Don't like don't read!
.
Everything I Need
.
Desclaimer : Naruto By Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
Chapter 1 : When We First Meet
.
.
I wish I was more than just someone you walk by
Wish I wasn't scared to be honest and open
Instead of just hoping
You'd feel what I'm feeling inside
.
Henry Moody by Drunk Text
.
.
Ino tak tahu mengikuti ajakan Sakura untuk nonton band Naruto adalah opsi bagus untuk menghibur diri atau justru membuatnya makin depresi. Sorak sorai ramai membuat kepalanya makin pening, dan meskipun beberapa lagu yang dimainkan lumayan enak untuk didengar, itu tak cukup untuk membuatnya tetap ingin bertahan. Namun ia tak memiliki daya lebih dari yang bisa dibayangkannya untuk bisa pergi dari sana, jadi ia tetap duduk di salah satu kursi yang mengitari meja bersama Sakura, Hinata, Karin dan beberapa teman lain yang sepertinya tak seterpuruk dirinya.
Sakura bilang, suasana hatinya tak baik bisa jadi karena berakhirnya hubungannya dengan sang pacar. Ayolah lima tahun bukan waktu singkat, dan setidaknya cukup untuk menghabiskan masa remajanya. Barangkali itu benar, dan ia belum mampu untuk move on. Sepanjang ingatannya, Sai memang bukan pacar romantis. Dia nyaris tak pernah mengingatkan makan, karena menganggap mengingatkan makan bagi orang dewasa bukanlah hal penting. Makan adalah kebiasaan, dan kebiasaan seringnya telah diingat lekat dalam memori. Dia juga jarang memberi bunga, kadang-kadang lupa hari ulang tahunnya, dan lebih memilih mengajak Ino ke galeri lukisan ketika hari valentine ketimbang memberi cokelat batangan atau kumpulan harum mawar merah. Tapi lebih dari itu, ingatannya soal Sai terekam indah meski kenyataannya tak seperti itu.
Perpisahan mereka bukan karena orang ketiga, bukan juga karena pertengkaran hebat yang memunculkan dendam. Lebih karena jauhnya akses untuk saling bertemu, dan memberi kabar lewat video call atau pesan-pesan singkat rasanya sudah sangat membosankan. Sai diterima di China Academy of Art Hangzhou, dan mendadak menganggap segalanya tak lagi penting selain kuliahnya. Ino dikesampingkan, dan yeah mereka berakhir begitu saja. Padahal kalaupun harus menunggu, atau bersabar dalam hubungan mereka, Ino bakal bisa bertahan, asalkan Sai tetap mau bersama. Namun tampaknya dari pihak Sai tidak begitu.
"Kau melamun." Sakura melambaikan tangan di depan wajah Ino, ketika band Naruto usai memainkan lagu mereka.
Meja mereka mendadak ramai oleh kehadiran Naruto dan teman-teman bandnya. Lelaki itu mengenalkan gitaris barunya, Kiba Inuzuka namanya. Tinggi, badan atletis, tatapan setajam elang, seolah mampu melubangi pikiranmu, senyum miring yang lumayan seksi dan dia cukup keren, tidak terlalu tampan sih namun enak dipandang. Tatapan Ino dan lelaki itu saling bertubrukan selama beberapa detik, sumpah ia malu total, namun Kiba justru melukiskan senyum sopan dan mengangguk padanya. Ino jadi lega, meskipun sebagiannya ia tak ingin dianggap tertarik. Lagipula, wajar saja kan memperhatikan anggota baru, lebih bisa disebut penasaran daripada tertarik.
Jam makin beranjak malam, dan teman-temannya yang lain lebih memilih menghabiskan obrolan dengan pasangan masing-masing, menyisakan Ino dan Kiba di meja. Duduk bersebelahan, sedikit canggung, dan tak tahu topik apa yang paling bagus untuk dijadikan obrolan.
"Bagaimana kau bisa bergabung dengan band Naruto?"
