupi senyum sinis gadis itu.

Pula berjejer bersama Kakashi, wajah-wajah tak asing para maid of honor. Selain Ino, Hinata dan Tenten, hadir juga Naruto dan Sasuke sebagai best man. Mereka tampak lain di mata Sakura dengan gaun dan jas yang seragam. Para wanita tersenyum penuh haru—bahkan ia bisa melihat Hinata Hyuuga meneteskan air mata. Sementara itu, Sasuke mengulum senyum tipis, dan Naruto menyeringai geli. Membuat Sakura ikut merunduk untuk tertawa dibuatnya. Ya, pasti ia terlihat konyol bagi Kakashi, Naruto dan Sasuke.

A whole new world

A dazzling place I never knew

But when I'm way up here

It's crystal clear

That now I'm in a whole new world with you

.

Tuan Haruno mengecup singkat puncak kepala Sakura lalu menyerahkan genggaman putri tunggalnya pada Kakashi. Pemuda dengan setelan tuksedo abu-abu gelap itu menggamit lengan Sakura lembut, menuntunnya ke altar seraya membisikkan, "Ternyata kau bisa terlihat sangat menawan, jalang."

"Kau juga tidak terlalu buruk, keparat." ujar Sakura yang membuat Kakashi tersenyum sumringah.

Jika dilihat dari mata para hadirin, tentu saja gerak-gerik Kakashi dan Sakura di altar terlihat sangat manis, saling membisik mesra dan tersenyum bahagia. Minus Naruto dan Sasuke yang terlihat bersusah payah untuk tidak mencemooh dan tertawa. Entah mentertawakan keahlian Kakashi dan Sakura dalam berseni peran, atau takdir mereka yang begitu suram. Namun memang, Sakura dan Kakashi terlihat bahagia.

Pernikahan berjalan dengan syahdu, dimana janji suci menggema di dalam gereja tua yang didekorasi serba putih keperakan dan magenta. Para orang tua terlihat berkaca-kaca, tamu undangan yang hadir tak henti-hentinya memancarkan pandangan kagum pada pasangan tersebut—menggumamkan betapa serasinya mereka. Terlebih saat mempelai lelaki menyematkan cincin, membuka cadar dari wajah sang pengantin wanita lalu menciumnya. Semua yang hadir tak dapat menahan diri untuk tidak bertepuk tangan dengan meriah bagi kedua insan yang sedang bersanding. Mengesahkan pernikahan mereka.

.

"Aku tak percaya kita benar-benar menikah." bisik Sakura pelan dalam perjalanan menuju apartemen yang disediakan Kakashi untuk mereka tinggali bersama.

"Ya, kuharap kau tidak menyesal. Dan ah- Kami-sama tuksedo ini begitu gerah!" jawab pria dengan rambut perak itu sembari membuka kancing dan melonggarkan bow tie di lehernya. Padahal pendingin di mobil pengantin itu sudah dinyalakan dengan suhu maksimal oleh sang supir yang kini tengah berkonsentrasi mengemudi.

"Awalnya mungkin iya. Tapi aku tidak menarik kata-kataku dan meninggalkanmu di altar, bukan?"

Kakashi menatap gadis yang duduk disebelah kanannya, "Terima kasih, Sakura. Sungguh. Terima kasih." menggenggam tangan Sakura, yang lalu dibalas Sakura dengan ganti meremas jari-jari Kakashi. Cincin emas bertahta berlian tersemat indah di jari manis masing-masing.

"Jangan membuatku menyesal telah membuang masa gemerlapku untukmu."

.

Seorang lelaki membaringkan diri di ranjang. Rambut perak yang beberapa jam lalu terlihat kaku karena gel rambut, kini telah mencuat seperti hari-hari biasa. Hanya saja titik-titik air dari rambutnya menetes dan membasahi bantal, membuat Kakashi merasa kedinginan, namun rasa kantuk mengalahkan segalanya. Maka dari itu ia memilih untuk melipat tangannya ke belakang guna membantali kepala demi mencari kenyamanan. Lalu memejamkan mata.

