.

.

.

GEMERLAP

.

.

By: Emily Weiss

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing: Kakashi Hatake – Sakura Haruno

Rated: M (16+)

.

Sakura terpaksa meninggalkan dunianya yang gemerlap dan menikahi Kakashi, membantu sang sahabat mencairkan warisan bersyarat. Awalnya mereka memang setuju untuk tetap bergaul dengan bebas, tidak terikat. Sampai keduanya sadar bahwa rasa ingin memiliki mulai tumbuh dan menjadi sumber konflik yang mendera rumah tangga mereka.

.

.

WARNING:AU. M-rated for mature content, detraction and lime.

A/N: Kakashi tidak menggunakan masker dan kedua matanya hitam. Limekarena pembahasan dewasa, umpatan kotor, dan adegan berciuman yang eksplisit.


.

Chapter 6

.

.

Sakura dapat melihat dirinya sendiri memakai lipstik dengan kesal dari pantulan cermin di kamar mandi, rasa marah memenuhi rongga dadanya, namun ada sebersit rasa bahagia—ah mungkin bukan bahagia, lebih mirip perasaan tersanjung melihat Kakashi cemburu pada lelaki lain. Dan langsung saja, Sakura tak dapat membendung senyuman kecil yang akhirnya tercipta di bibir yang sudah berpoleskan lipstik nude itu. Namun mengingat suaminya juga dekat dengan perempuan lain dan mempermainkannya saat ia marah, senyum itu hilang seakan tak pernah ada disana. Sakura memajukan bibirnya kesal.

Dokter muda itu mendorong pintu kamar mandi dengan kasar dan mencari Kakashi Hatake dengan tiap langkah yang dihentakkan. Ia bisa merasakan seluruh emosi keluar melewati semua bagian tubuhnya. Mungkin sedikit terlambat, tapi kali ini Sakura benar-benar marah. Karena ia telah menyadari betapa suaminya tidak adil dan konsisten pada ucapannya sendiri.

Dan ketika ditemukannya sosok lelaki dengan rambut keabuan yang berantakan sedang duduk sendirian di bar, ia mendorong Kakashi dengan sedikit keras. "Apa masalahmu, asshole?"

Kakashi terdorong hingga sikunya menyenggol dan menumpahkan sebagian minumannya pada meja bar, ia menoleh ke arah wanita itu dengan raut wajah tak kalah marah,

"Kau masalahnya," jawabnya mendesis. "Ayo kita pulang." putus Kakashi sembari mengeluarkan lembaran uang dan menyelipkannya di bawah gelas.

"Tidak."

Kakashi kembali menoleh dan menatap Sakura tajam. "Kita pulang."

Bibir Sakura mengerucut, ia memalingkan wajah dan bersedekap, "Aku tidak akan kemanapun."

"Jangan membuatku habis kesabaran, Saki."

"Kau tak punya hak!"

Kakashi mencengkram lengan isterinya dan mendekatkan wajah mereka, "Aku suamimu, Sakura Haruno."

Wajah Sakura tampak gentar, ia ingin membalas ucapan Kakashi namun ia merasa cukup terintimidasi. Namun, jika Sakura menyerah sekarang maka ia memberikan kemenangan dan kepatuhan mutlak pada Kakashi yang kini mulai seenaknya.

"Jadi kau ikut pulang denganku atau tidak?" tanya Kakashi lagi tak sabar.

Sakura mendengus dan menyentak genggaman tunggal Hatake itu dari lengannya, "Baiklah, kau tak perlu menyakitiku, kalau mau pulang kau bisa mengatakannya dengan baik baik!" sentak Sakura. Ia tahu ucapannya tidak masuk akal—berhubung Kakashi memang mengajaknya pulang cenderung baik pada awalnya, tetapi dia terlalu marah. Hingga akhirnya ia hanya memegangi legannya dan melenggang pergi menuju pintu keluar.

