Canon with some arranged details.Still, Masashi Kishimoto owned Naruto and it's universe. I just borrowed his characters.
Alternated Happy Ending
KibaxIno – SaiIno
By
Rachel Cherry Giusette
Ino Yamanaka berdiri di tengah toko bunganya, tangannya mengusap kelopak bunga lembut yang telah ia susun sepanjang pagi. Aroma mawar, lili, dan gardenia memenuhi udara, seperti obat mujarab untuk kegelisahan yang telah mengendap di dadanya. Toko itu sunyi, hanya dengungan lembut kipas langit-langit yang memecah kesunyian. Saat-saat seperti inilah, ketika dunia di sekitarnya sunyi, kenangan-kenangan itu akan membanjirinya kembali—kenangan tentang kehidupan yang pernah ia bayangkan, kehidupan yang telah terlepas dari jemarinya seperti pasir.
Ia ingat pertama kali ia menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Kiba Inuzuka. Mereka telah menjadi rekan setim selama bertahun-tahun, disatukan oleh takdir dan keputusan para tetua desa mereka. Awalnya, mereka berselisih—Kiba dengan sifatnya yang kurang ajar dan keras kepala, sementara Ino dengan kesombongan dan lidahnya yang tajam. Namun seiring berjalannya waktu, mereka semakin dekat, ikatan mereka terbentuk dalam panasnya pertempuran dan saat-saat hening di antaranya.
Saat menjalankan misi, jauh di dalam hutan Negara Api, Ino pertama kali melihat Kiba dari sudut pandang yang berbeda. Kiba terluka, luka sayatan yang dalam mengalir di sisinya, dan Ino menggunakan kemampuan penyembuhannya untuk menutup luka itu. Saat bekerja, Kiba menatapnya dengan atensi yang terasa lain—yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Mendadak sikap sombongnya yang biasa berubah melalui nada bicara yang lebih lembut, lebih lamat. Saat-saat itu, Ino masih ingat betul bagaimana ia merasakan jantungnya berdegub kencang, hatinya ditembak romansa, kehangatan menyebar di dada, tak ada untaian kata yang dapat menggambarkannya dengan jelas. Momen itu, percikan pertama dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang kemudian tumbuh menjadi cinta putih yang berujung ke pelaminan.
Hubungan mereka berkembang pesat setelah itu. Si Yamanaka pirang dan Inuzuka yang terkenal dengan citra berandalannya bersama dan menjalin kasih agaknya mengundang tatapan sanksi orang-orang di desa—terasa tidak wajar dan aneh. Tapi di sana lah mereka berdua pernah berada. Berdua, saling melengkapi dan berbahagia. Persona Kiba yang liar dan kasar dengan apik memberi keseimbangan untuk sifat Ino yang lebih halus dan terkendali. Kiba memunculkan sisi dirinya yang tidak pernah diketahuinya—sisi yang lebih bebas, lebih berani mengambil risiko. Dan Ino, mampu meredam impulsivitas Kiba, menenangkannya dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain. Segalanya terasa mudah dan tampak tak ada halangan yang mengganjal kisah sepasang merpati baru ini.
Pernikahan mereka merupakan acara kecil yang intim, hanya dihadiri oleh sahabat dan keluarga terdekat mereka. Ino masih ingat cara Kiba menatapnya saat berjalan menuju altar, sorot matanya dipenuhi cinta, membuat hatinya berbunga-bunga. Mereka telah mengucapkan janji di bawah naungan bunga sakura, berjanji untuk saling mendukung dalam menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup. Hari itu menjadi hari paling bahagia dalam hidup Ino, dan saat mereka menari bersama di bawah riuhnya bintang di langit Konoha, mengakar kepercayaan sepenuh hatinya bahwa mereka ditakdirkan untuk masa depan yang penuh dengan kegembiraan dan tawa.
Namun, hidup, seperti yang sering terjadi, punya rencana lain.
Mulanya berasal dari bisikan-bisikan keraguan dalam diri, perasaan yang mengganggu di benak Ino bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Berbulan-bulan berlalu setelah pernikahan mereka, dan meskipun telah berusaha sebaik mungkin, Ino dan Kiba belum juga bisa memiliki anak. Awalnya, mereka menepis kemungkinan terdekat akan hal itu, berusaha mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa hal-hal seperti ini butuh waktu. Namun, seiring bergantinya bulan menjadi satu tahun, lalu dua tahun, keraguan itu semakin kuat, menggerogoti hati Ino seperti rasa sakit yang tak kunjung sembuh.
Mereka telah mendatangi dokter-dokter terbaik di desa, menjalani berbagai tes dan prosedur, berharap-harap cemas bahwa ada solusi. Namun, selalu, hasilnya tetap sama. Tidak ada yang salah secara fisik dengan mereka berdua, kata para dokter. Tetapi untuk beberapa alasan, tubuh Ino tidak mampu mengandung anak. Bagian ini memiliki ujung dengan jawaban tanpa penjelasan yang pasti, menjadi misteri yang tidak dapat dipecahkan oleh siapa pun.
