GEMERLAP

.

.

By: Emily Weiss

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing: Kakashi Hatake – Sakura Haruno

Rated: M (16+)

.

Sakura terpaksa meninggalkan dunianya yang gemerlap dan menikahi Kakashi, membantu sang sahabat mencairkan warisan bersyarat. Awalnya mereka memang setuju untuk tetap bergaul dengan bebas, tidak terikat. Sampai keduanya sadar bahwa rasa ingin memiliki mulai tumbuh dan menjadi sumber konflik yang mendera rumah tangga mereka.

.

.

WARNING:AU. M-rated for mature content, detraction and lime.

A/N: Kakashi tidak menggunakan masker dan kedua matanya hitam. Lime karena pembahasan dewasa, umpatan kotor, dan adegan berciuman yang eksplisit. Jadi kurasa 16+ toh sudah pantas membacanya. Tidak untuk ditiru.


.

Chapter 4

.

.

Seorang pemuda dengan rambut perak merengkuh Sakura dalam rangkulannya, mereka berjalan berdampingan di taman bermain dengan santai. Memang tidak wajar melihat pasangan orang dewasa di taman bermain tanpa anak-anak. Tapi apa boleh buat, Kakashi tak bisa menolak permintaan Sakura dengan suara merengeknya. Jadilah mereka disana, menghabiskan hari dengan wahana permainan hingga senja.

.

"Terimakasih, Kashi. Suasana hatiku kian membaik." ujar Sakura tulus sambil mencomot gula kapasnya.

Kakashi tersenyum, "Itulah gunanya teman, bukan? Aku hanya melakukan apa yang pasti kau lakukan jika aku di dalam posisimu sekarang."

Wanita dengan rambut panjang itu menghela nafas lega, "Ya, aku tak tahu bagaimana jadinya jika aku tak memiliki kalian—kau, Naruto dan Sasuke. Orang tuaku sibuk, teman-teman wanitaku tidak dapat dipercaya—aku masih heran dengan para jalang yang tak bisa bersahabat dengan tulus. Maksudku, mereka mudah iri hati, dengki, dendam, tidak mau kalah." gerutu Sakura saat mengenang masa SMA-nya. Wanita itu menyobek gula kapasnya dengan kasar seraya mendengus.

"Bukankah kau juga jalang?"

"Sialan. Aku kan hanya tidak ingin dimanfaatkan oleh mereka—err dan juga terbawa pengaruh lingkungan sosial! Lagipula itu dulu sekali, saat semua masih di sekolah menengah atas. Dan hey! Kami semua sudah berubah tahu!"

"Nah, kalau begitu mengapa tidak berteman dengan mereka saja? bukannya berteman dengan ku, hem?"

"Karena kau laki-laki? Karena kau sudah seperti ayahku—" belum selesai ucapan Sakura, pria di hadapannya memberikan tatapan tajam. Sakura tertawa, "—haha maksudku, sudah seperti kakakku sendiri. Begitu, 'kan?" jawab Sakura tak yakin. Wanita itu terlihat bingung.

"Aku yakin bahwa maksudmu adalah aku lebih bermanfaat, bukan?" tanya Kakashi, wajahnya berubah lebih jahil. "Kami—aku dan kaum lelaki- lebih bisa memuaskanmu dalam hal yang tidak bisa dilakukan oleh sesama wanita, apakah aku benar? Hahaha!" tawa lelaki dengan rambut perak itu meledak. Sakura yang melihatnya hanya bisa cemberut, "Kau memang tidak bisa jauh-jauh dari masalah ranjang ya! Dasar laki-laki. Kau membicarakanku seakan aku adalah piala bergilir."

"Mengapa kau jadi merajuk? Apa buruknya menjadi piala?" ucap Kakashi kalem.

Sakura tertawa renyah, "Kau benar. Piala tetaplah piala. Jadi.. apakah menurutmu aku adalah yang terbaik, hm?—mengingat kau baru saja memanggilku piala." tanya Sakura nakal seraya menaik-naikkan alisnya dengan jenaka. Kakashi hendak menjawab, lalu berpikir. "Hm, baik, baik. Kau memang masih di nomor satu. Tetapi sebenarnya, Shion lumayan juga."

"Lumayan bagaimana? Ah- kau hanya tidak senang dengan kemahiranku, bukan?"

"Kau terlalu percaya diri." ujar Kakashi malas seraya memutar bola matanya.

"Aku memang percaya diri." tukas Sakura mantap.

Dahi Kakashi mengerut, "Bagaimana denganku? Aku perlu dianugerahi posisi satu, bukan?" ucap lelaki itu seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sakura berdeham pelan, "Maaf, tapi aku harus mengatakannya. Sasuke adalah nomor satu. Kau nomor dua. Sasori nomor tiga. Neji nomor empat—eh bukan- Naruto saja nomor empat. Lalu Neji nomor lima." jawab Sakura lancar seraya meringis lebar.

Ekspresi kaget tercipta di wajah Kakashi, "Tidak mungkin. Kau bergurau!" ucapnya kemudian seraya mendorong pundak Sakura pelan. Wanita dengan rambut merah jambu tersebut hanya terkekeh geli. "Aku bersungguh-sungguh."

Kakashi mencibir, "Dasar jalang. Apa perlu seluruh Destello tau siapa saja Top Five-mu, ha?" ancam Kakashi main-main.

