GEMERLAP
.
.
By: Emily Weiss
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: Kakashi Hatake – Sakura Haruno
Rated: M (16+)
.
Sakura terpaksa meninggalkan dunianya yang gemerlap dan menikahi Kakashi, membantu sang sahabat mencairkan warisan bersyarat. Awalnya mereka memang setuju untuk tetap bergaul dengan bebas, tidak terikat. Sampai keduanya sadar bahwa rasa ingin memiliki mulai tumbuh dan menjadi sumber konflik yang mendera rumah tangga mereka.
.
.
WARNING: AU. M-rated for mature content, detraction and lime.
A/N: Kakashi tidak menggunakan masker dan kedua matanya hitam. Lime karena pembahasan dewasa, umpatan kotor, dan adegan berciuman yang eksplisit. Jadi kurasa 16+ toh sudah pantas membacanya. Tidak untuk ditiru.
.
Chapter 3
.
.
Hari minggu ini masih pagi, namun Sakura sudah terlihat akan keluar rumah. Wanita itu tengah bersiap-siap dengan tas biru tua-nya yang besar, hal ini menggelitik Kakashi untuk bertanya.
"Mau kemana?" tanyanya tanpa berhenti menyendok serealnya.
"Gym. Besok aku sudah mulai bekerja, dua minggu bersamamu membuat lenganku bergelambir, tahu."
Kakashi tertawa, "Bukankah menyenangkan, eh? Makan, tidur, lalu seks. Makan, tidur, lalu seks lagi."
"Tapi seharusnya tidak menghasilkan ini." ujar Sakura sambil menunjukkan lengannya. "Berat badanku naik hingga dua kilogram."
Pria yang hanya mengenakan celana piyama itu memutar bola matanya. "Seks adalah olahraga, sebagai pasangan baru seharusnya memang tidak menghasilkan hal seperti itu," sahut Kakashi sambil mengendikkan dagu ke tubuh Sakura. Lalu pria itu melanjutkan, ".. kurasa memang porsi makanmu yang tidak wajar."
"Sembarangan. Lagipula, kita bukan pasangan. Ingat itu."
Kakashi menaikkan bahunya singkat, "Hn. Mencari apa?" tanya Kakashi penasaran saat melihat Sakura mulai celingukan di ruang tengah. Sakura sendiri tampak tidak mengindahkan pertanyaan suaminya itu. Ia terus mencari sesuatu hingga ke kolong sofa—berharap barang yang dicarinya ada di dalam sana.
Merasa diabaikan, pria dengan rambut perak itu memutar bola matanya, "Apa yang kau cari, idiot?"
"Ck! Sepatu! Sepatu keds putih dengan garis merah muda! Kau pasti memindahkannya dari rak!" bentak wanita muda itu kehabisan sabar. Lalu kembali berkutat dengan tumpukan kardus pada rak satu-persatu.
Kakashi mengangguk-angguk. "Ah itu.."
Sakura mendelik, "Itu apa, ha? Kau tahu?"
"Ya, tentu. Aku melemparnya ke atas lemari sepatu."
Wanita berbola mata hijau itu mengerucutkan bibir lalu menarik kursi dan menaikinya. Tangannya menggapai-gapai bagian atas lemari, dan benar saja. Sepatu olahraganya ada disana. Keadaannya yang kotor karena terkena debu, memicu emosi Sakura. "Brengsek! Kenapa kau tidak memberi tahuku sejak awal! Aku terlambat kelas pilates, sialan!"
"Warnanya begitu mencolok, aku benci."
"Bajingan!" umpat Sakura seraya memakai sepatu, lalu mengambil tas dan pergi dengan membanting pintu keras-keras.
.
.
Bulan mulai naik ke peraduan. Seorang wanita menghela nafas panjang, hari itu terasa panjang baginya. Wanita itu—Sakura- tidak berhenti mengubah posisi tidurnya. Gelisah. Sakura menggeram pelan lalu menahan nafas selama sepuluh detik, lalu menghembuskannya. Menarik nafas lagi, lalu menghembusnya lewat mulut, kali ini lebih perlahan. Dadanya terus bergolak menahan amarah. Banyak hal kecil yang membuat Sakura marah dan tersinggung hari ini. Segala kejadian sepele menyulut emosinya sedemikian rupa, misalnya seperti kepadatan lalu lintas, udara panas atau keteledoran Kakashi. Termasuk saat Kakashi tidak memasukkan baju kotor ke dalam keranjang atau saat pria itu tidak sengaja menumpahkan makan malam. Malang bagi Sakura. Merasakan sang emosi membludak dan pasang-surut.