Ino sudah mencoba untuk selalu kuat, berpegang teguh pada keyakinan bahwa mereka berdua akan menemukan cara untuk mewujudkannya—membangun keluarga dengan anak-anak yang lucu dan sehat. Namun seiring berjalannya waktu, beban mimpi yang belum terpenuhi menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Dia dapat melihat tekanan yang dialami Kiba, bahunya yang melorot karena kelelahan, cahaya di matanya meredup setiap hari. Kiba tidak pernah mengatakannya dengan lantang, tetapi Ino tahu betapa dia ingin menjadi seorang ayah, memiliki keluarga sendiri. Itu adalah mimpi yang dibawanya sejak dia masih kecil, dan Ino dapat melihat mimpi itu menghilang, sedikit demi sedikit.
Titik puncaknya terjadi pada suatu malam, setelah kunjungan ke dokter yang sia-sia. Mereka pulang ke rumah dalam diam, ketegangan di antara mereka terasa semakin kental dan menyesakkan. Ino telah mencoba menjalani rutinitas malamnya seolah-olah tidak ada yang salah, tetapi beban situasi mereka menggantung di atasnya seperti awan gelap. Dia bisa merasakan tatapan mata Kiba padanya, bisa merasakan kata-kata yang tak terucapkan yang tertahan di antara mereka, dan semua itu sudah lebih dari yang bisa dia tahan. Kiba mungkin hampir mendekati ambang batasnya.
Ino menoleh padanya, suaranya bergetar saat mengucapkan kata-kata yang telah berputar-putar di benaknya selama berbulan-bulan. "Kiba, kurasa kau harus pergi."
Jelas Kiba terkejut, hatinya serasa ditusuk belati, sekelumit rasa sakit nan perih menghujamnya pasca Ino menguarkan kata pendek itu. "Apa yang kau bicarakan, Ino? Aku tidak akan meninggalkanmu."
Air mata menggenang di matanya saat Ino menggelengkan kepalanya. "Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini, Kiba. Kau pantas memiliki keluarga yang selalu kau inginkan, dan aku tidak bisa memberikan itu padamu. Aku tidak bisa terus-menerus menghalangimu untuk itu."
"Ino, jangan begini," pintanya, menggenggam tangannya. "Kita akan mencari jalan keluarnya. Kita akan menemukan cara lain."
Namun Ino tetap teguh, meskipun hatinya hancur mendengar setiap kata. "Tidak, Kiba. Kita sudah mencoba segalanya. Itu tidak akan terjadi, dan aku tidak tahan memikirkanmu menghabiskan sisa hidupmu dengan perasaan kehilangan sesuatu. Aku terlalu mencintaimu untuk membiarkan itu terjadi."
Untuk sesaat, Kiba tidak berkata apa-apa, cengkeramannya di tangan Ino mengencang seolah-olah dia takut melepaskannya. Kemudian, sambil mendesah berat, dia menarik Ino ke dalam pelukannya, memeluknya erat saat mereka berdua menangis. Itu adalah momen paling menyakitkan dalam hidup Ino, tetapi dia tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dia tidak bisa menjadi orang yang menghalangi Kiba dari mimpinya, tidak peduli betapa sakitnya dia harus melepaskannya.
Seminggu kemudian, Kiba pergi. Rumah yang dulunya dipenuhi tawa dan cinta kini terasa dingin dan kosong, kesunyian bergema di setiap spasi rumahnya seperti hantu. Ino memutuskan melempar dirinya ke dalam kubangan pekerjaan, menghabiskan waktu berjam-jam di toko bunganya, merangkai karangan bunga, dan merawat tanamannya—satu-satunya hal yang membuatnya tidak tenggelam dalam kesedihan yang seolah ingin menelannya.
Namun, seberapa keras pun ia berusaha, Ino tidak dapat melupakan kenangan tentang apa yang telah hilang darinya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Kiba—caranya menaruh sepatu bot di dekat pintu, suara tawanya saat mereka memasak makan malam bersama, kehangatan pelukannya saat mereka tertidur di malam hari. Adegan-adegan yang terlalu ordinari untuk ia lihat dulu, sekarang menjadi pengingat yang terus-menerus menghantamnya tentang kehidupan yang pernah mereka jalani bersama, kehidupan yang kini tak terjangkau lagi.
Entah sudah berapa lama Ino menghabiskan waktu-waktu sendirinya mengubur diri dalam bulir-bulir air matanya sendiri.