"Oh kau tak akan berani. Kalau tidak, lupakan aku sebagai nomor satu-mu selamanya."

Kakashi menghentikan langkahnya sejenak, "Ancaman macam apa itu? Baiklah, kau menang. Tapi kau harus ingat siapa yang memberimu kritik membangun, oke?" sahut Kakashi sebelum akhirnya ia meninggalkan Sakura untuk mampir membeli teh dingin di sudut taman. Ia tak melihat bahwa saat itu juga wajah Sakura merona. Wanita itu mendesis pelan, memendam malu jika mengingat bahwa memang Kakashi-lah yang sering mengkritik dirinya soal hubungan badan. Ia cukup nyaman untuk berinteraksi masalah intim dengan Kakashi karena pria itu sangat dewasa dan bisa mengayominya.

Kini wajah Sakura benar-benar merah padam.

"Kakashi menyebalkan." gerutu Sakura pelan. Pipinya bersemu. Nyaris menyamai warna langit senja kala itu, lalu wanita itu tersenyum lagi. Mungkin ia sudah mulai merasa bahwa memiliki suami tidaklah terlalu buruk. Sakura membuang permen kapasnya yang tinggal sedikit lalu menyusul Kakashi. Menjitak kepala lelaki itu dari belakang, lalu merebut teh dingin yang sedang diminum pria itu dengan nikmat.

"Oh kau memang jalang perebut minuman orang!"

.

.

.

Arloji Naruto menunjukkan pukul setengah satu malam, namun wanita di depannya ini masih ceria dan tampak tidak mengantuk seperti biasanya. Lelaki muda itu menenggak botol berisi bir dengan heran. "Cherry, kau terlihat senang. Apakah hari mu membaik?"

Sakura tertawa, "Tentu!"

Sasuke menggeleng pelan, "Bagaimana wanita bisa merubah suasana hatinya dengan begitu cepat?"

Sakura tampak tidak menggubris, ia hanya menaikkan bahunya cepat—ia memang tidak tahu mengapa. Atau mungkin Sakura tahu, hanya saja ia tidak mau mengakuinya. Wanita itu kembali beralih pada cermin saku dan memakai gincu berwarna merah terang. Meratakan warnanya dengan menempelkan bibir satu sama lain, lalu diakhiri dengan berlagak mengecup bayangannya sendiri di cermin. "Oh lihat, aku tampak memesona, 'kan?" tanya Sakura pada Naruto yang duduk di sebelah kanannya.

Naruto tersenyum seraya mengangkat botol birnya, "As always." Wanita beriris hijau itu tertawa pelan lalu pengecup pipi Naruto singkat. "Nah, ayo berdansa lagi."

"Oh tidak, aku sudah lelah."

"Aku memaksa."

"Aku latihan di arena sampai larut tadi. Mengapa tak bersama suamimu saja sih—aduh! Baik, Cherry. Kau tidak perlu menarik telingaku—aduh. Hentikan!"

.

Setitik keringat membasahi pelipis Sakura, ia tertawa girang saat kembali dari kerumunan di lantai dansa. Naruto yang tampak lelah mengikutinya dari belakang. Sakura semakin memekik senang saat melihat wajah familiar di balik meja bar. Pria dengan rambut hitam mencuat melambai pada Sakura.

"Wow, kau terlihat semakin menakjubkan, Sakura." puji pemuda itu, ".. Dan kau juga terlihat demikian, Naruto." sapanya lagi saat Naruto mengajak bersalaman. "Oi Kotetsu, lama tidak berjumpa."

"Oh—Bartender favoritku! Mengapa baru terlihat sekarang?" tanya Sakura dengan nada melengking. Kotetsu tertawa, "Well, dari dua bulan lalu aku mengikuti karantina—dalam rangka pembelajaran bartending. Walaupun memang harus mengambil dua kelas lagi untuk menjadi profesional, sih. Doakan saja kelasku lancar, oke? Nah, ini Sweet Vermouth untuk pelanggan favoritku." ujar Kotetsu seraya menyerahkan gelas berisi cairan berwarna cokelat.

"Hey! Bagaimana denganku, ha?" protes Naruto.

Pria dengan kain yang membebat garis tengah wajahnya itu mendengus, "Kau terlihat pucat, ambilah ini— jus Cranberry dengan sedikit gin." Kotetsu menyerahkan segelas minuman dingin. Naruto mendengus. "Kau bercanda. Walaupun lelah, aku masih bisa meminum apapun yang ada di atas koktail sorebuatanmu ini." Naruto mengangkat gelas itu, memperhatikan warnanya yang merah terang dihiasi uliran kulit jeruk—tampak cantik dan 'genit', ".. ini lebih cocok untuk Sakura."

.

.

.

Ino menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga, ia tampak saksama mendengarkan suara lelaki di seberang ponselnya. Raut wajah Ino berubah semakin muram. Wanita bertubuh kurus itu mengangguk sedikit lalu menutup koneksi ponselnya perlahan. Sakura yang juga sedang duduk di meja bar tepat bersebelahan dengan Ino, menepuk pundak wanita pirang itu dengan halus, "Ada apa, Pig?"

Sedangkan wanita dengan rambut pirang platina itu menyandarkan punggungnya ke sofa seraya mengela nafas panjang, "Kontrak kerjaku tidak diperpanjang. Sakura tampak terkejut, "Mengapa begitu?"