Namun lebih malang lagi bagi pria yang serumah dengannya.
.
"God damn, Sakura Haruno! Kau ini sedang datang bulan atau apa?!" bentak Kakashi saat Sakura kembali menyumpahi—hanya karena ia tidak mematikan lampu toilet. Kakashi memang menemukan bungkus tampon di dalam tempat sampah, maka dari itu awalnya ia tidak heran. Namun ia tidak menyangka bahwa Sakura akan bertemperamen tinggi seharian penuh. Rasa tenggang rasanya seakan menguap begitu saja. Jera akan segala makian dengan suara melengking yang ia dapati hari ini.
Sakura bangun dari ranjangnya dengan cepat, "Ya! Aku memang sedang menstruasi, lalu kenapa?! Kau tidak suka jika aku menstruasi?!"
Dahi Kakashi mengerut saat mendengar pernyataan lucu dari istrinya. "Kau konyol sekali."
"Lalu kau menyesal menikahi ku, begitu?! Dasar keparat!"
Kakashi semakin geli, namun sayang ia tidak tahan dengan suara nyaring khas perempuan. Jadi, alih-alih tertawa, lelaki itu malah berkata sinis. "Dasar menyedihkan."
Tak disangkanya, Sakura tampak terhenyak. Meremas ujung gaun tidurnya lalu meneteskan air mata. Bibirnya terbuka seakan ingin bicara, namun diurungkannya. Air mata semakin deras di pipinya tanpa suara. Dalam diam Sakura meninggalkan kamar.
Tanpa rasa bersalah, Kakashi mendegus malas, "Ck. Wanita." lalu pria itu menjatuhkan diri di ranjang.
.
Sakura mengusap air matanya dengan kasar. Ia berdiam diri di balkon, membiarkan angin malam mengelusnya dengan lembut. Ia sedikit bergidik kedinginan, namun tak dihiraukannya. Wanita itu mengeluarkan bungkus rokok, menyulut dan menghisap rokok itu dengan nikmat. Menghembus asap tipis yang berwarna kontras dengan langit malam.
Tak lama kemudian, Sakura mendengar suara langkah berat mendekatinya, dan begitu suara bariton menyapanya dari belakang, ia tidak terkejut. "Belum tidur?"
Wanita itu hanya menggeleng tanpa menengok ke arah suara, hanya menghembus asap rokoknya keras. Kakashi bicara lagi, "Yang tadi itu, maaf—oke? Aku tidak tahu kau bisa begitu sensitif."
Sakura terkikik geli, "Aku sendiri juga tak mengerti, aku mengalami rasa kesal luar biasa saat datang bulan. Ku harap kau akan terbiasa."
Walaupun agak heran karena emosi Sakura reda dalam waktu singkat, namun pada akhirnya Kakashi tertawa juga. "Jadi setiap bulan kau akan begini?"
Sakura tertawa pelan lalu mengangguk. Kakashi melanjutkan, ".. dan juga tidak ada seks."
Mata Sakura membeliak, menahan geli dan memukul Kakashi perlahan, "Dasar mesum!"
"Usia produktif, kau tahu. Tenagaku seperti kuda liar!" ucap Kakashi takjub pada dirinya sendiri, sementara Sakura diam dan wajahnya bertambah merah.
Respon Sakura membuat Kakashi mengerutkan dahinya pelan, "Sejak kapan kau jadi sok malu-malu dalam urusan seks, ha?" tanya pria itu enteng seraya mencomot rokok yang akan dihisap Sakura. Tidak membiarkan wanita itu mengelak dari pertanyaannya dengan cara apapun. Termasuk berpura-pura merokok.
Sakura mendesah pelan. "Ehm—ya. Kau tahu kan, kemarin itu adalah seks pertamaku dalam suatu pernikahan. Bagaimana ya—ah kau tahu 'kan!" jawab Sakura berantakan. Matanya membuang pandang pada titik kecil di atas langit.
"Apa?"
Sakura menghela nafas panjang, "Ya tentu saja aku malu, yang kemarin kita lakukan bukan lagi sekadar bercinta. Dan aku tidak terbiasa. Ditambah lagi mitos yang dulu sering ku dengar. Bahwa melakukan hubungan intim pada malam pertama akan terasa luar biasa romantis. Dua cinta yang berpadu untuk pertama kalinya pada saat yang benar. Yah, begitulah. Aku jadi menerka-nerka bagaimana rasanya." gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu ia melanjutkan lagi, "Ja-jadi wajar saja kan, aku memiliki perasaan berbeda. Ma-maksudku, kau kan .. –ehm suamiku." jelas Sakura susah payah.
