Author's Note

HALOOOO, SEMUANYAAA. I'M BAAAACK.

Bentar, usap air mata dulu.

Dedikasi adalah menyelesaikan fic-mu yang ditulis di 2013, mandek di 2015, lanjut lagi di 2021, dan baru selesai di 2024. What a rollercoaster riiideeeee!

Tenang! Saya sudah menyiapkan amunasi sampai Chapter 12 dan semuanya tinggal diposting! HAHAHAH! Untuk sekarang mau cek ombak dulu apakah kira-kira masih ada orang yang baca ini. Huweeee.

Terima kasih yang sudah membaca hingga chapter sebelumnya.

Kesabaran dan ketabahan kalian sungguh luar biasa dan ini adalah hadiah untuk kalian semua (dan untuk saya sendiri), karena masih percaya dengan fic reporter-gila-kurang-waras ini.

I love you, all. I love Indonesia. I love Netherlands x Indonesia (WOI)

SO, I PRESENT TO YOU, THE NEWS' SEQUEL CHAPTER 8 to Final Chapter. HAPPY READING!

I'm listening to Matchbox Twenty - How Far We've Come while writing this :')

.

.

.


Characters

Indonesia, Prussia, Belarus, France, Spain

Germany, South Italy, North Italy, America

England, Scotland, Ireland, Wales

Turkey, Greece

Hungary, Austria

Denmark, Norway, Sweden

Mexico, Falkland Island, Argentine, Cuba

Netherlands, Belgium


PRESENTED

"Arr-Kansas!" the sequel of "The NEWS"

.

Natalia Arlovskaya : Reporter

Gilbert Beilschmidt : Leader

Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man

Francis Bonnefoy : Driver

Airlangga Putra Brawijaya : Journalist

.


"Sebelumnya di The NEWS.

Airlangga mengalami hilang ingatan usai mengalami kecelakaan hebat. Ia bahkan tidak ingat memiliki tunangan brengsek bernama, Ned, yang juga turut menghilang secara misterius.

Tak berapa lama, kantor The NEWS dihebohkan dengan berita Airlangga menembak seseorang di jalan. Bagaimana bisa? Namun, berita itu disertai bukti foto di surat kabar yang nampak nyata dan membuat semua orang gempar!

Terjadi kericuhan di kantor The NEWS!

Di saat situasi sedang genting, kedua rekan Ned, Sadiq dan Heracles, tiba-tiba kembali dan mengajak The NEWS pergi ke Arkansas untuk bekerja sama dalam menyelesaikan sebuah kasus yang direncanakan Ned. Kabarnya, Hal itu bisa membantu membersihkan nama baik Airlangga beserta instansi mereka. Apakah The NEWS bersedia? Tentu saja!

Di saat yang sama, kakak-beradik Kirkland, Scott dan Dylan, berhasil kabur dari penjara Italia berkat bantuan kedua saudaranya yang menjadi buronan. Dan sekarang mereka sedang menuju ke Arkansas untuk mencari sesuatu yang berharga, yaitu emas-emas mereka yang disembunyikan oleh Ned.

Di waktu yang bersamaan, Airlangga dikabarkan dibawa kabur oleh seseorang! Dari ciri-cirinya seperti Ned, tapi itu tidak mungkin, karena Ned sendiri sedang berada di Arkansas. Jadi, siapa dia?!

Sementara ini, Ned dan pasukan kepolisian internasional sedang bekerja sama untuk menjebak seluruh anggota keluarga Kirkland dengan menggunakan emas mereka sebagai umpan yang Ned letakkan di Arkansas. Kini, baik The NEWS, para mantan mafia Monte Carlo, kepolisian internasional, dan para Kirkland itu, datang beramai-ramai ke Arkansas untuk meramaikan misi perburuan emas ini.

Begitu banyak hal yang terjadi di Arkansas dalam beberapa hari terakhir. Serangan di bandara. Aksi penembakan di restoran. Perang antar mafia dan bangsawan. Siapa lagi yang akan datang setelah ini? Mungkinkah Airlangga? Apakah dia adalah kunci dari semua perjalanan ini? Apakah ada alasan mengapa Ned turut melibatkan kami?

Kalian penasaran dengan kelanjutannya?

JADI, TERUS PANTAU PERJALANAN AWESOME KAMI HANYA DIAW! HEY! AWAS! Aku belum selesai liputan! HEY, NAT! KEMBALIKAN MIC-KU! NAAAT!"

.

.

.

"KITA SEMUA BARU SAJA TERTEMBAK DAN KAU MASIH MEMIKIRKAN WAKTU UNTUK MEMBUAT LIPUTAN, GIL?"


ARR-KANSAS

Chapter 8

written by Raputopu

.