Kakashi tersenyum kecil, dan walaupun ia tau Sakura sudah tidak bisa mendengarnya, toh ia tetap berbisik "Aku kan sudah mengajakmu dengan baik baik, bodoh."

.

.

Wanita yang kini menggerai rambut merah jambunya membuka pintu apartemen dengan kasar. Mencopot sepatu dan melemparnya dengan sembarangan, seluruh tubuhnya bergetar karena marah dan ingin memukuli suaminya sampai mati. "Aku mau tidur sendiri!" teriak Sakura sambil menaiki tangga tanpa melihat suaminya yang sedang melepas kemeja dan duduk di ruang televisi.

Kakashi yang tadi sempat naik pitam, kini jauh lebih tenang dari Sakura, meskipun wajahnya masih kusut.

"Itu kamarku juga Sakura."

"Tapi aku istrinya, jadi 80% kamar ini milikku!" teriak Sakura lagi dari kamar mereka.

Mau tak mau Kakashi menyunggingkan senyum geli, ia mulai terhibur dengan sikap kekanakan istrinya.

"Kau juga 80% milikku!" balas Kakashi tak kalah menyebalkan.

Dan tidak Kakashi duga, Sakura keluar dari kamar mereka dan meneriaki Kakashi lagi sambil menatapnya dengan raut wajah yang sangat kesal, "Kau tahu, Kashi? Kau pembohong, munafik, tidak konsisten dan hipokrit! Kalau kau pacarku, kita sudah putus sejak dulu. Kau dengar aku?"

"Sayangnya, aku hanya suamimu."

Lalu Kakashi terdiam karena menahan geli, ia tahu Sakura akan semakin marah, jadi untuk memperkeruh itu, Kakashi menyalakan televisi dan mengeraskan volumenya. Sakura benar benar berteriak kesal dan tidak mendapatkan respon membuatnya semakin marah. Sejak kecil Sakura memang cenderung kekanakan saat marah. Jika orang lain akan bersikap kasar atau pasif, Sakura lebih suka merengek dan mengomel habis habisan. Itupun tidak pernah bertahan lama—tidak seperti kebanyakan wanita lainnya. Karena itu, menggoda Sakura yang sedang marah merupakan kepuasan tersendiri bagi Kakashi.

"Apakah kau mengacuhkan ku Kashi?!"

"Jangan sampai aku turun dan menghajarmu, bajingan!"

"Aku akan mengadukan mu pada ayahku!"

"Demi Tuhan, aku akan menceraikanmu sekarang."

"Baiklah, bagus! Terus saja kau mengacuhkanku, dan jangan ikut campur urusanku dengan pria lain!"

"Entah jika aku akan bercinta dengan Gaara atau siapapun itu, jangan mengurusiku!"

.

.

Sakura berhasil. Raut wajah geli Kakashi sebelumnya hilang seiring ia menoleh dan menatap Sakura. Tatapannya tajam dan penuh dengan emosi yang tak pernah Sakura lihat sebelumnya. Bukan marah, sedih atau muak, namun Kakashi terlihat.. kaget, tidak percaya, dan menusuk. Seperti memikirkan sesuatu dan tentunya menyimpulkan hal hal yang membuat dirinya sendiri marah. Karena sekarang, ia berjalan menuju tempat Sakura dengan amarah tertahan. Sakura bungkam, tiba tiba ia merasa takut dan ciut namun ia sadar ia harus tetap memasang wajah keras untuk menang. Jadi, Sakura mengeratkan kimono tidur yang digunakannya sembari berjalan mundur perlahan. Dia benci tiba tiba menjadi pengecut tapi Kakashi yang marah memang bukanlah tandingannya sejak dulu. Naruto hampir tidak pernah marah padanya, mungkin hanya kesal sekali dua kali padanya. Sedangkan Sasuke, jika marah maka ia akan pergi dan menyendiri dan kembali saat ia bisa mengatasi emosinya.

