A/N : Selamat pagi! The NEWS akhirnya 'kerja' lagii. Huuyeaaah! Maka untuk menghilangkan ke-WB-an itu lahirlah fic ini! Muahaha. Awalnya mau bikin humor oneshot tentang The NEWS malah jadi beginian. Bersiaplah kalian wahai kawula muda! The NEWS kembali membawa kerusakan di mana-mana! AHAY. Nah, intinya saya membawa kemasan baru untuk The NEWS. Mereka yang biasanya ngeliput di TKP berbahaya kali ini akan saya geser untuk meliput di-ehem. Unsur kejar, lari, tangkap, liput masih ada. Tapi dalam versi lain #plak

Disclaimer : Saya tekankan bahwa Hetalia: Axis Powers dengan segala isinya, dunia dan keceriaanya adalah milik Hidekazu Himaruya dan saya tidak mengambil keuntungan materil atas cerita ini. The NEWS cuma sekelompok personifikasi negara yang saya kumpulkan menjadi sebuah tim reporter gagal. OC punya saya!

Warn : Arkansas dengan segala keabsurdannya. Percayalah, Arkansas tak seburuk yang kalian kira, men. Tapi nanti uhuk. Apa maksudnya coba? Chara Super Minor's Death. Beware of twist. Too much setting in this fic. Stressed!Airlangga. OC Indonesia yang ternodai uhuk. Penggunaan human name berlebih. Dan reporter yang menyimpang. Uhuk!


.

-The NEWS-

.

Airlangga Putra as observator

Tak ada yang bisa menandingi Airlangga akan kecintaannya pada dunia jurnalistik.

Natalia Arlovskaya as reporter

Tak menarik. Bukan tipe istri masa depan. Gambaran wanita berseragam kulit, berambut panjang yang mengkilat jika tersiram radiasi matahari, yang selalu menenteng belati kecil dan selalu disampirkan sangat aman di ikat pinggang, lengkap dengan sebuah rompi hitam dan kacamata hitam penghalang sinar matahari. Euh. Dia ini reporter atau anggota militer?

Gilbert Beilschmidt as leader

Sang pemimpin yang mengidap fetish dengan keinginan untuk menjadi reporter sungguhan. Selalu bersemangat saat melihat suatu adegan pengejaran penjahat dari kepolisian setempat, senang berbaur dengan keramaian tempat-tempat wisata yang banjir turis-turis mancanegara, kegirangan menyaksikan penerbangan pesawat jet untuk simulasi perang pasifik, juga kerap mengunjungi tempat-tempat bersejarah di seluruh dunia. Dialah gambaran seorang reporter yang haus berita.

Francis Bonnefoy as driver

Sang pemuda bermulut gombal titisan Eropa Selatan berikut adalah pengemudi terlatih dalam bidang kendaraan apapun. Dia bisa memacu pesawat jet sejauh 60 kilometer. Dia mampu mengaplikasikan kendaraan berat untuk menghancurkan gedung. Ia bahkan sudah ahli mengendarai motor untuk melompat dari dua ujung jembatan yang putus sejak umur 12 tahun. Namun semuanya berubah semenjak dia kedapatan menggoda seorang anak inspektur kepolisian. SIM-nya disita dan ambisinya untuk menaiki gunung Himalaya dengan kereta salju sirna tak berbekas (padahal kereta salju tidak butuh SIM). Kini ia mengais euro dengan menjadi pengemudi van reporter berwarna maroon.

Antonio F. Carriedo as camera-man

Mengarungi dunia. Merekam kejadian. Melaporkan peristiwa. Hanya berbekal sebuah kamera dokumenter biasa. Masih sangat tradisional karena menggunakan roll film yang sudah disiapkan bergunung-gunung di kamarnya. Selalu siap siaga dengan kamera menyala. Tak pernah protes jika dipaksa untuk meliput. Pasangan duet sang leader. Jika dia dan Gilbert sudah berkolaborasi untuk meliput suatu berita, maka hancurlah kota.

"News are our soul"

Tak punya nama resmi.

Hanya meminjam nama instasi dari sebuah kantor jurnalistik milik sang putra sulung Beilschmidt, adik Gilbert, sebuah gedung tempat mereka bernaung selama ini dalam berkas-berkas dokumen dan ajang mengolah berita menjadi sebaris cerita yang akan ditampilkan di layar kaca.

Sebut saja mereka: The NEWS.


Arr-Kansas

Chapter I

by:

Raputopu

.

Hetalia Axis Powers

Disclaimer: Hidekaz Himaruya


Camera, Action!