"Tubuhku tidak memenuhi standar. Mereka juga mengatakan bahwa wajahku kurang ikonik." sahutnya lemah sambil memutar bola matanya dengan malas. Dahi Sakura mengerut tajam, "Omong kosong! Kau sudah sangat kurus. Memangnya mereka ingin yang bagaimana lagi?"

Ino tertawa sarkastik, "Yang lebih kurus lagi tentunya, Sakura. Atau yang kulitnya lebih gelap dan kakinya lebih jenjang. Entahlah." wanita itu menggeram kesal sebelum kembali melanjutkan perkataannya, ".. ah, mereka juga pernah mengatakan bahwa perempuan blonde dengan warna mata biru tidak lagi unik. By God!" desis sang Yamanaka. Wanita beriris hijau di hadapan Ino mendengus, lalu ikut menyandarkan diri di punggung sofa. Tak lama, suara Ino yang serak terdengar lagi, "Mungkin seharusnya aku menuruti perkataanmu beberapa waktu silam, eh? Seharusnya aku memang tidak meninggalkan akademi medisku."

"Tidak apa-apa, Ino. Menjadi model pun tidak sepenuhnya buruk. Lihat saja tawaran endorse yang kau dapat dengan brand terkenal." Sakura tersenyum lembut seraya mengusap kepala Ino pelan. Diperlakukan seperti anak kecil, Ino jadi merasa lebih baik dan terdorong untuk lebih bersikap manja, "Ah Sakura-nee.. Kau hanya ingin membuatku senang, kan?"

Sakura tertawa. "Kau ada benarnya, tapi apa yang kukatakan memang tidak salah, bukan?"

"Aku jadi paham sekarang, mengapa kau meninggalkan agency kita dan memilih melanjutkan studi sampai ke Jerman."

Belum sempat Sakura membalas perkataan Ino, seorang lelaki dengan rambut coklat jabrik menyapa mereka dari belakang, "Halo, Ladies! Mengapa muram begitu?" sapa Kiba sambil menepuk kedua pundak wanita yang ada di hadapannya. Ino tampak tidak suka, "Kiba, jangan mengagetiku seperti itu."

Pemuda dengan tatto di wajahnya itu terkekeh pelan, "Maaf, aku hanya ingin memesan minum. Kalian mau? Pesan saja. Aku yang bayar malam ini. Anggap saja untuk menghilangkan duka kalian itu." tawar Kiba seraya menunjuk wajah Ino dan Sakura yang cemberut. ".. atau untuk mempersingkat waktu untuk menghibur kalian, kita ke motel bersama saja, bagaimana?" lanjut Kiba dengan cengiran yang melebar.

"Apakah kau baru saja merayu wanita yang sudah bersuami?" tanya Ino heran sembari melirik Sakura.

Sakura mendengus, "Aku sedang tidak ingin bercinta. Pergilah dengan Ino." jawab Sakura asal. Ino menenggak minumannya sekali teguk hingga tandas, "Ya, ya. Aku butuh mabuk berat hari ini."

Pria tegap itu mendengus, "Ah, itu sih karena kau sudah jadi isteri orang lain, Sakura-chan. Bukan karena sedang tidak ingin berc-"

"Hey bodoh, ayo bawa aku kemanapun." sela Ino pelan. Kiba yang tidak tahu-menahu tentang sikap Ino, malah terlihat senang, "Sekarang?"

"Tentu saja, idiot." umpat si model pirang itu seraya menggandeng Kiba dan segera menyeretnya keluar bar. "Sampai jumpa, Sakura!"

"Ya! Bersenang-senanglah!" teriak Sakura yang lalu hanya dibalas acungan ibu jari oleh sang tunggal Yamanaka. Kini wanita dengan rambut sewarna bunga itu duduk sendiri, tak lama ia beranjak mendekati meja bar. Menerjang sekumpulan manusia yang menari dan mabuk. Aromanya memang tak asing, hanya saja kali ini bau alkohol membuatnya mual. "Kotetsu..." panggilnya lemah setelah sampai di meja bar.

"Ada apa, Sakura?"

"Aku ingin susu kocok."

Pria di hadapan Sakura sedikit mengerutkan alisnya, "Kau tidak sedang bercanda kan?"

"Ah, ayolah Kotetsu, jangan banyak bicara, aku benar-benar mual."

"Kau hamil?"

Sakura terbelalak dan dengan reflek melempar Kotetsu dengan kotak rokoknya. "Kotetsu Hagane! Jangan mengada-ada."

Lelaki berjanggut itu tertawa lepas, "Baik-baik! Susu kocok cokelat?"

Sakura mengangguk lemah seraya memantik api untuk menyalakan rokoknya. Wanita itu menyesap rokok perlahan, aroma mint dan tembakau membaur dalam rongga mulutnya. Sakura memainkan asap di dalam mulutnya, mengulum kepulan putih itu dengan lambat. Dan ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya perlahan, wanita itu tersedak.

"Oh, maaf bila aku membuatmu terkejut." ujar lelaki yang baru saja menepuk pundak Sakura. Lelaki itu tampak familiar, dengan rambut semerah darah dan iris mata berwarna hijau gelap. Sakura Haruno memang tampak kesal namun akhirnya toh ia menjawab pertanyaan lelaki itu juga, "Uhuk—tidak apa-apa."

"Kau ingat padaku?" ujar lelaki itu lagi.