Kiba mengerjap, ia menuangkan wine dalam gelas slokinya dan menatap Ino sejenak sebelum meminumnya. "Kami berada di tim futsal yang sama, dan dia bilang aku jago main gitar. Lalu, yeah dia menawariku latihan bersama bandnya." Kiba menawari Ino wine, dan gadis itu mengangguk, membiarkan si lelaki menuangkan minuman beralkohol itu ke dalam gelasnya.
Ino meminum cairan itu, dan merasakan sensasi pahit menjalari lidahnya. Ia mengerutkan kening, tak bisa menikmati minuman itu layaknya Kiba menikmatinya. Tapi tidak buruk juga.
"Kau tak terbiasa minum ya?"
"Ya." Ino menjawab pelan.
"Kalau begitu, jangan diteruskan, ini tidak akan berakhir baik." Kiba nyaris menjauhkan botol wine itu ketika tangan Ino justru menghalanginya.
"Tidak apa-apa, aku ingin sedikit menghibur diri disini." Kali ini dia menuangkan sendiri wine ke gelasnya, meminumnya dalam sekali tegukan.
Kiba terdiam, mengamati pipi Ino yang mulai bersemu dan binar matanya yang agak meredup. Sepertinya, gadis ini tak memiliki ketahanan yang baik terhadap alkohol. "Hei sudah, ini sudah terlalu banyak." Ia memegangi tangan Ino, dan mengambil alih wine itu. Mana ia tahu kalau si pirang benar-benar payah dalam urusan minuman beralkohol.
"Berikan lagi, aku sudah pernah minum sebelumnya dan," Ino cegukan, "dan mantan pacarku bahkan tidak peduli."
Apakah ini waktunya membicarakan mantan pacar? Oke, mungkin yang disebut mencari penghiburan tadi adalah usaha untuk melupakan sang mantan. Tapi apa itu mempan? Bahkan di alam bawah sadarnya pun, gadis itu tetap teringat mantannya. "Kau bahkan mabuk secepat ini." Kiba agak ragu ketika melepaskan jaketnya, namun melihat potongan rendah gaun Ino yang memperlihatkan belahan payudaranya membuatnya agak tak nyaman. Tak ada yang bakal bertindak tak senonoh disini, ia tahu. Tapi tidak ada larangan untuk melihat, dan lelaki mana pun akan setengah ereksi melihat bagian tubuh Ino yang itu.
.
.
Kepalanya pening, dan langit-langit seolah berputar ketika pertama kali membuka mata pagi itu. Rasa pengar membuatnya tak nyaman dan lebih dari segalanya, Ino merasa bersyukur terbagun di kamarnya sendiri.
"Untungnya ini hari Minggu, bakalan repot kalau ini hari lain dan kau baru bangun setelah lewat pukul sepuluh." Sakura duduk di kursi dekat jendela, tengah membaca salah satu majalah selebriti yang baru dibelinya jumat kemarin.
"Kau ngapain disini?"
"Ngapain?" Sakura memutar bola mata, menutup majalahnya dan mendekat ke arah si sahabat. "Bilang terimakasih dulu, aku sudah rela mengantarmu pulang dan rela menginap di apartemenmu karena kau mabuk parah semalam."
"Mabuk?" Matanya melebar, dan kejut singkat jantungnya membuatnya agak panik. Terakhir yang ia ingat, ia duduk bersama teman baru Naruto dan-
"Memalukan sekali, kau muntah di jaket Inuzuka."
"Eh?"
"Untungnya dia baik, dan kau bahkan membawa jaketnya pulang." Senyum kecil muncul di wajah Sakura, seolah menikmati kepanikan Ino. "Kau meracau, entahlah soal apa, dan dia mendengarkanmu."