Kakashi tertawa keras hingga terbatuk. Rokok yang tadi terselip di jari sampai dilempar kuat-kuat keluar balkon. Ia tertawa sampai tersengal-sengal, "Oh— Sakura ku yang naif. Aku tak menyangka kau percaya pada roman picisan seperti itu!"
Sakura tak suka ditertawakan, kontan saja wajahnya masam. Kakashi menyadari kesalahannya—membuat seorang wanita tersinggung pada saat hormonnya memuncak. Pria yang bertelanjang dada itu membungkam mulutnya sendiri dan mengatur nafas. Menelan tawanya bulat-bulat. Berdeham dengan susah payah hingga beberapa saat kemudian, tidak ada tawa yang tersisa.
"Maaf—jadi intinya, kemarin kau melakukannya dengan penuh perasaan?" Kakashi mengangkat salah satu alisnya dan tersenyum menggoda.
Sakura semakin salah tingkah sambil memainkan bungkus rokoknya yang berwarna marun. "Tentu saja tidak, bodoh. Namanya saja wanita. Wajar, tahu. Ini hanya perasaanku sebagai makhluk sensitif. Walaupun aku tidak mencintaimu, menikah tetap saja menikah, bukan? Aku hanya mengagumi dan menghormati pernikahan yang bersifat agung. Itu saja."
Pria dengan bola mata hitam itu meyipit curiga, sambil terus tersenyum jahil, "Jadi kau mengakui pernikahan ini, hm?" tanpa bisa dicegah jari Kakashi mencolek dagu Sakura.
Melihat tingkah sang suami yang kekanak-kanakkan, Sakura mencubit lengan lelaki itu hingga Kakashi mengaduh pelan.
"Tapi tetap saja yang terjadi di antara kita hanyalah pernikahan sandiwara dan seks kasual. Psikopat menyebalkan." sahut Sakura geram lalu beranjak pergi meninggalkan tunggal Hatake itu.
Kakashi meringis lalu mengusap lengannya yang memerah.
"Kau yakin?" tanyanya lagi saat melihat Sakura akan melewati pintu kaca penyekat untuk meninggalkan balkon.
"Kami-sama, mengapa suamiku begitu bodoh!" gerutu Sakura keras sambil merapatkan kimono tidurnya yang terbuat dari satin, lalu menggeser pintu itu hingga menutup. Kakashi tertawa mengejek.
.
.
.
Mulai hari esoknya, kedua insan itu sudah bekerja seperti biasa. Lagi-lagi ditemani oleh siulan jahil rekan kerja masing-masing. Kakashi tak mengambil pusing, begitu pula Sakura. Keduanya bersandiwara dengan apik di depan masyarakat. Rahasia mereka terjaga dan perusahaan Kakashi terselamatkan.
Rumah tangga mereka pun berjalan layaknya tak pernah terjadi pernikahan, Sakura dan Kakashi tidak merasakan adanya keberatan sama sekali karena mereka bebas berhubungan dengan siapapun tanpa ada pihak yang menghakimi. Orang-orang sekitarpun melihat mereka sebagai pasangan normal yang memang sedikit 'nakal' , paling-paling orang berceletuk sedikit saat salah satu di antara Kakashi atau Sakura terlihat mesra dengan orang lain. Contohnya seperti malam ini, saat Sakura dan Kakashi menghabiskan waktu di bar.
.
Ino membisiki Sakura pelan, "Aku yang salah lihat, atau kau memang istri yang jalang, Saki?"
Wanita dengan rambut merah muda itu mendengus lalu tertawa, "Itu hanya sebuah dansa."
"Kakashi tidak keberatan?" tanya Ino lagi pada sahabatnya.
Sakura tersenyum, alih-alih menjawab pertanyaan Ino, wanita itu melambaikan tangan untuk memanggil Kakashi. Dan saat pria dengan rambut perak itu mendekat dan sampai padanya, Sakura bergelayut manja.
"Kashi, aku baru saja berdansa dengan seorang pria, dan.. Hahaha," Sakura tertawa geli sebelum melanjutkan, ".. aku memang menggodanya sedikit. Apakah kau keberatan?"
Mata biru terang milik Ino membulat saat melihat Kakashi malah menggamit pinggul Sakura erat dan mencium puncak kepalanya, "Aku tahu kau hanya cinta padaku, dear. Lakukan apa yang membuatmu senang, oke?"
