GEMERLAP
.
.
By: Emily Weiss
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: Kakashi Hatake – Sakura Haruno
Rated: M (26++) –ganti rating!
.
Sakura terpaksa meninggalkan dunia gemerlapnya dan menikahi Kakashi, membantu sang sahabat memenuhi syarat warisannya. Mereka memang setuju untuk tetap bergaul dengan bebas, tidak terikat. Sampai keduanya sadar bahwa rasa ingin memiliki mulai tumbuh dan menjadi sumber konflik yang mendera rumah tangga mereka. .
.
WARNING:AU. M-rated for mature content, detraction andexplicit lemon content.
A/N: Kakashi tidak menggunakan masker dan kedua matanya hitam. Lemon-rated karena pembahasan dewasa, umpatan kotor, dan adegan berciuman/bercinta yang eksplisit. Baca dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
.
Chapter 7
.
.
Pria dengan rambut keperakan baru keluar dari kamar mandi. Bulir-bulir air menetes dari rambutnya yang mulai panjang. Seluruh badannya basah dan hanya terlilit handuk putih di pinggang. Wajah Kakashi muram dan tidak menampilkan tanda-tanda kesegaran seperti seseorang yang baru saja mandi air dingin.
Kakashi mendengus kencang. Sejak Sakura pergi kerja beberapa jam yang lalu, ia hanya terdiam dan memikirkan bagaimana cara agar isterinya itu tidak berpikir untuk menceraikannya sebelum masa kontrak pernikahan mereka habis. Ia sudah menyadarinya sekarang. Dirinya bukan teman yang baik. Apalagi sebagai seorang suami.
Saat ia sudah berpakaian dan akan turun ke ruang makan, ekor mata Kakashi melirik jendela yang pecah berserakan, balkonnya berantakan seperti terjadi musibah. 'Ya memang musibah, bukan?'
Lagi-lagi ia menghembuskan nafas panjang dan berat. 'Dewasa sekali.' batinnya pada diri sendiri.
Segera ia menelepon pengurus rumah tangganya. "Selamat siang, mohon bantuannya untuk ke unit kami dengan bagian renovasi ya. Jendela balkon kami pecah. Ya, saya dengan Kakashi Hatake."
"Aa. Tidak ada yang terluka." lanjut Kakashi. "Baik, terima kasih."
Bagaimanapun caranya, Kakashi harus menunjukkan bahwa ia bisa menjadi suami yang bisa diandalkan dan memikat sahabatnya itu. Entah untuk terus berpura-pura menjadi isterinya, atau untuk jatuh cinta padanya? Sesungguhnya anak tunggal keluarga Hatake itu sudah tidak peduli. Apapun asal Sakura tidak pergi ke pelukan Gaara—atau lelaki manapun.
.
.
Sementara itu, sudah jam makan siang di Rumah Sakit tempat Sakura bekerja. Gadis kurus itu membuka bento di ruangannya dan merasa bosan sekali. Semua temannya pergi makan di pusat perbelanjaan sebelah, namun ia sedang tidak ingin pergi ke tempat ramai. Namun ia benar-benar butuh seseorang untuk mengobrol. Maka dari itu, diambilnya ponsel dari saku jubah dokter yang ia pakai dan menekan speed dial nomor 2.
Tidak lama sampai orang diseberang menangkat panggilan teleponnya.
"Hai, Naruto? Kau dimana?"
"Di kantor ayahku. Ada apa Cherry?"
"Mau bercumbu malam ini?"
Suara di seberang terbahak-bahak kegelian, "Apakah kau mau aku dipukuli suamimu?"
Bibir dokter muda itu mengerucut sembari melahap kembali daging yakiniku dalam bekalnya. "Memangnya ada apa ya, biasanya juga ia tidak begitu. Aku tidak mengerti."
"Well—apakah kau sudah berbicara padanya?"
"Sudah. Sedikit. Kind of." jawabnya asal.
"Kau mungkin tak melihatnya, tapi Kakashi hampir saja mengamuk saat itu. Pada teman barumu yang.. siapa ya? Kalau dipikir-pikir memang aku belum pernah lihat sebelumnya."
"Tampan ya?" Sakura tersenyum gemas.
" Aku tak berani ikut-ikutan ya.. entah bagaimana dengan cara kalian bermain rumah tangga. Cherry, kalau kau tahu, Kakashi idiot itu akhirnya menjadi omong-omongan di Destello. Ia tampak menyeramkan dan bersiap membuat keributan, Asuma bilang begitu. Dia jarang marah, tapi kau tahu kan bagaimana kalau dia sudah marah?"
Sakura menggumam, " Hng.. Biar saja dia marah. Menurutku dia sudah melewati batas."
Suara Naruto merendah. "Apa maksudmu? Apakah dia melukaimu? Akan kubunuh pria sialan itu."
Sakura tertawa lagi, hampir tersedak kali ini. "Tidak, tentu saja tidak. Ku kira kau bilang, kau tidak berani dengan Kakashi."
"Yang ini kan beda cerita, Cherry. Sasuke pasti setuju denganku."
Gadis dengan rambut merah muda itu menunduk lesu, "Ya sudah, aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Akan kuhubungi lagi ya nanti? Terima kasih, Naruto! Love 'ya."
"Hn, datanglah ke bar malam ini, aku reservasi jam 10 malam."
"Kubah yang biasa?"
"Bukan, yang di sudut. Destello penuh juga malam ini, ada penampilan penyanyi, entahlah siapa. Kabari aku saat kau sampai, Cherry."
"Wow, menyenangkan. Alright."
.
.
.
Hari ini Sakura pulang cepat, jam 8 malam ia sudah menyelesaikan shift-nya di Rumah Sakit, saat hendak menuju parkiran, ia terkejut mendapati sang suami menunggu di Lobby dengan pakaian yang rapih, namun informal. Bukan tipikal baju kantornya.
'Apakah ia tidak berangkat ke kantor hari ini?'
"Kashi? Kau sakit?"
Hati pria itu menghangat, masih saja, isterinya ini memikirkan kesehatannya. Ia menjawab dengan nada selembut yang ia bisa, "Tidak, Saki. Aku memang mau menjemputmu pulang, kau sudah makan malam? Korean Barbecue?"
Sakura menggeleng, "Aku masih kenyang sekali. Kopi?"
"Oke." jawab Kakashi sembari menggamit lengan gadis itu. "Tinggalkan saja mobilmu disini, aku akan antar kau kerja besok."
Sakura tak bisa membendung senyumnya lagi. Sahabatnya yang baik sudah kembali.
.
.
Segera saat mereka sudah duduk bersebelahan menempati sofa di coffee shop dengan pesanan mereka masing-masing, Kakashi membuka obrolan.
Pria itu menggamit tangan Sakura yang mungil, "Saki, maafkan aku. Aku sudah memikirkannya seharian ini. Aku bisa jelaskan."
Sakura tidak menampik tangannya yang digenggam erat oleh suaminya itu, ia hanya menatap Kakashi sampai ia benar-benar bisa menjelaskan semua amarahnya yang tidak beralasan itu.
"Aku.." Kakashi terbata, "Aku sangat memperlakukan mu dengan tidak adil, kau membantuku lebih dari yang semua orang bisa lakukan. Kau sahabatku, Saki. Aku tak seharusnya menyia-nyiakan itu. Aku berhutang padamu seumur hidupku."
Pandangan bola mata kehijauan yang jernih itu ikut meredup, raut wajahnya sedih mengingat luka yang tertoreh beberapa waktu belakangan.