Copyright

Hetalia: Axis Powers & Hetalia World Series © Himaruya Hidekaz


Little Rock, Arkansas

Di wilayah tandus Little Rock, tepatnya di depan sebuah restoran yang sudah separuh terbakar, lima orang malang yang baru saja selamat dari berondongan peluru di restoran Petit & Keet duduk bersembunyi dan tersengal-sengal dengan tubuh penuh luka.

Kelimanya duduk bersembunyi di balik sebuah mobil yang terparkir di halaman restoran sambil berusaha mengatur napas dan sesekali memantau sekitar. Gilbert mengipasi lehernya yang berkeringat. Natalia menyiapkan pisaunya. Francis terus mengintip ke dalam restoran. Antonio membersihkan lensa kameranya. Dan Ned membungkus luka di tangannya dengan kain.

"Apakah sudah aman?" tanya Antonio mengintip dari balik mobil menggunakan kameranya.

"Aku bersumpah jika ada yang muncul lagi secara tiba-tiba, maka aku akan menusuk bola mata mereka." geram Natalia, sambil menggenggam erat pisaunya.

"Ah, sial, aku belum sempat menghabiskan anggurku." gerutu Francis.

"Ayolah, kawan, kalian tidak apa-apa?" tanya Gilbert menoleh, melihat ketiga kawannya yang compang-camping.

"Jika yang kau maksud adalah tetap hidup, maka, ya." jawab Natalia sinis.

"Aku jauh lebih bersemangat." kata Francis berbunga-bunga mengingat sosok rupawan wanita yang menembakinya tadi.

"Kurasa kameraku masih bisa merekam untuk beberapa jam lagi." kata Antonio, sambil memeriksa kameranya.

Ned terdengar meringis.

"Hei, pirang homo, kau tidak apa-apa?" tanya Natalia. "Jangan membuat masalah baru. Aku bisa membuat kematianmu lebih cepat jika kau mau."

Ned meremas tangannya yang berdarah. "Ya, aku baik-baik saja. Lagipula, aku pernah diperlakukan lebih kejam oleh rekan kalian."

Keempat orang itu saling berpandangan heran.

"Baiklah, apa yang akan kita lakukan setelah ini? Apa kita akan terus bersembunyi di sini sampai kedua orang itu keluar?"

BANG! Mobil tempat persembunyian mereka bergetar.

"Sial, apakah itu tembakan?" desis Gilbert.

"Sepertinya mereka mulai sadar." kata Natalia mengawasi.

Tembakan kedua dan ketiga kembali membuat mobil bergetar mengguncang tubuh mereka.

"Sial, sial, kita harus segera pergi dari sini!" kata Francis.

"Iya, tapi, kemana?" jerit Natalia frustasi.

"Kenapa berisik sekali?" terdengar suara gerutu dari dalam mobil yang mereka jadikan tempat persembunyian.

Jendela taksi terbuka dan terlihatlah sosok si pengemudi.

Seorang pemuda latin berkulit cokelat dengan wajah mengantuk seperti baru bangun dari tidur siangnya. Rambutnya dikepang dan diikat ke belakang dengan gaya afro. Pakaiannya bercorak busana pantai. Di atas kepalanya terdapat kacamata hitam. Di ujung bibirnya terdapat sebuah puntung rokok.

"Hei, siapa kalian?"

Alisnya mengkerut heran melihat perawakan manusia-manusia yang duduk bersembunyi di sebelah mobilnya dan ada dua orang lain yang sedang berdiri memegang senjata di depan restoran, sedang berjalan ke arah mobilnya.

"Uh, apa-apaan ini?" Orang itu segera memperbaiki posisi duduknya.

Tiba-tiba bunyi rongsokan dari pintu yang berkarat dan decit ban yang penyangga rusak, menandakan bahwa kelima orang itu berebutan untuk masuk ke dalam taksinya.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Kau bisa membawa kami pergi dari sini?" tanya Gilbert buru-buru.

"Hei! Hei! Tunggu sebentar! Apa-apaan ini?" Seru orang itu protes.

Suara sopir itu tercekat saat senapan laras panjang dikeluarkan oleh wanita pirang dari halaman restoran dan diarahkan tepat ke arah mobilnya.

Suara tembakan kembali menghantam badan mobil dan membuat tubuhnya terloncat kaget. Bahunya terkunci dengan tegang. "Apa–apaan itu tadi?!"

"Kau harus membawa kami pergi dari sini jika tak ingin mati." kata Natalia dingin.

Supir taksi malang itu hanya bisa membelalak horor saat melihat rifle dan senapan laras panjang yang diarahkan lurus ke tempurung kepalanya.

"Oh, astaga! Baik! Baik!" Sopir itu menjerit frustasi dan langsung menyalakan mobilnya. Dalam sepersekian detik, taksi tua itu melaju meninggalkan pelataran restoran Petit & Keet dengan asap knalpot yang mengepul, meninggalkan tembakan-tembakan yang mengenai mobil butut tuanya.