Ino tidak lantas mengekang dirinya dalam sunyi sepenuhnya, hanya saja sedikit menarik diri dari cengkrama dan keramah-tamahan desa, bahkan teman-teman dekatnya. Dan semua orang dapat memahaminya. Tentu, apa yang Ino dera membutuhkannya untuk pulih, untuk mengembalikan kepercayaan diri pasca akhir pernikahan. Jadi, bukan berarti pula hidup Ino dan Kiba berhenti bersilangan. Ino melihat Kiba dari waktu ke waktu, memerhatikannya dari jauh, sampai di mana, Ino memandang nanar sosok Kiba yang berjalan di sekitar desa, bersama istri-nya dan kedua anak mereka. Saat itu terjadi, Ino sedang berjalan-jalan di pasar, mengambil perlengkapan untuk toko, ketika ia melihat mereka—keluarga beranggotakan empat orang, tertawa dan mengobrol saat mereka menjelajahi kios-kios. Kiba memegang tangan seorang gadis kecil dengan rambut cokelat, sementara istrinya menggendong bayi di lengannya. Mereka tampak begitu bahagia, begitu lengkap, namun tak membuat Ino gentar dan mengambil arah yang berlawanan.
Itu adalah kali pertama Ino melihat mereka dengan jelas, dengan raut wajah yang terpampang detil-detilnya. Ino telah lama melupakan keberadaan Kiba di rumahnya. Namun hatinya punya masalah yang berbeda. Melihat pemandangan itu rasanya… seperti pukulan di perut. Membuat ulu hatinya nyeri.
Ino memaksakan diri untuk terus berjalan, tersenyum, dan mengangguk sopan saat Kiba memperhatikannya dan melambaikan tangan. Kiba telah memperkenalkannya kepada istrinya, seorang wanita baik dengan mata biru cerah dan senyum hangat—baiklah, tampak seperti Kiba hanya mencari sosok lain yang serupa duplikasi Ino, sang mantan istri. Untuk beberapa waktu orang-orang di desa berbisik-bisik.
Dalam kesempatan itu, mereka bertukar basa-basi, mengobrol ringan—Ino melakukannya seolah hatinya sudah tidak hancur lagi.
Setelah hari itu, Ino sebisa mungkin menghindari pasar, tidak ingin bertemu mereka lagi. Namun, bahkan saat ia tidak melihat mereka, Ino tidak bisa melepaskan bayang-bayang pemandangan itu. Setiap kali melewati kompleks Inuzuka, ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Kiba. Apakah ia sedang bermain dengan anak-anaknya? Apakah ia bahagia dengan kehidupan barunya? Apakah ia pernah memikirkannya, wanita yang pernah menjadi istrinya, wanita yang telah melepaskannya agar ia bisa bahagia?
Ada sekelebat harap bahwa Kiba pernah memikirkannya, bahwa di suatu tempat jauh di lubuk hatinya, Kiba masih memiliki tempat untuknya di dalam hati. Namun, bahkan jika itu benar, hal itu tidak mengubah fakta bahwa dia telah melupakan masa lalunya, sementara Ino masih terjebak di masa lalu.
Ino bukannya tidak pernah mencoba terlepas dari kubangan tak mengenakkan ini. Beberapa kali ia mencoba melupakan masa lalunya, berkencan dengan orang lain, tetapi tidak ada yang dilakukannya selain terus membandingkan mereka dengan Kiba. Tak ada yang sama seperti sosoknya. Pria itu masih memiliki hatinya, dan Ino tidak mampu membayangkan memberikannya kepada orang lain.
Tahun demi tahun berlalu, dan Ino memperhatikan dari kejauhan saat anak-anak Kiba tumbuh besar. Ia melihat mereka di festival desa, berlari dan bermain dengan anak-anak lain, tawa mereka menggema seperti alunan musik. Istri Kiba juga akan berada di sana, menyaksikan itu semua dengan senyum saat suaminya mengejar anak-anak mereka. Mereka tampak seperti keluarga yang sempurna, dan Ino tidak bisa tidak bertanya-tanya seperti apa hidupnya jika dari awal semuanya berbeda—jika dari awal Ino memiliki kesempatan serupa.
Apakah ia akan menjadi orang yang berdiri di samping Kiba, melihat anak-anak mereka bermain? Apakah mereka akan menemukan cara untuk bahagia, bahkan jika mereka tidak dapat memiliki anak sendiri? Atau apakah tekanan dari mimpi mereka yang tidak terpenuhi pada akhirnya akan menghancurkan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya tanpa henti, tetapi Ino tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawabannya. Yang ia miliki hanyalah kenangan, dan pengetahuan pahit manis bahwa ia cukup mencintai Kiba untuk melepaskannya.
Ada malam-malam ketika kesepian terasa hampir tak tertahankan. Ino akan berbaring terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya memutar ulang momen-momen yang telah ia lalui bersama Kiba. Ino akan mengingat cara Kiba memeluknya—lengannya melingkari tubuhnya dengan protektif, seolah-olah Kiba dapat melindunginya dari dunia. Ino akan memikirkan malam-malam yang mereka habiskan untuk mengobrol hingga dini hari, berbagi harapan dan ketakutan, impian mereka untuk masa depan. Ino akan bertanya-tanya apakah Kiba pernah merindukan momen-momen itu seperti yang dialaminya.