Sakura mengedipkan sebelah mata pada Ino, lalu pandangannya kembali pada mata hitam milik suaminya. "Terima kasih, dan asal kau tahu, aku juga melihatmu melepas cincin pernikahan kita."
Kakashi tersenyum, "Kau juga tahu aku hanya mencintaimu." lalu pria itu mengecup bibir Sakura dengan singkat lalu melangkah pergi.
Ino yang menggunakan gaun chiffon berwarna toska itu tertawa keras. "Bajingan. Aku seperti melihat sebuah telenovela."
.
.
Sasuke nyaris tertidur dengan laptop di pangkuannya, jika saja ia tidak mendengar suara sayup seorang gadis dari luar private box. "Selamat malam, jika benar ini kubah milik.." pelayan itu menghentikan ucapannya sebentar, memastikan sang pemilik kubah. ".. Naruto Uzumaki, bolehkah saya masuk dan mengantarkan pesanan anda?" tambahnya kemudian.
Pria muda itu menguap dan mempersilakan sang pelayan masuk. Gadis itu menurunkan minuman bercairan biru terang dari nampan yang dibawanya seraya melirik Sasuke yang fokus pada laptopnya. "Maaf, dapat saya bertemu dengan tuan Uzumaki?"
"Ia sedang di toilet, ada apa?" tanya pria dengan rambut raven itu tanpa melepaskan pandangannya dari layar.
Bola mata hitam milik sang pelayan terlihat gelisah, ia nampak ragu namun akhirnya bicara juga, "T-tadi tuan Uzumaki me-memesan—ah.. tadi beliau memesan benda ini." ujarnya terbata sambil menaruh sebuah kotak berwarna ungu di atas meja. Konsentrasi Sasuke teralihkan, ia mengambil kotak itu dan membaca bungkusnya. Lalu mendengus.
"Saya undur diri, tuan." pamit sang pelayan dengan sopan. Wajahnya sudah sangat merah menahan malu. Gadis berambut coklat itu menunduk singkat lalu segera meninggalkan kubah. Sasuke menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan sahabatnya yang hiperaktif itu—memesan alat kontrasepsi pada pelayan di bawah umur. Tidak heran gadis itu jadi salah tingkah. Tidak ada sedetik kemudian, Naruto memasuki kubah dan disambut lemparan kotak kondom tersebut.
"Dasar otak udang." umpat Sasuke pelan. Sedangkan pemuda berkulit kecoklatan itu tertawa rendah seraya menghindari lemparan Sasuke, "Yah—Ayame sudah pergi ya? Padahal aku ingin menggodanya."
"Ck, pedopil."
"Hey! Sembarangan. Lagipula, siapa suruh dia manis begitu."
.
Sakura dan Kakashi membuka tirai, tak sengaja Sakura menginjak kotak kardus kecil yang beberapa saat lalu dilempar oleh Sasuke. Wanita semampai itu membungkuk dan mengambil benda itu, tak lama kemudian ekspresi jijik tercipta di wajahnya.
"Eh—Cherry! Itu milik Sasuke!" seru Naruto penuh dusta. Pernyataan yang semakin menegaskan bahwa benda itu adalah miliknya.
"Hentai! Ini kan masih sore, Naruto no baka!"
Pemuda dengan rambut jabrik itu tertawa-tawa sembari menggaruk kepalanya dengan kikuk. "Bukan begitu, Cherry. Tadi ada pelayan muda yang manis sekali, aku yakin dia masih gadis." jawab Naruto seraya memeragakan tanda petik pada kata 'gadis'. Lalu ia melanjutkan, "Ditambah saat aku menggodanya—dengan cara memesan kondom itu- wajahnya sangat merah!" ujar Naruto sambil terbahak-bahak.
Kakashi yang sudah mendudukkan diri di samping Sasuke malah memijit kening—seperti seorang ayah yang pusing dengan tindakan anaknya. "Kau ini tidak pernah berubah, kau tahu?"
"Mau bagaimana lagi. Naluriku untuk menjahilinya begitu kuat. Kalau aku beruntung mungkin aku bisa mengambil saat pertamanya." bisik Naruto dengan cengiran lebar.
Sakura mendelik. "Demi Tuhan, Naruto! Itu jahat sekali."
"Eh?" wajah pemuda hiperaktif yang tadinya sumringah kini jadi kebingungan. "Memangnya kenapa?"