Mobil taksi berwarna putih khas taksi Arkansas itu melaju kencang di sepanjang jalanan lurus sepi dengan hamparan padang tandus di kanan dan kiri.

Maximo melirik dari kaca spion wujud penumpang-penumpangnya yang menyeramkan.

Sisa puing-puing dari dalam restoran yang baru saja meledak terlihat masih berhamburan di baju-baju mereka. Bekas abu api yang masih membekas di rambut dan wajah reporter tersebut membuat mereka nampak seperti kawanan bandit yang baru saja menjarah sebuah restoran.

Perawakan keempatnya yang lusuh, seragam yang robek, dan rambut penuh abu dari asap, membuat sang supir taksi yang lewat itu merasa dia baru saja memasuki kawanan yang berbahaya.

Jelas orang-orang ini bukan penduduk Arkansas.

"Apa kalian baru saja merampok restoran, kawan?"

"Justru sebaliknya. Kami menyelamatkan restoran tersebut." timpal Natalia santai.

"Kalian baru saja keluar dari restoran yang terbakar!" pekik Maximo panik. "Apa kalian semacam tim investigasi khusus atau apa?"

Gilbert menggeleng. "Tidak. Kami hanyalah … sekumpulan reporter keren." katanya menaikkan satu alis dan setengah menyeringai.

Sang sopir memandangi spionnya dengan heran dan melihat keberadaan empat orang yang duduk berhimpitan dengan keributan seperti anak kecil yang saling rebutan kursi dan mendorong satu sama lain.

Keren dari mana?

"Kalian bisa bernapas di belakang, kawan?"

"Kau bisa lihat sendiri!" jerit Francis frustasi.

"Ngomong-ngomong, apa-apaan itu tadi?" Maximo mengerutkan kening. "Mengapa mereka menyerang kalian? Mengapa kalian kabur dari mereka?"

"Panjang ceritanya." kata Ned malas.

"Hei, jika kalian yang jadi penjahat di sini, maka aku tak segan-segan akan membawa kalian ke kantor polisi, Kawan."

"Wow, wow, tunggu dulu. Kau salah pengertian. Merekalah yang penjahat, dan kami yang berusaha menghentikan penjahat itu. Kau akan mengerti jika berada di sana, bruder." kata Gilbert menjelaskan.

"Eh, tapi, sebentar. Sepertinya aku pernah melihat kalian." kata sopir itu heran. "Kalian para pembuat keonaran di bandara, bukan? Kalian sedang diburu oleh kepolisian Arkansas sekarang, bukan? Wajah kalian ada di mana-mana sekarang!"

"Wah, sebuah sambutan hangat, kurasa." kata Antonio.

"Tapi, kami tidak seperti itu, percayalah." kata Gilbert.

"Siapa kalian sebenarnya?" jerit Maximo panik.

"Sudah kubilang, kami adalah sekumpulan reporter keren–"

DOR!

Sebuah peluru memecahkan spion Maximo.

Beberapa meter di belakang taksi Maximo, terlihat sebuah motor besar melaju membelah jalanan Arkansas. Di atas motor Harley-Davidson hitam itu terlihat Victoria yang sedang mengendarainya dengan brutal dan di belakangnya ada Martin yang bertugas sebagai penembak.

"Cepat! Cepat!" jerit Gilbert menepuk-nepuk pundak Maximo dengan panik.


Missouri, USA

"Perjalanan menuju Arkansas saja sudah memakan waktu 3 jam. Semoga sampai saat itu rekan-rekanmu masih hidup. Karena kalau tidak, sia-sia kita sampai sejauh ini." Lukas mengambil kopernya dari bagasi pesawat yang baru tiba di Bandara Missouri.

Airlangga agak tersinggung mendengarnya. " Well, terima kasih. Kau tentu tahu caranya menenangkan orang lain."

"Kalian masih bertengkar?" suara lirih Mathias terdengar dari kursi belakang. "Ayolah, kalian ini partner! Bukankah partner seharusnya bekerja sama?"

Pesawat menuju bandara Missouri itu baru saja berhenti dan Mathias bersumpah ia sudah muak mendengar ocehan kedua orang itu di sepanjang perjalanan.

"Oh, tentu sudah, Mathias. Dengan membiarkannya hidup sejauh ini." balas Lukas.

"Oh, jadi kurasa tidak akan ada masalah jika aku memutuskan untuk melarikan diri dan pergi dari semua omong kosong ini." balas Airlangga tak kalah sengit.

"Oh, terserahlah!" Mathias menjerit frustasi di kursi belakang. "Ayo, Berwarld, kita tinggalkan mereka berdua!" Mathias menarik tangan Berwarld yang kaku dan membuatnya terseret ke pintu keluar.