Teman-teman Ino telah mencoba membantunya untuk melanjutkan hidup, mendorongnya untuk keluar, bertemu orang baru, dan menemukan seseorang yang dapat membuatnya bahagia. Namun, Ino selalu tersenyum dan mengangguk, mencari alasan tentang betapa sibuknya dia dengan toko, bahwa dia hanya butuh sedikit waktu lagi. Sebenarnya, dia tidak tahu apakah dia akan siap untuk melanjutkan hidup. Bagaimana mungkin dia bisa, ketika hatinya masih milik pria yang sudah tak berhak disentuhnya?
Namun, ada satu orang yang mengerti—seseorang yang telah mengalami rasa sakit yang sama sepertinya. Sakura ada untuk Ino sejak awal, menawarkan bahu untuk menangis, telinga untuk mendengarkan, dan kata-kata penghiburan ketika Ino merasa tidak sanggup untuk melanjutkan hidup. Sakura tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak ada di sana, berpegangan pada cinta yang telah terlepas dari genggamannya. Ia pernah mengalaminya bersama Sasuke, dan meskipun situasi mereka berbeda, rasa sakitnya tetap sama.
Suatu sore, setelah menutup toko, Ino mendapati dirinya berjalan-jalan di desa, kakinya membawanya ke tempat yang sudah dikenalnya. Kompleks Inuzuka tampak di depan, gerbangnya terbuka seolah menyambutnya. Ia tidak berencana untuk datang ke tempat ini, tetapi sekarang setelah ia sampai, ia tidak bisa memaksa dirinya untuk kembali. Ino berdiri di pintu masuk sejenak, mengumpulkan keberaniannya, sebelum melangkah masuk.
Kompleks itu sunyi, matahari terbenam menciptakan bayangan panjang di tanah. Ino berjalan perlahan, jantungnya berdebar kencang rongga dadanya saat mendekati rumah utama. Ino bisa mendengar suara tawa samar-samar dari dalam, hatinya sakit memikirkan Kiba bersama keluarganya. Dia tahu dia tidak punya hak untuk mengganggu, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin melihatnya, berbicara dengannya, meskipun hanya sesaat.
Sebelum dia bisa menebak-nebak dirinya sendiri, Ino mengetuk pintu. Ada jeda singkat sebelum pintu terbuka, dan Kiba berdiri di depannya, ekspresi terkejut melintas di wajahnya.
"Ino," katanya, suaranya dipenuhi dengan campuran keterkejutan, namun masih terdengar hangat. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Ino menelan ludah, memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku hanya... kebetulan sedang berada di dekat sini," katanya, suaranya sedikit gemetar. "Entah mengapa aku ingin mampir dan melihat bagaimana keadaanmu."
Ekspresi Kiba melembut, melangkah ke samping, memberi isyarat agar Ino masuk. "Senang bertemu denganmu. Masuklah."
Ino ragu sejenak sebelum melangkah masuk. Rumah itu hangat dan menguarkan kenyamanan, dipenuhi aroma masakan dan suara tawa anak-anak. Rumah seperti inilah yang pantas disebut rumah—rumah sungguhan, dipenuhi kehangatan, cinta dan kasih sayang. Ino merasakan sekelumit hentakan kesedihan saat menyadari bahwa inilah kehidupan yang selalu diinginkan Kiba.
Kiba menuntunnya ke ruang tamu, tempat istrinya duduk di lantai, bermain dengan anak-anak mereka. Gadis kecil itu mendongak dan tersenyum, matanya yang cerah penuh rasa ingin tahu. Istri Kiba melirik dan tersenyum hangat pada Ino.
"Ino, senang sekali bertemu denganmu," katanya, suaranya tulus dan ramah. "Tolong, buat dirimu nyaman. Tidak perlu sungkan."
Ino mengangguk, duduk di tepi sofa, seketika merasa tidak nyaman, seperti orang luar di dunia yang bukan lagi miliknya. Sesaat, ia mengumpat dalam hati, bertanya-tanya apa yang sudah dilakukannya. Namun Ino memaksakan diri untuk tetap di sana untuk beberapa lama lagi sembari mengeliminasi rasa ketidaknyamanan itu. Ia datang ke sini karena sebuah alasan, meskipun dia tidak sepenuhnya yakin apa alasannya.
Istri Kiba minta izin untuk mengurus anak-anak, meninggalkan Ino dan Kiba sendirian di ruang tamu—memberikan ruang untuk suami dan mantan istrinya. Ada keheningan singkat yang canggung sebelum Kiba berbicara.
"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu malam ini," katanya, nadanya lembut. "Apakah semuanya baik-baik saja?"
Ino ragu-ragu, mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya...aku ingin melihat bagaimana keadaanmu. Sudah lama sejak kita terakhir bicara, dan kurasa…" Ino menelan ludahnya dengan susah payah. "Aku hanya merindukanmu."
Kiba tersenyum lembut, matanya dipenuhi dengan pengertian—tidak ada pancaran dan gestur ketidaknyamanan. "Aku juga merindukanmu, Ino. Kita telah banyak melalui masa bahagia bersama."