Tak lama, Sakura keluar dari kamar mandi di ruangan yang sama dengan tempat Kakashi tertidur pulas. Dengan hanya berlilitkan handuk, ia berjingkat menuju lemari.

Walaupun Kakashi pernah melihat tubuhnya—bahkan tidak hanya sekali, tetapi tetap saja Sakura mempertahankan prinsipnya—bercinta jika hanya dia ingin melakukannya. Karena walau kadang ia tak bermoral, namun Sakura bukanlah pelacur. Dan pernikahan yang tak dilandaskan cinta bukanlah salah satu hal yang mampu merampas hak atas pendiriannya.

Jadi ia semakin mengeratkan simpul handuk pada dadanya sambil berusaha mengambil pakaian dalam di laci almari. Sakura baru saja akan berbalik menuju kamar mandi untuk berganti baju, kalau saja ia tidak melihat Kakashi tertidur dengan bantal yang nyaris basah kuyup. Sakura menghampiri sang suami yang sudah tertidur.

"Tch! Kakashi!" panggil Sakura seraya mengguncang tubuh itu dengan tangan kanan sementara tangan yang lain menahan simpul handuknya. "Demi Tuhan, Kashi. Bangun! Kau hampir membasahi seluruh kasur—dan oh ya ampun! Kau bisa sakit, brengsek!" teriak Sakura kesal.

Namun sang suami hanya melenguh sambil berbalik badan—memunggungi Sakura. Si wanita jadi menggeram, "Bangun atau aku akan menamparmu sampai terguling!" ancam Sakura. Perempuan itu dapat mendengar Kakashi hanya berdecak lalu dengan cepat menarik pinggulnya dan membaringkan Sakura dalam pelukannya. Sontak saja Sakura panik dan mempertahankan handuknya agar tidak tersibak.

"Kakashi! Lepaskan aku!"

Dan dengan suara yang rendah, Kakashi membisiki Sakura. "Nyonya Hatake, kalau kau tidak menginginkan aku sakit, lebih baik kau diam dan biarkan aku beristirahat." Sakura mencoba melepaskan diri dengan menyikut rusuk sang pria. "Brengsek—terserah juga kalau kau mau sakit. Aku hanya tidak mau seprai ini basah."

Kakashi meringis tipis saat rasa nyeri menyerangnya di dada. "Aku tidur di kamar tamu saja. Menyebalkan." gumam Sakura yang kini sudah melepaskan diri dari lengan pria tersebut.

Tak di duganya, Kakashi tertawa. "Tidak ada yang memaksamu untuk seranjang denganku, bukan? Atau kau memang berniat melakukan malam pengantin kita, eh?"

Mau tak mau wajah Sakura mulai menyamai warna rambutnya, "Bajingan, jaga bicaramu."

.

Hampir dini hari dan Sakura masih menonton televisi seorang diri, ditemani dengkuran Kakashi yang terdengar sampai ruang tengah. Sakura tidak menyangka ternyata Kakashi memang lelah. Sakura mengangkat bahu tidak peduli seraya mengunyah keripik kentang lagi. Hingga tak lama kemudian, ia mendengar suara Kakashi menggigau. Sakura mencoba untuk mengacuhkannya—mengingat perlakuan Kakashi yang menyebalkan beberapa jam sebelumnya. Namun pria itu merucau makin keras dan terdengar amat gelisah.

Sakura menggeser pintu kamar Kakashi, dan benar saja pria itu sedang meringkuk tanpa selimut. Gadis yang namanya serupa dengan bunga musim semi itu meyentuh dahi Kakashi yang kini menggigil hebat.

"Ck, siapa suruh kau keras kepala."

.

.

.