Lukas masih berusaha memasukkan laptop dan barang-barangnya ke dalam tas. "Kekasihmu adalah buronan kepolisian internasional, Brawijaya. Kau harus sadari itu. Dia masih bebas berkeliaran ke sana-sini selama ini karena kami memberinya belas kasihan."

"Bukankah kalian yang membutuhkannya untuk melakukan pekerjaan kotor kalian?" balas Airlangga dingin. "Kalian tidak bisa menangkap Kirkland itu sendiri, kan?"

Lukas mendengus setengah tertawa. Hal yang tidak pernah Airlangga temukan sejak pertama kali mengenalnya.

"Kesepakatan bersama, Brawijaya. Jangan lupakan itu." Lukas mengangkat kopernya.

"Kalian membuatnya tidak pernah pulang. Membuatnya lupa dengan apa yang dia miliki." kata Airlangga dingin.

Dengusan pendek terdengar dari kursi Lukas. "Jadi, kau merindukannya?"

"... tidak juga." Airlangga buru-buru menjawab. "Aku bahkan tidak mengingat seperti apa sosoknya. Bagaimana mungkin aku bisa rindu?" Namun, entah mengapa terdengar banyak penyangkalan dalam kata-katanya. "Aku bahkan tak ingat bagaimana aku bisa bertunangan dengannya."

"Kecelakaan itu pasti sangat parah, ya." Lukas berkata pelan. "Membuatmu kehilangan memori tentang semuanya."

Airlangga mengerutkan kening. Melihat ke arah Lukas yang masih tanpa ekspresi. Mereka adalah rombongan terakhir yang keluar pesawat.

"Apa saja yang masih belum aku ketahui?" tanya Airlangga penasaran.

"Kami sungguh tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya. Tapi, kau tahu-tahu dilaporkan ditabrak kendaraan tak dikenal dan mengalami luka parah. Interpol masih berusaha mencari pelakunya. Sejauh ini, kami mencurigai pelakunya adalah salah satu dari Kirkland. Karena kecelakaan itu terlihat disengaja."

Airlangga tiba-tiba terbayang bagaimana suasananya.

"Ned selama ini merupakan buronan Interpol yang berusaha kami tangkap." kata Lukas pelan. "Namun, tiba-tiba dia muncul dan menampakkan diri di hadapan kami, hanya untuk melaporkan bahwa Kirkland menyerang lagi. Ned seperti orang gila waktu itu. Dia berkata dia akan mengejar Kirkland. Menghabisi mereka."

Airlangga terus menyimak. Entah mengapa, cerita itu membuat hatinya sakit. Apa benar Ned seperti itu? Namun, di satu sisi ia merasakan kehangatan yang familiar dari sosok Ned yang digambarkan.

"Asal kau tahu saja, selama berkencan denganmu, Ned terbilang cukup lihai untuk menyembunyikan identitasnya dari dunia. Aku tidak tahu bagaimana cara kalian berhasil keliling dunia, makan di restoran, pergi ke bar, dan tidur di hotel, sementara aman dari radar pemantauan kami selama ini–yang ku akui itu lumayan hebat."

Berkencan? Keliling dunia? Hidup bersamanya?

Airlangga tidak ingat satupun …

Kecuali, kenangan di Italia waktu itu. Ya. Sosok pirang bertubuh tinggi dengan sorot mata teduh dan senyum hangat.

Dan sebuah janji yang mereka buat di depan air mancur Trevi Fountain.

"Kau memang menjengkelkan, Brawijaya … Tapi, kau adalah orang yang bernilai di mata Ned. Dan orang yang bernilai di mata Ned, maka juga bernilai di mata kami."


Little Rock, Arkansas

Bunyi raungan mesin motor yang mengejar mereka terdengar semakin dekat. Jeritan panik Maximo semakin keras. Penumpang-penumpang di dalam taksi mulai terlihat semakin liar.

Ned yang sedang duduk di kursi depan, mengeluarkan sebagian tubuhnya dan mengeluarkan senapannya tepat ke arah motor Victoria.

"Hentikan mereka, Ned!" seru Gilbert.

Francis segera maju ke kursi depan dan membantu memutarkan kemudi Maximo.

"Injak gasnya!" seru Francis memerintah Maximo. Pemuda Perancis itu terus mengemudikan mobil secara liar. Berbelok ke kanan dan kiri dengan kecepatan tinggi sehingga peluru-peluru yang ditembakkan ke arah mereka terus meleset.

Sementara itu Natalia mengeluarkan sebagian tubuhnya dari pintu sebelah dan membidikkan pisau-pisaunya ke arah ban motor dari kejauhan.

"Uh, mereka semakin dekat, amigo," lirih Antonio memperbesar tangkapan kameranya untuk menangkap wajah Victoria dan Martin yang seram dari kejauhan.