Kakashi menyadarinya, maka dari itu, ditariknya tangan Sakura untuk diletakkan bibir pipria itu, mengecup jemarinya singkat seakan memohon ampunan dengan gestur yang lembut. "Kau tahu kadang aku bisa sedikit aku posesif, aku harusnya tak memegahkan perasaan itu. Maafkan aku ya, aku pikir aku hanya menjagamu dari pria-pria yang berpotensi menyakitimu. Tapi aku jadi tidak menyadari bahwa, justru akulah yang melakukan itu."
"Sakura, dengar. Apa yang kau ingin untuk aku lakukan agar bisa memperbaiki ini semua?"
Sakura masih terdiam.
Kakashi mendengus kecil sambil menyandar pada bantalan sofa, "Dan juga aku takut Naruto dan Sasuke menghabisiku setelah ini, bisakah kau melindungiku mulai dari sekarang?" lanjut Kakashi.
Isterinya langsung tertawa, wajahnya cerah seketika.
"Kau sangat bodoh, kau tahu?" umpat Sakura dengan nada merajuknya.
"Aku tahu."
"Kau mengatakan hal-hal yang mengkerdilkan aku. Kau juga tidak mengatakan padaku kalau Kurenai bekerja di perusahaanmu. Aku kan malu sekali saat orang-orang melihat kau memilih Kurenai dari pada aku isterimu. Dan itu di kantormu, Kashi. Demi Tuhan."
Kini Kakashi yang terdiam, bodohnya ia tidak dengan sadar menjaga martabat isterinya. Lalu ia sendiri menuntut itu dari Sakura. Bodoh.
Sakura melanjutkan lagi, "Kukira kita sepakat hanya untuk membebaskan diri di Destello. Kalau di kantormu kan aku juga inginnya dianggap isterimu."
"Iya, aku minta maaf. Aku akan berhentikan Kurenai sekarang, ya?"
Sakura berpikir, "Tidak, tidak perlu. Kau menyukainya, aku tahu itu."
Kakashi menggigit bibir dalamnya gemas. Ingin meluruskan bagaimana perasaannya yang sungguh-sungguh, namun ia ingin bersabar sampai Sakura menyampaikan semua keluh kesah yang selama ini dipendamnya. "Aku tidak ingin membatasi siapa-siapa yang kau sukai, Kashi. Mungkin karena beberapa bulan ini berjalan begitu baik, aku juga merasa— ehm aku merasa senang memilikimu untukku saja. Aku tau kita merayu orang lain di bar, tapi pada akhirnya, kita 'pulang' ke rumah. Rasanya menyenangkan sekali memiliki seseorang di akhir hari kita. Mungkin itu yang aku rasakan selama kita menikah."
Kakashi mengangguk.
"Tapi mungkin itu hanya aku. Maafkan aku juga, karena aku marah berlebihan dan terkesan memojokkan hubunganmu dengan wanita itu. Aku menjadi sedikit iri dan irasional. Padahal, kita ini bersahabat, aku benci harus bertengkar seperti itu." ujar Sakura lagi, kali ini sambil merebahkan diri di pundak suaminya.
"A.." belum sempat Kakashi bicara, Sakura melanjutkan. "Bisakah kita memperbaiki semuanya lagi dari awal? Aku sangat menyayangimu dan tidak ingin kehilangan persahabatan kita."
Kakashi tersenyum kecut. "Tentu, Saki."
"Aku betul-betul terhanyut dengan permainan 'rumah-rumahan' ini. Aku harus mengakui, ideku tentang pernikahan memang kekanak-kanakan. Inginnnya kau jadi milikku saja." Sakura tertawa, "Padahal kontrak kita akan habis 2 bulan lagi. Tidak terasa ya? Mungkin karena terbawa suasana. Apakah kau juga merasa begitu?"
Kakashi memucat. Lupa bahwa kontrak pernikahan mereka begitu singkat, hanya 6 bulan saja. Otaknya terasa lamban untuk memikirkan hal-hal seperti ini, namun ia harus segera menguasai diri dan menjawab Sakura dengan cepat. "Iya, aku juga merasa begitu. Kalau tidak, bagaimana bisa aku mengatakan bahwa aku menginginkanmu jadi isteriku yang sesungguhnya." Jawab Kakashi sembari mengusap kepala Sakura, bercanda.
Sakura jadi sedikit kaget, teringat dengan pertengkaran itu yang mengorbankan salah satu kondisi jendela di balkonnya. Kini pasti masih porak poranda karena perbuatan sang suami, Kakashi memecahkannya hingga keadaannya tidak karuan, "Kashi! Jendelaku!"
"Sudah kubereskan. Kau tenanglah. Tapi masih belum di ganti kaca baru. Prosesnya administrasinya cukup makan waktu."
Sakura menunjukkan wajah cemberut. Sakura suka keindahan dimanapun ia tinggal. Membayangkan Sakura tinggal di apartemen mereka yang masih direnovasi pasti menjadi momok tersendiri bagi wanita itu.
Untungnya, kemalangan yang sedang Sakura rasakan membuat Kakashi mendapat ide cemerlang, "Saki, bagaimana jika kita pindah ke rumah saja?"
"Apa? Tapi apartemenmu saat ini sudah sangat luas dan nyaman. Aku suka Caritas. Lagi pula aku tidak akan tinggal disana lagi dalam beberapa bulan, kenapa kau mau pindah?"
Jantung Kakashi berdetak kencang, memikirkan Sakura tidak tinggal bersamanya saja, ia tidak sanggup. "Pikirkanlah Saki, kau bisa memiliki rumah yang kau inginkan selama ini, bagaimanapun bentuknya. Halaman belakang yang luas? Air mancur? Kau pilih saja."
Sakura terdiam, "Rumahnya untukku?"
"Untukmu." Jawab Kakashi mantap.
Sakura terlonjak girang, dan tanpa sadar memeluk Kakashi dengan sembrono, membuat pria itu hampir terjatuh, namun pria itu tidak mempermasalahkannya. Apapun akan ia berikan untuk menjaga Sakura tetap disisinya.
"Terima kasih! Dengan begini pasti ayah jadi membolehkan aku tinggal sendiri! Eh—kita masih harus tinggal bersama dulu ya? Hihihi. Ahhh! Aku senang sekali."
Kakashi tersenyum. Sudah lama tidak melihat Sakura segembira ini. Sebuah rumah adalah harga yang murah untuk persahabatan yang gadis itu berikan padanya. Ini tidak terpikirkan oleh Kakashi sebelumnya. Kepala pria itu bersandar nyaman di pundak Sakura. Kakashi menyesap harum rambut Sakura. Wajahnya memang tampak tenang, tapi kemelut di kepalanya tak dapat disembunyikan. Terlihat di matanya yang beriris gelap. Meyakinkan diri mengenai apa keputusan yang lebih baik, melepaskan Sakura atau menariknya semakin dalam. Juga mengenali apakah penyangkalan dirinya tentang rasa ingin memiliki yang ada di dadanya adalah khayalan semata.
Demi Tuhan Kakashi sangat peduli dengan wanita ini. Cinta atau tidak cinta. Sejak SMA memang ia menyayanginya. Tidak hanya Sakura, begitu pula dengan dua teman idiotnya yang lain.
Tapi, mengapa membayangkan pisah rumah dengan Sakura membuat dadanya terasa kebas? Kalau Sakura sudah tidak bersamanya, kemana ia akan pulang?
Dan kalau bukan Kakashi, siapa yang akan pulang pada Sakura? Lelaki lain?
Pelukan Kakashi semakin kencang, Sakura membalaskan dengan energi yang sama. "Aku senang kita bisa membicarakannya Sakura." lanjut Kakashi lagi lalu kemudian mencium pipi Sakura singkat.
.
.
.
Melihat isterinya yang mandi dan langsung berdandan setelah pulang dari coffee shop, membuat Kakashi gatal untuk bertanya, "Kau mau pergi?"