Sinar mentari menerobos masuk dari tirai berwarna coklat muda di kamar itu. Membuat Kakashi mengerjapkan mata, kepalanya terasa berat namun seberkas sinar telah mengganggunya sedemikian rupa. Lelaki itu mendudukkan diri dengan cepat sehingga sebuah handuk kecil yang lembab jatuh dari dahinya. Ia menoleh, terlihatlah Sakura yang tertidur sambil memegang termometer di tangan. Posisi tubuhnya menelungkup hingga wajah wanita itu tertutup oleh sejumput helai merah muda.

Sepasang mata onyx milik Kakashi memandangi istrinya dalam diam, menelentangkan tubuh perempuan itu dan menyelimutinya sebatas dada. Lalu memeluk Sakura dan kembali tidur. Membiarkan jarum jam yang telah menunjukkan pukul sebelas bergerak semakin ke kanan.

.

Sakura terbangun dengan panik begitu melihat waktu menunjukkan pukul dua siang. Ia melempar lengan Kakashi yang melingkarinya. "Astaga! Mengapa aku seceroboh ini, oh ayolah—hey sleepyhead, bangun! Kita bisa terlambat, bodoh!"

Kakashi yang terbangun kembali jadi mengerutkan dahinya dengan kesal saat melihat Sakura dengan panik mengambil handuk dan mengambil pakaian dengan ribut, "Bodoh! Kau tidak pernah dengar istilah 'liburan bulan madu', ya?"

Sakura menghentikan aktifitasnya lalu meringis lebar. "Ah- gomen, aku belum terbiasa." lalu gadis itu kembali menelusupkan diri di tempatnya semula, di antara selimut dan ranjang yang empuk. Menempatkan diri di sisi Kakashi, lalu mengukur suhu tubuh pria itu dengan telapak tangan. "Panasmu sudah turun."

"Hm. Seharusnya aku memang mendengarkan apa kata istriku, bukan begitu?"

"Berhenti menyebutku sebagai istrimu."

Kakashi tertawa singkat.

.

.

Sakura melepaskan apron kuning bermotif polkadot hitam dari tubuhnya. Sepiring fillet ikan saus asam manis telah dibuatnya dengan sukses. Begitu pula dengan cumi-cumi bakar dan cah kailan. Kakashi nampak terpesona dengan hidangan yang tersedia di meja makan. "Wow, Sakura. Sudah lama aku tidak melihat meja berisikan makanan yang layak. Aku memang tidak salah telah memperistrimu, eh?" ujar pria itu sambil mencomot sebuah fillet.

"Aku bukan istrimu! Dan jangan percaya diri, aku memang sedang ingin memasak. Itu saja. Dan—hey! Cuci tanganmu!" hardik Sakura, gadis itu memukul singkat tangan Kakashi yang akan bergerak mengambil cumi-cumi bakar.

"Cerewet. Penggila kebersihan. Seperti ibuku saja." ujar Kakashi bersungut-sungut, namun akhirnya ia pergi juga mencuci tangannya di washtafel dapur. Berharap dapat segera mendapat ijin Sakura untuk menyantap makan malamnya.

.

"Kakashi, mari membahas tentang ketentuan pernikahan kita, eh?" ujar Sakura seraya menyumpit kailan dan memasukkannya ke dalam mulut. Sedangkan Kakashi mengangguk-angguk dan menyumpit sayuran hijau itu dari piring Sakura. Kontan saja Sakura mencubit punggung tangan pria itu, "Mengapa tidak mengambil sendiri di piring lauk saja!"

"Hai, hai. Gomenasai. Di piringmu terlihat lebih enak."

Sakura mendengus. "Omong kosong. Baik, aku akan mengulang syarat yang sudah dibicarakan sebelumnya, oke? Aku sudah membuat dokumennya tadi siang."

Pria berambut perak itu mengangguk tidak peduli, masih sibuk dengan makanan di mulutnya.