Tiga bulan setelah penayangan video dokumenter berisi suka duka liputan mereka dalam peristiwa penculikan Airlangga bulan Januari lalu, yang hebatnya kini berhasil menyaingi tiga film besar berjenis dokumenter yang marak dibicarakan di seluruh dunia, mereka akhirnya berhasil meraup keuntungan yang sangat besar. Selain menerima piagam penghargaan dari kepolisian setempat, kini The NEWS menjadi jauh lebih diseganinya oleh reporter lainnya ketimbang sebelumnya. Dan sialnya hal itu malah membuai mereka dan membuat kelima reporter itu menjadi kurang produktif seperti dulu.

Setelah cuti panjang di bulan Juni lalu, mereka akhirnya hidup berpisah-pisah.

Airlangga pulang kembali ke Brussel, kembali tinggal dengan sang adik tercinta yang baru-baru ini berurusan dengan polisi. Katanya, mungkin The NEWS bukan jalan yang tepat untuk menyalurkan hobi menulisnya.

Sementara Natalia, si gadis Belarusia sinting itu, lebih sering menghabiskan waktunya bersama Mathias. Pemuda Denmark yang kini menjadi anggota kepolisian itu.

Antonio, Francis dan Gilbert yang merupakan pendiri The NEWS sekaligus personel yang masih bertahan hingga sekarang, sebenarnya masih mendekam di kantor The NEWS sebagai pembawa seminar atau terkadang menjadi tukang bersih-bersih di kantor Ludwig yang sering ditinggali. Dan selebihnya mereka cuma menghabiskan waktu dengan bermain kartu dan menganggu tetangga.

Nah, seluruh dunia bertanya-tanya—bukan dunia dalam konteks sesungguhnya, hanya sekumpulan pedagang tomat dan penjual permen karet di pinggir Jerman yang sering menjadi korban kerusakan akibat perbuatan mereka—bagaimana kegiatan para reporter ini setelah seminggu penuh mengalami intrik kriminal di Eropa waktu itu? Apakah mereka kembali meliput? Apakah mereka cuti? Apakah mereka berhenti? Tanyakan saja pada kamera yang bergoyang.

Mungkin jawaban yang wajar adalah, mereka tidak lengkap lagi.


Brussel, Belgium

"Selamat malam, warga dunia! Kembali lagi bersama kami The NEWS, masihdalam nuansa hari kemerdekaan Indonesia! Ha! Ramai sekali pembicaraan di Twitter kala itu! Kalian para masyarakat Indonesia memang jago sekali dalam menggemparkan dunia lewat Trending Topic! Kenapa kalian sekali-kali tak membuat hashtag #Prussiawesome atau #ImProudtobeanAlbino? Pasti bakal keren sekali, kan? Hahaha! Aku cinta kalian! Ngomong-ngomong aku jadi ingat dengan kru-ku yang berdarah Indonesia dan berulang tahun di hari yang sama dengan hari kemerdekaannya! Haloo, Airlangga! Di manapun dirimu berada, aku ingin mengucapkan ulang tahun! Sekarang dirimu jelas makin dewasa, kan? Hahaha. Tentu saja! Jangan suka marah-marah lagi, nak—"

Dalam keremangan dan tebak-tebakan, Airlangga meraih segelas minuman bersuhu dingin yang baru saja diserahkan oleh seorang bartender.

Kepalanya pening. Kenapa orang itu menyebut namanya?

Selepas bartender itu pergi, Airlangga berucap parau. Kelewat pelan dan kemungkinan hanya dapat didengar olehnya. Sangat rapuh dan terpaksa. "Terima kasih..."

Ia menegak isinya dalam sekali teguk.

Kenapa harus dia?

Barulah setelah alkohol berjenis gin yang diekspor langsung dari Rotterdam itu merasuki lehernya dan menghangatkan tubuhnya, Airlangga baru merasa tenang.

Dingin mulai menyeruak ke lapisan serat jaket kulit cokelatnya, menggigit kulitnya yang eksotis laksana perunggu. Mengerang sedikit, dia menarik ujung-ujung dari resleting jaketnya, membungkus dirinya kian rapat.

Sedari tadi bunyi-bunyian radio tua yang kini menyajikan sebuah berita hangat Eropa dan menjadi satu-satunya pusat perhatian di bar reot ini, tempat Airlangga menghabiskan lima jam terakhir sebelum matahari terbit di Brussel, menjadi puncak masalah Airlangga sejak tadi.

Mereka.