"Aa. Aku mau ke Destello, Naruto mengundangku tadi siang. Ikutlah?"
"Saki aku lelah sekali, bisakah kita tinggal di rumah saja? Kita bisa tonton series kesukaanmu lagi, aku tidak akan protes kali ini."
Sakura tertawa, "Istirahatlah. Tapi aku akan tetap pergi ya, aku kesepian sekali akhir-akhir ini. Aku kabari saat aku sampai nanti."
Kakashi memejamkan mata, mulai ingat kalau Sakura memang terlahir ekstrovert, berbeda dengan dirinya. Umumnya ia akan santai saja jika Sakura mau pergi kemana pun, apalagi hanya ke bar langganan mereka. Secara teori, semua orang disana dapat dikategorikan sebagai keluarga, tapi ia tidak bisa mengambil resiko Sakura bertemu Gaara lagi tanpa dirinya. Lalu Kakashi melirik Sakura yang mengenakan tube dress satin berwarna biru muda dan mengikalkan rambutnya yang kini sudah semakin panjang dan menyentuh pinggang.
Memesona seperti biasanya. Bahkan lebih, karna suasana hatinya sedang baik. Gadis itu memulaskan lipstick berwarna mauve muda. Lalu bercermin lagi sambil mengambil gambar dirinya sendiri lewat ponsel di depan kaca.
Sakura mengibaskan rambut demi mendapat foto yang ia inginkan, lalu memposisikan tubuhnya sedemikian rupa hingga dadanya terlihat penuh dan pinggulnya tampak tegas.
Kakashi memijat keningnya pelan, ' Yeap, aku harus ikut'
"Aku mandi dulu, Sakura."
Wanita yang disebut namanya langsung tersenyum sumringah.
.
.
.
"Sasuke!" pekik Sakura saat melihat sahabatnya duduk di bar. Wanita itu memeluk sang bungsu Uchiha dari belakang. Sasuke yang hampir menampik tangan itu, langsung mengagalkan niatnya. "Sakura, kau membuatku kaget."
Sakura terkekeh geli saat Sasuke mendaratkan kecupan singkat di kepalanya.
"Oi." sapa Kakashi singkat sambil mengangkat tangannya—mengajak Sasuke tos singkat. Lelaki dengan rambut raven itu menyambutnya.
"Kau tidak ke kantor, eh? Aku tidak melihatmu ikut business matching di Rikasei Hall hari ini."
"Ah, ya. Hidan menggantikan aku. Ada yang menarik?"
Sasuke menyesap minumnya, berpikir apakah ia akan memberi tahu berita ini atau tidak. Dilihatnya Kakashi tampak kusut walaupun ia terlihat rapi dan segar. Bawah mata Kakashi yang cekung tidak menutupi bahwa banyak hal yang sedang di pikirkannya. Namun, Kakashi harus tau.
"Kau tidak minum?" tanya Sasuke mengawali obrolan.
"Tidak selera."
"Hn." timpal pria dingin itu singkat. Setelah ekor matanya memastikan bahwa Sakura sudah menjauh dan bergerombol dengan Ino dan Hinata, pria itu mendekatkan diri ke salah satu sahabatnya itu.
"Aku tahu siapa pria yang mencium Sakura kemarin. Aku bertemu dengannya."
Mata Kakashi memicing, "Di Rikasei Hall?"
"Aa."
"Ah, aku pesan minuman dulu. Aku tidak suka pembicaraan ini—lebih tepatnya aku tidak suka dengannya."
"Aku juga." jawab Sasuke singkat.
Kakashi memberi tanda dengan tangannya, "Kotetsu, Scotch. Neat."
Sasuke menyeringai mendengar pesanan Kakashi.
.
.
.
Sakura berjalan menuju private box di sudut ruangan. Harusnya itu kubah milik Naruto Namun saat ia menyibak tirainya, tampak dua sejoli berambut pirang sedang bercumbu di sofa.
"Ups—Sorry. Aku tidak melihatmu disitu Temari." Ujar Sakura tertawa geli sambil berpura-pura menutup matanya.
Temari tertawa, "Kau memang tidak seharusnya melihatku. Uh, Gaun cantik malam ini. Hari yang baik?" puji gadis itu lagi.
"Sangat baik." Jawab Sakura sembari mendekati sejoli itu yang tak lain adalah Temari dan Naruto.
"..Kau juga terlihat seksi malam ini, pilihan yang bagus, by the way." goda Sakura sambil mengecup pipi Temari kanan dan kiri. Tak lupa mengedipkan matanya, seakan-akan menyelamati gadis bermata biru-kehijauan itu atas teman bercumbunya yang tampan.
" Cherryyyy." panggil Naruto merajuk.
"Hai, gorgeous." sapa Sakura tak lupa mengecup bibir Naruto singkat.
"Kau kembali ke Konoha, Temari? Kuharap untuk waktu yang lama?"
Gadis pirang itu menyelipkan rokok di bibirnya, "Mungkin, adikku juga pindah kemari."
"Adik? Aku baru tahu kau punya adik." Sakura mengambil korek dari dalam tasnya dengan cekatan saat melihat Temari mau menyumat rokoknya, "—biar aku saja." Sela Sakura seraya membakar ujung rokok itu.
Naruto yang duduk di tengah-tengah kedua wanita cantik itu dan melihat adegan di depannya sebagai hal yang sangat erotis, jelas ikut terbakar gairahnya. Maka dari itu cepat-cepat ia menggelengkan kepala nya agar tersadar, "Kau bersama siapa kemari, Cherry?" tanya Naruto sambil mengangkat kaki Temari untuk singgah di pangkuannya. Mengelus tungkai kakinya dengan lembut.
"Kakashi."
"Sudah berbaikan?"
Gadis itu mengangguk, "Oh, aku ingin kau tau apa yang ia berikan padaku Naruto!" mata Sakura terbeliak, suaranya juga naik 2 oktaf.
" Okay, ini harus bagus atau aku tidak tertarik. Minimal ia memberikanmu rumah atau apa." canda sang atlet. Sakura yang senyumnya melebar dan tak kunjung menjawab, membuat Naruto heran. Manik jade-nya hanya menatap Naruto dengan pandangan yang makin berbinar dan mengigit bibirnya makin kencang karna tidak bisa menahan kegirangannya.
Naruto membelalakan matanya, " Shit, dia benar membelikanmu rumah?"
Temari ikut memekik senang, " Damn Sakura! Aku bertaruh itu rumah yang indah!"
Sakura berteriak dan menggenggam tangan Temari karena tak kuasa menahan kegembiraan, "Aaah, aku belum menjatuhkan pilihan, tapi sudah pasti aku akan memilih propertinya yang paling indah!"
" Ahn, sekarang aku cemburu. Dimana aku bisa mencari suami tampan dan dermawan seperti itu." desah Temari di sela-sela hisapan rokoknya.
Naruto melihat Temari dengan tatapan yang tidak percaya. "Kau sedang melihatnya, nona."
"Benarkah? Sebenarnya, kau tak buruk juga tuan Uzumaki." rayu Temari sambil mematikan rokok di asbak lalu memainkan jemari itu di wajah Naruto, bersiap untuk membawanya lagi ke dalam ciuman.
" Okaaay, that's my cue. Aku pergi dari sini." Lalu Sakura pergi dengan cepat untuk keluar dari kubah, sayangnya wanita itu tak melihat kemana ia pergi. Tak ayal tubrukan keras menyabut Sakura, kakinya yang mungil hampir saja terkilir kalau saja tangan kekar tidak menahan tubuhnya.
"Ad—"
"Sakura?"
"Gaara!"
