DISCLAIMER: Spy x Family © Tatsuya Endo. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.
Catatan Author: Sejak kemunculan Sigmund & Barbara Authen di chapter 90 dan lihat interaksi mereka sama Anya, tiba-tiba dalam benak saya muncul teori kalau mungkin sebenarnya keluarga Authen itu adalah keluarga kandung Anya, dan akhirnya saya memutuskan mengembangkan teori tersebut menjadi sebuah fic, yang saya publish di AO3 dalam bahasa Inggris. Disini, saya memutuskan untuk menerjemahkan fic tersebut dalam Bahasa Indonesia, dengan judul yang sama.
Selamat membaca.
Summary: Beberapa jam setelah pesta dansa akhir semester, dimana Anya mengakui tentang kemampuan membaca pikiran yang dimilikinya kepada Damian, keduanya tiba-tiba memimpikan hal yang sama: tentang pertemuan pertama mereka saat mereka masih balita. Waktu pun berlalu dan semuanya berjalan dengan lancar, dimana Anya akhirnya menjadi seorang Kartika Cendekia dengan bantuan dari Sigmund Authen, seorang tetangga dari keluarga Forger, sehingga Agen Twilight dapat menemukan bukti bahwa Donovan Desmond sedang merencanakan perang dan menyelesaikan Operation Strix. Namun, sembilan bulan setelah penangkapan targetnya tersebut, saat Agen Twilight masih menunggu instruksi lebih lanjut dari bosnya mengenai rencana 'pencabutan'nya dari keluarga Forger, Boneka Chimera milik Anya tiba-tiba menjadi kunci dari sebuah fakta yang tak terduga…
Authenticating the Forgers
.
Chapter 1 – Dream of Our First Meeting
'Anya dimana sekarang?'
"Aww, sayang. Akhirnya kamu bangun juga," kata seorang wanita berambut pirang stroberi kepada putri kecilnya, yang baru saja bangun dari tidurnya. Gadis kecil berumur dua tahun itu mengucek kedua manik zamrudnya saat mamanya menambahkan dengan antusias, "Salah satu sahabat mama datang kemari bersama putra bungsunya, dan mereka ingin menemuimu, sayangku."
'Mama?' Gadis kecil itu membelalakan matanya, mengenali sang mama yang dikiranya telah meninggal tiga tahun yang lalu (?). 'Itu benar-benar mama? Tapi kan, orang jahat itu membunuhnya sebelum mereka membawa Anya ke lab. Apa jangan-jangan Anya tiba-tiba kembali ke masa lalu waktu Anya tidur?'
"Mama," gumamnya, "Kita punya tamu?"
"Ya, mereka mengunjungi kita," jawab sang mama yang kemudian mengalihkan perhatiannya kepada dua tamu mereka yang berada disampingnya dan bertanya, "Bagaimana menurutmu tentang putriku, Melinda?"
'Melinda? Maksudnya… bundanya Jinan?' dengan cepat gadis itu memperhatikan wajah sahabat mamanya dan terkesiap, 'Tempat asing ini benar-benar aneh!'
"Oh, dia imut sekali," kata Melinda saat ia melihat gadis kecil itu dengan sebuah senyuman tulus di wajahnya. Wanita itu kemudian menoleh dan berkata kepada seseorang disebelahnya, "Lihat dia, Damian. Umurnya setahun lebih muda darimu, tapi ibu rasa kalian serasi."
'Jinan juga disini?! Kalau dia tiba-tiba kenal Anya gimana?!'
"Ibu, sekarang umurku masih tiga tahun," protes Damian. "Kok ibu bisa ngomong gitu sih?"
"Tapi dia imut banget, lho. Kamu bisa lihat, kan?" Wanita berambut cokelat gelap itu lalu bertanya kepada sang gadis kecil, "Siapa namamu, anak manis?"
"Aku An-"
Sebelum gadis kecil itu dapat menyelesaikan jawabannya, sebuah jam weker berdering dengan kencang, dan seketika semuanya pun berubah.
.
Anya membuka kedua matanya.