Bunyi tembakan-tembakan peluru mulai mengenal ban mobil dan kaca-kaca mereka.

"Sial!" Ned kembali ke kursinya. Pelurunya sudah habis. Tembakan-tembakan Ned dan Natalia tak membuahkan hasil.

"Kita harus pergi dari sini!" jerit Maximo panik.

"Ya, kau pikir apa yang sedang kita lakukan sekarang!" seru Francis emosi.

Dengan satu bantingan keras, Francis memutar kemudi ke arah hutan dengan pepohonan tinggi dan rapat. Mobil itu merengsek keras di antara dua batang pohon dan masuk di antara pepohonan dan semak-semak tebal yang menyelimuti seluruh badan mobil.

"Apa yang kau lakukan, Francis?!" seru Natalia yang berusaha berpegangan.

"MENYELAMATKAN KALIAN!" seru Francis tak kalah nyaring.

Mobil itu terbanting-banting keras di atas tanah-tanah terjal yang bergelombang dan membuat seisi penumpang di dalam mobil terlempar-lempar kesana kemari.

Bunyi mesin yang menderu terus mengiringi mereka saat mobil itu masuk semakin dalam ke area hutan yang rapat dan meluncur laju melewati turunan bukit yang curam.

"AAAAAA!" jeritan penumpang di mobil itu memekik bersama-sama saat mobil tersebut mengarah ke arah sungai deras.

Setelah begitu lama menerobos hutan, mobil itu mendadak melambat saat mendekati area di pinggir sungai,mesinnya semakin lemah, dan asap-asap putih mulai mengepul dari arah mesin mobil. Dengan kecepatan yang tersisa, mobil itu menabrak sebuah pohon besar dan membuat seluruh penumpang di mobil itu terguncang keras.


Ozark Saint Francis, National Forest

Sadiq sedang menyiapkan makan malam ketika Heracles pergi keluar sebentar untuk mencari kayu bakar.

Di tengah-tengah kesibukannya memotong daging, pintu masuk penginapan Ned digedor dari luar. Sadiq mengira itu adalah Heracles yang kesulitan membawa kayu bakarnya.

Tanpa kecurigaan apapun, Sadiq berjalan mendekati pintu tersebut. "Ya, tunggu sebentar!"

Namun, baru membukakan pintu, kaki Sadiq mundur beberapa langkah. Dia terkejut dengan apa yang ada di hadapannya. Sekujur tubuhnya membeku dan pandangannya terpaku beberapa saat ketika menemukan sesosok pria yang berdiri tepat di depan pintu masuk.

Seorang pemuda berambut pirang dengan alis tebal yang menodongkan pistol di depan wajahnya. Senyumnya menyeringai.

Wajah yang sangat ia ingat.

"Halo, rekan lama." kata pria itu dingin.

Tubuh Sadiq seperti membeku di tempat. Orang ini. Bukankah dia sudah tewas di misi yang sebelumnya? Di tangan The NEWS? Dia ingat bagaimana kisah kematian Arthur. Dia tewas dengan cara tragis. Dia mati dengan senjatanya sendiri.

… meledak di tempat.

"A-arthur?" Sadiq mengernyitkan kening. "Kau masih hidup?"

Arthur menyeringai senang. "Kau tidak senang melihatku?"

"Apa yang kau inginkan?" tanya Sadiq waspada.

Sial. Ia sedang tidak membawa senjata apapun sekarang.

Arthur tersenyum. "Hanya mengapa teman-teman lama. Dan mengenalkannya pada saudara-saudaraku."

Tak berapa lama, Sadiq merasakan besi dingin yang menempel di belakang kepalanya.

Ia yakin itu adalah pistol lain.

"Perkenalkan. Itu saudaraku. Scott." kata Arthur melirik orang di balik punggung Sadiq.

Sadiq tak menoleh sama sekali, karena ia yakin di belakangnya sudah ada sosok orang lain yang membawa senjata. Posisinya sangat terpojok sekarang. Ia harus memberitahu Ned. Namun, ia khawatir hal itu akan justru membahayakan mereka.

"Dua saudaraku yang lain sedang berada di dalam rumah ini juga. Memantau. Melihat-melihat. Hm … sepertinya aku tidak akan sempat untuk menyapa Heracles, mengingat jadwalku yang sangat padat. Tapi, mungkin saudara-saudaraku yang akan menyapanya."

"Apa yang kau inginkan, Arthur … " sentak Sadiq menggeretakkan gigi.

"Di mana Ned menyembunyikan emas-emasnya?" tanya Arthur dingin, mengacungkan pistol lebih tinggi, tepat ke arah kening di antara dua alis Sadiq.

Sadiq mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

"Jangan mencoba untuk melawan." desis Arthur. "Nasibmu dan kawanmu dipertaruhkan di sini." sahut suara dingin di balik punggungnya.