"Apakah aku menyakitimu?" tanya sang pria sambil melepaskan genggamannya di pundak dan pinggang Sakura.
"Tidak. Kau baru saja menyelamatkan-ku, Tuan." Ucap Sakura sembari membenahi pakaian dan rambutnya.
Gaara tersenyum lembut, "Kau nampak ceria hari ini. Sudah tidak bersedih?"
Gadis yang baru saja dipuji itu tersenyum hingga matanya menyipit. "Tentu tidak. Ngomong-ngomong, kau mau kemana? Lantai dansanya disana, Gaara-san." tunjuk Sakura kearah tengah ruangan. Dimana orang-orang sedang menggandrungi bintang tamu yang sedang diundang Destello.
"Aa. Aku mau menemui kakak perempuanku dulu. Di situ." Gaara menunjuk kubah Naruto dengan dagunya.
Dahi Sakura mengeryit, "Temari-san?"
"Kau mengenalnya?"
"Kami satu kampus saat di Jerman.. oh Gaara-san, kurasa kau tidak akan mau menemui kakakmu sekarang."
Pria dengan rambut merah itu terdiam, melihat wajah Sakura yang tidak nyaman dan juga bingung menjelaskan, langsung saja ia memahami, "Dia sedang bermesraan ya?"
Sakura mencoba meringis dengan mata yang datar. Menciptakan sepasang dekik di bawah matanya. Hal itu membuat Gaara tertawa sembari mengelus sisi wajah Sakura, hal itu lantas membuat pipi sang gadis merona merah.
Hati kecil Sakura hampir pingsan dibuatnya.
Bagaimana tidak? Sabaku no Gaara tampil sangat tampan dan maskulin hari ini, ia mengenakan kemeja linen hitam yang santai, jeans abu-abu dan sepasang sneakers kasual berwana senada.
'Ya Tuhan, mana ia wangi sekali hari ini.'
Demi Tuhan Sakura takut sekali hilang akal dan melompat kearah pria itu untuk mengendus lehernya. Wanginya hangat, perpaduan musky dan woody yang sempurna dengan sedikit kick amber dan citrus. Kami-sama.
Tak lama, sebuah suara berat menyela mereka.
"Saki." panggil seseorang dengan mesra seraya merangkul pundak Sakura protektif.
Sakura yang sedang melamun jadi sedikit canggung, apalagi saat ia juga tak merasakan tangan Gaara di wajahnya. Ia menoleh ke suara itu. 'Oh Kashi.'
Matanya melotot. ' Eh? Kashi?'
"Hai?" sapa Sakura bingung, seraya mencoba melonggarkan rangkulan Kakashi yang semakin kencang.
Pria dengan rambut perak itu tersenyum kaku, mengerahkan seluruh tenaganya untuk bersikap dewasa, "Temanmu? Kurasa aku belum benar-benar berkenalan dengannya."
Iris hijau Gaara bersirobok dengan iris mata Kakashi yang legam. Mengintimidasi, namun Gaara terlihat santai. Sedikit menduga bahwa wajahnya akan kena pukul, namun toh permainan kepemilikan yang dilakukan Kakashi sangat memompa adrenalinnya. Membangunkan ia dari kebosanan. Matanya melirik lagi kearah Sakura.
'Dan untuk gadis secantik ini?'
Babak belur urusan belakangan, pikirnya.
"Gaara-san perkenalkan, ini Kakashi." ujar Sakura lugu, benar-benar tidak mengerti bahwa ada perang dingin yang senyap di antara kedua lelaki itu.
"Sabaku no Gaara." Tangannya menjulur.
Tangan lain menyambut tanpa ragu, "Hatake Kakashi. Suami Sakura."
Sakura menoleh pelan dengan kesal. Menyadari kalau Kakashi belum sepenuhnya menerima lelakinya yang ini. Kenapa Kakashi jadi over-protective 'sih? Merepotkan.
Sakura menyela lagi untuk mencairkan keheningan yang tercipta, " O—okay, aku akan mengajak Gaara berkeliling, dia baru disini. Dan kau dicari Naruto di dalam." tunjuk Sakura asal. Ia menggandeng Gaara di lengan, menjauh dari Kakashi. "Mari Gaara-san"
Gaara tersenyum sopan dan menundukkan wajahnya sedikit untuk berpamitan dengan Kakashi.
Pria yang menahan cemburu setengah mati itu juga ikut menunduk kecil.
Sialan.
.
.
"Sebenarnya aku sudah bertemu suamimu kemarin, Sakura."
"Oh ya? Apapun yang dia katakan, jangan pedulikan. Dia memang suka menggangguku."
Gaara mengulum senyum, "Aku tidak bisa mengerti hubungan kalian?"
"Karna itu bukan sesuatu yang perlu kau mengerti, Gaara-san. Kalau hanya perlu tahu, kalau, aku dan suamiku, tidak sekaku itu." Ucap Sakura penuh maksud. Berharap Gaara mengerti dengan cepat. Gadis itu menatap Gaara dengan matanya yang seduktif, menyentuh kerah pria itu seakan merapikannya, namun sedikit menyentuh kulit leher pria itu dengan sengaja.
Gaara yang sejak awal sangat menyukai fisik Sakura, jadi semakin merasa lemah. Melihat Sakura melemparkan diri padanya, membuat ia semakin menginginkan wanita itu. Kepercayaan diri Sakura memikatnya sedemikian rupa.
"Sakura.." panggil Gaara dengan suara semakin rendah.
Sakura tersenyum. "Ya? Gaara-san.." bisik Sakura lagi dengan mendekatkan diri ke telinga pria itu.
Gaara mendengus kencang, rasanya ingin mendesak Sakura ke tempat tidur dan memuaskan gadis cantik itu dengan semua cara yang ia bisa. Namun tidak boleh, jangan dulu, bisa-bisa Sakura akan berhenti menginginkan dirinya setelah satu malam.
Gaara berdeham, "Ehm—Sakura, apakah kau lapar?"
Sakura mengeryit heran, "Hah? Apa?"
"A-apakah kau sudah makan?"
Sakura menggeleng pelan tidak mengerti. Berharap pendengarannya salah. "Maaf aku tidak paham, apakah kau mau makan atau bagaimana? Dan mengapa kita membicarakan makanan saat seharusnya kau sedang mencumbuku sekarang?" tanya Sakura frustasi.
Gaara tergelak. Tidak menyangka dengan jawaban Sakura yang diluar ekspektasinya. Kedua tangan Gaara menangkup pipi Sakura dengan gemas, hingga wajah gadis itu terperangkap diantaranya.
"Apakah kau gay?"
Tawa Gaara semakin keras.
Dari bar seberang, Kakashi menatap sang isteri dan 'teman' barunya dengan benci. Menimbang-nimbang apakah lebih baik ia melempar gelas ke kepala merah sialan itu, atau dihajar saja sekalian.
Namun toh, pada akhirnya Kakashi hanya menenggak cairan pahit dalam gelas kristal itu. Membiarkan tenggorokkannya terbakar dengan alkohol. Dia baru saja berbaikan dengan sang isteri, ia tidak bisa merusak ini. Kakashi hanya punya waktu dua bulan sebelum Sakura hengkang dari hadapannya.
Ia harus lebih pintar dari ini. Kakashi tidak boleh gegabah.
.
.
.
Tak lama, sebuah lengan yang kokoh menyapa pundak Kakashi dengan dorongan kecil. Kakashi terkejut, hampir terjerembab karna ia sudah sangat mabuk, kalau saja bukan karena refleks tubuhnya yang masih baik, lelaki itu pasti sudah terbaring di lantai.
"Naruto?"
"Mengapa kau diam saja? Sakit?"
"Hn."