Sakura mengerutkan dahinya, "Hmm. Ku harap begitu." jawabnya singkat. Lelaki itu terkekeh pelan seraya menyisir rambutnya kebelakang, membuat Sakura dapat melihat dengan jelas tatto kanji di dahi pria tegap itu. "Ai? Itukah namamu?" tanya Sakura lagi. "Sabaku no Gaara." ucap lelaki itu sambil tersenyum tipis. ".. kita pernah bertemu—bahkan berkenalan. Saat aku sedang bersama Hinata Hyuuga, dan kau baru saja keluar dari toilet."

Sekelebatan memori Sakura pun kembali, saat ia bertemu dengan lelaki di hadapannya ini. Jika memang bisa dikatakan bertemu, karena kejadian lampau itu lebih tepat dikatakan 'memergokinya bercumbu dengan Hinata' ketimbang 'bertemu' atau bahkan 'berkenalan'. Sakura menghisap rokoknya lagi, "Ah! Kekasih Hinata?"

"Tidak, hanya hubungan yang singkat. Boleh aku duduk disini?" tanya Gaara sambil mengendikkan bahu ke arah kursi kosong di sebelah kanan Sakura.

"Tentu, duduklah Gaara-san." ucapnya sopan. Sakura kembali mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan diskotik. Suasananya tak kunjung sepi, malah semakin meriah. Semakin malam hari itu, tamu yang datangpun semakin padat. "Kurasa banyak yang berulang tahun ke-sembilan belas tahun ini. Banyak pengujung baru." ucapnya sambil menunjuk segerombolan tamu remaja dengan dagu-nya.

Gaara tertawa, "Memangnya apa yang kau lakukan saat berumur sembilan belas?"

Wanita itu mengulum bibir dan menatap langit-langit, berpikir. "Membedah mayat."

"Apa y—?" belum selesai kalimat Gaara, seorang lelaki dari belakangnya menyela.

"Chocolate milkshake for my Princess!" teriak Kotetsu sembari menaruh gelas dengan keras hingga satu per empat isinya memercik dan membasahi meja. Sakura menoleh ke belakang dan menjerit melihat susu kocoknya berkurang—walaupun sedikit, "Lihat yang kau perbuat!"

"Maafkan aku nona! Banyak panggilan!" jawab Kotetsu dari kejauhan. Sakura mengerucutkan bibirnya dan mengelap percikan susu tersebut dengan tissue.

"Kekasihmu?" tanya Gaara penasaran.

"Teman lama. Jadi.. apa yang tadi ingin kau tanyakan?"

Gaara tersenyum lagi, "Oh, aku penasaran, apa yang kau lakukan?—sampai harus membedah mayat."

"Hm.." Sakura mengangguk sambil meminum susu kocoknya sebelum ia melanjutkan, ".. aku mempelajari ilmu medis di masa mudaku."

Gaara mengangguk mengerti, "Benarkah? Lalu apa aku harus memanggilmu begini, hmm.. Dokter Sakura Haruno, senang berkenalan dengan anda." ucap lelaki tegap itu seraya terkekeh pelan.

Sakura tertawa, "Ya, dan kau?"

"Aku mengambil jurusan manajemen."

"Biar ku tebak! Kau melanjutkan perusahaan milik ayahmu." sela Sakura.

Gaara meminum bir-nya lalu menggeleng, "Hampir benar. Hanya saja aku memilih menjadi fotografer untuk pekerjaan pokok."

"Benarkah? Gambar apa yang kau ambil?"

"Model. Kebanyakan untuk majalah fashion." Gaara tertawa, "Aku tak bisa berbohong, upah dari industri mode memang cukup besar—paling besar dari bidang lainnya."

Tubuh Sakura sudah sepenuhnya menghadap ke arah Gaara, "Memang kau bekerja untuk majalah apa, Gaara-san?"

Gaara tampak berpikir, "Bazaar, Cosmopolitan danhmm, Vouge."

Mata Sakura terbelalak, "VOGUE?! Itu hebat! Ceritakan lagi tentang pekerjaanmu, Gaara-san." pinta Sakura sambil mematikan rokoknya yang masih setengah. Pemuda dengan kemeja abu-abu dan jaket kulit hitam itu menyunggingkan senyum melihat antusiasme wanita di hadapannya.

.

.

Keesokan paginya, Sakura terbangun karena dengkuran Kakashi, tampaknya sang suami tak cukup istirahat malam kemarin. Sakura tak tega membangunkan suaminya yang masih tergelung selimut, namun semenjak hari kemarin, Kakashi sudah berpesan agar membangunkan dirinya pukul tujuh karena akan ada rapatdi kantor. Wanita semampai itu menghela nafas, "Kashi.. Bangun." bisiknya.

Namun pria dengan rambut perak itu masih terlelap. Kali ini Sakura mengguncang pundaknya, "Kashi, bangunlah. Sudah pukul setengah tujuh."

Kakashi bergerak sedikit seraya mengeryitkan kelopak matanya, beradaptasi dengan cahaya terang yang datang dari balik jendela yang tirainya telah dibuka oleh Sakura. "Pukul berapa ini?"

"Hmm.. setengah tujuh? Setengah tujuh lebih sepuluh menit tepatnya."

Kakashi terkejut dan segera lompat dari ranjang, "Apa?! Ah sial!" umpatnya seraya menyambar handuk yang ada di gantungan.

"Memangnya ada apa?"