Kata-kata seolah menggantung di udara, begitu berat dengan beban semua yang tidak terucapkan. Ino menunduk menatap tangannya, merasakan benjolan imajiner terbentuk di tenggorokannya. Dia datang ke sini dengan begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi sekarang setelah dia di sini, dia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Kiba," dia memulai, suaranya sedikit gemetar. "Pernahkah kau berpikir tentang...kita? Tentang apa yang mungkin terjadi?"
Ekspresi Kiba berubah muram, mengangguk pelan. "Sebenarnya aku sering memikirkannya. Kita punya sesuatu yang istimewa, Ino. Dan aku akan selalu menghargainya."
Ino merasakan air mata menggenang di sudut matanya, dan dia segera mengerjapkannya. "Aku senang kau bahagia," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Kau pantas bahagia."
Kiba mengulurkan tangan, menggenggam tangannya. "Aku bahagia, Ino. Tapi itu tidak berarti aku melupakanmu. Kau adalah bagian besar dalam hidupku, dan aku akan selalu peduli padamu."
Ino meremas tangannya, merasa nyaman dengan sentuhan yang sudah dikenalnya. "Aku juga peduli padamu, Kiba. Aku akan selalu peduli padamu."
Mereka duduk di sana dalam keheningan selama beberapa saat, beban memori bersama mereka menekan keduanya. Ino bisa merasakan air matanya seolah mengancam akan tumpah, tetapi berusaha dia tahan. Ino tidak ingin menangis, tidak di sini, tidak sekarang. Dia sudah cukup menitikkan air mata atas apa yang telah hilang, dan dia bertekad untuk menjadi kuat.
Namun, seberapa pun dia berusaha menahannya, emosi yang berkecamuk dalam dirinya terlalu kuat untuk ditahan. Kenangan tentang kehidupan mereka bersama, mimpi-mimpi yang telah mereka bagi, cinta yang pernah mereka miliki—semuanya menghantamnya, dan sebelum dia menyadarinya, air mata mengalir deras di pipinya.
"Maafkan aku," katanya tersedak, sambil menyeka matanya. "Aku tidak bermaksud—"
Kiba menariknya ke dalam pelukan lembut, lengannya melingkari tubuhnya seperti yang biasa mereka lakukan. "Tidak apa-apa, Ino," gumamnya, suaranya menenangkan. "Tidak apa-apa untuk bersedih. Tidak apa-apa untuk merindukan apa yang pernah kita miliki."
Ino membenamkan wajahnya di bahu Kiba, membiarkan dirinya menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Menangisi kehidupan yang telah mereka hilangkan—untuk mimpi-mimpi yang tidak akan pernah terwujud, dan untuk cinta yang telah terlepas dari genggamannya. Kiba memeluknya sedikit lebih lama, kehadirannya menjadi obat mujarab bagi hatinya yang terluka.
Ketika air matanya akhirnya reda, Ino menarik diri, menyeka matanya. Seolah energi dan air matanya telah terkuras, tetapi ada juga rasa lega, seolah beban telah terangkat dari pundaknya, sebuah rilis yang betul-betul ia butuhkan.
"Terima kasih," katanya lembut, suaranya masih gemetar. "Aku membutuhkannya."
Kiba tersenyum, matanya dipenuhi kehangatan. "Kapan saja, Ino. Aku selalu di sini untukmu, bahkan jika keadaan kita sudah berbeda."
Ino mengangguk, hatinya terisi sekelumit sakit atas campuran rasa syukur dan sedih. Dia tahu bahwa ini adalah akhir yang selama ini dicarinya, bagian terakhir dari teka-teki yang akan memungkinkannya untuk lepas dari kubangan kesengsaraan beberapa tahun belakangan. Ino tahu lebih baik tentang sebagian dari dirinya akan selalu membawa cinta yang dimilikinya untuk Kiba, cinta yang telah membentuknya dengan cara yang baru ia mengerti sekarang.
"Aku harus pergi," ucap Ino setelah beberapa saat, sambil berdiri. "Terima kasih telah mengizinkanku... telah mengizinkanku datang ke sini."
Kiba juga berdiri, mengantarnya ke pintu. "Kamu selalu diterima di sini, Ino. Jangan bersikap asing."
Ino tersenyum, meskipun diwarnai kesedihan. "Aku tidak akan melakukannya."
Saat dia melangkah keluar, udara malam yang sejuk menerpanya, membawa serta hatinya yang agak meringan. Ino menoleh, menatap Kiba untuk terakhir kalinya—menatap pria yang pernah dia sebut sebagai suaminya, pria yang begitu dicintainya. Dia tahu sekarang bahwa sudah waktunya untuk melepaskannya, benar-benar melepaskannya, agar dia bisa menemukan jalannya sendiri ke depan.
"Selamat tinggal, Kiba," ucap Ino lembut, nyaris berbisik, namun sang mantan suami masih dapat mendengarnya.