Mereka masih saja meliput. Para teman-temannya itu. Sekumpulan orang yang menyebut diri mereka reporter hebat. Dan memang begitu kenyataannya.

Dia kembali mengambil botol gin yang tersedia di talenan di atas meja bar. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia membuka botol itu dengan giginya, menegak isinya dalam sekali tuang ke mulut. Rasanya hendak mengguyur alkohol itu ke mulutnya. Tak peduli jika cairan itu menggebu-gebu banyaknya sampai mengalir keluar melalui sudut mulut. Memenuhi lambungnya dengan alkohol sampai melewati kapasitas. Membuatnya semabuk mungkin. Membuatnya segila mungkin. Sehancur-hancurnya sampai ia tak bisa sadar lagi.

Para penghuni bar ini sedari tadi bertanya-tanya ada apa dengan si pemuda yang sejak lima jam lalu berdiam diri di meja bar. Tanpa teman. Tanpa bahan keasyikan. Hanya menghibur diri dengan alkohol.

Kelihatannya dia tengah pusing memikirkan sesuatu. Terlihat jelas raut kebingungan dan kegalauan di wajahnya. Dia bahkan berkali-kali meminta untuk menyaringkan radio itu. Padahal isi yang disampaikan radio bersangkutan hanyalah curhatan seorang reporter yang tak berarti mengenai kawannya yang berulang tahun.

Airlangga akhirnya menyerah.

Ia menjatuhkan botol gin yang masih separuh penuh itu ke meja. Menimbulkan bunyi benda jatuh ketika keramik botol tersebut beradu dengan meja kayu. Bersamaan dengan tumpahnya cairan dingin itu yang membanjiri meja, membasahi baju dan celananya.

Tubuhnya merosot, tak peduli bahwa permukaan meja kini basah. Tangannya memukul meja keras-keras. Seketika mengagetkan seluruh penghuni bar. Tangannya yang gemetar menjambak rambut gelapnya kuat-kuat. Kepalanya bagai diaduk-aduk. Dia berusaha mengingat. Tetapi hal itu justru memberikan refleksi yang teramat nyeri pada kepalanya.

Dia tetap tak mengingat apapun.


07.00 am

Berlin, Germany

Bunyi alarm pagi mengagetkan Natalia, mengejutkannya bagai aliran listrik yang seketika menyengat sekujur tubuhnya, memaksanya bangun dengan mata yang terbuka tiba-tiba, masih merah dan berair.

"Selamat pagi, warga Jerman. Selamat menyambut hari barumu dengan cuaca cerah dan suhu sejuk di bawah 25 derajat celcius! Selamat meyambut hari Senin di awal pertengahan tahun yang indah. Apakah anda sudah menyiapkan sederet aktivitas untuk minggu ini? Jika tidak, kami mempunyai beberapa tips menikmati hari libur."

Dia mengerang. "Diam kau..."

Tangannya melayang dan mendarat keras di alarm putih perseginya sebagai bentuk kekesalan. Membuatnya retak di bagian pinggir dan berdengung karena suara penyiar radio yang keluar melalui speaker kini terdengar aneh akibat pukulan tadi.

Dalam keadaan setengah sadar, wanita yang menghabiskan malamnya dengan baju tidur bermotif beruang kutub kecil-kecil itu, memutar tubuhnya, membelakangi si alarm menyebalkan, berusaha mencari sisi dingin dari tempat tidurnya.

Tanpa ia sadari, dua menit setelah alarm setengah radio itu berhenti berdengung, kenyamanan dan kehangatan yang ia dapati dari sekitarnya kembali membawa gadis itu ke alam mimpi.

Dia kembali tertidur.

Tetapi, lagi-lagi tidur indah itu dikacaukan dengan bunyi derap kaki dari lantai bawah rumah kontrakan yang bergemeretak. Hal ini membuat alis gadis itu berkedut. Bunyi langkah kaki itu sangat ramai sehingga diperkirakan ada sekitar tiga orang yang membuat kegaduhan. Seseorang memasuki rumahnya. Bukan hanya satu. Tapi tiga. Dan Natalia tahu siapa saja orang-orang brengsek itu.

Kesal, Natalia mengambil bantal berwarna putih susu di sebelah kanannya lalu meletakkan bantal itu ke kepala, berusaha meredam bunyi-bunyian yang kini merambat ke lantai yang kini merambat ke loteng rumah kontrakannya, satu lantai dengan kamarnya, menandakan bahwa ketiga orang yang menimbulkan bunyi derap kaki itu sudah tiba di depan pintu kamarnya.