Tapi Kakashi, ia menjadi seratus kali lipat lebih pintar saat marah.

Sakura terlonjak saat Kakashi sudah menghampirinya dan mencengkram pergelangan tangan Sakura yang kurus.

"Sakura kau tidak serius kan?" tanya Kakashi pelan dan berat. Ia tak bisa menjawab, padahal dia berhak marah untuk berbagai macam alasan. Sakura sudah mempersiapkan alasan alasan tersebut untuk berdebat tapi entah hilang kemana, wanita itu hanya dapat berfokus pada wajah mengintimidasi Kakashi dan rasa pegal di tangannya.

"Sakura kumohon. Jawab aku."

Sakura semakin kehilangan kata-kata. Semakin diingatnya semakin hilang semua alasan and intensi untuk berdebat. Namun pada akhirnya, ia hanya memberikan pertanyaan juga.

"Memangnya kenapa?"

Kakashi bergeming dan berpikir keras. Menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Karena memang seharusnya tidak ada masalah apapun. Mereka sudah saling berjanji. Mereka memiliki kontrak. Kakashi pikir ia akan baik baik saja. Atau mungkin Kakashi tidak menyangka bahwa akan secepat ini Sakura kembali serius mengenai laki laki. Seketika hati Kakashi kembali memanas pada titik didih yang paling tinggi.

"Apakah kau tidak tahu betapa menjijikkannya melihat isteri orang jatuh cinta pada yang bukan suaminya? Kau mau tidur dengannya dan menjadi orang paling menjijikan yang pernah dilihat orang-orang?"

"Kau curang." suara Sakura berubah sedih.

"Kenapa kau boleh tidur dengan Kurenai dan aku tak boleh tidur dengan orang lain." ujar Sakura pelan dan menutup pintu kamar mereka.

Blam.

Seiring tertutupnya pintu kamar mereka, panas hati Kakashi tergantikan dengan denyut yang meyakitkan. Ia sadar, bahwa ia yang pertama kali membawa wanita itu. Ia yang pertama kali memilih wanita itu.

Aku yang memulainya. Jadi kenapa sekarang ia berubah pikiran? Kenapa ia ingin hak suami yang sesungguhnya, padahal ia bukan? Kakashi tak pernah menjadi orang itu. Suami yang sesungguhnya.

.

.

Kakashi tidak tidur malam itu. Bukan karena saat ini ia berbaring di sofa—sofanya sangat nyaman. Tapi ia terjaga karena ia tidak dapat berhenti untuk memikirkan Sakura sepanjang malam dan menanyakan banyak hal pada dirinya sendiri. Hal itu berjalan cukup lama hingga hari hampir pagi, akhirnya Kakashi menyerah dan mengakui kesalahannya. Ia bersalah. Butuh semalam suntuk untuk menyadari betapa ia sudah bersikap tidak adil dan egois pada sahabatnya. Jika ia bisa mengulang waktu, ia pasti tidak akan membela wanita lain, atau seharusnya ia tak mengambil kesempatan dengan Kurenai. Oh, atau seandainya saja ia bisa kembali ke masa lalu, ia akan menonjok dirinya sendiri sampai hidungnya patah. Bukan pada saat ia bertemu dengan wanita yang kini jadi sekertaris di perusahaannya. Namun tepat pada saat ia memberikan Sakura kesempatan jatuh pada pria lain.

Ia bergidik jijik pada dirinya sendiri jika mengingat pertanyaan retoris yang ia lontarkan pada Sakura tadi malam.

"Apakah kau tidak tahu betapa menjijikkannya melihat isteri orang jatuh cinta pada yang bukan suaminya? Kau mau tidur dengannya dan menjadi orang paling menjijikan yang pernah dilihat orang-orang?"

Pertanyaanya semalam sungguh ditujukan untuk dirinya sendiri. Sekarang ia sadar apa yang dilihat orang lain pada dirinya, atau pada koar-koar "pernikahan bebas" yang ia sebarkan pada orang orang bar. Ia tidak pernah merasa lebih bodoh dari pada ini. Disini, Sakura korbannya.