"Mana kekasihmu?"
"Dengan seorang pria bajingan entah kemana. Lebih baik aku tidak tahu."
Naruto terbelalak kecil. "Oh, rupanya kau cinta juga ya, dengan Kurenai itu."
Kakashi mengeryitkan dahinya lagi entah untuk keberapa kali malam ini. Ada apa sih dengan otaknya. "Kurenai?"
"Sekertarismu? Betul tidak?" tanya Naruto mengkonfirmasi. Wajahnya tampak tidak ambil pusing, apalagi saat barista dengan rambut hitam lewat di depannya. "Kotetsu, aku lapar. Ramen?"
"Baik. Di antar ke kubahmu?"
"Di sini saja."
Kotetsu menjauh seraya memberi sinyal positif dengan jempol tangannya.
"Aku lapar sekaaali, aku baru saja bercinta dengan Temari. Kau ingat dia kan? Gila. Sekarang ia makin seksi."
Kakashi yang tidak peduli hanya menjawab sekenanya. Lebih ingin melanjutkan obrolan mereka sebelumnya. "Hey, bagaimana kau bisa sebut Kurenai kekasihku?"
Wajah Naruto polos, "Memangnya bukan? Lalu siapa yang kau bilang pergi dengan pria bajingan? "
"Sakura. Apakah itu kurang jelas?"
Naruto meringis, " Ugh. Jadi sekarang kekasih-mu Sakura-chan? Bukan itu yang aku tangkap."
"Kemarin aku agak keterlaluan ya? Memangnya aku terlihat mencintai Kurenai?"
"Hmm.. bukan karna terlihat mencintainya yang bagaimana. Hanya aneh saja karena kau tidak terbuka tentang wanita itu pada kami—pada Sakura-chan. Lama juga kan kau berhubungan dengan dia. Berapa bulan?"
"Tidak selama itu." Jawab Kakashi kesal.
"Tetap saja, sampai menginap segala ke rumah wanita itu. Mendengarnya saja aku kesal."
"Apakah menurutmu Sakura tidak melebih-lebihkan ceritanya?"
"Memangnya kau tidak pisah rumah kemarin? Sebenarnya yang ia ceritakan justru terlalu sedikit. Kau saja yang memang bodoh." jawab Naruto ketus.
Kakashi menjulingkan matanya malas. Sedangan sang sahabat tampak santai mengambil mangkuk Ramen yang diserahkan seorang pelayan padanya. Asapnya mengepul dan membuat lelaki pirang itu sumringah.
"Aku tinggal di tempatnya karna terasa lebih praktis saja, dia sekertarisku dan menyetiriku ke kantor. Orangnya santai dan tidak terlalu bergantung. Seperti kataku, praktis."
"Masa kau sampai tidak bilang pada Sakura-chan? Kalau begitu kau tidak apa-apa kalau saat ini isterimu juga merasa 'praktis' dengan pri—"
"Ah bisa diam tidak sih?!" potong Kakashi emosi.
Naruto ikut kesal, "Kau kenapa sih? Cemburu? Kau cinta pada Sakura-chan?"
"Tidak. Aku tidak suka saja, Sakura isteriku."
Kini Naruto jadi ikut bingung dan menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Bukannya kalian masih tidur dengan orang lain setelah menikah?"
"Aku iya, Sakura tidak pernah."
"Hm?"
Kakashi mendengus, "Dia bercumbu, tapi tidak meniduri lelaki manapun. Dia lumayan romantis, kau tahu? Dengan semua ekspektasinya tentang sebuah komitmen. Dia terlalu mendalami khayalannya pada pernikahan ini. Maka dari itu ia hanya tidur denganku saja."
"Romantis sekali." timpal Naruto. "Tapi aku tidak kaget, bukankah impian kebanyakan wanita adalah sebuah pernikahan yang bahagia?"
"Sakura mengatakan hal yang sama saat kami mencoba memperbaiki ini. Dia bilang dia hanya terbawa suasana. Mungkin aku juga."
Lelaki berkulit cokelat di hadapannya tertawa lagi, "Persetan ya dengan kata-katamu. Mana mungkin, kau saja meniduri Kurenai, seperti selingkuh saja."
"Bicaramu seperti Sakura."
"Yasudah, supaya tidak perlu dianggap berselingkuh, lepaskan Sakura saja kenapa sih? Lagipula, kalau sekarang dia mau tidur dengan orang lain, memangnya jadi tidak boleh?"
Kakashi menandaskan isi minumannya. Menaruh gelas itu dengan bantingan kecil. Membenci kebenaran yang keluar dari mulut Naruto.
".. dan bukannya akan bagus, kalau dia tidak lagi terperangkap dengan ilusi pernikahan palsu kalian?" cecar Naruto.
Kakashi diam saja. Mencoba meregulasi perasaannya yang makin tidak keruan.
"Omong-omong siapa lelaki itu? Sosoknya terkenal sekali di telingaku akhir-akhir ini."
"Sabaku no Gaara." jawab Kakashi sambil menahan mual. Mengingat cara ia tertawa bersama Sakura membuatnya naik pitam. Entah kemana mereka pergi, dan apa yang dilakukanya.
Naruto yang sedang menyeruput kuah ramen jadi sedikit tersedak. "Adiknya Temari? Sabaku no Temari? Teman kuliahnya Sakura-chan."
Kakashi menoleh bingung.
"Iya, dia cerita adiknya pindah kemari, seorang fotografer, videografer— or something, aku tidak ingat."
Kakashi meremas rambutnya yang mulai panjang. Otaknya panas. Memikirkan skenario yang membuat Sakura berpotensi semakin akrab dengan pria itu. Ia tahu dari cerita Sasuke bahwa bajingan ini pendatang dari Suna. Keluarganya memiliki perusahaan di bidang energi. Persis seperti miliknya. Kompetitornya. Sekarang, tidak hanya ia menjadi saingan bisnis keluarga Hatake, pria itu juga mau merebut isterinya. Tangannya gatal ingin menghabisi wajah Gaara, sekarang juga.
"Temari bilang, adiknya baru putus hubungan. Hampir menikah, sayangnya diselingkuhi. Sepertinya pria baik-baik. Tidak mainan wanita seperti kita."
Kakashi muak sekali mendengarnya.
Naruto melanjutkan "… sudah pasti ingin cari hubungan serius, 'kan? Kenapa tidak kau relakan saja Sakura—" belum selesai omongan Naruto, sebuah kepalan tangan menghantam rahangnya. Membuat Naruto terjelembab hingga ke lantai.
"Jaga bicaramu, keparat." ancam Kakashi, emosinya sudah tidak tertahankan. Apa yang salah dengan Naruto? Ia terus-terusan menyuruhnya melepaskan Sakura.
Seluruh bar hening seketika, semua orang mengerumuni mereka karena ingin tahu. Dan begitu Naruto berdiri dan mengusap bibirnya yang berdarah, sontak kerumunan ramai meyoraki. Kotetsu menelepon keamanan dan Asuma melompat dari bar untuk menghentikan Naruto membalas pukulan Kakashi. Sayangnya Asuma gagal, dari awal pijakannya tidak seimbang dan dengan mudahnya disingkirkan oleh Naruto yang matanya sudah menggelap. Habis ditelan rasa amarah.
Naruto yang pada dasarnya memiliki temperamen tinggi, tentu gampang tersulut kemarahannya. Dalam hitungan detik ia memukuli sang sahabat. Kakashi kewalahan melawan pukulan Naruto yang terarah dan fokus. Pria itu mungkin lebih tinggi, tapi Naruto lebih terlatih dan kuat. Dengan kesadarannya yang nyaris tidak ada karena terus-terusan menenggak minuman keras, Kakashi pasrah saja dipukuli.