Rasa malunya naik ke ubun-ubun, dan meskipun Kiba bukan siapa pun baginya yang membuatnya tak perlu memikirkan ini secara berlebihan, tapi tetap saja ia tak bisa membayangkan betapa aneh dirinya kemarin. Kesan pertemuan awal Inuzuka terhadapnya pasti, si wanita mabuk yang meracau dan memuntahi jaketku. Ino menelungkupkan wajahnya ke bantal, "bagaimana ini Sakura?"
"Entahlah." Sakura tertawa, tak tahan melihat ekspresi Ino yang kelewat khawatir sampai ingin menangis. "Tapi sepertinya dia tertarik padamu."
"Omong kosong, jangan berusaha menghiburku."
Tawa Sakura makin manjadi.
.
.
Kiba sedang membereskan setumpuk laporan farmasetikanya ketika Naruto bertamu di Minggu siang itu, dan meskipun agak sibuk ia tak bisa membiarkan sang teman kembali pulang, jadi ia mempersilahkannya masuk, yeah melanjutkan tugas nanti sepertinya tidak masalah.
"Hei Bro, kau okay?"
"Lebih dari oke." Kiba berjalan di belakang Naruto, dan mulai menyalakan TV. Channel favoritnya yang sering menayangkan olahraga, kali ini membahas soal pertandingan baseball. "Nggak biasanya, maksudku kau kan lebih sering memberitahukan sesuatu lewat telepon ketimbang datang sendiri kemari."
"Aku sedang luang saja." Naruto duduk di sofa, dan Kiba menuju kulkas untuk mencari sesuatu yang bisa ia hidangkan.
Dari sekian banyak teman yang akrab dengan Naruto, kenapa cowok itu memilih apartemennya? Padahal mereka tak terlalu lama kenal, baru sekitar empat bulan. Merantau jauh dari Nagoya ke Tokyo memang butuh banyak penyesuaian, ia tak memiliki banyak teman dan agak kaku soal pergaulan. Bertemu Naruto dan grupnya di latihan futsal yang tak sengaja ia ikuti terasa seperti berkah tersendiri. Sejujurnya, ia ikut futsal waktu itu hanya untuk merilekskan pikiran yang suntuk. Jauh dari rumah, suasana kota yang baru, kehidupan yang nyaris lima puluh persen berbeda dengan kehidupannya di Nagoya sungguh agak bikin frustasi.
"Kau tidak sedang sibuk kan?"
"Nggak." Ia berbohong, dan meletakkan sebotol susu, sekotak jeruk dan beberapa bungkus makanan ringan ke hadapan Naruto. "Sorry, aku tak memiliki apapun untuk dimakan."
"Ini sudah lebih dari cukup Inuzuka." Naruto menggulir ponselnya, dan menunjukkan pada Kiba. "Aku memasukkanmu ke grup kami."
"Apa?" Pertandingan baseball tak lagi menarik, topik pembicaraan Naruto lebih patut disimak sepertinya. Foto profilnya membuat Kiba agak tertegun, ini foto mereka kemarin kan? Bersama para gadis yang semuanya tak ia kenal.
"Ini grup kami, dan kurasa kau cocok berada di antara kami." Mata Naruto tiba-tiba berbinar, dan ia sedikit mendekat ke arah Kiba. "Kau menyukai Ino ya?"
"Hah? Ino siapa?" Kerut di keningnya jelas bukan bualan, Kiba bahkan baru mendengar nama itu sekarang.
"Cewek pirang yang bersamamu kemarin."
Oh, namanya Ino. "Aku belum sempat tanya namanya, dan lagipula dia mabuk."
Naruto tertawa, "dia hanya sedang gagal move on saja."
"Dan muntah di jaketku." Kiba mengulas senyum tipis, ia tidak berharap juga jaket varsity nya dikembalikan karena kemungkinan bertemu lagi pun belum tentu terjadi.
"Kau boleh mendekatinya kalau kau mau, tapi si gadis berambut biru gelap bernama Hinata hanya milikku." Kepalan tangan Naruto mendarat di pundaknya, pukulan pelan, tapi Kiba bisa menangkap jika pesan dalam kalimat itu cukup jelas. Naruto menyukai Hinata.