Sadiq merasa semakin tak berdaya. Namun, ia seperti tak memiliki pilihan lain. Di satu sisi, ia tidak ingin misi ini gagal, namun di sisi lain, yang dipertaruhkannya begitu banyak dan besar. Ia harus membuat pilihan.

"Di mana emas-emas itu, Sadiq?" ulang Arthur, menempelkan ujung pistolnya tepat di kening pria Turki tersebut.

Akhirnya Sadiq menghembuskan napas dengan berat, terlihat berusaha menguatkan diri.

"Kau harus membunuh kami untuk itu." lirih Sadiq parau, matanya menatap lurus ke dalam mata Arthur.

Mata Arthur berbinar dan dihiasi kilat. Senyum tajam menghiasi wajahnya.

"Kau … benar-benar … gila." desisnya, dengan senyum yang masih mengembang.


Hutan Arkansas

Dari dalam mobil putih yang peyot dan berasap, tampak lima orang yang berusaha mendobrak pintu mobil dan satu per satu tubuh orang yang berada di dalam mobil berjatuhan.

Ned yang keluar pertama sampai tersandung dan jatuh. Disusul Gilbert yang terbatuk-batuk.

"Kau baik-baik saja, Kawan?" tanya Gilbert menepuk pundak Ned yang saat keluar dari pintu mobil.

"Ya," kata Ned berusaha berdiri susah payah.

Sementara orang lain jatuh merosot dari pintu mobil yang terbuka. Tersengal-sengal seperti baru saja mendapatkan udara segar setelah terkurung dalam penjara.

"Astaga … punggungku." rintih Antonio setelah jatuh tergeletak di tanah.

"Ini bahkan lebih parah dari roller-coaster … " lirih Natalia yang berhasil keluar.

Di sisi lain, Francis yang berbaring telentang, menatap pepohonan di atas kepalanya dengan wajah yang terlihat berbunga-bunga. " Victoria … kau benar-benar luar biasa."

Sementara itu, Maximo yang malang terkulai lemas ke tanah setelah melihat kondisi taksinya.

"TIDAAAAKKK!"

Gilbert buru-buru menenangkan pemuda Kuba itu. "Tenang, tenang. Ned yang akan memperbaiki taksimu. Benar, kan, Ned?" tanya Gilbert, memberi kode kedipan pada Ned yang terlihat bingung.

"Y-ya, tentu saja. Aku akan membantumu," kata pemuda Belanda itu tergagap, melihat kondisi taksi Maximo yang parah. " semampuku." Tambahnya cepat.

"Baiklah, kurasa kita aman di sini." kata Gilbert melihat-lihat ke sekitar. "Kita punya pohon untuk berteduh, air untuk membersihkan diri, dan beberapa ranting untuk membuat kayu bakar. Kita bisa beristirahat dulu di sini sambil memikirkan langkah kita selanjutnya."

"Perkenalkan. Aku Maximo." Remaja itu memandangi orang-orang dewasa yang melakukan kegiatan di sekitarnya. "Aku imigran asal Kuba dan berusaha mencari pekerjaan di sini. Aku menginginkan pekerjaan yang lebih seru dari supir taksi, tapi, yah, jadi supir taksi juga seru, saat bersama kalian. Sejak dulu aku ingin jadi polisi, kau tahu? Menyelamatkan orang, melindungi warga."

"Kau sudah menyelamatkan dan melindungi kami, Maximo!" seru Gilbert bersemangat, sambil berusaha menaikkan daun-daun kelapa menjadi atap darurat di atas rumah-rumah kayu yang dibuat oleh Antonio.

Maximo terkekeh. "Aku melihat kalian menghadapi orang-orang itu seperti orang yang siap perang. Maksudku, di sini memang banyak penjahat, tapi tak kusangka ada orang yang jauh lebih berani dan lebih gila." Mata Maximo terlihat berbinar-binar saat mengucapkan kata 'lebih gila'.

"Atau karena tidak punya pilihan." sahut Natalia memutar bola mata dengan malas. "Pilihannya hanya mati atau lawan." Tangannya terus menajamkan kayu dengan cepat.

"Menurutku, kalian semua punya jiwa seorang polisi, Kawan." Pria Kuba itu masih mencerocos dengan penuh semangat. "Seorang Sheriff sejati! Lihat! Kalian masuk video trending di Arkansas!" katanya sambil menunjukkan potongan video yang diambil seseorang saat mereka di bandara. "Menurutku tadi kalian sangat keren." Sopir itu tiba-tiba mengatur posisi duduknya dan bercerita dengan bersemangat. "Aku melihat kalian berada di sana, berani, menghadapi Juan Carlos tanpa rasa takut. Lalu, tepat di saat mobil hitam itu datang menabrak Carlos, kalian pergi dengan cara yang heroik! Aku membayangkan aksi-aksi itu hanya ada di film aksi, tapi, kalian dengan sangat keren"

"Oh, pria Tarzan yang muncul dari atap itu, ya?" Gilbert memotong.