Sebelum Natalia sempat menutup mata, pintu kamar berwarna putih dengan goresan-goresan pisau di permukaan cat minyaknya itu terbuka keras. Saking kasarnya bahkan sampai membuat dinding kayu bergetar dan beberapa furnitur kecil di atas meja terjatuh. Terlihat jelas jika didobrak dengan paksa oleh orang yang bersangkutan.

Natalia mendongak malas dan di sana ia mendapati sosok Gilbert dengan jaket merahnya. Tak ketinggalan juga ditemani sosok Francis dan Antonio di kanan-kirinya. Selalu lengkap seperti biasa.

"Kenapa kalian masuk ke kamarku tiba-tiba? Apa kalian tak pernah tahu tata krama untuk masuk ke kamar cewek?" erang Natalia kesal.

Wajah Gilbert begitu panik dan heboh. Tahu-tahu dia mengambil sebuah gulungan koran lusuh dari kantong celananya dan membentangkan benda itu ke hadapan Natalia yang masih berbaring.

"Kau sudah liat berita pagi ini?" Gilbert menunjuk sebuah halaman depan koran yang menampilkan sederet kalimat yang super kecil, lengkap dengan gambar hitam putih di sebelahnya. Kelihatannya berita itu begitu penting sehingga mengambil hampir setengah halaman depan. Saking paniknya bahkan dia lupa menghampiri Natalia sehingga membuat gadis itu terpaksa memicingkan matanya untuk melihat isi koran tersebut.

"Apa itu?"

"Ini tentang salah satu kru kita! Airlangga!" sentaknya. Tanpa embel-embel rasa bangga seperti biasanya jika salah satu krunya tampil di berita. Kali ini wajah Gilbert jauh lebih horor dan panik ketimbang biasanya. Dia masih memperlihatkan koran itu tanpa sekalipun menurunkannya.

Dan dari wajah khawatir Francis dan was-was milik Antonio, Natalia sudah berhasil menerka ada sesuatu yang tidak beres. Kini dia benar-benar terbangun.

"Dia baru saja membunuh orang tadi malam!"


Barletta, Italy

Suasana penjara di pagi itu tak seramai biasanya. Beberapa sipir memang tengah bergurau dengan sipir lainnya di meja pelapor, tapi tak sampai seribut jika Jumat sore. Beberapa dari mereka bahkan sibuk mengambil bergelas-gelas kopi di teko besar akibat begadang semalam. Sisanya berkeliaran di lorong-lorong penjara untuk memeriksa tahanan. Mungkin karena hari ini hari Senin dan orang-orang menjadi sibuk beraktivitas di luar sana ketimbang mengunjungi sanak keluarga mereka, makanya penjara hari ini terasa sepi.

Di sebuah bangsal penjara yang berhadapan langsung dengan meja inspektur kepolisian, bangsal yang paling diawasi ketimbang bangsal-bangsal penjara lain, terdapat sesosok rupa seorang putra bangsawan Inggris yang dulunya sangat kaya raya dan digeluti setiap wanita dalam balutan emas dan kekayaan. Kini ia tak lebih seorang narapidana.

Rambutnya yang jingga cerah kini tak selicin dulu. Rambut menjadi lebih kusam dari biasanya. Panjang melewati telinga dan sangat berantakan. Bulu-bulu halus di dagu dan di sepanjang rahangnya juga mulai tumbuh samar. Tak pernah dicukur. Tak ada waktu. Matanya yang hijau indah kini tak mengerikan sebelumnya. Terlihat redup dan tak menyala seperti seharusnya. Tubuh tinggi tegapnya hanya duduk bersandar di pojokan penjara, sibuk menghitung hari, sibuk melamun, tidak melakukan apa-apa.

Kini ia tak lebih seorang mantan bangsawan yang tak punya apa-apa dan hanya mempermalukan keluarga.

Dia selalu menghabiskan harinya di penjara ini hanya dengan duduk adiknya, yang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya sering mengajaknya ngobrol, ia masih tak mau bicara.

Scott Kirkland hanyalah seorang anak sulung dari bangsawan ternama yang berhasil mencoreng nama keluarganya sendiri.

Dia tak lebih dari seorang naripadana hina.

Berkebalikan dengan adiknya, si putra ketiga Kirkland itu sering menghabiskan waktunya di dekat pilar-pilar sel yang dingin. Memanggil-manggil sipir wanita bertubuh gemuk yang duduk di meja pengawas di depannya untuk mengambilkan donat dan segelas teh. Yang jelasnya ditolak mentah-mentah oleh yang bersangkutan.