"Seperti perjanjian terakhir kita, pernikahan ini akan berlangsung sampai 6 bulan saja, tidak ada hubungan badan yang tidak diinginkan, tidak saling mencampuri urusan pribadi, kau menafkahiku sebanyak setengah dari gajimu, saling merahasiakan alasan kita berumah tangga pada orang lain termasuk pada orang tua kita—kecuali untuk Sasuke dan Naruto karena mereka memang sudah tahu,"

Sakura mengambil nafas, ".. tidak membatasi pergaulan masing-masing, aku tetap bekerja namun kurang dari jam kerjamu, tidak ada kekerasan dan saling terbuka satu sama lain dalam hal menjunjung kerahasiaan rumah tangga ini."

"Lalu?"

"Tidak saling mengekang, hidup seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Pernikahan ini hanya untuk mendapat akte dan status demi memenuhi syarat warisanmu."

"Sudah semua?"

Sakura mengangguk, "Kurasa begitu. Kau tanda tangani di sini—di atas materai." ujar Sakura seraya menyerahkan kertas perjanjian dalam map merah dan pulpen. Kakashi menggumam kecil, lalu dengan cepat membubuhkan tanda tangan di kertas itu.

Manik mata hijau itu menatap Kakashi dengan puas, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat. Kakashi Hatake memutar matanya dengan bosan, lalu akhirnya menyambut tangan Sakura.

.

.

.

Hari bulan madu mereka kian berlalu, Kakashi masih saja bergelung di kasur, membungkus tubuhnya sendiri dengan bed cover putih tebal bercorak garis-garis marun, senada dengan seprai kasur tersebut. Dirinya baru saja akan terlelap sampai ia melihat Sakura bersolek di mejar rias dalam balutan gaun malam.

"Kau mau kemana?"

Sakura yang sedang berkonsentrasi menggunakan maskara menjawab acuh tak acuh, "Destello." setelah rampung, wanita itu merapikan riasan matanya dengan cotton bud. "Kau tak ikut?"

Pria tegap itu hanya menguap dari kasurnya. "Malas."

Mendengar penuturan Kakashi, Sakura jadi semakin ingin Kakashi turut pergi ke bar bersamanya, "Oh, ayolah Kashi! Kita baru saja menikah, pasti banyak yang ingin memberi selamat. Bagaimana?"

"Tubuhku masih terasa lemah, tahu. Kau pergi saja sendiri."

"Ah! Kau jahat sekali! Kalau begitu ijinkan aku pakai mobilmu!"

"Kenapa tidak pakai milikmu sendiri?" tanya Kakashi seraya mengeryitkan dahinya.

Sakura yang sudah berpindah tempat ke sisi ranjang Kakashi jadi tertunduk lesu, "Yang orang-orang tahu adalah bahwa kita sudah menikah dan aku ingin pernikahan ini terlihat harmonis. Paling tidak jika aku pakai mobilmu, aku jauh terlihat seperti istrimu yang bahagia."

"Tapi aku lelah." ujar Kakashi sambil memalingkan wajah, berusaha mengacuhkan Sakura.

"Kashi, ku mohon." Sakura berkata dengan lirih, wajahnya dibuat sesendu mungkin. Berhubung Kakashi tidak menatap wajahnya dengan sengaja, ia mengarahkan wajah tampan itu dengan paksa agar menghadap ke arahnya.

"Tch! Jangan gunakan wajah seperti itu!"

.

Sakura tertawa penuh kemenangan pada perjalanan menuju bar favoritnya dengan Kakashi yang kini sedang mengemudi. Wanita muda itu memang bisa merasakan suhu tubuh Kakashi masih sedikit hangat, namun keiginannya untuk kembali bersenang-senang tidak dapat ditawar lagi. Sudah nyaris tiga minggu—sejak ia mempersiapkan pernikahannya- ia tidak mengunjungi bar milik Chouji itu.

Sesampainya disana, mereka disambut dengan luar biasa meriah. Bahkan Chouji membebaskan Kakashi dan Sakura dari membayar menu apapun yang mereka pesan.

"Ah, pengantin baru memang susah di tebak, kan? Nyaris seminggu tak berkunjung setelah menikah, terlalu nyaman di ranjang ya?" celetuk Tenten lalu disoraki olah kawan-kawan mereka yang lain.

.