"Maksudku, mengejar seseorang untuk seks. Itu keji sekali. Kalau untuk saling memanfaatkan, okelah—akupun begitu."
"Hai. Gomenasai ne, Cherry. Ternyata jiwa sosialmu tinggi, eh?" sahut Naruto kalem seraya mengacak rambut Sakura yang tergerai. Sakura menepis tangan Naruto dengan bibir mengerucut.
"Tentu saja, baka. Ah—kalau begitu biar aku saja yang bawa," ucap Sakura. Ia beranjak meninggalkan ruangan sambil melambaikan bungkusan ungu tersebut. Dan lamat-lamat ketiga pria itu dapat mendengar Sakura mendendangkan nada asal dengan lirik—yang pasti- dikarangnya sendiri. Melodinya ceria, ".. oh one night stand, baby. Tonight gimme one night stand.."
Ketiganya hening hingga Sakura meninggalkan mereka, lalu tiba-tiba Naruto tertawa keras. "Oh Kashi, lihatlah istrimu yang jalang itu."
Sasuke dan Kakashi ikut tertawa rendah, namun sejurus kemudian wanita muda yang baru saja meninggalkan ruangan, menyibak kembali tirai jaring itu, "Aku mendengarmu, sialan!" lalu pergi bagai terbawa angin. Kakashi memandang riak pada jaring itu—menandakan orang yang baru saja pergi. Tak disadarinya, Kakashi mendengus kesal. "Padahal ia yang mengatakan bahwa ini masih sore."
Sasuke menyahut, "Biarkan saja."
"Ya, dia butuh hiburan." Naruto menyeletuk asal. ".. Mungkin ia tertekan sejak menikah denganmu. Hahaha!"
"Tidak mungkin. Lagipula .." Kakashi menggantungkan kalimatnya, ia menyandarkan punggung berbantal kedua lengan—bergaya. Lalu menyeringai lebar.
"Aku menjatah-nya dengan rutin." cengiran Kakashi melebar. Senyum jahil yang ada di wajah Naruto telah sirna. Begitu pula dengan Sasuke, ruangan itu hening. Namun, beberapa saat kemudian, seruan Naruto menggema,
"KAU HINA SEKALI!" teriak Naruto menggila.
.. diikuti dengan suara hantaman telak.
.
.
"BODOH, MENGAPA KAU MEMUKULKU!"
Sasuke berdeham kalem. "Maaf—aku terkejut."
"Bangsat!" umpat Kakashi seraya mengelus rahang kanannya yang kini membiru. Jika Naruto yang memukulnya, Kakashi tidak akan heran. Nyatanya bogem mentah yang didapatnya kali ini dari Sasuke. Sedangkan Naruto, ia masih dengan wajahnya yang bodoh. Membayangkan sesuatu.
"Kau sungguh hina Kakashi .." ulang Naruto datar.
"Sebenarnya apa yang kau ingin bicarakan, ha?" tanya Kakashi dengan gusar.
"Maksudku, kau melakukan hubungan suami-istri dengan Sakura."
Kakashi tampak jengah, "Lalu?" ia masih mengusap rahangnya, kali ini ia menempelkan segelas martini dingin pada lebamnya. ".. Lagipula, ini bukan pertama kalinya."
"Tidak, tidak. Dengar, kau berhubungan suami-istri dengan Sakura, bukan berhubungan intim." Naruto mendengus, lalu memutar bola matanya, ".. Dan itu menjijikkan."
Sasuke tampak berfikir, "Naruto benar."
Kakashi mengerutkan dahinya sedemikian rupa. Lalu mendengus seraya mengeluarkan bungkus rokok dari saku kemejanya. "Kalian sama naif-nya dengan Sakura."
Naruto mengangkat bahu.
.
.
.
Pagi harinya, Kakashi mendapat kejutan di kantor. Lelaki itu menggumam pelan. "Kurenai?"
Ya, Kakashi tak salah lihat. Wanita dengan wajah familiar itu duduk di ruang tunggu bersama empat wanita lain yang juga berpakaian formal. Lima kandidat akhir untuk lowongan kerja sebagai sekretarisnya. Sejak Shizune mengajukan pengunduran diri sekitar dua bulan lalu, ia menyerahkan perekrutan anggota baru pada pihak HRD—Human Resource Department. Dan lima calon dengan nilai interview tertinggi akan diserahkan langsung pada Kakashi—berhubung sekertaris pribadi haruslah sesuai dengan kenyamanannya sendiri.
Ia melihat Kurenai memulas gincu pada bibirnya. Tak lama kemudian, sebuah seringai tercipta di sudut bibir Kakashi.