Kakashi merasa sesak di dadanya. Pertama, ia tidak menyangka bisa menyakiti sahabatnya hingga seperti ini. Kedua, bila Sakura menyadari betapa salahnya Kakashi, apakah ia akan pergi?

Lelaki itu mengusap matanya kencang, karna ia tidak bisa meraba hatinya yang kian menyusut. Rasa sesaknya tidak tertolong. Mungkin kau pernah mendengar ini, tetapi memang penyesalan rasanya berkali kali lipat lebih mengerikan dari pada amarahnya beberapa jam yang lalu.

Sakura tidak boleh pergi. Ia tahu apa yang dikatakannya pada awal kontrak pernikahannya, ia sadar Sakura memang berhak pergi. Tapi, Sakura tidak boleh meninggalkan sisinya. Tidak boleh. Tidak sekarang.

Sadar akan perasaanya yang tidak ingin kehilangan Sakura membuat Kakashi tertawa pelan. "Bodoh, ini bukannya aku cinta padanya atau apa kan? Aku memang posesif, bukan?" bisik Kakashi tak yakin pada dirinya sendiri. Perlahan namun pasti, toh akhirnya Kakashi bangun dari sofa dan berjalan pelan ke ruang tidur mereka, berhenti sebentar di depan pintu lalu mengetuknya dengan ragu.

"Saki? Bolehkah aku masuk?"

Tidak ada jawaban.

Kakashi melihat jam dinding lewat ekor matanya, hampir menujukkan pukul setengah lima. Ia yakin Sakura sedang tidur dengan nyenyaknya. Lelaki dengan rahang tegas itu mengusap seluruh wajahnya dan mendesah berat, ia sudah akan berbalik dan tidur di sofa lalu tangannya refleks ingin mencoba untuk membuka pintu. Dan ya, terdengan 'klik' pelan, Kakashi terkejut karena pintu tidak dikunci lalu ia sedikit mengintip. Lalu merebahkan dirinya di samping Sakura.

Apakah istrinya lupa mengunci pintu? Bukankah ia melarang Kakashi masuk? Ancaman Sakura biasanya tak pernah berisi omong kosong. Lalu sekelebat senyum kecut tercipta, karena saat itu juga ia ingat ancaman Sakura untuk meniduri lelaki bodoh dan brengsek bernama Gaara.

Demi dewa, Kakashi benci dengan Gaara. Entah mengapa. Dari semua pria yang bersama Sakura. Sebelum maupun setelah mereka menikah. Ya. Setelah menikahpun tak sedikit lelaki yang merayu Sakura, namun ia bisa merasa tenang karena Sakura pada dasarnya tidak sembarangan membiarkan orang-orang dekat dengannya. Sakura adalah seorang perayu namun ia wanita yang sombong. Itu yang disukai Kakashi. Namun itu sebelum si pria brengsek berambut merah hadir di hadapan Sakura.

Kakashi tidak tahu apa yang dimiliki Gaara sehingga Sakura bisa bertingkah seperti remaja di hadapannya. Kebencianpun semakin terpupuk di hati Kakashi.

Kakashi tahu pria-pria yang mencium Sakura. Tapi tidak seperti Gaara. Dengan pria lain, it was just another lust, Kakashi bisa melihatnya dan itu juga yang dilakukan Kakashi pada wanita jalang di sekitarnya. Lust. Nafsu. Permainan. Dapatkan, menangkan, tinggalkan, lalu mulai lagi.

Tapi pria itu, Gaara bajingan itu. It wasn't a lust. Ia melihat cara Gaara memandang Sakura. Mengingat pandangan mata pria itu membuat Kakashi menggeram. Itu bukan tatapan laki laki yang ingin menelanjangi Sakura, seperti kebanyakan lelaki hidung belang yang selama ini bersama Sakura. Jika laki-laki murahan dan bodoh seperti itu, Kakashi masih merasa aman. Ia tahu Sakura menyadari bagaimana permainan ini. Ia juga tidak keberatan Sakura 'bermain'. Karena prinsipnya sama, pada akhirnya akan di tinggalkan.