Sakura tertawa riuh dengan kerabat-kerabatnya sambil sesekali meneguk Bourbon Crusta miliknya. Ia tertawa hingga perutnya terasa sakit ketika mendengar kisah nostalgia mereka yang diceritakan Kiba dengan berapi-api. Bahkan tak jarang ia mencandai Naruto hingga pria pirang itu membalasnya dengan cemoohan. Yamanaka Ino hampir dua puluh menit sekali pergi ke toilet untuk buang air kecil karna lelah tertawa.

"Ne, ne. Sekarang, asal kalian tahu saja, saat itu Sasuke menggunakan kaus kaki pendek yang tidak sesuai ketentuan Masa Orientasi Siswa di sekolah kita. Tepat lima menit sebelum berbaris, ia meminjam gunting padaku, memotong ujung kaus kaki dan menariknya hingga mencapai betis!" ujar Kiba bersemangat. Kali ini Sasuke yang menjadi bulan-bulanannya.

Kakashi mengerutkan dahi, "Jadi maksudmu, ia meloloskan telapak kakinya dari ujung yang bolong? Itu berarti seluruh telapak kakinya tidak berkaus?" Kiba mengangguk antusias sambil mengacungkan ibu jari, ia tampak tak sanggup menahan tawanya. Seketika itu juga, tawa Kakashi meledak. Seluruh kumpulan yang mendengar Kakashi jadi semakin mudah membayangkannya lalu turut tertawa keras.

Nara Shikamaru tertawa kecil, "Jadi kaus kaki itu hanya kau pakai dari mata kaki ke atas?" tanyanya pada Sasuke. Pria dengan rambut raven itu mengangguk pelan, "Mau bagaimana lagi?"

Bar itu semakin riuh. Sasuke mendengus saat mendengar seluruh kawannya malah tertawa lebih keras.

Bahkan Karin tertawa sampai ia tersengal-sengal, "Oh Kami-sama—hahahahaha- tidak kusangka k-kau—hahahaha!" Suigetsu—tunangan Karin- tertawa kecil seraya menepuk-nepuk pelan punggung wanita dengan rambut merah itu, lalu berkata, "Ah Sasuke, kalau asma Karin kambuh, aku akan menyalahkanmu dan kaus kakimu—hahaha!"

Sakura meredam tawa saat ia melihat Sasuke berwajah masam. Ia memeluk pria itu dan menelungkupkan wajah pada lengan Sasuke—berharap mengurangi mood buruk pria itu, namun akhirnya ia tertawa pecah. Air matanya sampai meleleh saat Sasuke berdecak lalu menyahut, "Sebelum si jalang itu pingsan, mengapa tak kau sumpal saja mulut besarnya dengan kaus kaki ku, eh?"

Tawa Suigetsu dan semua yang hadir semakin membahana.

.

Kakashi memuntahkan seluruh isi perutnya yang tak banyak di kloset kamar mandi. Wajah itu pucat dan ia dapat merasakan kepalanya berputar-putar. Dengan susah payah ia berdiri dan membasuh wajahnya, berharap dapat mengusir pandangannya yang berkunang-kunang. Lelaki dengan tubuh tegap itu keluar dari toilet dengan sempoyongan, baru tiga langkah dari pintu dan ia sudah meluruh jatuh seraya memegang perutnya yang terasa seperti digerus. Pandangannya semakin mengabur saat ia melihat seorang wanita dengan rambut hitam panjang berusaha mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa?"

Kakashi mengerutkan dahinya, menahan rasa sakit seraya menerka sosok di hadapannya, "Hinata?"

"Oh- bukan, saya Kurenai. Anda terlihat sangat kesakitan, biar saya bantu ke ruang peristirahatan."

"An-antar aku pulang. Aku ingin pu-pulang saja."

"Eh?"

"Apartemen Caritas. Sekarang." ujarnya seraya melempar kunci mobil ke arah wanita itu.

.

.