Tangan Kakashi tidak membalas, hanya berusaha melindungi wajahnya dari pukulan. Walau sia-sia. Ia yakin sebentar lagi ia akan kehilangan kesadaran kalau saja ia tidak mendengar Sakura menjeritkan nama Naruto.
Pukulan terhenti dengan paksa, keamanan datang terlambat untuk menghentikan Naruto yang dikuasai emosi. Kakashi tidak dapat melihat jelas keadaan disekitarnya, namun ia merasakan tangan lembut Sakura menyentuh dahinya.
"Kalian kenapa.." bisik Sakura lirih. Keamanan yang lain membopong Kakashi untuk masuk ke dalam kubah yang ditunjuk Sakura.
Wanita itu hampir menangis dan menoleh kearah Naruto yang kini sedang ditenangkan oleh Sasuke. Nafas Naruto terengah-engah, namun matanya sudah kembali tenang. Ia memejamkan mata dan memegangi rahang kirinya yang membiru.
Sakura mendekati pria itu dengan keadaan yang sudah menangis seutuhnya.
"Apa masalahmu Naruto?! Dia sahabatmu, apapun yang ia lakukan, pantaskah mendapat perlakuan seperti itu?!" teriak Sakura marah.
Ia menghampiri Naruto, yakin perempuan itu akan memukulnya, namun Sakura hanya memeluk Naruto kencang, "Naruto, sudah.." Hati pria itu mencelos. Naruto tahu betapa Sakura benci melihat mereka bertengkar. Tapi bagaimana mungkin persahabatan tiga laki-laki alpha dapat bertahan tanpa adanya sedikit konflik?
"Maaf, Cherry." Bisik Naruto sambil mengelus kepala Sakura. "Kakashi bodoh itu membuatku kesal." adu putra Uzumaki itu sambil cemberut. Kemarahannya sirna sudah. Sasuke merengkuh wanita itu untuk melepaskan diri Naruto. "Ayo Sakura, kita lihat Kakashi."
"Dan kau.." kata Sasuke ketus pada Naruto. ".. kau tenanglah disini, dobe." perintahnya.
"Hn."
Saat Sakura dan Sasuke berbalik untuk menuju ke kubah tempat Kakashi berbaring, Naruto memanggil lagi, " Teme, katakan kalau terjadi apa-apa."
Sasuke mengangguk.
.
.
.
Sebagian wajah dan tubuh Kakashi biru-biru. Manik matanya yang legam berkedip perlahan. Menyesuaikan diri dengan terangnya ruangan itu. Ia hanya ingat dipukuli Naruto. Sial betul.
" Engh.." pria itu merintih saat mencoba duduk. Rusuknya sakit saat ia membangkitkan diri dari kasurnya. Tiba-tiba saja ia sudah di rumah.
Pikirannya hanya mencari Sakura. Ia pulang ke rumah kan?
Bagai menjawab kegelisahannya, sebuah suara feminin yang familiar terdengar dari toilet kamarnya. "Istirahatlah, Kashi. Kau babak belur."
Nafas kelegaan Kakashi terhembus, seakan beban yang sangat berat diangkat dari dadanya. Seluruh badannya sakit namun perasaannya sedikit ringan. Karena kini hanya ada mereka berdua.
"Hn." gumam Kakashi tidak jelas. Pria itu sedang menyadarkan diri di dinding ranjang. Menunggu Sakura menghampirinya.
Sakura mendekati sang suami sambil membawa sebuah baskom berisi air hangat dan handuk. "Kau itu. Apa sih yang kau bicarakan dengan Naruto sampai jadi begini?" Sakura memeras handuk kecil itu untuk mengompres luka suaminya. Kakasih berjengit. Walaupun sudah dilakukan Sakura selembut mungkin, lukanya masih sangat nyeri. Rasanya Naruto mengerahkan seluruh tenanganya tadi. 'Benar-benar si keparat itu.'
Sakura membasuh lebam-lebam di tubuh telanjang Kakashi dengan handuk yang sama, kali ini dengan sentuhan lebih ringan lagi. "Kau memukulnya duluan, ya?"
Sakura kembali diam, ia memang tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari Kakashi dulu. Setidaknya untuk saat ini. Ia sangat iba dengan semua luka suaminya, pasti sakit sekali. Wajahnya menatap sayu pada kulit Kakashi yang kebiruan di mana-mana.
"Harusnya tadi kuhajar juga ya Naruto itu." sesal Sakura. Kakashi hanya melihat Sakura dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Namun tangannya terangkat menyusuri rambut sang isteri. Sakura sudah tidak mengenakan riasan dan menggunakan kimono tidur berwarna putih gading.
Wanita itu tidak pernah lebih cantik dari pada sekarang. Karena inilah hal paling intim yang bisa diberikan Sakura pada seseorang. Merawatnya, mengkhawatirkannya. Kakashi masih saja memainkan rambut Sakura hingga ujung. Rambut merah mudanya sudah kembali lurus dan kulitnya terasa dingin. Sepertinya Sakura sudah mandi sejak tadi.
"Kashi, minum obat lalu tidur ya." Sakura berbalik badan untuk mengambil obat di laci, saat itulah Kakashi melihat nya.
Bekas kecupan merah pada leher Sakura. Rambut wanita itu tersibak sehingga ia bisa melihat bekas ciuman itu dengan jelas.
Kakashi terpaku.
Rasa sesak menggerogoti dada pria itu. Rasanya seperti sesuatu mencengkram erat jantungnya. Kalau saja seseorang bisa mati hanya dari rasa cemburu, mungkin saat ini dia sudah tidak bernyawa. Sungguh Kakashi tidak bisa mendefinisikan apa yang ia rasakan. Dirisnya sudah terlalu lemah untuk merasa marah. Jelas perasaan ini hanya bisa dirasakan oleh pria yang terusik teritorinya. Miliknya. Harga dirinya.
Apakah ia sudah kehilangan Sakura?
Ia menatap Sakura yang masih memunggunginya dengan nanar. Kakashi menyenderkan kepalanya dengan lunglai di tembok. Ia tidak memiliki energi apapun. Kakashi ingin segera tidur dan melupakan semua kekalahannya hari ini.
Akhirnya Sakura menoleh kearah Kakashi dengan pil putih paracetamol yang sudah tersemat di antara giginya yang rapi. Dengan senyum lebar dan tawa tertahan, ia memajukan wajahnya agar Kakashi dapat segera meminum obat dalam gigitannya. Kebiasaan yang sering ia lakukan dengan suaminya, entah dengan obat, pil vitamin ataupun biskuit kesukaannya.
Kakashi menggigit bibir dengan keras sampai hampir mati rasa. Kali ini bukan karena kegetiran. Namun karena munculnya sekelumit harapan. Kakashi menyadari bahwa ini yang tidak dimiliki Gaara. Persahabatan antara dirinya dan Sakura. Dan ia akan memastikan pria brengsek itu tidak akan pernah memilikinya.
Kakashi menyambut suapan obat dari Sakura dengan mulutnya. Permukaan bibir mereka hanya bersentuhan sepersekian detik, namun cukup untuk membakar gairah Kakashi yang tadinya tidak ada sama sekali. Setelah meminum air yang disodorkan isterinya untuk menelan obat. Kakashi menarik tangan Sakura yang bersiap bangkit dari duduknya.
Sakura terkejut. Terlebih saat Kakashi menabrakkan bibir mereka secara tiba-tiba. "Kash-"
Seakan tak peduli, Kakashi mencium Sakura lagi dan lagi. Ia tidak merasakan sakit apapun lagi di tubuhnya, yang ia tahu hanya ia menginginkan wanita ini dan tidak akan melepaskannya lagi. Selamanya. Persetan dengan sisa kontrak mereka.