"Ini kamar Anya," bisik gadis berambut merah muda itu kepada dirinya sendiri, setelah mematikan jam wekernya. "Berarti, tadi Anya cuma mimpi tentang mama? Tapi kenapa ada Jinan dan ibunya juga? Apa ini gara-gara Anya kasih tahu Jinan kalau Anya bisa baca pikiran, waktu kita dansa di pesta semalam? Atau mungkin, bundanya Jinan benar-benar kenal mama?"
Gadis itu lalu berpikir tentang mimpinya dan bergumam, "Meski begitu, Anya senang bisa lihat mama lagi, walau cuma dalam mimpi. Sekarang, Anya ingat wajah mama."
Anya menghela napas. Dia tidak dapat mengingat dengan jelas tentang apapun yang terjadi sebelum orang-orang jahat itu merebutnya dari sang mama dan membunuh wanita itu. Yang diingatnya sekarang hanyalah wajah mamanya dan beberapa nada dari lagu berbahasa klasik yang sering didengarnya di tempat yang disebut mamanya sebagai rumah mereka.
Rasanya, selain penculikan yang dialaminya, sebagian besar dari ingatannya tentang dua tahun pertamanya bersama keluarga kandungnya terkunci dengan sangat rapat dalam otaknya, dan dia tidak tahu bagaimana membuka kuncinya.
Anya terus memikirkan mimpinya itu, tentang kehangatan yang dirasakannya saat melihat mamanya disana. Perasaan yang jelas tak dapat dirasakannya saat di lab maupun di tiga panti asuhan yang pernah ditinggalinya, bahkan juga di rumah empat keluarga yang pernah mengadopsinya. Perasaan itu mirip dengan kehangatan yang dirasakannya disini, di tengah keluarga Forger.
'Kok Anya bisa mimpi begitu ya? Apa maksudnya, nggak jadi masalah buat Anya kasih tahu Jinan kalau Anya bisa baca pikiran?'
"Tunggu bentar deh. Kenapa semalem Anya pasang jam weker?" tanyanya kepada dirinya sendiri, "Hari ini kan hari pertama libur sekolah, ya? Artinya Anya nggak perlu bangun pagi, karena nggak perlu ke sekolah sampai awal semester baru."
Akhirnya, Anya pun menguap sebelum memejamkan matanya lagi dan berkata, "Anya mau tidur lagi ah."
.
.
Sementara itu, di sebuah kamar yang besar…
Damian Desmond baru saja terbangun dari tidurnya, merasa heran dengan apa yang baru saja dilihatnya dalam mimpinya.
'Aku ingat ibu beberapa kali membawaku berkunjung ke rumah teman-temannya saat aku berumur tiga tahun, tapi aku tidak ingat tentang tante itu dan putrinya,' pikirnya. 'Tapi putrinya itu, katanya sih dia berumur dua tahun, tapi kenapa dia mirip banget sama si cebol ya?'
Damian menggelengkan kepalanya dan berkata kepada dirinya sendiri, "Nggak, itu nggak mungkin dia. Aku tahu dia pendek, tapi dia seumuran denganku. Nggak mungkin kan umurnya berubah cuma gara-gara mimpi?"
'Meski begitu, mereka mirip banget…'
Bocah itu menepuk keningnya. "Duh, ini gara-gara dia tiba-tiba ngomong kalau dia bisa baca pikiran. Kenapa sih aku sampai mimpi begitu cuma gara-gara omongan dia?"
'Tunggu sebentar. Apa dia benar-benar bisa baca pikiran? Ya, aku tahu kedengarannya mustahil, tapi kalau dipikir-pikir, aku memang pernah curiga sih, waktu dia tahu kalau aku dapat nilai jelek di ulangan Bahasa Nasional. Aku juga curiga padanya, waktu dia bisa langsung menang pas kita main joker. Apa itu artinya, dia membenarkan kecurigaanku?'
"Huh, peduli amat. Mendingan nggak usah dipikirin lagi ah." Damian menghela napas kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya. "Rasanya aku perlu minum segelas susu sekarang."