Tetapi pagi itu tak seperti pagi-pagi Senin yang membosankan seperti biasanya.

Pintu ruang pengawas yang berbagi dengan bangsal para Kirkland terbuka, menampilkan sesosok pemuda dengan coat cokelat muda panjang selutut, lengkap dengan kaos tangan hitam, sebuah kacamata besar dan topi fedora yang menutupi sebagian wajahnya.

Dia berjalan memasuki ruangan pengawas, menghampiri sang sipir wanita gemuk yang galak, yang sibuk menulis laporan di berkasnya. Ia berbicara sejenak dengan wanita itu. Terlihat sedikit argumen di perbicaraan mereka. Tetapi kemudian keputusan tampaknya berpihak pada si pemuda bertopi fedora.

Mata Dylan berubah waspada ketika langkah si pemuda mendekat menuju bangsalnya. Sekumpulan pertanyaan melompat di kepalanya. Menebak-nebak identitas orang itu, padahal wajahnya setengah dihalangi topi.

Barulah ketika si pemuda asing itu tiba di depan sel, berhadapan langsung dengan Dylan dan hanya dipisahkan oleh lima pilar besi, dia berkata pelan, nyaris berbisik dan penuh kehati-hatian.

"Ini aku, gentleman."

Bagai tersengat listrik ribuan volt, mata Dylan terbuka lebar. Mulutnya menganga dengan ekspresi keterkejutan yang teramat nyata. Dia menatap orang itu lekat-lekat. Tak menyangka jika orang ini adalah...

"Arthur?"

Seulas senyum tipis terlukis di wajah tampan sang pemuda.

"K-enapa kau di sini? Bagaimana bisa? Bukannya kau—"

Arthur mengangkat tangannya ke udara, menyuruh Dylan diam.

"Aku tak bisa menceritakannya di sini. Aku akan menyelamatkanmu terlebih dahulu. Mana Scott?"

Mata hijau Arthur mendapati sosok Scott yang meringkung di sudut penjara. Kakak sulungnya itu bahkan tak sadar jika adiknya yang dikabarkan meninggal setengah tahun lalu berdiri tak kurang tiga meter darinya.

"Kau sudah siap, kan?" tanya Arthur, menaikkan satu alisnya, lengkap dengan sebuah seringai tipis di wajahnya. Tangannya mengeluarkan sebuah baretta hitam dari balik jasnya. Mata Dylan yang masih tak percaya dengan apa yang akan dilakukan adiknya sekarang, membeliak, beradu dengan mata Arthur yang berkilat yakin di balik kacamata.

"Tarik Scott." desisnya di dekat wajah Dylan.

Arthur menarik pelatuk, yang seketika disadari oleh sang sipir yang mendengar bunyi yang asing dari pemuda yang baru saja datang. Sebelum si wanita gemuk itu hendak menegur, dia terkejut mendapati Arthur tiba-tiba balik badan, dengan postur hendak menembak. Mata wanita itu membulat mendapati sebuah baretta yang siap diledakan kapan saja kini teracung lurus padanya.

Dia kecolongan.

Sebelum wanita itu sempat membunyikan alarm yang berada di mejanya, selongsong timah panas yang meluncur cepat dari moncong pistol Arthur menembus kepalanya, menumbangkannya seketika.

Arthur memandangi sosok wanita sipir yang kini menjadi seonggok mayat dengan tatapan dingin tak berperasaan.

Sedetik kemudian bunyi alarm nyaring membahana ke seluruh gedung kepolisian.

Tanpa mau membuang waktu lagi, Arthur segera mengambil kunci penjara yang tergeletak di atas meja dan membebaskan kakak-kakaknya yang menunggu untuk menghirup udara bebas.

Mengabaikan gelagat Scott yang terbingung-bingung dengan keadaan di sekitarnya, Arthur menggiring dua pria itu untuk meninggalkan bangsal.

Ya. Dia akan membawa para kakaknya pergi. Pergi ke suatu tempat.

Di mana Connor sudah berada di sana. Menunggu dengan setia. Menunggu saudara-saudaranya.

Ya. Dia akan mengumpulkan Kirkland seperti dulu kala.

Dan dia akan membalas dendam pada orang-orang yang sudah menjebloskan Kirkland ke penjara.