Kakashi tidak akan menyerah.
Sakura terbelalak dan mendorong pelan pundak Kakashi. "Apa yang kau lakukan? Kau harus tid—" kalimatnya terpotong lagi oleh bibir Kakashi yang memburunya. Sakura takut menyakiti Kakashi lebih jauh jika harus menghentaknya. Sakura pikir keadaan Kakashi sedang lemah. Namun melihat sekarang tangan sang suami sedang berusaha melucuti kimononya. Sakura membuang jauh-jauh dugaannya.
Ciuman Kakashi terasa putus asa. Bibir lembut Sakura sungguh membuatnya mabuk kepayang. Kakashi menggigit lembut sebagian kecil bibir isterinya. Mengharapkan dibalas dengan gairah yang sama. Sakura mendesah dalam ciuman mereka saat dirasakan tangan Kakashi meremas pinggangnya. Pandangan Sakura mengabur.
Saat akhirnya wanita itu dapat melepas lagi ciuman mereka, ia menatap Kakashi dalam melihat sang suami juga susah payah mengatur nafas dan akhirnya mereka terengah-engah bersama. Mencoba menyamakan ritme nafas mereka sambil berusaha berpikir jernih. Namun terasa sulit bagi dokter muda itu. Bagaimana tidak? Kali ini posisi Sakura sudah menghadap Kakashi dan berada di atas pangkuannya. Sudah lama sejak ia sedekat ini dengan Kakashi. Jemarinya yang ramping menyusuri wajah suaminya dari rambut hingga bibir. Ketampanan yang tidak berkurang karena luka dan lebam. Kakashi menyesap jari manis Sakura yang melewati bibirnya. Ia menggenggam tangan itu dan masih melihat cincin pernikahan mereka disana.
"Nyonya Hatake." panggil Kakashi mesra, kebanggaan kembali menyusupi rongga dadanya. Ia tersenyum kecil namun hanya sepersekian detik, lupa akan luka robek di ujung bibirnya yang kembali terasa perih.
Sakura mendenguskan tawa dan mengecup luka itu pelan. "Suamiku yang malang."
".. lihatkan? Kau harus beristirahat."
Kakashi menggeleng. Ia memandangi bibir Sakura lagi. Dahaganya belum terpuaskan. Sudah lama sejak ia bercinta dengan Sakura. Ia memandangi Sakura di pangkuannya dengan kimono yang terjatuh di satu sisi, menampilkan kulit telanjang yang sangat ia rindukan.
Ia mengecup kulit Sakura yang terbuka, memanjakan wanita itu dengan bibirnya. Sakura mengerang lagi.
" Ahn.. Kashi." tubuh Sakura yang ringan menggeliat di pelukannya.
Sakura dapat merasakan tubuh bagian bawah suaminya yang mengeras. Bersentuhan dengan bagian kewanitaannya yang paling sensitif. Sakura ingin berhenti dan membiarkan Kakashi istirahat namun tubuhnya juga terasa haus akan sentuhan Kakashi. Sudah sekian lama sejak ia disentuh semesra ini oleh lelaki—yang tidak lain memang oleh suaminya sendiri. Sakura sudah tidak ingat kapan. Yang ia ingat hanya pertengkaran-pertengkaran mereka yang melelahkan.
Genggaman Kakashi yang kencang di kedua lengannya makin menyulut gairah Sakura.
"Kakashi." panggil Sakura merajuk. Takut ini bisa menjadi ide yang buruk.
"Diamlah, Sakura."
Wanita itu menurut. Tangan kekar sang suami manarik simpul kimononya sampai lepas, Menarik kain itu dan membuangnya sejauh yang ia bisa. Sekarang hanya ada tubuh polos Sakura di pangkuannya. Nafas Kakashi memburu, hampir tidak kuat menahan hasratnya sendiri. Ia menikmati waktunya dan memandangi cahaya lampu yang memantul dari kulit istrinya. Sungguh tak ada satu wanitapun yang menandingi kemolekan tubuh telanjang Sakura Hatake. Dadanya yang kencang pinggulnya yang lebar. Ugh. Kakashi menelan ludahnya dengan susah payah. Tangannya menggerayangi dada hingga perut Sakura yang memiliki tindik di pusar.
Sakura mendekatkan wajahnya, mencari bibir Kakashi. Namun pria itu mendorong lembut tubuh Sakura yang ingin menyandarkan diri padanya. Iris hitamnya redup tertutup oleh nafsu, dirinya masih ingin menatap tubuh telanjang itu. Sakura yang merona dipandangi sedemikian rupa, refleks menutupi dadanya. Tentu saja tangan Kakashi menahannya.
"Kau cantik sekali." Suara baritone Kakashi membisiki Sakura. Wajah mereka semakin merapat namun Kakashi masih enggan mencium Sakura. Pria itu hanya menjilati bibirnya sendiri dan mengatur nafasnya yang semakin berat. Tenggelam dengan pikirannya. Apa yang harus ia lakukan dulu untuk memuaskan Sakura. Tangannya mencengkram pinggang Sakura lagi dan membuat gadis itu terpekik lagi. Lalu jemarinya menyusuri tulang punggung Sakura dengan lambat. Sakura merasa hampir gila dibuat suaminya. Terlebih saat tangan lelaki itu sampai di pangkal paha belakangnya dan memukulnya dengan mantap. Sakura menahan nafas. Hilang sudah pertahanannya. Apapun yang ia rencanakan untuk menghentikan Kakashi, hilang. Kedua tangan sang suami merayap lagi hingga ke panggul, Kakashi meremasnya dengan kuat.
"Kakashi, cium aku." pinta Sakura dengan nada memohon.
Kakashi menyeringai melihat reaksi Sakura, iris jadenya dipenuhi nafsu. Bibir Sakura mendekati telinga kanan Kakashi. Mengecup dan menjilatnya dengan sensual. Pinggangnya bergerak maju mundur mencari kenikmatannya sendiri.
Kakashi mengigit bibirnya entah yang ke berapa kali. Memejamkan matanya untuk menikmati rangsangan yang Sakura buat di tubuh bawahnya. tangannya sudah berpindah ke wajah Sakura, menyelipkan ibu jarinya ke dalam mulut gadis itu dengan sedikit paksaan, namun langsung disambut dengan hisapan oleh mulut kecil Sakura. Kakashi merasakan ibu jarinya dimanjakan oleh lidah hangat Sakura. Lalu tangan itu tak kuasa untuk berpindah tempat ke leher jenjang Sakura. Meremas lembut hingga Sakura terkejut karena kenikmatan yang belum pernah ia rasakan. Walaupun rasanya sesak seperti kehabisan nafas, justru membuat Sakura semakin ingin lebih.
Gadis itu mengerang, masih dengan pinggulnya yang bergerak sensual di atas tubuh Kakashi yang terbalut celana piyama saja. " Emh..ah. Kakashi." Nafas Sakura semakin cepat bersamaan dengan gerak pinggulnya. Celana Kakashi yang tipis sudah basah dengan cairan bening Sakura. Kakashi pun sudah diujuk pertahanan, saat mendengar sang isteri terus menyebut namanya. Seperti terus-terusan memohon. Menginginkan sesuatu.
Kakashi bangkit dan menidurkan Sakura di bawah pelukannya. Sekali lagi tersenyum jumawa melihat isterinya tak berdaya. Rambut merah mudanya tersibak, kontras dengan seprai putih mereka.
"Lepaskan celanaku, Sakura."