"Juan Carlos terkenal suka melakukan keributan di sini. Tidak ada orang yang berani melawannya. Hanya kalian, orang-orang gila entah dari mana yang berani dan cukup nekat untuk berurusan dengannya. Maksudku, orang gila mana yang berani melawan Juan Carlos?"

"Ya, kami tidak punya pilihan lain selain meladeninya." kata Natalia singkat.

"Dan aku juga melihat kalian di sini!" Maximo kembali menunjukkan sebuah video lain, yang memperlihatkan aksi pertarungan mereka di restoran Petit & Keet. "Wow! Kalian mengatasi tembakan-tembakan itu dan membuat ledakan dari sebuah botol alkohol. Aku kira itu hanya ada di laga film aksi!

"Ah, Victoria cantik sekali di video itu … " Pikiran Francis malah masih tertuju pada wanita pirang mempesona yang membawa senapan laras panjang di Petit & Keet.

"Hentikan khayalanmu, Francis." delik Natalia.

"Kalian suka memvideokan orang, ya? Ya, walaupun itu melanggar privasi, tapi siapa peduli? Aku terlihat awesome di situ!" seru Gilbert sambil bangkit berdiri. "Apa ada video lain?" tanya Gilbert antusias.


Ozark Saint Francis, National Forest

Dari balik pepohonan, Heracles muncul membawa kayu bakarnya. Namun, baru setibanya di sana, Heracles mendengar bunyi-bunyi aneh. Ia melihat sebuah mobil hitam Ned meninggalkan area pekarangan penginapan mereka. Pengemudinya berambut pirang kemerahan.

Dan ada Sadiq di dalam sana.

Jangan- jangan …

Heracles menjatuhkan semua kayu bakarnya. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, ia mendengar bunyi alarm kecil yang berbunyi pelan. Bunyinya datang dari segala arah. Tubuhnya menegang. Pria itu langsung mencari-cari sumber suara tersebut.

Itu suara familiar yang berbahaya.

Seperti suara … bom.

"Ned? Sadiq?" Heracles memanggil.

Namun, ketika Heracles baru sadar, suara alarm itu berhenti..

Pada saat itu juga Heracles merasa sudah terlambat. Kakinya segera berlari menjauh dari pusat ledakan.

Dalam sepersekian detik, di tengah kegelapan malam, Heracles melihat kilatan cahaya terang menyilaukan mata.

Hutan Arkansas

Antonio, Gilbert, dan Natalia menyimak dengan seksama seperti anak kecil yang dibacakan dongeng, Ned hanya bisa memandangi dari kejauhan, karena dia yang ditugaskan untuk memperbaiki mobil Maximo sekarang. Dia harus fokus di tengah keheningan, kalau tidak akan terdistraksi dengan gangguan dari Gilbert dan teman-temannya.

"Kalian benar-benar membuat Arkansas yang membosankan ini menjadi seru dalam seketika, Kawan." katanya dengan mata berseri-seri memandangi keempat reporter itu. "Kalian membuat suasana Arkansas … menjadi hidup." ujar Maximo riang.

"Itu adalah hobi yang tak bisa dihindari." kata Gilbert terkekeh.

"Yeah, walaupun aku sendiri tak tahu apa tujuan kalian ke sini, tetapi aku senang bisa terlibat. Ngomong-ngomong kalian mau melakukan apa sebenarnya di sini?"

"Jujur, aku ingin ke toilet sekarang." timpal Natalia.

Tiba-tiba, Ned mendengar suara dentuman pelan yang menggema di dalam hutan belantara. Ke-lima orang di belakangnya seperti tak mendengar itu karena sibuk bercerita.

Punggung Ned berdiri tegak dan matanya melihat ke sekitar dengan wajah tegang.

"Kenapa, Ned? Kau mau kencing juga?" tanya Gilbert heran dari kejauhan.

Natalia, Francis, Antonio dan Maximo ikut melirik karena penasaran.

Tapi Ned benar-benar terlihat serius.

"Kalian dengar itu?"


Bandara Internasional Kansas City, Missouri

Airlangga menunggu kopernya melintasi conveyor belt dengan bosan, sementara Mathias dan yang lainnya pergi mencari kopi . Bawaannya tidak banyak, tapi ia ditugaskan untuk membantu para polisi Skandinavia itu membawa peralatan mereka. Biar Airlangga ada gunanya, kata mereka.

Airlangga terus memandangi cincin tunangan yang melingkar di jari manisnya dengan heran. Entah mengapa ia kepikiran untuk memakainya saja ketimbang dikalungkan di leher. Dilihat-lihat, cincin ini biasa saja. Kode brankas apanya? Pikir Airlangga dalam hati.