Tapi Gaara melihat Sakura karena ia sangat menginginkan Sakura dengan cara yang berbeda. Ia mengingkan bibir Sakura dan saat ia berhasil mendapatkannya ia terlihat menikmati. Bukan menikmati karena puas memenangkan permainan tapi bersyukur. Gaara terlihat bersyukur mendapatkan keinginannya. Sesederhana itu. Tapi untuk Kakashi semenakutkan itu.

Justru karena keinginan Gaara sangat sederhana, sehingga membuat Kakashi takut.

Dia menginginkan Sakura. Bukan untuk mencubunnya tapi untuk dekat dengannya. Mungkin saat ini hanya ingin ciumannya, bibirnya. Tapi nanti? Kakashi yakin lelaki bajingan itu akan menginginkan sentuhan Sakura, pelukan, genggaman tangan, belaian kasih sayangnya, wanginya, kelembutannya, masakannya, tawanya, hatinya, cintanya.

"Brengsek!"

Kakashi bangun dari tempat tidur dengan lalu keluar ke balkon, membiarkan pintu kamarnya terbuka.

"Brengsek, brengsek, brengsek."

"Bajingan itu."

"Fuck"

Tangan Kakashi menyumat rokok dengan gusar. Ia tidak dapat memikirkan hal lain selain denyut yang meremas jantungnya kuat.

"Aku tidak cemburu. Aku tidak cemburu."

"Wanita jalang itu.."

Kakashi menarik napas dalam, memejamkan mata seraya menunduk, tangannya yang bertumpu pada pagar semakin lama mengerat, seakan ingin melelehkan material besinya. Ia ingin marah pada Sakura, ia ingin marah pada Kakashi. Ia ingin marah pada siapapun. Karena ia tahu seharusnya ia marah pada dirinya sendiri namun ia tidak mampu. Penyangkalan Kakashi pada dirinya terlalu kuat.

Ia tahu tatapan Gaara, ia tau apa yang diinginkan dan apa yang akan diinginkan pria itu. Dengan tatapan gaara kemarin pada isterinya, pria itu menginginkan apa yang Kakashi miliki sekarang. Pria itu mengingkan posisi Kakashi.

Ia tahu Gaara ingin tepukan dan usapan lembut, kecupan kening, pelukan kencang dan hangat. Ia ingin rumah dengan perapian dan Sakura yang menemainya. Menyajikan kopi dan bolu hangat. Ia pasti menginginkan cinta ingin melabuhkan hatinya pada Sakura, ia ingin sakura bersandar padanya, dan mengandung anaknya.. Gaara ingin Sakura seutuhnya tanpa ada yang tersisa.

PRANG!

Dalam sekejap saja, korek gas porcelain yang sesaat lalu dalam genggaman Kakashi, telah menghantam jendela dan membuatnya pecah dan berserakan di lantai.

Ia tidak peduli.

Ia ingin menghantam wajah Gaara sekarang. Ia ingin mencium Sakura di depan wajah brengsek itu.

Dia harus tahu Sakura adalah miliknya. Sudah seutuhnya miliknya. Walaupun kenyataannya ia tidak memiliki sedikitpun.

Saat ini.

Sakura pasti akan menjadi miliknya. Utuh. Tidak tersisa untuk siapapun.

Terutama untuk bajingan seperti Gaara.

"Kakashi? Apa yang terjadi?" tanya Sakura dengan wajah yang terkejut.

Sakura sendiri masih tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Ia terbangun karena suara pecahan kaca yang memekakan telinga, ia semakin takut karena melihat pintu kamarnya juga terbuka.