"Aku nggak bilang aku ingin mendekatinya," Kiba memikirkan kalimat yang tepat untuk diucapkan. "Kemarin sepertinya cuma kebetulan." Teman-teman cewek Naruto cantik-cantik, semuanya memiliki bentuk tubuh yang indah, mata yang candu untuk ditatap tapi tak terlitas dalam benaknya untuk memacari salah satu diantara mereka.
"Astaga, jangan malu-malu begitu, aku melihatmu tak berhenti menatap Ino dan sesekali melirik belahan payudaranya."
Kiba menelan ludah, berusaha tak menampakkan ekspresi terkejut. Jadi Naruto menangkap basah dirinya? Wah, padahal bukan seperti itu maksudnya kemarin. "Astaga Bro, kau seolah memaksaku mendekati cewek yang belum bisa move on dari mantan pacarnya."
.
.
Nyaris tengah malam, dan Ino tak bisa tidur. Sakura sudah pulang dari berjam-jam lalu dan membuat suasana apartemennya terasa hening, kehadiran Sakura ternyata cukup berarti juga. Sembari menggulir postingan instagram teman-temannya yang nyaris seluruhnya tengah memamerkan sang pacar atau pencapaian kesuksesan masing-masing membuat Ino agak muak. Sebab, tak ada yang bisa ia posting di media sosial itu, pacar tak ada dan studynya juga begini-begini saja. Meskipun ia bersikeras tetap mengikuti media sosial sang mantan pacar, rasa kesal tiap kali lelaki itu memposting pencapaiannya atau sekedar berfoto bersama teman perempuannya agak membuatnya gerah. Lalu postingan Sasuke membuatnya terhenyak sebentar. Cowok itu mengunggah foto kebersamaan mereka kemarin, dan menandai tiap orang yang ada dalam foto. Naruto, Hinata, Karin, Sakura Sasuke, Gaara, dirinya dan... Kiba. Agak lama Ino mengamati senyum Kiba yang lumayan memesona, senyumnya lebar, gigi taringnya bahkan sedikit terlihat. Dan sebelah tangannya yang seolah tak berani menyentuh Ino bertengger di pundak Gaara.
Inu_zk07, entah kenapa telunjuknya menekan nama itu dan membawanya ke media sosial si lelaki. Tak banyak postingan disana, foto profilnya cukup sederhana, Kiba yang berdiri membelakangi kamera dan tengah menatap matahari yang nyaris terbenam.
I'm not perfect, but I'm limited edition. Tertulis di biografinya. Tanpa sadar, Ino mengulas senyum sementara jemarinya semakin turun ke bawah. Dan dari beberapa foto yang masih tersisa di sana-atau barangkali memang cuma sedikit yang dia bagikan ke media sosial-Ino menyimpulkan kalau Kiba suka sepak bola, bisa main gitar, punya anjing, pengagum senja, dan memiliki senyum yang sulit untuk ditolak. Sudah punya pacar belum ya?
Tanpa berpikir dua kali telunjuknya mengeklik tombol "follow". Dari sekian banyak dugaan yang ia pikirkan, Kiba pasti hanya mengira Ino cuma ingin berteman.
.
.
Kepalanya agak pening, praktikum mikrobiologi hari ini lumayan membuat frustasi dan ketika menyempatkan diri makan malam sekaligus makan siang, Kiba memeriksa notifikasi pesan di ponselnya yang tidak berhenti berdenting. Itu notifikasi grup yang dibentuk Naruto. Jemarinya menggulir tiap percakapan dari atas ke bawah.
.
Naruto : Sasuke, Gaara, Kiba, luang besok sore?
Sasuke : Nggak Bro, ada janji sama Itachi untuk pergi ke rumah Paman Madara.
Gaara : aku free
Sakura : Sasuke, paman Madara kenapa?