.
"Ah! Kakashi-san! Aku tidak tahu bahwa ini adalah lowongan kerja untuk menjadi sekretarismu. Walau aku memiliki dugaan bahwa kau bekerja disini—mengingat nama perusahaannya adalah Hatake Corporation."
Pria berjas dengan rambut mencuat itu tertawa kecil, "Mungkin takdir—nah, ini ruanganmu. Selamat bekerja." ujarnya seraya menunjukkan ruangan sedang di sebelah ruang kerjanya sendiri.
.
.
"Saki?" panggil Kakashi singkat saat memasuki rumah mereka. "Sakura?" panggilnya lagi saat tak ada yang menjawab. Pria itu tidak menyerah, kali ini Kakashi memanggil Sakura lebih keras, " Hey istri bodoh!"
Lagi-lagi hening. Biasanya, jika ia kembali dari bepergian, akan ada jawaban atau paling tidak sebuah gumaman. Seperti—"Hm?" "Ya?" atau bahkan, "Tidak perlu berteriak, idiot. Aku bisa mendengarmu pulang."
Dimana suara mencicit itu?
Pria itu menghela nafas, beranjak ke dapur untuk mencari istri mudanya itu. Namun yang ia temukan adalah secarik kertas tertahan oleh magnet kulkas.
Hey, bodoh. Tiba-tiba ada panggilan dari rumah sakit. Seorang gadis kecil butuh operasi secepatnya. Kurasa akan pulang larut. Panaskan saja nasi kare.
Kakashi berdecak pelan. Ha, bahkan dalam secarik kertaspun, Sakura tetap bisa membalas panggilannya dengan tepat. Lagi pula, mengapa ia tidak mengiriminya pesan singkat saja?
Lelaki itu mengendurkan dasinya dengan kasar, suasana hatinya bertambah buruk. Maka dari itu Kakashi memutuskan untuk menyalakan televisi. Ia menekan tombol remote dengan malas-malasan, terus mencari channel menarik hingga akhirnya berhenti pada serial kriminal. CSI Miami. Kakashi menegakkan punggung dan menaikkan kaki ke atas meja di depan sofa, menonton dengan tenang. Namun ia merasa janggal.
Ah ya, tentu saja. Tidak sering ia dapat menonton dengan tenang, pasti ada saja suara nyaring—"Aku ingin nonton How I Met Your Mother. Sekarang." atau .. "Lima menit lagi episode baru Bunheads." Wanita dan serial drama memang menyebalkan. Namun bagusnya, mereka bisa memasak.
Memikirkan kata 'memasak', seketika itu juga perut Kakashi berkeriuk. Ia lapar dan ia ingin masakan Sakura ketimbang nasi kare sisa sarapan mereka tadi pagi. Kakashi mematikan televisinya dengan sebal, "Sakura sialan."
.
.
Pintu itu berderit pelan. Sesosok wanita cantik masuk mengendap-endap ke dalam rumahnya sendiri, ia tidak ingin membangunkan sang suami—berhubung saat ini sudah pukul dua dini hari. Namun usahanya sia-sia, Kakashi tahu kedatangan Sakura dan segera saja lelaki itu menyambutnya dengan tidak ramah.
"Dari mana saja kau?"
"Aku sudah bilang akan ada operasi, bukan?"
"Berdasarkan catatan yang kau tinggalkan, kau akan pulang larut. Bukan pagi hari begini." sahut Kakashi sinis. Sakura menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Baiklah, mungkin tadi aku memang sedikit lupa waktu saat di Destello.."
Kakashi menyipitkan matanya, "Kau pergi ke bar?"
"Aku sedang ingin minum, lalu—"
"Persetan! Kau pergi ke bar sementara aku kelaparan."
Sakura tidak meyadari sebelumnya, Kakashi memang masih mengenakan kemeja kantor lengkap beserta dasi dan kaus kakinya. Keadaannya yang berantakan menjelaskan bahwa Kakashi tidak melakukan apapun sejak pulang kerja. Wanita itu mendengus, "Kau juga baru pulang, bukan? Kau bahkan belum berganti pakaian."
"Aku pulang pukul empat sore, Sakura Haruno."
Kakashi marah betulan. Lelaki itu selalu memanggilnya dengan marga Haruno jika kesal. Sakura memang merasa kasihan karena suaminya kelaparan, namun rasa lelah telah memuncakkan emosinya sedemikian rupa. Perlu dicatat, Sakura masih dalam masa suburnya. Tidak heran kini Sakura memasang wajah keras ketimbang wajah orang yang merasa bersalah.