"Apa kau gila? Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Ku pikir ada pencuri dan aku malah mendapatimu disini. Memecahkan jendela kita. Kau memang sudah kehilangan akal. Kau tidak tau jantungku hampir lepas. Kau tidak punya hati ya, membangungkan orang seperti itu, kau-"

Wanita muda itu menghentikan omelannya dan menatap Kakashi yang matanya terlihat lelah dengan peluh berjatuhan dari kening dan dada yang telanjang. Seluruh tubuhnya dingin. Nafas suaminya pun terengah engah.

"Kashi apakah kau baik baik saja? Biarkan aku memeriksamu oke?" Sakura mendekatinya dan menyentuh dahi, leher dan mengusap rambut Kakashi.

"Apakah kau merasa demam lagi? Kau masih marah padaku?"

Wajah kakashi melembut. Itu Sakuranya. Itu sakuranya yang khawatir dan peduli dengannya. sakura yang ia kenal lebih dari setengah hidupnya. Sahabatnya.

Lalu kakashi membuang rokoknya yang masih setengah, lalu memeluk Sakura yang kebingungan.

Suara baritonnya memohon pelan, "Sakura, maaf.. Sakura jangan lakukan itu." ucapnya seperti menggigau.

"Jangan apa, Kashi? Apakah kau sudah gila? Kita memang jarang bertengkar tapi kau kan tahu aku hanya butuh waktu, oke? Kau bertindak berlebi-"

"Jangan temui Gaara, Sakura Haruno. Kumohon." ujar Kakashi cepat lalu mencium bibir istrinya. Bukan kecupan kecil, bukan juga liar. Ini adalah kecupan dalam, intens, begitu lambat, basah dan putus asa. Sakura tidak bisa memejamkan wajahnya dan mengerutkan dahi. Kakashi tidak pernah menciumnya seperti ini. Dengan raut wajah seperti itu. Kakashi merapatkan jarak mereka dengan menarik pinggul Sakura mendekat, lalu mengusap kepala dan lehernya, menekan punggung dan wajah Sakura dengan kedua tangannya untuk menghilangkan sekecil apapun jarak. Kakashi mencengkram tubuh Sakura dengan kedua lengannya seakan takut Sakura sadar betapa egoisnya Kakashi dan pergi meninggalkannya saat itu juga.

Sakura mencoba melepaskan ciuman Kakashi karena ia merasa janggal. Kakashi yang menyadari Sakura tidak hanyut dalam ciumnnya menjadi semakin takut saat tangan kecil sakura mendorongnya pelan. Ia menarik tangan Sakura lagi .

"Kashi, aku harus bekerja. Ini sudah pagi."

Kakashi menatap Sakura diam. Mengelus rambut Sakura. Sinar matahari memang sudah mulai nampak dan menerangi wajah Sakura. Rambut kusut dan tanpa riasan, dengan bekas lipatan di kulit pipinya. Kakashi sedikit tertawa, mungkin itu lipatan bekas seprai atau selimut, "Apakah kau tidur segitu nyenyaknya sampai banyak garis begini di pipimu, eh? Nyaman tidur sendiri?"

Sakura terlihat kaget lalu mengusap pipinya yang terdapat bekas bekas lipatan sisa tidur nyenyaknya semalam. "Tentu saja. Jadi kau memang lebih baik tidur di sofa sana, atau kembali saja ke rumah pacarmu, oke?" sindir Sakura sambil tertawa.

Kakashi bungkam karena Sakura terlihat ceria dan tidak terganggu dengan keberadaan Kurenai. Tidak lagi terganggu. Ia menelan ludah, apakah Sakura tidak peduli lagi? Kalau begitu, apakah Sakura tidak memiliki perasaan yang sama? Mengapa saat ini berbeda dengan tempo hari? Saat Sakura masih marah melihat Kakashi dan Kurenai bersama.

"Aku.. tidak akan kembali kesana Sakura."