Sakura menekuk wajah, sepatu hak tingginya dihentak dengan sebal menuju lift di gedung apartemen yang ia tinggali bersama Kakashi. Saat ini pukul sebelas malam, ia terpaksa pulang cepat karena tak menemukan Kakashi dimanapun, termasuk mobil Kakashi yang tadinya terparkir di dekat lobby bar. Dan memutuskan untuk pulang menggunakan taksi. Setelah sampai pada lantai 15, ia segera mencari kartu elektronik guna membuka pintu apartemennya.

Sakura terkejut bukan kepalang saat pintu menjeblak dan ia melihat Kakashi dalam posisi tidur di sofa dengan beberapa kancing terbuka. Namun, bukan itu yang membuat Sakura sampai menahan nafas, melainkan ia mendapati tak jauh dari tempat Kakashi, ada wanita asing berkulit pucat yang sedang memegang wajah suaminya dengan mesra.

Tanpa sempat berpikir, ia melesat cepat mendekati mereka dan menampik tangan si wanita dengan mata merah itu. "Siapa kau?"

"Sakura? Tenanglah. Kurenai hanya menolongku." ujar Kakashi lemah.

Sakura menatap wanita itu tak senang, terutama saat Kurenai berkata, "Kau sudah mendengarnya, bukan?"

"Jaga bicaramu, aku ini istrinya."

"Ah, sungguh istri yang sangat baik. Membiarkan suaminya nyaris pingsan di lantai bar, eh?" balas Kurenai dengan tatapan menantang.

"Keluar dari rumahku!" teriak Sakura geram.

Kakashi memijit pelipisnya pelan sambil mendudukkan diri, "Sakura, hentikan."

Gadis bersurai merah muda itu terperanggah, "Tapi—"

Wanita cantik di hadapan Sakura tersenyum menang. Bola mata emerald itu semakin garang, "Kau. Kau keluar dari sini." ujarnya menahan emosi seraya menunjuk pintu yang terbuka lebar. Kurenai sendiri hanya mengangkat bahu lalu mengerling penuh goda pada Kakashi, "Sampai berjumpa lagi, Hatake-san."

.

"Baik, jelaskan maksudnya itu!" teriak Sakura saat Kurenai menutup pintu.

Pria dengan mata gelap di hadapannya menguap malas, "Tadi aku muntah-muntah, aku tak mampu berdiri dan dia menghampiriku. Berhubung aku belum terbiasa tinggal bersamamu, aku sedikit lupa dan memintanya langsung mengantarku pulang."

"Dan?"

"Dan aku lupa memberitahumu."

Sakura berdecak. "Dan?! Jangan membodohi ku, aku bisa melihat ia menggodamu barusan!"

Kakashi tertawa, "Dan kami sedikit bercumbu tadi."

"Demi Tuhan—kau baru saja mengenalnya, bukan?" tanya Sakura yang sudah mendudukkan diri di samping Kakashi dan menyalakan televisi.

"Ya. Tapi dia cantik, bukan?"

Sakura mendelik, "Ugh. Dia terlihat tua."

Mata lelaki itu menyipit curiga lalu tertawa rendah seraya merangkulkan lengan di pundak Sakura, "Jangan bilang kau cemburu, nyonya Hatake."

Wanita kurus itu memutar bola matanya, "Dalam mimpimu."

Kakashi yang kemejanya masih terbuka tiga kancing teratasnya, mendekati Sakura dan membisiknya, "Eh, karena kau menginterupsi dan membuatnya pergi, bagaimana kalau kau yang menyelesaikannya?"

Nafas hangat Kakashi mau tak mau membuat Sakura merinding, gejolak aneh mulai dirasanya saat ia mencium aroma oriental campuran kayu Guaiac dan bergamot yang maskulin. Sakura berusaha menjauh, namun punggungnya tertahan pada sisi sofa hingga nyaris tiduran. Hal ini tentu saja memudahkan sang suami dalam mengunci posisinya. Sakura baru saja akan meruntuk ketika Kakashi mencium sudut bibirnya lembut, lalu mengusapkan bibirnya pada bibir Sakura dengan gerak lambat. Anggota baru Hatake itu hanya mengerang khas wanita, yang bisa dirasakannya hanya melayang dan seketika semua tampak mengabur bersamaan dengan tangan Kakashi yang melucuti pakaiannya.