"Aku sudah mengatakannya padamu bukan? Aku ada meeting jam tujuh!" sahut Kakashi panik setelah ia membersihkan wajah dan menyikat gigi. "Tidak ada waktu untuk mandi. Saki, bisakah kau ambilkan setelan jas-ku?"

"Baiklah," jawab Sakura sambil berjalan ke arah lemari, " .. maafkan aku, aku rasa aku mendengar bahwa kau berpesan untuk membangunkanmu pukul tujuh." ujar wanita itu pelan seraya meyerahkan sepasang setelan kerja milik Kakashi. "Kau mau pakai yang hitam atau abu-abu?"

"Hitam saja. Terimakasih." lelaki itu segera memakai pakaian kerjanya dan sampai tidak sempat mengindahkan permintaan maaf Sakura.

"Kau tampak tak sehat, Kashi. Apakah kau tidak berpikir untuk istirahat dulu?"

"Aku baik-baik saja, Saki. Nah, ambilkan kunci mobil di meja sebelah ranjang? Tolong?" pinta Kakashi yang sedang memasang dasinya dengan tergesa-gesa. Sakura memutar bola matanya dengan malas lalu meraih kunci dengan gantungan dompet kulit kecil dari meja di sebelahnya. "Ini. Ck, biar kubantu memakai dasi, dasar serampangan." Sakura melepas kembali seluruh simpul berantakan yang dibuat oleh suaminya, lalu membenahinya dengan rapi dan perlahan. Kakashi nampak cemas sambil terus melihat arloji di tangan kirinya. "Saki, bisa kau percepat sedikit?"

Sakura mendengus. Ia sudah menyelesaikan simpul dasi berwarna marun itu. Lalu meyelipkannya ujungnya ke dalam jas. "Nah, sud-" belum sempat Sakura meyelesaikan kalimatnya, Kakashi mengecup pipi kanan Sakura dengan singkat, "Trims!" lalu lelaki itu setengah berlari mengambil tas kerja dan kacamatanya, lalu keluar tanpa sempat menutup pintu itu kembali. Wajah Sakura merona dan Kakashi tak melihatnya. Kecupan singkat di pipi Sakura sebelum Kakashi pergi memang sudah mulai menjadi rutinitas pria itu. Hanya saja, Kakashi tidak tahu, bahwa Sakura belum terbiasa.

Karena walaupun mereka sudah merasakan hal yang lebih daripada sekadar kecupan di pipi, Sakura menganggap bahwa rutinitas yang dilakukan Kakashi begitu manis layaknya seorang suami-isteri yang dilanda asmara. Tidak seperti keadaan mereka yang sebenarnya.

Setelah sadar bahwa dirinya sempat membeku karna kecupan Kakashi, akhirnya Sakura menggeleng perlahan seraya merapatkan jubah tidurnya yang terbuat dari satin berwarna kuning muda. "Ia bahkan tidak sarapan," katanya pelan lalu menutup pintu depan.

Seperti menyadari sesuatu, Sakura berhenti dan berpikir sejenak. Lalu sedetik kemudian, senyuman lembut sudah tersungging di bibirnya, ".. kalau begitu sarapan yang akan mendatanginya di kantor." gumam Sakura girang.

.

.

Seorang wanita muda dengan setelan blazer krem dan rok hitam selutut melangkah anggun di koridor Hatake Corporation. Rambut merah muda-nya yang di sanggul sederhana bak pramugari membuat penampilan Sakura terlihat dewasa, profesional, dan berpendidikan tinggi. Sakura tersenyum sombong, ada sesuatu yang membanggakan dirinya mengingat bahwa ia adalah istri sah dari pemilik perusahan besar itu. Seluruh karyawan memandang kagum dan para karyawati mendelik iri. Sakura berjanji pada dirinya, bahwa ini bukan yang terakhir kali dirinya menjejaki kantor sang suami. Sakura tersenyum lagi, ia merasa bahwa sikapnya barusan tertular dari Sasuke. Ya, sangat Sasuke.

Sambil terus berjalan menenteng tas branded dan sekotak bekal, Sakura membalas senyum dan bungkukan hormat dari para pekerja di kantor Kakashi. Hayalan Sakura semakin liar. Wanita itu bisa melihat betapa memesonanya ia saat itu. Seorang wanita muda cantik yang sudah berprofesi sebagai dokter dan memiliki suami tampan, kaya raya, dan baik hati. Selain itu juga seorang istri idaman yang membawakan suaminya bekal ke kantor sebelum dirinya sendiri bekerja. Wanita itu dapat membayangkan semua lelaki di dunia ini sedang iri dengan Kakashi Hatake karena memiliki isteri yang sempurna. Sakura nyaris tertawa, menyadari kepercaya-diriannya yang tinggi. Berusaha tidak menyalahkan dirinya, Sakura meyakinkan diri bahwa perasaannya normal—berhubung ini adalah pertama kalinya ia merasakan menjadi 'atasan' di sebuah perusahaan selain di Haruno Industries.

Saat menaiki lift, Sakura dapat bercermin melalui dinding kaca. Ia melihat sosoknya mirip seperti sang ibu. Sakura mengulum bibir—menahan senyum agar rasa bahagianya tidak terlalu ketara.

Sesampainya di depan ruang kantor, seorang wanita dengan rambut hitam dengan kardus besar di tangannya terlihat kaget. "Apakah kau isteri tuan Hatake?"