Wanita itu mengeryitkan dahi. Selain karena tidak memanggilnya dengan sebutan 'Saki', tapi juga karna raut seriusnya. Sakura jadi bertanya-tanya,

"Apakah ini ada hubungannya dengan permintaanmu sebelumnya? Soal tidak menemui Gaara?"

Kakashi mengangguk.

Sakura meringis. Hal yang paling di takutkan Kakashi akhirnya terjadi, "Aku tidak bisa melakukannya, Kashi."

Kakashi sudah akan marah lagi, namun belajar dari pengalaman sebelumnya, ia pun menghela nafas panjang, "Kenapa?"

"Well, kau tidak punya hak."

"Aku suamimu Sakura, apakah itu tidak berarti sesuatu untukmu?"

Sakura mengigit bibir. Ia merasa tidak nyaman membicarakan ini masih dengan tangan Kakashi yang melingkari pinggulnya sejak tadi.

"Kakashi apakah kau sudah lupa dengan hubungan kita sesungguhnya?"

"Tapi itu tidak menghentikanmu untuk marah padaku saat aku bersama Kurenai kan? Kukira kau sudah paham mengapa sekarang aku marah dan melarangmu bertemu Gaara."

Sakura melepaskan diri dari Kakashi, "Tapi kemarahanku juga tidak menghentikanmu untuk terus bersama Kurenai kan?"

Kakashi terdiam, ".. kukira kau sudah paham mengapa sekarang aku tidak bisa menuruti permintaanmu kan?"

"Jadi kau hanya ingin membalasku? Atau kau segitu inginnya bertemu dengan Gaara?" suara Kakashi meninggi dan itu memicu raut wajah kesal Sakura.

"Apa sih yang sebenarnya kau inginkan?! Pertama kau ingin bersama Kurenai, dan tidak peduli saat aku marah. Sekarang, saat aku bertemu pria lain dan kau marah, kau ingin meninggalkan Kurenai dan kau juga ingin aku meninggalkan Gaara? Hah! Aku dan Gaara bahkan hanya berteman. Tidak seperti kau dan Kurenai. Mengapa kau begitu tidak konsisten sih?! Kau kenapa Kakashi?!"

".. Apakah kau lupa aku bukan isterimu? Apa yang kau inginkan? Pernikahan yang bebas? atau pernikahan yang sesungguhnya?"

Wajah Kakashi tampak menantang, "Bagaimana kalau aku memang menginginkannya? Bagaimana jika aku mengingkanmu jadi isteriku ha?"

Sakura terdiam. Lalu menggeleng pelan.

"Kau memang benar-benar egois. Kalau begitu, kau cari saja orang yang mencintaimu. Jangan mendatangiku untuk menikah kontrak, lalu ingin aku menjadi milikmu, propertimu yang kau perlakukan dengan tidak adil. Kau bahkan tidak lagi memperlakukan aku sebagai sahabatmu." jawab Sakura cepat lalu meninggalkan Kakashi yang terdiam.

Kakashi meremas rambutnya lagi entah untuk yang kesekian kali.

Dia sudah benar-benar salah kaprah, dan tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaikinya, mendapatkan Sakura lagi dan mempertahankannya di rumah ini. Tapi di saat yang sama, ia tidak mau menyebut dirinya jatuh cinta.

Sakura benar.

Ia egois.

Dan saat ini, ia dapat kehilangan Sakura kapan saja.

.

.

.

-Bersambung-


I'm so sorry :(

Terimakasih untuk yang selalu menagih. Membaca review kalian memang motivasi yang selalu saya butuhkan untuk melanjutkan ini. Haha.

Oke, jadi ini bermula dari sedihnya saya karna favorite fanfics saya nggak update-update dan itu lama banget, huhu. Entah kenapa dengan Author jagad raya ini :(

Lalu saya tersadar bahwa saya salah satunya haha maaf bener bener maaf.

Saya selalu berusaha kok!

.

.

.

Hugs and Kisses,

Ems.