Kiba tersenyum, ada kilap pengertian di matanya. "Selamat tinggal, Ino."
Dan dengan itu, Ino berbalik dan berjalan pergi, hatinya berat tetapi langkahnya pasti. Jalan di depannya tidak pasti, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ino merasa siap untuk menghadapi apapun yang akan dilaluinya. Dirinya telah mencintai dan kehilangan, tetapi dirinya juga telah tumbuh, dan dia tahu bahwa masih ada masa depan yang menunggunya, masa depan di mana dia bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, bahkan jika itu tidak terlihat seperti yang pernah dia bayangkan.
Saat dia berjalan melewati desa, Ino mendapati dirinya menuju ke tempat latihan. Matahari telah lama terbenam, dan langit dihiasi bintang-bintang, cahaya redup mereka memancarkan cahaya lembut di atas lanskap yang sudah ia hafal. Tempat latihan begitu luas dan kosong, keheningan hanya dipecahkan oleh gemerisik dedaunan yang tertiup angin.
Ino mencapai tepi lapangan dan berhenti, meluangkan waktu sejenak untuk mengambil ketenangan. Tempat ini menyimpan begitu banyak kenangan baginya—kenangan sesi latihan yang panjang, tawa dan persahabatan dengan teman-temannya, dan tekad yang telah mendorongnya untuk menjadi kunoichi seperti sekarang. Di sinilah, di tempat ini, ia telah tumbuh dari seorang gadis dengan mimpi besar menjadi seorang wanita yang telah menghadapi dan mengatasi begitu banyak tantangan.
Ia duduk di rumput, membiarkan dirinya dikelilingi perasaan familier yang menenangkan di tempat itu. Tempat latihan selalu menjadi tempat berlindung baginya, tempat di mana ia dapat mendorong dirinya hingga batas kemampuannya, tempat di mana ia dapat melarikan diri dari kekhawatiran dunia dan fokus untuk menjadi lebih kuat. Dan sekarang, saat ia duduk di sana sendirian, ia merasakan kedamaian yang sama mengalir di sekujur tubuhnya, meredakan rasa sakit yang masih ada di hatinya.
Ino memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang sejuk memenuhi paru-parunya. Ia tahu bahwa ia umpama sedang berada di persimpangan jalan, berdiri di tepi babak baru dalam hidupnya. Ada rasa takut, rasa ketidakpastian, semuanya menyatu. Dia telah melalui banyak hal, namun dia masih berdiri, masih berjuang, masih melangkah maju.
Saat ia duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya, ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Saat membuka matanya, ia menoleh dan melihat Sakura berdiri di sana, ekspresinya lembut dan penuh pengertian. Ino bahkan tidak mendengar kedatangannya, tetapi ia tidak terkejut melihat temannya. Sakura selalu tahu kapan Ino membutuhkannya, bahkan tanpa kata-kata.
"Keberatan kalau aku ikut?" tanya Sakura, suaranya lembut.
Ino menggelengkan kepalanya, tersenyum lembut. "Sama sekali tidak."
Sakura duduk di sampingnya, dan untuk sesaat, mereka hanya duduk diam, keduanya menatap bintang-bintang. Keheningan yang nyaman, yang berbicara tentang persahabatan selama bertahun-tahun, tentang pengalaman bersama, dan tentang ikatan yang semakin kuat seiring berjalannya waktu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sakura setelah beberapa saat, nadanya dipenuhi dengan kekhawatiran.
Ino mendesah, bersandar pada tangannya. "Aku baik-baik saja. Kurasa... akhirnya aku mulai menerima semuanya. Ini jalan yang panjang, tetapi aku akan sampai di sana, menemukan pelabuhanku sendiri."
Sakura mengangguk, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Aku senang mendengarnya. Kau sudah melalui banyak hal, Ino. Tidak apa-apa meluangkan waktu untuk sembuh."
Ino menatap temannya, rasa terima kasih bersinar di matanya. "Terima kasih, Sakura. Untuk semuanya. Kau telah menjadi sandaranku selama ini, dan aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
Sakura mengulurkan tangan dan meremas tangan Ino, sentuhannya hangat dan meyakinkan. "Itulah gunanya teman, kan? Kita bersama-sama dalam hal ini, apa pun yang terjadi."
Ino tersenyum, merasakan kehangatan menyebar di dadanya. Sakura selalu ada untuknya, melalui suka duka, melalui patah hati dan penyembuhan. Persahabatan mereka telah membantu mereka melalui banyak hal, dan Ino tahu bahwa selama dia memiliki Sakura di sisinya, dia bisa menghadapi apa pun yang menghadangnya.
Mereka duduk di sana beberapa saat lebih lama, berbicara pelan tentang segalanya dan tidak ada apa-apa—tentang masa lalu, tentang masa depan, tentang harapan dan impian mereka. Itu adalah percakapan yang penuh dengan kejujuran dan kerentanan, jenis percakapan yang hanya bisa dilakukan oleh sahabat sejati.