"Masih untung kau ku kabari." jawabnya sinis.
"Tapi kau tidak meninggalkan aku makanan, bodoh!"
Sudut bibir Sakura berkedut, "Jadi hanya karena makanan!"
Kakashi terdiam.
"Aku seorang dokter! Bukan babu! Bahkan aku sama sekali BUKAN istrimu!" teriak Sakura kalap.
Pria di hadapan Sakura dapat mencium aroma Scotch yang menguar dari mulutnya. "Kau mabuk?" lanjut Kakashi dengan suara berat. Agaknya ia menahan amarah—entah karena khawatir atau sekadar lapar dan lelah.
"Tidak."
"Kau—"
"Aku masih bisa menyetir, Sasuke! Aku tidak mabuk." teriak Sakura lagi sambil berlalu ke kamar. Kakashi menghela nafas, lalu mencari kontak dalam ponsel dan meneleponnya.
.
"Ada apa?" suara berat dari seberang.
"Berapa gelas yang Sakura minum?"
"Apa? Aku tidak dapat mendengarmu dengan jelas." ucapnya lagi. Pantas, suara musik berdentum-dentum menjadi latar sang lawan bicara.
"Sasuke, Sakura pulang dengan keadaan mabuk!"
"Oh. Ia menenggak en—" belum selesai pria itu bicara, gemeresak terdengar seakan ponsel seberang direbut paksa, "HALO PENGECUT! MENGAPA KAU TIDAK IKUT CHERRY MALAM INI? KAU RUGI MELEWATKAN BOOZ—" lalu gemeresak lagi dan suara Naruto yang mengaduh. Kakashi yakin kalau Sasuke sedang menempeleng Naruto. Kebiasaan mereka.
"Apa yang sebenarnya aku lewatkan?"
"Boozy Thursday—acara adu minum di Destello- Sakura habis enam gelas besar." ujar Sasuke lagi.
Kakashi berdecak. "Apakah kau melakukan sesuatu padanya?"
"Mengapa kau bertaya seperti itu?"
"Jawab saja, idiot."
"Well, aku memang memaksanya pulang denganku tadi, tapi ia menolak. Memang ada apa?"
"Tadi dia memanggilku dengan namamu."
Suara tawa rendah di seberang, "Kau keberatan?"
"Buat ap-"
"HEY PENGECUT!" kali ini suara Sasuke digantikan. Lagi.
Mendengar suara tinggi tersebut, dengan reflek Kakashi menjauhkan ponsel dari telinga. "Naruto, berhentilah memotong percakapan orang lain!"
"Hai, hai. Maaf. Kali ini aku ingin bertanya serius, oke? Apa kau tahu yang terjadi pada Cherry hari ini? Ia terlihat begitu sedih. Bahkan saat kuajak pulang bersama, ia malah memarahiku."
Kakashi menghela nafas pelan, mengapa sahabat-sahabatnya bisa begitu idiot, mengajak Sakura 'pulang' saat wanita itu telah bersuami. Kakashi yakin Sakura akan menolak—mengingat dedikasinya terhadap suatu pernikahan begitu tinggi. Eh—benar 'kan?
"Tadi kami—aku dan Sasuke- baru saja membahasnya."
"Lalu bagaimana? Kurasa dia sakit, saat baru datang wajahnya pucat pasi."
"Aku akan cari tahu."
.
.
.
Sakura mengerang, seluruh tubuhnya terasa tidak nyaman. Benar saja. Kemeja ketat dan rok sepan masih membungkus tubuh. Busana kerja yang ia gunakan dari kemarin sampai lusuh dan kusut di berbagai tempat.
"Argh!" geram Sakura saat mendapati bahwa dua kancing kemejanya hilang di bagian perut. ".. kemeja ini baru dipakai sekali!" rutuknya pada diri sendiri. Sakura berbalik tengkurap dan membenamkan wajahnya pada bantal.
"Saki, kau tidak berangkat kerja?" tanya pria dengan rambut keperakan sambil membenahi dasi. Sedangkan yang ditanya memilih untuk bergumam tidak jelas ketimbang menjawabnya.
"Aku tak bisa mendengarmu." ucapnya lagi. Namun, bukannya berbicara makin jelas, Sakura malah menggumam lebih keras. Ia bicara dengan nada tinggi namun dihalangi oleh bantal yang memang sengaja ia lakukan. Semata-mata agar keluhannya tak terdengar.