Karin : kalian mau ngapain? pesta tanpa kami?
Naruto : Karin, futsal, mau ikut?
Karin : Naruto, LOL
Sasuke : Sakura, Paman Madara sakit
.
Kiba bimbang untuk mengetikkan balasan disana, sejujurnya ia luang. Futsal juga bukan beban baginya, tapi entah kenapa ada yang kurang dalam percakapan mereka.
.
Karin : Ino, jangan mengurung diri terus sayang, mantan pacarmu tidak perlu ditangisi. Ayo nonton futsal, Naruto bakal mentraktir kita usai futsal.
.
Kiba tertegun, iya, dari sekian banyak percakapan Ino tak muncul sejak kemarin. Bukan berarti ia peduli, tapi... tapi yeah grup Naruto sepertinya tak lengkap tanpa Ino.
.
Naruto : Kiba, kau menyimak saja, kau luang apa tidak Bro? Atau jangan-jangan kau sedang bersama Ino sekarang? :D
Naruto : Ino, Hinata, aku akan mentraktir kalian, minus Karin.
Hinata : Aku sibuk, nggak janji bisa datang. Tapi bakal kuusahakan
Kiba : Naruto, aku bakal datang
Karin : Kiba, hei apa kau benar-benar bersama Ino sekarang?
Naruto : Kiba, bilang saja Kiba kalau kau naksir Ino, dia lajang sekarang. LOL
Karin : Naruto, sialan kau
.
Apa-apaan ini? Kiba mengetikkan balasan namun ia hapus lagi. Kalau ia menyangkal tuduhan Naruto, entah itu bakal menyakiti Ino atau tidak. Tapi mengiyakan apa yang bukan menjadi kenyataan sungguh bikin hati tidak nyaman. Tanpa menjawab apapun ia menutup ponsel, dan kembali memakan mienya yang nyaris dingin.
.
.
Stiletto sialan, Ino mengumpat pelan dan berjongkok untuk memastikan kakinya baik-baik saja. Tapi sepertinya tidak, lebam merah tampak jelas di pergelangan kakinya. Rasa nyeri dan ngilu bercampur jadi satu dan membuatnya secara tak sadar menitikkan air mata. Astaga, ini jam berapa? Kenapa suasana sudah sepi di jam seperti ini?
Setidaknya ia harus menemukan bis, atau taksi dan pulang dengan selamat. Sembari menahan rasa sakit yang luar biasa menyiksa, Ino melepas stilettonya dari kaki kanan dan mengerang pelan. Dasar benda cantik pembawa petaka. Ia menghabiskan tabungan tiga bulannya untuk membeli produk cantik Saint L tersebut sebulan lalu, tinggi haknya memang agak ekstrem, nyaris sepuluh senti. Namun benar-benar mengagumkan jika dipakai pada kaki jenjangnya, Ino kira segalanya bakal mudah seperti stilettonya yang lain. Siapa sangka bakal berakhir begini.
Pada akhirnya, ia memutuskan melepas kedua stilettonya. Dan menguatkan diri untuk berdiri, lalu melangkah pelan-pelan. Ini sungguh menyiksa dan membuatnya frustasi. "Tahu begini aku kan nggak perlu pakai benda sialan ini."
Jemarinya serabutan menghapus air mata, sementara tangannya yang lain menenteng sepatunya. Baru beberapa langkah, ia menyerah dan kembali terduduk di paving jalanan. Sepertinya ia harus menelepon seseorang, Sakura misalnya? Tapi bukankah Sakura sedang kencan dengan Sasuke? Apa Hinata saja ya? Naruto atau Gaara barangkali. Tapi ketika ia mempertimbangkan semua nama itu sembari menggulir kontak di ponselnya, suara lain tiba-tiba membuatnya nyaris jantungan.
"Yamanaka?"
.
.