Sakura tersenyum simpul, "Ah ya, aku hanya akan memberikannya bekal. Jangan katakan aku disini, ini kedatangan pertamaku di kantor sebagai isterinya. Aku sedikit ingin melihatnya terkejut." jelas Sakura dengan pipi merona.

Wanita itu tertawa, "Ah, anda manis sekali. Saya Shizune, mantan sekretaris tuan Hatake. Ada beberapa berkas yang tertinggal, jadi saya kembali sebentar kesini."

"Oh, begitukah? Tapi Kakashi ada di dalam, bukan?" tanya Sakura seraya menujuk pintu kantor suaminya yang tertutup.

"Ya, tentu. Saya baru saja meminta ijin beliau untuk pamit. Ah iya, Hatake-san, sekali lagi, saya ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Waktu lalu, saya tak sempat menghadap langsung."

Sakura tersenyum sopan, "Tidak apa-apa, Shizune-san. Baiklah, aku masuk dulu."

"Tentu, Hatake-san. Saya pun tidak ingin masakan anda menjadi dingin. Sampai jumpa." Shizune membukuk sopan.

Setelah kepergian Shizune, Sakura tersenyum lagi. Nama 'Hatake-san' yang dipakai oleh wanita tadi saat memanggilnya terasa begitu hebat di telinga Sakura. Wanita itu terkikik geli sambil membuka pintu kayu berganggang keramik itu, "Hatake-saaaan, waktunya sarapan—ah!" Sakura terkejut dan tak sengaja kotak bekal yang dibawanya jatuh.

Tepat di hadapan Sakura, seorang wanita muda dengan rambut hitam legam bergelombang memijat pundak Kakashi. Wanita dengan mata semerah darah itu berpakaian sangat minim dan tidak pantas—sebuah kemeja ketat dan rok mini satu jengkal dari pinggang. Sakura terngaga dibuatnya, "Apa yang kau lakukan disini?"

Kakashi dengan cepat menyadari situasinya, "Saki, ini adalah sekertaris baruku, ia mendapat poin tinggi saat wawancara di HRD." Kakashi tak sepenuhnya berbohong. Kurenai memang lolos sampa lima kandidat tertinggi. Namun pada hasil akhir, ia jatuh pada peringkat dua.

"Diam kau." tuding Sakura, ".. aku bicara dengannya."

Merasa ditunjuk, Kurenai menjawab dengan gagap, "Ah Nyonya, saya.."

Sakura tertawa, "Oh sopan santunmu membuatku geli. Mana sikap garangmu padaku waktu lalu? Atau kau takut kehilangan pekerjaan?" ketus Sakura. Kurenai terdiam karena wanita di hadapannya sudah dapat menebak maksudnya.

"Saki, tenanglah.." Kakashi mencoba menengahi.

Wanita muda itu merasakan sesak teramat sangat dalam dadanya. Rasa bahagia yang ia bawa sampai ke ruangan ini menguap entah kemana. Ia sedih, sangat sedih. Sakura ingin marah dan pergi sampai Kakashi mengejarnya untuk menahan Sakura agar tetap disisinya. Namun sebuah kenyataan menghantamnya hingga ia sadar. Bahwa tidak ada cinta untuknya. Pernikahan sandiwara yang dijalaninya seakan baru ia pahami.

Maka dari itu, wanita kurus tersebut hanya tersenyum sinis, lalu mengambil kotak bekal yang terjatuh. "Aku hanya membawa sarapanmu yang tertinggal."

Kakashi terlihat takjub dan bingung dalam satu waktu. Sebelum lelaki itu memunculkan pertanyaan, Sakura melanjutkan kalimatnya, ".. kau bisa berbagi dengannya." ucapnya singkat seraya menunjuk Kurenai dengan dagunya yang lancip.

Pun Kurenai terlihat persis seperti Kakashi, takjub dan bingung dalam satu waktu. Mereka tetap terdiam, hingga Sakura menarik dasi berwarna marun yang kendur dan terlihat berantakan di leher Kakashi hingga terlepas dan melemparkannya pada Kurenai. "Mungkin ia juga bisa memakaikan dasimu."

Lalu Sakura pergi tanpa menoleh lagi.

.

.

.

"Wow, isterimu galak sekali. Kupikir ia akan membunuhku."

Seakan tersadar, Kakashi menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Itu belum ada apa-apanya dibandingkan saat ia datang bulan."

Kurenai tertawa lalu memeluk Kakashi lagi, "Jadi, perselingkuhan kita didalangi oleh masa subur isterimu, eh?" sahut Kurenai genit.

Lelaki dengan rambut perak itu masih terlihat bingung, "Perselingkuhan?"

Kurenai mengerutkan dahinya dan melepas pelukannya dari Kakashi, "Kau tidak merasa bahwa kita sedang berselingkuh?"

Kakashi terdiam, lalu sedetik kemudian ia menepuk dahinya, "Astaga! Karena itulah dia marah."

Wanita dengan kulit pucat itu semakin terkejut dibuatnya, "Demi Tuhan, Kakashi. Kau tidak tahu bahwa perselingkuhan memicu pertengkaran rumah tangga?! Umur berapa kau, Kakashi sayang!" Lelaki tegap itu membenahi kemeja dan tertawa, "Ah, aku hanya belum terbiasa saja. Kami baru menikah kurang lebih satu bulan." ujarnya santai seraya membuka kotak bekal dari Sakura, "Wow, Sushi. Kau mau?"