Berlin, Germany

Gilbert berteriak keras. "Tuh, kan? Sudah kuduga para reporter asuhan Alfred itu pelakunya! Mereka yang membuat berita ini! Pakai nama baru segala lagi! Apa-apaan itu? THE HEROES? Nama macam apa itu? Mau mengikuti nama kita? Dan berani-beraninya Airlangga yang malang menjadi objek pelecehan mereka! Aku sebagai leader perlu membawa kasus ini ke pengadilan!" Dia melayang-layangkan koran yang kini acak-acakan itu ke udara, seakan hendak memberikannya pada Thor lalu menghancurkannya hingga menjadi abu.

Francis berusaha menenangkan Gilbert yang berkoar-koar di sebelahnya. Untung jika marah-marah sendiri, tetapi jika sampai memukul-mukul dasbor mobil dan berteriak di sebelah telinga Francis, jengah juga jadinya. Jika seperti ini terus, bisa dipastikan mobil van yang baru dibeli lima minggu ini akan menabrak lampu lalu lintas terdekat.

"Gilbert, tenangkan dirimu. Tarik, keluarkan, tarik, keluarkan. Jangan kacaukan temponya. Ini baik untuk pernapasan." kata Francis memberi instruksi layaknya instruktur senam kehamilan.

"Gilbert, jika kau terus-terusan berteriak, aku akan membunuhmu sekarang. Aku serius." salak Natalia.

Antonio menurunkan kameranya yang semula diletakkan di pundak, merekam segala kejadian dari awal mereka bertolak dari rumah kontrakan Natalia hingga ke perempatan lampu merah ke lima. "Sekarang, yang kita harus lakukan adalah bertenang dan mengulang kronologis ini dari awal. Jadi pagi tadi kantor The NEWS digemparkan dengan berita dari perusahaan sebelah yang mengatakan Airlangga baru saja membunuh di simpang jalan dekat bank. Dan kejadian itu disaksikan oleh setidaknya tujuh orang lebih di tempat kejadian. Dan menurut penuturan mereka, Airlangga memang benar-benar mengambil pistol dari sakunya dan menembak si korban tiga kali. Setelah itu, dia dibawa kabur oleh sebuah mobil hitam asing yang muncul tiba-tiba dan meninggalkan tempat itu seketika. Nah, yang menjadi pertanyaanku adalah apa Airlangga memang punya teman selain kita?"

"Pertanyaanmu itu sarkastik sekali, Antonio…" desis Gilbert. "Dan sejak kapan kau beralih profesi menjadi detektif begini?"

"Tapi benar, kan?"

"Intinya," Francis memotong. "Kita akan ke Brussel sekarang dan bertanya langsung dengan orangnya. Biar kita suruh dia menjelaskan semuanya. Lagipula Airlangga tak pernah mengaktifkan ponselnya tiga bulan terakhir. Dan emailnya juga belum dibaca hingga sekarang. Jadi kita tidak tahu apa yang benar-benar terjadi padanya sekarang."

Natalia menyerobot. "Apa ini gara-gara kita meninggalkannya selama beberapa bulan terakhir tanpa misi memburu berita? Dia kan orangnya sensitif sekali."

"Tapi ini membunuh orang, Nat. Ini bukan kasus main-main." potong Gilbert sopan.

"Hei… apa kalian tidak merasa ada yang aneh?" potong Francis. Wajahnya mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres setelah sekian lama berpikir.

"Apa? Kenapa Alfred mendadak membuat nama THE HEROES?" tanya Gilbert, masih gerah dengan masalah nama reporter tadi. "Ya, kalau soal itu sih aku juga tidak tahu."

"Bukan. " desah Francis. Dia meremas kemudi. Ketakutannya semakin menjadi. "Apa kalian tidak merasa janggal? Bagaimana orang-orang itu bisa mengenal Airlangga? Maksudku, Airlangga itu anti-sosial. Terutama dengan orang-orang Barat. Dengan kita saja dia perlu sosialisasi selama dua bulan."

"Tapi dia langsung akrab dengan pria Belanda berambut kesetrum itu." protes Natalia.

"Itu hal lain lagi, Nat." sergah Francis.

"Aku tidak mengerti, Francis." sela Gilbert jujur.

Francis menghela napas. Ia menginjak kopling sembari mengerem perlahan ketika mobil ini tiba di garis putih. Lampu merah menyala. Saking sepinya jalanan hari ini, di perempatan lampu merah ke enam, hanya ada mobil mereka yang berhenti.

"Aku juga susah menjelaskannya, sih. Tapi," ia menggantungkan kalimatnya. Menatap satu persatu orang di mobil. "Aku merasa ada yang tidak beres dengan berita ini."

"Mungkin kejadian seminggu penuh di Monte Carlo waktu itu berhasil membuka pikirannya untuk menjadi penjahat." bisik Natalia.