Saat malam terus berlanjut, Ino merasakan ketenangan menyelimuti dirinya. Masa depan masih belum pasti, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tidak takut akan hal itu. Dia tahu bahwa akan ada tantangan di depan, tetapi dia juga tahu bahwa dia cukup kuat untuk menghadapinya. Dia memiliki teman-temannya, kenangannya, dan yang terpenting, dia memiliki dirinya sendiri.
Ino berdiri, menyingkirkan rumput dari celananya, dan menoleh ke Sakura. "Kurasa aku sudah siap untuk pulang sekarang."
Sakura tersenyum dan mengangguk, lalu berdiri juga. "Ayo pergi."
Mereka berjalan kembali ke desa bersama-sama, berdampingan, kegelapan malam perlahan berganti menjadi cahaya fajar yang redup. Ino merasakan kedamaian, saat dia meninggalkan tempat latihan di belakangnya. Dia siap untuk melangkah maju, untuk menerima apa pun yang akan terjadi di masa depan.
Saat mereka sampai di desa, Ino menoleh ke Sakura, hatinya dipenuhi rasa terima kasih. "Terima kasih, Sakura. Karena kau ada di sini, karena telah menjadi temanku. Aku tidak akan bisa melewati ini tanpamu."
Sakura tersenyum, matanya berbinar penuh kasih sayang. "Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Ino. Aku senang bisa berada di sini untukmu. Kau lebih kuat dari yang kau tahu, dan aku bangga padamu."
Ino merasakan seolah benjolan timbul di tenggorokannya, seperti tiap kali ia akan mulai menangis. Namun Ino memilih mengerjapkan mata, menahan air matanya. "Aku juga bangga padamu, Sakura. Kita berdua sudah melangkah sejauh ini."
Untuk sesaat, mereka berdua berada di sana dalam hening. Bisa mereka rasakan bahwa kehadiran sahabat, akan selalu meringankan bebanmu, tak peduli seberapa parah dan hebatnya deraan luka yang ada. Dengan pelukan terakhir, mereka berpisah, menuju rumah mereka masing-masing.
Saat Ino berjalan melewati desa, sinar matahari pertama mulai mengintip di cakrawala, dia merasakan harapan muncul dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir, bahwa masih akan ada hari-hari sulit di depan, tetapi dia juga tahu bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapinya. Dia telah kehilangan begitu banyak hal, tetapi dia juga memperoleh sesuatu yang berharga—pemahaman tentang dirinya sendiri, tentang kekuatan cinta dan persahabatan.
Ino sampai di apartemennya, membuka kunci pintu dan melangkah masuk. Aroma bunga yang sudah dikenalnya memenuhi udara. Ino tersenyum lembut pada dirinya sendiri. Menyadari bahwa ini adalah tempatnya, tempat di mana ia akan pulang, tempat di mana ia membutuhkan perlindungan, Ino bertekad untuk mempertahankan apa yang dia miliki sekarang—menyadari bahwa cukup sudah kesedihan yang selama ini ia uarakan di rumahnya. Kesedihan konstan itu tak pernah sebanding dengan cinta yang harusnya ia tumbuhkan setiap hari.
Ino mencintai Kiba dengan sepenuh hatinya—dan mungkin akan selalu begitu. Namun, ia masih punya kehidupan untuk dijalani, mimpi untuk dikejar, dan ia tidak akan membiarkan apa pun menghalanginya setelah ini.
Saat Ino mulai terbiasa dengan kehidupannya, menemukan kedamaian dan penghiburan dalam rutinitas hariannya, ia mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia sadari. Sai, yang selama ini selalu tampak jauh tapi baik dalam hidupnya, tiba-tiba lebih sering muncul. Kehadirannya terasa tidak dipaksakan atau disengaja—terasa begitu komplementari dan natural. Sai akan muncul saat ia butuh seseorang untuk diajak bicara, ketika Ino membutuhkan sosok tenang yang memberikan kenyamanan tanpa tuntutan.
Awalnya, Ino tidak terlalu mempermasalahkannya. Sai adalah salah satu temannya, seorang kawan, seseorang yang telah ia hormati selama bertahun-tahun. Namun seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa Sai tidak hanya ada di sana demi menjadi seorang teman. Sai benar-benar peduli dengan kehidupannya, menanyakan keadaannya secara diam-diam dan menawarkan dukungan lewat gestur-gestur kecil namun berarti.
Suatu malam, setelah seharian di toko bunga, Ino mendapati Sai menunggu di luar pintunya. Di sana, Sai tersenyum kecil, Ino menangkap raut wajah kawannya itu yang seolah memancarkan emosi yang lebih kentara dari sosoknya yang biasanya agak sulit dibaca. Senyumnya, meskipun tipis, namun sejenis senyum tulus yang tak bisa Ino lihat sehari-hari.
"Sai? Apa yang membuatmu ke sini?" tanya Ino akhinya, terkejut namun ada sekelumit kebahagiaan mendapati keberadaannya.