"Kakiku terkilir, dan... dan ini sakit sekali." Ino tak bisa menahan tangisnya, entah keberuntungan atau justru petaka ketika melihat Inuzuka tiba-tiba ada di hadapannya dengan kaos abu-abu yang terlapisi kemeja biru muda. Ranselnya yang terlihat agak berat menggantung di pundaknya. Dari mana dia? Baru pulang kuliah atau dari tempat lain?
Kiba berjongkok di samping Ino, mengamati lebam kemerahan di kaki cewek itu yang lumayan parah. Ah dasar, kadang ia tak paham kenapa para wanita suka menyakiti diri sendiri. Mereka pasti yakin jika memakai high heels sungguh bikin kaki tak nyaman, tapi mereka suka mengenakannya. "Bisa jalan?"
"Sakit." Ino tak peduli lagi bagaimana pendapat Kiba tentangnya, yang jelas musibahnya kali ini bukan main-main, dan ia sangat butuh pertolongan.
Kiba tampak berpikir sebentar, tatapannya mengarah ke sekitar. Jalanan yang mulai lengang, suasana juga mulai sepi di sekitar sini. Dan meskipun ia merasa lelah luar biasa, bukan hal bagus juga jika meninggalkan Ino disini. "Kau bisa berdiri?"
Ino mengangguk pelan.
Sepertinya memang cuma ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk menolong, mengingat taksi online sudah jarang beroperasi jam segini. "Naiklah ke punggungku." Dia memosisikan diri dengan baik di hadapan Ino, dengan arah membelakangi Ino dan posisi jongkok yang sudah mantap.
"Eh?"
"Tidak apa-apa, jangan khawatir." Kini ia sudah memindahkan ranselnya ke depan, agar Ino bisa merasa nyaman berada di punggungnya.
"Tapi..."
"Ayolah Yamanaka, ini sudah malam, dan bis terakhir tinggal beberapa menit lagi beroperasi."
Nada tegas Kiba membuat Ino agak tersentak, jujur ia merasa sedikit takut dan lebih memilih untuk menurut. Perlahan ia bangkit, mengalungkan tangannya di leher Kiba dan ragu-ragu ketika meletakkan kepalanya di pundak si lelaki.
"Sudah siap?"
"Uhm, kurasa."
Sejujurnya Ino tidak seberat dugaannya, tapi kelelahan di pundak dan punggungnya selama seharian ini membuatnya agak tak kuat membawa beban tubuh cewek itu. Ia kembali menguatkan diri di tiap langkah, mengesampingkan beban tas dan buku-buku tebal di dalamnya. Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang lewat, dianggap konyol, sok romantis, atau justru tolol. Tapi seharusnya mereka bisa melihat sepatu hak Ino yang patah, dan lebam kemerahan di pergelangan kaki cewek itu.
Kiba yakin Ino tengah menyembunyikan wajahnya diantara batas leher dan pundaknya ketika segerombolan wanita lewat dan berbisik-bisik tentang mereka. Tapi persetan, ia juga tak mengenal cewek-cewek heboh itu. "Kau oke?"
Apa tidak salah cowok itu bertanya begitu? Pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan. "Aku baik-baik saja," Ino berucap pelan, ragu-ragu. "Halte nya masih cukup jauh, apa kau tidak apa-apa?"
"Yeah, kau tak perlu khawatir."
Sejujurnya, Ino lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri ketimbang keadaan Kiba. Ia juga tak berani banyak bicara, selain takut salah kalimat ia juga tak bisa memahami perasaan cowok itu. Lagipula pertemuan awal mereka waktu itu juga memiliki kesan yang buruk. Dan demi Tuhan, bagaimana caranya masuk kuliah dengan baik-baik saja besok?
tbc
Mohon maaf, tapi scene terakhir terinspirasi dari monalisa karya Kak Shiorinsan.
Lupa kalau ternyata banyak simbol yang nggak bisa dpakai di FFN, jadi sorry kalau teksnya jadi agak susah dipahami
Thanks for reading
.
Lin
15 April 2024