"Berita ini jelas-jelas tidak beres! Ini pencemaran nama baik! Airlangga tak pernah membunuh dan dia tak bisa membunuh!" protes Gilbert mentah-mentah. "Mau apa sih para reporter sialan itu menyajikan berita seperti ini?"

"Intinyaa," Natalia memotong. "Sekarang kita akan berangkat menuju Brussel dan bertemu dengan orangnya langsung. Kasus ditutup."

Bersamaan dengan ucapan terakhir Natalia, di kanan dan kiri mobil mereka kini berhenti dua mobil hitam dengan kaca tertutup rapat. Dua mobil Harrier yang marak di pasaran dealer masa kini. Masih tak tergores dan jelas masih baru.

Antonio mencium sesuatu yang tidak beres ketika tak sengaja kameranya menyorot kaca mobil di sebelah pintunya. Tepatnya ketika seluruh rayban di mobil sebelah kanan turun perlahan. Dan Antonio makin terbingung-bingung ketika mobil di sebelah kiri juga melakukan hal yang sama.

Belum sempat Antonio mengatakan isi pikirannya, Gilbert keburu berkata duluan.

"Apa kalian tidak merasa asing dengan mobil-mobil ini?"

Sedetik kemudian barulah mereka tersadar.

Mereka saling berpandangan dengan raut wajah horor seolah-olah mengetahui isi masing-masing pikiran.

Jangan bilang bila apa yang terjadi di Austria terulang di sini.

Dan betul saja, dua detik kemudian, belasan moncong senapan AK-47 menyembul dari balik kaca-kaca mobil di kanan kiri mereka, tepat mengarah lurus ke arah van The NEWS yang terkurung. Bunyi-bunyian senjata yang dikokang tak beraturan terdengar mengerikan.

Gilbert memaki dalam bahasa Jerman, menyadari puluhan singa kelaparan yang siap menerkam mereka. Buru-buru dicekiknya Francis dengan satu tangan sebelum terlambat. "Sial! Francis! CEPAT KAB—"

Namun dia telat sedetik.

Karena setelahnya serentetan serangan puluhan peluru melesak menghancurkan badan mobil, memecahkan kaca-kaca jendela, menggerogoti badan mobil bagai rayap gila, suatu bentuk afeksi penyerangan dalam rentengan tembakan beringas yang ditujukan untuk menghabisi siapa saja yang berada di dalam sana tanpa ampun.

Ini hanyalah suatu ajang balas dendam, Gil.


Brussel, Belgium

Rayan sudah tobat mengurusi kakaknya yang sebulan lalu mengalami kecelakaan.

Kini dia hanyalah seonggok boneka tanpa ingatan.

Ya. Kecelakaan setelah kepulangannya dari kafe Bella kala itu membawanya pada suatu pengalaman mengerikan. Yang berhasil membawanya ke rumah sakit umum dan menerima puluhan jahitan serta vonis kematian.

Tapi vonis dokter itu salah. Airlangga masih hidup.

Ya. Dia masih hidup tapi dengan jaminan sesuatu yang direnggut.

Ingatan.

Rayan masih tak bisa terima ketika Airlangga sadar untuk pertama kalinya di rumah sakit, dan bertanya dengan suara lemah, siapa dirinya.

Ini penghinaan!

Kakak tak boleh lupa pada adiknya!

… tapi, Airlangga demikian.

Rayan frustasi.

Dia berusaha membawa kembali ingatan Airlangga, tapi seolah-olah ada suatu tembok besar yang menghalangi dirinya dengan pusat ingatan kakaknya itu.

Dia tak bisa menjangkaunya.

Rayan tak tahan jika melihat Airlangga begini terus-terusan. Airlangga terpekur dalam keterdiaman. Sementara dia tak bisa melakukan apa-apa. Kenapa semuanya jadi begini?

Mata cokelat itu menatap nanar pada sosok kakaknya yang duduk membisu di meja makan, lengkap dengan bergelas-gelas gin yang masih penuh, belum diteguk sejak tadi.

Dia tak bisa mengingat apapun.


Berlin, Germany

Menyadari bahaya yang datang, hal yang pertama yang dilakukan Francis adalah menginjak gas sedalam-dalamnya. Membuat mobil van maroon itu seketika berdecit, langsung melaju meninggalkan tempat kejadian padahal lampu masih berwarna merah.

Meninggalkan serbuan tembakan di kanan dan kiri. Ribuan pecahan kaca menerjang siapa saja yang berada di dalamnya. Masing-masing dari mereka berusaha melindungi diri sebisanya.