"Aku ingin tahu kabarmu," jawab Sai singkat, tatapan matanya melembut saat bertemu dengan mata Ino. "Kau telah melalui banyak hal, dan kupikir mungkin kau butuh teman."
Ino tersenyum, merasakan kehangatan di dadanya yang sudah lama tidak dirasakannya. "Terima kasih, Sai. Kau sangat perhatian."
Mereka menghabiskan malam bersama, makan malam dengan tenang dan membicarakan banyak hal. Sai mendengarkan dengan saksama saat Ino bercerita tentang harinya, tentang bunga-bunga yang telah dirangkainya, dan bahkan tentang beberapa kenangan yang masih membekas di benaknya. Sai tidak pernah memaksanya, tidak pernah membuatnya merasa harus lebih terbuka daripada yang ia rasa nyaman.
Sai hanya ada di sana, berada di sisi Ino untuk menjadi sosok yang tenang—yang memberikan perlindungan.
Minggu demi minggu berlalu, Ino mendapati dirinya menantikan momen-momen ini bersama Sai. Sai tenang, sabar, dan yang terpenting, ia memahami Ino dengan cara yang tidak banyak dilakukan orang lain. Sai memiliki peperangannya sendiri menyoal mengekspresikan emosi dan menjalin hubungan dengan sesama, tetapi dengan Ino, Sai tampaknya menemukan cara untuk mengekspresikan dirinya yang tulus dan mampu mengeluarkan apa yang dirasakannya secara naluriah.
Suatu hari, saat mereka berjalan bersama di desa, Sai tiba-tiba berhenti dan menoleh padanya, dengan ekspresi serius namun lembut di wajahnya.
"Ino," dia memulai, suaranya tenang namun penuh emosi. Ino dapat menangkap getar dalam suara itu. "Aku tahu kau telah melalui banyak hal, dan aku tahu kau masih dalam tahap penyembuhan. Namun, aku ingin kau tahu sesuatu... Aku peduli padamu. Lebih dari yang pernah kupikirkan untukku bisa peduli pada siapa pun. Dan aku ingin berada di sana untukmu, bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang mencintaimu."
Ino merasa napasnya tercekat. Kata-kata Sai tidak terduga, tetapi lantas bergema dalam di dalam dirinya. Ino terkadang masih begitu terfokus pada masa lalunya, pada rasa sakit dan kehilangan, sehingga dia tidak membiarkan dirinya melihat kemungkinan masa depan—masa depan di mana dia bisa dicintai lagi, di mana dia bisa menemukan kebahagiaan dengan caranya sendiri.
"Sai, aku... aku tidak tahu harus berkata apa," bisik Ino, jantungnya berdebar kencang di dadanya.
"Kau tidak perlu mengatakan apa pun sekarang," kata Sai lembut, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Ino. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, dan aku tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak peduli jika kita tidak akan pernah punya anak. Aku tidak peduli tentang apa pun kecuali memastikan kau bahagia, bahwa kau tahu kau dicintai, dan bahwa kau tidak sendirian."
Air mata mengalir di pelupuk mata Ino, tetapi itu adalah sejenis air mata kelegaan, rasa syukur, harapan, yang sudah lama tidak berani dirasakannya. Kata-kata Sai bagaikan penghangat bagi jiwanya, menyembuhkan luka yang tidak disadarinya masih menganga.
Perlahan, dia meremas tangan Sai, suaranya bergetar. "Terima kasih, Sai. Terima kasih sudah ada di sini, sudah memahamiku, sudah... mencintaiku."
Senyum Sai lembut, penuh kasih sayang, ekspresi yang belum pernah dilihat Ino benar-benar sadari sebelumnya. "Kau pantas bahagia, Ino. Dan aku ingin menjadi orang yang membantumu menemukan kebahagiaan itu."
Saat mereka berdiri di sana, bergandengan tangan, Ino merasakan kedamaian menyelimuti dirinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ino melihat masa depan yang cerah, penuh dengan cinta dan pengertian. Sai memberinya kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang indah, dan dia tahu dalam hatinya bahwa dia siap mengambil kesempatan itu.
Ino mencondongkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya di bahu Sai, dan mengembuskan napas dalam yang tidak disadarinya. "Kurasa... kurasa aku bisa bahagia bersamamu, Sai."
"Dan kurasa," jawab Sai, suaranya lembut dan penuh kehangatan, "aku bisa membuatmu bahagia, Ino. Aku mampu mewujudkannya."
Dan dengan itu, Ino akhirnya membiarkan dirinya melepaskan masa lalu dan merangkul kemungkinan awal yang baru bersama Sai.
Kehidupan Ino bersama Sai bukan tentang mengganti apa yang hilang, tetapi tentang membangun sesuatu yang baru dan indah. Ino tahu akan ada tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa dengan Sai di sisinya, ia dapat menghadapi apa pun. Ia ingin merasakan hangat tawa, uaran cinta, yang benar-benar sepenuhnya ia miliki.
.
.
.
/Owari/