Kali ini Kurenai melongo lebar, "Kau baru menikah satu bulan dan beselingkuh? Dan kau benar-benar menawariku bekal dari isterimu?"

Pria jangkung itu hanya mengendikkan bahu tanpa bersuara, karena kini mulutnya penuh oleh sushi buatan Sakura. Setelah menelannya, Kakashi bertanya lagi, "Kami memang terbuka dalam berhubungan, maksudku, ia tak mudah cemburu bila sesekali aku merayu wanita." Kurenai menautkan alisnya mendegar penuturan Kakashi. ".. Dan mengapa kau jadi terlihat jinak tadi? Aku tidak melihat sikap itu saat kau pertama kali bertemu isteriku."

Kurenai tertawa, "Well, apakah kau tidak mendengar isterimu? Wanita itu ada benarnya. Aku butuh pekerjaan ini, oke? Aku tidak akan bersikap munafik, kecuali.." ucapan wanita itu terhenti.

"Apa?"

"Kecuali kau berani memilih aku daripadanya." ujarnya mantap.

"Harus seperti itu, hm?"

Wanita sintal itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Untuk saat ini, nikmati saja perselingkuhan kita, sayang. Aku akan menunggu sampai kau sadar, bahwa sebenarnya kau tidak mencintai isterimu." bisik Kurenai pelan seraya mengecup bibir Kakashi singkat. Kali ini Kakashi tak membalas, sekelumit rasa bersalah memang hinggap padanya, namun dengan segera ia tepis jauh-jauh.

.

.

Sementara itu, Sakura terdiam di dalam mobilnya. Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa heran pada dirinya sendiri tentang amarah yang menguasai rongga dadanya. Kendati begitu, Sakura menyadari bahwa amarah itu tidak pada tempatnya. Akhir-akhir ini Sakura memang merasakan gejala wanita yang dilanda asmara. Hanya saja akal sehat Sakura masih berjalan. Ia tidak mungkin mencintai Kakashi. Ia tahu bahwa ia masih dalam zona bahagia karena telah 'menikah'. Yang kenyataannya hanyalah sebuah sandiwara. Sakura tak pernah lupa itu.

"Mengapa aku jadi merasa marah di sini?" tanya Sakura pada dirinya sendiri sambil merasakan detak jantung di dadanya. Sakura menggeleng pelan lalu mengemudikan kendaraan roda empatnya menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

.

Hari sudah menjelang sore. Sakura tidak menghubungi Kakashi karena sibuk di rumah sakit, begitu pula dengan Kakashi yang sibuk di kantornya. Dan selama itu pula, waktu berjalan sangat panjang bagi mereka berdua. Dan saat inipun, ketika sudah jam pulang kantor, Kakashi enggan menginjak gas ke arah apartemennya. Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia katakan. Walaupun ia tidak merasa bersalah dan tidak perlu menjelaskan apapun pada Sakura, tetap saja lelaki itu merasa canggung untuk bertemu dengan isterinya itu. Karena bagaimanapun, Sakura adalah teman yang sudah sangat membantunya. Dengan cara menjadi isterinya, tentu saja. Dan otomatis hal itu membuat Sakura memiliki hak untuk mengetahui apapun. Kakashi menghela nafas. Ia benci melihat wajah kecewa Sakura.

Selama ini mereka setuju untuk saling membebaskan pasangan. Sakura sudah begitu baik untuk mau menjalani hubungan yang sangat palsu seperti itu. Kakasi merasa tidak seharusnya ia berselingkuh. Lelaki itu tertawa, bahkan ia tidak menyadari bahwa dirinya telah berselingkuh. Ia hanya menjalani hidup seperti biasa, menebar cinta dan rayuan kemana-mana. Hanya saja ia lupa memberitahukan Sakura perihal Kurenai yang menjadi sekertaris barunya. Kurenai yang notabene adalah musuh Sakura sejak pertama kali mereka bertemu, bahkan Kakashi masih ingat tabuhan genderang Sakura saat itu.

Setelah perdebatan batin sekitar dua puluh menit lamanya, akhirnya Kakashi menepikan mobilnya ke toko perhiasan. Begitu ia memasuki toko itu, ia sudah terpana dengan sebuah kalung di pojok ruangan. Ia langsung tahu bahwa itu milik Sakura, sekarang maupun di masa mendatang.

.

.

"Saki?" panggil Kakashi pelan. Tidak ada jawaban. Kini lelaki itu memberanikan diri memanggil isterinya lebih kencang, "Saki?! Aku pulang!"

"Ya, aku mendengarmu, suami jalang tukang berselingkuuuuuh." jawab Sakura yang tak lama kemudian muncul dari dapur dengan celemek polkadot-nya yang tercemari noda tepung. Kakashi bernapas lega dan tersenyum sumringah menyadari Sakura tidak lagi semarah tadi siang.

"Apa yang sedang kau lakukan isteriku?"

"Jangan bersikap sok manis setelah berselingkuh, suamiku."

Kakashi tertawa lepas. "Baik, baik. Aku minta maaf, Saki. Aku benar-benar lupa memberi tahu, dan aku lupa kau sangat membenci wanita itu."

Sakura memasang wajah malas, maka dari itu Kakashi segera mengeluarkan sekotak beludru biru tua, dan membukanya di hadapan Sakura. Wanita itu tampak terkejut melihat keindahan satu set perhiasan yang ada di dalamnya. Seuntai kalung berbandul mutiara merah muda beserta sebuah cicin dan sepasang giwang mutiara berwarna senada yang dihiasi berlian.