Tidak sampai lima menit, kedua insan itu sudah tak berpakaian dan berpindah tempat ke ranjang mereka. Kakashi menciumi wajah Sakura dengan liar. Mengelus kulit perut wanita itu dengan jari. Sakura mendesis pelan, seolah bertarung oleh rasa mau dan tidak mau. Rambut Kakashi menggelitik saat pria itu menyesap kulit lehernya, membuat Sakura semakin tak berdaya.

"Ah. Ka-kashi."

"Hm-nh?" gumam pemuda dengan rambut keperakan.

"Jangan lakukan—ah- jangan lakukan ini!" tolak Sakura di sela desahannya, tangannya yang mungil mendorong dada telanjang Kakashi perlahan. Namun pria di atasnya itu hanya menatapnya tajam, "Mengapa? Ada yang salah?"

Sakura mendengus, "Aku sedang tidak ingin melakukannya saja, oke?" dusta wanita itu sambil berusaha meloloskan diri dari pelukan Kakashi. Jantungnya berdetak tak karuan, entah mengapa. Padahal ini bukanlah yang pertama. Sakura menyalahkan dirinya yang merespon diluar dugaan, ia benar-benar tidak tahu alasannya.

Walaupun tubuhnya sangat menginginkan sentuhan Kakashi, tetapi ia terlalu sombong untuk mengakuinya. Dan Sakura tidak ingin Kakashi tahu bahwa dalam imajinasinya yang liar, ia ingin Kakashi menariknya kembali ke ranjang. Hanya saja, ego Sakura untuk 'jual mahal' sangatlah tinggi.

Melihat Sakura yang beranjak, Kakashi jadi berdecak. "Ck. Ayolah, jalang. Kau tidak akan meninggalkanku setelah kau berhasil merangsangku kan?"

"Kau pikir?"

"Itu kejam sekali." sahut Kakashi singkat, lalu dengan cepat menarik Sakura lagi dan mendorongnya hingga terlentang. ".. dan tidak ada yang boleh melakukannya padaku." Kakashi kembali mengecup bibir Sakura. Kali ini lebih menuntut, mengingat Sakura yang meronta dan memalingkan wajah.

Dada Sakura terasa meledak, ia tidak ingin begitu saja kalah telak dengan Kakashi. Maka dari itu ia berusaha menghindar. Kakashi semakin memperkuat cengkramannya pada tangan Sakura, lalu membungkam bibir itu dengan mutlak. Meremas titik sensitifnya, "Ngh—"

"Apa?" tanya Kakashi, Sakura yang ingin mengumpat jadi mengurungkan niat, "Ti-tidak. Nh—lan-lanjutkan saja."

Kakashi tertawa pelan, "Dengan senang hati, nona munafik."

Lalu malam itu terasa panjang bagi Sakura, karena ia melakukan hal yang sering ia lakukan, namun kali ini dengan perasaan asing yang berbeda. Jantungnya berpacu lebih cepat dan lebih menyenangkan.

.

.

.

-Bersambung-


Saya cukup umur untuk membuat fiksi ini.

Kedua, saya tidak membatasi untuk siapa saja yang mau membaca rate M ini. Maksudnya, saya menyantumkan batasan umur untuk jaga-jaga saja bagi yang risih. Hehehe. Saya menghargai pembaca muda yang open minded.

Terima kasih untuk review yang kemarin. Di luar dugaan saya bahwa banyak yang menyukai ide ini. Hehehe. Sekali lagi, jangan lupa berikan opini kalian lagi lewat review ya!

Ah, akhir kata, SELAMAT LIBURAN! SELAMAT NATAL! SELAMAT TAHUN BARU!

.

.

.

Hugs and kisses, Ems.