Sakura melakukannya tanpa membantah. Kini mereka berdua sudah benar-benar telanjang tanpa penghalang apapun. Tubuh Kakashi terasa hangat menyelimuti badan Sakura yang kecil dari atas. Dua pasang bibir itu bertemu lagi seperti tak ada bosannya. Sakura memburu ciuman dengan tidak sabar. Menarik leher Kakashi mendekat dengan satu tangannya. Kakashi tersenyum lagi dalam ciuman mereka. Akhirnya, setelah malam panjang ini, egonya sebagai seorang suami terselamatkan. Ia kembali merasa diinginkan oleh satu-satunya wanita yang penting dalam hidupnya.
Dan saat bibir Sakura semakin merayap turun ke tubuh bawahnya, Kakashi sudah tidak terpikir menginkan hal lain lagi. Bibir Sakura yang lembut mengulumnya dengan mahir. Memainkan dirinya dengan lidah yang basah walaupun mulut yang penuh. Kakashi melenguh dengan suara berat. Meninggalkan kesadaran yang tinggal setengah. Tangannya mengelus kepala Sakura di bawah sana dan sembari menarik rambutnya yang panjang dengan lembut. Sakura memekik tertahan saat genggaman Kakashi pada rambutnya semakin kencang. Membakar gairah wanita itu. Sakura semakin mempercepat ritme kulumannya pada tubuh Kakashi. Menggunakan kedua tangannya untuk merangsang suaminya. Erangan feminine yang keluar dari mulut Sakura yang tertahan kejantanannya, membuat Kakashi semakin bergairah.
Ia tidak dapat menahan ini lebih lama lagi. Maka dari itu, ditariknya Sakura untuk telentang di ranjang. Wajahnya mencari dada Sakura dan menghisapnya dengan kencang. Sakura hampir berteriak kalau saja tangan Kakashi tak menutup mulutnya. Sakura kesusahan bernafas namun ia tidak keberatan. Tak lama tangan Kakashi berpindah ke tubuh bagian bawah miliknya yang sudah sangat basah. Jemari Kakashi yang lihai menyusup ke dalam tubuh Sakura. Wanita itu terhenyak.
"Kakashi!" sebut Sakura lagi. Hanya nama itu yang bisa ia suarakan, kata-kata yang lain menjadi tidak penting.
"Hn." Seakan tak peduli, suaminya menambahkan jemari yang lain.
" Oh. Kakashi. Aku—" sang isteri menatapnya sayu.
" Shh.. iya, aku tahu." Kakashi tersenyum lagi. Mempercepat gerakan maju-mundur dengan jarinya lebih cepat lagi. Sesekali memutarnya, memastikan istrinya tidak kesakitan.
Sakura hanya bisa mendongak karena rasangan-rangsangan yang dibuat oleh suaminya. " Ahhhn, Kakashi, kumohon."
Kakashi menyesap dada Sakura lagi, kali ini lebih kencang, hingga tubuhnya menggeliat. Kakashi menghujani leher Sakura dengan ciuman dan menggigit lembut pundaknya yang berkilau karena peluh. Semua itu masih dengan jari Kakashi yang tidak pernah meninggalkan tubuh Sakura.
"Sakura.." dalam kenikmatannya, Sakura mendengar sayup-sayup namanya dipanggil.
"Sakura, lihat aku." Ia melihat wajah tampan suaminya, menatap matanya dalam. Sakura balik menatapnya dengan tanda tanya. Tidak dapat berkonsentrasi karena manuver yang masih dilakukan sang suami dibawah sana.
"Tidak ada yang boleh menyentuhmu seperti ini selain aku."
Sakura menjilat bibirnya yang kering, "Ap—" belum selesai ia melayangkan protesnya, jemari Kakashi kini sudah digantikan dengan penetrasi tubuh Kakashi yang tiba-tiba.
" Hmmp—" rintih Sakura.
Kakashi sendiri kini sedang membenamkan kepalanya di samping wajah Sakura yang masih menyesuaikan diri dengan tubuh bagian bawahnya.
"Sakura.." bisik Kakashi lagi mesra. Cengkraman Sakura di punggungnya terasa kencang. Tapi yang bisa ia nikmati hanya kehangatan Sakura padanya di dalam sana. Sesak, basah dan memuaskan. Kakashi menggerakan pinggulnya naik turun. Membuat dada Sakura bergerak seirama.
"Sakura?" panggil sang suami lagi sambil mengecup pipinya, yang hanya dibalas dengan anggukan lemah dari sang istri. Kakashi bisa merasakan tubuh Sakura yang 'menggenggam' nya rapat. Beberapa kali ia menghentakkan tubuhnya hingga pada batas dan membiarkan dirinya beberapa saat di titik terdalam Sakura. Merasakan apa yang ingin dimilikinya. Saat merasakan pinggul Sakura bergerak pelan, Kakashi kembali menatap Sakura dibawahnya.
Membuat gairah Kakashi semakin tidak terbendung dan ingin mencapai puncak, perpaduan tubuh polos Sakura, wajahnya berkilau karena keringat dan yang tampak lelah, dan juga bibir Sakura yang kemerahan dan terus merintih. Tanpa sadar Kakashi mengulum bibir bawahnya sembari terus menggerakkan pinggulnya untuk memompa tubuh Sakura yang mungil. Pemandangan favoritnya di dunia ini.
Kakashi memanggil isterinya lagi dengan sedikit terbata, "S-sakura," berusaha konsentrasi untuk bicara dan juga bercinta.
"Hm?" gumam Sakura seadanya sambil meremas kedua dadanya sendiri.
'Oh fuck.' Konsentrasi Kakashi makin buyar. Namun dengan seluruh tenaganya, ia menkonfirmasi lagi jawaban Sakura. "Kau belum jawab iya."
"Berjanjilah kau tidak akan membiarkan orang lain menyentuhmu lagi s-seperti ini." Lanjutnya sembari memainkan bibir Sakura yang lembut dengan ibu jarinya.
Kakashi mempercepat hentakannya. Sakura mendesah sambil menatapnya bingung.
"Sakura!" panggil Kakashi tak sabar dan sama kencangnya seperti tubuhnya yang sedang menghujam bagian sensitif Sakura yang memerah.
Satu tangan Kakashi yang bebas, menggenggam rahang Sakura agak kencang, menyadarkan isterinya itu " Ah-emm iya! I-iya, aku berjanji."
"Ah—Kakashi s-sakit." protes Sakura namun dengan wajah yang terlewat menikmati.
"Kau milikku Sakura."
"Iya!" jawab Sakura gemas sambil mendorong dada Kakashi untuk bertukar posisi. Sakura tersenyum manis sembari naik di pangkuan Kakashi yang sudah telentang seutuhnya. Kini giliran pinggul Sakura yang bergerak memutar dengan luwes.
Kakashi memejamkan matanya nikmat. Sudah tidak ada lagi pikiran-pikiran yang meragukannya. Tentu saja ia mencintai Sakura. Apalagi yang ia bingungkan. Sudah tidak ada hal yang mau ia sangkal. Dadanya terasa mau meledak dipenuhi rasa gembira.
Sakura adalah miliknya.
-Bersambung-
Halo? Hehehehe. Hanya hehe saja yang bisa kusampaikan pada kalian. Semoga suka dengan chapter ini. Kubuat sampai jam 5 subuh!
Melihat tanggal publish cerita ini ternyata lucu juga ya? Aku tumbuh besar bersamanya. HAHAHAHAH! Maaf ya menunggu! Itupun kalau masih ada. Senang sekali rasanya melihat pesan kalian.
Chapter-chapter sebelum ini banyak sekali kurangnya, tanganku gatal ingin membenahi. Chapter hari ini juga mungkin belum sempurna. Tapi dari seorang Emily yang hanya bisa membuat satu paragraf lime, hingga membuat satu adegan lemon utuh! OMG.