Kakashi jadi berang. "Berhentilah bersikap seperti anak kecil!" sentaknya sembari menarik tubuh Sakura agar terlentang. Dan betapa terkejutnya Kakashi saat ia mendapatkan wanita dengan rambut merah muda itu menangis. Bahkan bantal yang ia gunakan sebelumnya sebagai tameng, kini sudah basah kuyup. Sakura berusaha menutupi wajahnya yang sudah memerah, namun tangan Kakashi menahannya.
"Siapa yang membuatmu seperti ini, Saki?" tanya Kakashi lembut. Pria itu telah duduk di samping Sakura dan mengelus tangan kurus itu dengan hati-hati. Alih-alih mereda, tangisan Sakura malah semakin kencang.
.
.
Kakashi berhasil membujuk Sakura untuk meminum teh hangat. Hanya itu. Selebihnya, isakan wanita itu tak berhenti. Walaupun tidak sekeras tadi, isakannya tertahan. Ini justru semakin membuat Kakashi prihatin.
"Saki, bicaralah padaku."
Hampa.
Pria atletis itu menghela nafas, "Saki, bukankah kau selalu bercerita padaku selama ini? Apa ada yang mengusik itu?"
Sakura menoleh, namun tak kunjung bicara. Mata hijaunya hanya memandang Kakashi nanar. Kakashi bicara lagi, "Apakah karena pernikahan kita? Apakah menjadi suamimu membuatku tidak lagi menjadi sahabatmu?"
Wanita muda itu menggeleng lemah, "T-tidak." ucapnya parau. Kakashi mendekap Sakura erat, meredam tangisan istrinya dalam pelukan. Akan tetapi tangisan Sakura malah semakin deras, Kakashi tak bisa melihat wanita menangis. Terutama Ibunya atau Sakura, selama ini mereka adalah wanita paling kuat dan independen yang pernah Kakashi kenal. Kecuali pada saat-saat tertentu, seperti saat datang bulan—ah-Kakashi baru saja teringat sesuatu.
"Apa ini karena hormon bulanan?"
Tak disangka, Sakura malah tertawa kecil sembari memukul lengan Kakashi pelan. Samar-samar terdengar helaan nafas lega dari sang lelaki, "Nah, begitu kan lebih baik. Jadi, ada yang ingin kau bicarakan?" Kakashi bertanya hati-hati. Wajah Sakura semakin murung.
"Pasienku meninggal dunia." ujarnya singkat. Kakashi menaikkan alis, berusaha menutupi keterkejutannya. Kakashi megusap pundak Sakura perlahan, menunggu wanita itu melanjutkan ceritanya.
"Gagal jantung. Pendarahan. Aku tidak akan bisa melupakannya." Sakura menerawang keluar jendela. "Suara EKG yang tak pernah kudengar selama aku berkarir—piiiiiiiip," ujar Sakura lirih saat menirukan suara alat pengukur denyut jantung itu. ".. Aku begitu shock hingga perawat yang mengingatkanku. Demi Tuhan—itu semua mengerikan." Sakura mengisak semakin keras.
Kakashi mempererat pelukannya. Mengelus puncak kepala Sakura perlahan. Sementara itu, wanita muda dipelukannya menangis sesenggukan. "Menangislah, Saki. Tapi jangan salahkan dirimu."
"Jika saja aku tidak begitu b-bodoh.."
"Kau tahu apa itu takdir."
"Tapi hal ini bisa dihindari!" sentak Sakura, melepaskan diri dari sang suami.
Wajah Kakashi turut mengeras, "Tapi kau juga tak bisa terus-menerus menyangkal garis kehidupan seseorang!"
Sakura terdiam, bahunya bergetar seiring dengan turunnya air mata. Ia menunduk, "K-kau benar. Maafkan aku."
Kakashi menghela nafas, "Kemarilah, wanita manja. Dokter bukanlah Tuhan, aku yakin kau sudah melakukan yang terbaik." lelaki dengan rambut perak itu kembali menarik Sakura kedalam pelukannya. Yang Kakashi tidak tahu, Sakura tersenyum dalam pelukannya. Wanita itu menikmati kehangatan yang menjalar. Mulai dari jemari lalu merembet hingga dada. Bermuara pada hatinya..
Kakashi mengecek arlojinya, "Ah akupun sudah terlambat bekerja. Kita pergi bersama saja, bagaimana?"
Senyum Sakura semakin lebar.
.
.
.
-Bersambung-
.
.
.
Hugs and kisses, Ems.