"KABUR KABUR KABUR!" seru Gilbert, menarik-narik lengan kemeja Francis, memaksa sahabatnya itu untuk menambah kecepatan. Panik.

Mobil melaju membelah jalan raya bagai pesawat jet yang meninggalkan landasan. Terpacu sangat cepat meninggalkan lampu merah. Peduli setan dengan polisi. Tidak ada polisi di sini!

Dua puluh meter di belakang mereka, dua mobil itu mengejar.

"Apa-apaan orang-orang itu?" jerit Natalia frustasi. Kepalanya berbalik ke belakang, melihat dua mobil yang kini ngebut beriringan.

Antonio berusaha bangkit, setelah sebelumnya terguling ke dasar mobil demi melindungi kameranya yang nyaris terjatuh. "Entahlah, tapi yang pasti mereka tidak main-main akan membunuh kita." desahnya, melihat ke belakang juga dengan was-was. "Dan—" Antonio tak sempat melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba selongsong peluru menebas kaca belakang mobil mereka, melesat lurus nyaris mengenai kepalanya dan Natalia, tembus hingga ke kaca depan.

"Sialan. Ini mobil baru!" jerit Francis melihat lubang kecil yang tercipta di kacanya akibat serangan peluru tadi.

Ngebut-ngebutan. Peluru. Teriakan antar sesama reporter. Lagi-lagi suasana ini.

Gilbert tiba-tiba berbalik, matanya menatap lurus pada kamera Antonio yang masih menyala.

"Antonio, naikkan kameramu. Nah. Begitu."

Gilbert menyiapkan suaranya dengan berdehem-dehem sejenak.

Kemudian dia berteriak dengan sangat lantang, "SELAMAT PAGI, PEMIRSA YANG AWESOME! KEMBALI LAGI BERSAMA KAMI, REPORTER PALING HEBAT SEPANJANG PERADABAN MANUSIA, THE NEWS! KEMBALI LAGI BERSAMA KAMI DALAM ACARA 'DIKEJAR PENJAHAT' BAGIAN PERTAMA—"

Serangan lima peluru lain yang menebas kaca belakang mereka membuat Gilbert terpaksa menunduk dan melindungi kepalanya. Semua temannya juga melakukan hal yang sama.

"DAN TENANG SAJA. MENGURUSI PENJAHAT MENYEBALKAN SEPERTI INI SUDAH MENJADI RUTINITAS KAMI SEHARI-HARI!"

Bersama lengkikngan tawa Gilbert yang aneh, mobil van merah tua itu melaju membelah jalanan Jerman. Diikuti dua mobil hitam asing yang mengejar mereka. Tak lupa dengan tembakan-tembakan menggila yang tak main-main. Hendak memburu ke manapun mobil van pergi. Hendak membunuh siapapun yang berada di sana.


Brussel, Belgium

"Airlangga, kau masih tak ingat apapun?" tanya Rayan lembut. Tak seperti biasanya.

Airlangga menggeleng lemah. Antara setengah sadar dan tidak sadar. Matanya kosong dan redup. Tak seperti biasanya yang selalu marah-marah dan memerintahkan kamar untuk dibersihkan. Seolah-olah jiwa Airlangga yang sesungguhnya sudah terbang meninggalkan raganya yang sekarang.

Rayan berbisik pelan. Bertanya dengan sangat hati-hati dan penuh kesabaran batin tingkat tinggi.

"… apapun?..."

.

.

To Be Continued


A/N: Ini kenapa The NEWS mendadak angst dan jadi serius beginiih? QAQ Kembalikan reporter unyu-unyu sayaaa! QQAQQ Oke, yang di atas tadi memang Arthur. Connor-nya nanti aja, ya? Hahaha. Tapi ini baru pembuka sih. Dan kenapa judulnya harus Arkansas padahal settingnya di Eropa? Makin absurd saja ini cerita. Dan, seperti biasa, si Airlangga nyusahin. Uhuk.

Eniwei, bagi yang nggak kenal nama-nama asing di atas, ini nih: Scott Kirkland – Scotland; Connor Kirkland – Ireland; Dylan Kirkland – Wales. Intinya bukan saya yang bikin, tapi hasil observasi nama-nama ajaib itu dari internet dan berbagai fic yang pernah saya baca. Hahaha! Semoga kalian nggak jengah dengan fic absurd ini, ya. Muahaha.

PS : SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-68 INDONESIAKUU!

Uhuk, review? Hiburlah anak rapuh satu ini, uhuk.

Sign, Rapuh