"Oh, Kakashi, ini indah sekali."

"Anggap saja ini adalah hadiah pernikahan kita, maaf sedikit terlambat."

"Ini pasti mahal."

"Tidak sebanding harga persahabatan yang kau beri padaku."

Sakura tertawa. Kakashi, Naruto maupun Sasuke sudah sering menggodanya. Bersikap seakan ingin mengambil cintanya. Dan Sakurapun melakukan hal yang sama. Sejak dulu mereka memang senang untuk saling menggoda. Mereka melakukan itu setiap saat karena mereka menyadari mereka sudah nyaman dalam lingkar persahabatan dan tidak mungkin terjerumus dalam lubang cinta. Mereka semua menyadarinya, termasuk Sakura. Tetapi mengapa baru kali ini Sakura berprasangka lebih. Dan juga sempat berpikir bahwa ia mencintai Kakashi. Wanita itu merasa sangat bodoh karena sempat merasa marah pada laki-laki itu.

"Mengapa kau tertawa?"

"Tidak ada, hanya berpikir. Harga yang mungkin cocok untuk membayar status yang kau sandang sekarang."

"Sebagai suamimu?"

"Tentu saja, berapa yen yang bisa kudapat jika aku mencoba melelang status itu, hem?"

Kakashi memutar bola matanya, "Kau percaya diri sekali."

Sakura tertawa, "Baiklah, katakan saja bila aku salah." tantang Sakura.

Kakashi menggeram, "Baik! Lain kali, akan kubelikan kau disneyland! Sekarang beri aku tempura!" sahut Kakashi asal sambil berjalan ke dapur.

"Hey, bagaimana kau tahu aku sedang memasak tempura?" tanya Sakura sambil membuntuti Kakashi ke dapur, "..Kashi! Cuci tanganmu dulu!"

.

.

"Mengapa cemberut begitu?" tanya Kakashi seraya mengelap sudut bibirnya dengan serbet setelah makan malam.

Sakura mendengus sebal, "Satu, kau tidak mencuci tanganmu. Dua, kau tidak berniat menjelaskan kejadian pagi tadi di kantormu."

Lelaki di hadapan Sakura tergelak, "Satu, aku makan menggunakan sendok dan garpu—jadi kurasa tak masalah jika tidak mencuci tangan. Dua, akan ku jelaskan setelah membersihkan diri." jelas Kakashi lalu berdiri dari tempatnya duduk dan mengecup pipi kanan Sakura.

.

.

"Jadi?" tuntut Sakura saat Kakashi keluar dari bilik kamar mandi, masih dengan lilitan handuk di pinggangnya.

"Yaaah, jadi ia datang ke kantorku beberapa waktu lalu, tanpa ia tidak tahu bahwa lowongan itu memang dikhususkan mencari pengganti sekertarisku yang lama. Nilainya memang tinggi, Saki. Jadi apa boleh buat. Dan ya, kami memang berkencan setelahnya. Kau tahu, tadi siang ia begitu takut padamu."

Sakura tertawa, "Memang sudah sepantasnya ia takut."

"Kau memang galak sekali tadi, aku pikir kau masih datang bulan."

"Jangan mengada-ada. Masa suburku bulan ini berakhir sejak beberapa hari yang lalu. Kau pikir aku menstruasi dua minggu, ha?" Kakashi tergelak mendengar jawaban Sakura. Sedangkan wanita itu mendengus, lalu melanjutkan. ".. lagi pula, kalau bukan galak, bagaimana seharusnya aku bersikap pada suami yang sedang berselingkuh, hm?"

Kakashi tersenyum lembut, "Baiklah, aku minta maaf, okay?"

Sakura mengangguk, "Yang penting kau sudah tahu bahwa aku tidak menyukai wanita tua itu."

"Mungkin aku akan memecatnya untukmu, bagaimana?"

"Mungkin?" tanya Sakura heran.

"Maksudku, akan aku pertimbangkan lagi. Kau harus mencoba untuk mengenalnya lebih jauh, Sakura. Sebenarnya ia adalah wanita yang menarik."

"Tentu saja menarik dengan dada-nya yang besar itu!" jawab Sakura dengan suara melengking. Sekali lagi tawa Kakashi pecah.

"Mengapa kau jadi kesal? Nah, bagaimana jika kau membuktikan bahwa kau jauh lebih menarik dari padanya?" bisik Kakashi pelan seraya mengelus lengan Sakura dari belakang. Melihat isterinya yang hanya mengenakan gaun tidur memang kerap membuatnya kehilangan akal. Sakura dapat merasakan kulit dada Kakashi yang belum mengenakan pakaian di punggungnya yang hanya berlapis sutera hitam. Namun kali ini Sakura hanya tertawa,

"Tidak ada seks."

Kakashi tampak kecewa.

"Kau bercanda! Kau sudah tidak menstruasi, bukan?"

"Tidak ada seks, keparat. Sekarang pakai bajumu dan tidur, okay? Aku tidak ingin kau terlambat sarapan sehingga aku harus membawakannya ke kantor bejatmu besok." jawab Sakura sambil berlalu. Sedangkan Kakashi tertawa keras mendengar kalimat sarkastik dari isterinya.

.

.

.

-Bersambung-


.

.

.

Hugs and kisses, Ems.