Lagipula gelagat kelompok polisi internasional itu mencurigakan. Mereka kerap diam-diam berkumpul sendiri untuk membahas sesuatu tanpa melibatkannya. Yeah, memang, sih, Airlangga manusia biasa. Tapi bukankah dia juga bagian dari misi ini?

"Kau adalah orang yang bernilai di mata Ned. Dan orang yang bernilai di mata Ned, maka juga bernilai di mata kami."

Kata-kata terakhir Lukas sebelum turun dari pesawat terus terngiang-ngiang di kepalanya. Apakah perannya di sini untuk sebuah misi lain?

Airlangga merasakan ada gelagat yang aneh dari para polisi-polisi itu. Selain itu, kepalanya menjadi tambah sakit akhir-akhir ini.

Di tengah rasa bosan, Airlangga menonton tayangan berita lokal di stasiun televisi bandara. Tayangan yang semula menayangkan lomba pacuan kuda itu, tiba-tiba berganti layar dan dihiasi dengan tampilan awal sebuah breaking news.

"Terjadi ledakan misterius dari dalam Hutan Nasional Ozark Saint Francis. Peristiwa dikabarkan terjadi pada pukul 5 tadi dan sampai saat ini dikabarkan terjadi kebakaran di titik yang terkena ledakan. Sejumlah tim polisi hutan dikerahkan untuk menyelidiki kasus ini. Kabarnya ledakan ini datang dari sebuah rumah pohon kosong yang terletak di tengah hutan. Sampai berita ini diterbitkan, masih belum diketahui apa penyebab ledakan tersebut."

Airlangga terpana melihat berita tersebut. Perasaannya mulai gundah.

"Hari ini Arkansas sangat aneh, ya. Tadi pagi ada penyerangan di bandara Little Rock, lalu siang harinya sebuah restoran yang diserang, dan sekarang terjadi ledakan di hutan. Arkansas benar-benar tidak aman sekarang–"

Airlangga tak sengaja menguping percakapan orang di sebelahnya.

"Aku sempat melihat video-videonya! Itu sangat viral di Arkansas!" ujar pria satunya.

"Saudaraku mengatakan untuk tidak singgah di Little Rock dulu, karena kabarnya sedang terjadi perburuan penjahat di sana."

Airlangga mengernyitkan kening dan menyimak diam-diam.

"Tapi, sepertinya adalah orang-orang yang sama. Aku sempat melihat pria berambut putih itu dua kali di video bandara dan di restoran. Sepertinya mereka orang luar. Kudengar dia dan kawanannya sedang ribut dengan beberapa penjahat lokal di sini."

"Yeah, apapun itu, sebaiknya kita menjauhi dulu Arkansas untuk sementara,"

Airlangga berdiri mematung di depan conveyor belt walau kopernya sedang melintas di depan mata. Pikirannya masih tertuju pada satu hal. Pria berambut putih? Ribut dengan penjahat?

Bagaimana jika orang yang diceritakan mereka tadi adalah Gilbert dan teman-temannya yang lain?

Tak butuh waktu lama sampai Airlangga dengan sigap meraih kopernya di lintasan koper sebelum menghilang dari pandangan dan bergegas pergi mencari Lukas.


Hutan Arkansas

Mendengarkan bunyi ledakan di dalam hutan, bukankah itu adalah hal yang aneh? Ned membatin.

Usai membawa mencari kayu bakar, Maximo kembali area persembunyian bersama The NEWS di dalam hutan.

Entah mengapa, ia merasa semakin memiliki ikatan dengan mereka.

"Ah, ini dia! Pahlawan kita! Maximo!" ujar Gilbert menyambut dengan rentangan kedua tangan hangat usai Maximo memarkirkan mobil di bawah pepohonan.

"Saudaraku! Gilbert!" jawab Maximo tak kalah bersemangatnya. "Kalian sudah berjuang keras hari ini!"

"Sst! Jangan berisik, kalian berdua. Aku sedang lapar." bisik Natalia, sembari memutar-mutar ranting pohon yang menjadi alat untuk memanggang ikan.

Usai berhasil berburu beberapa ikan untuk makan malam, mereka makan bersama di bawah satu pohon besar yang rindang sambil mengelilingi api unggun.

"Wah, ngomong-ngomong, kita jarang melakukan liputan di hutan, ya," kata Francis.

" Yeah, karena Gilbert takut serangga." kata Antonio, menikmati gigitan daging pertamanya.

"Hei, aku tidak takut, hanya … geli."

"Gilbert itu aneh," kata Natalia sambil mengunyah dengan berisik. "Takut serangga, takut hantu, takut gelap, tapi tidak sama sekali dengan penjahat, senjata, atau ancaman fisik lainnya. Hanya dia satu-satunya orang yang memberiku hadiah ulang tahun berupa satu set pisau Stiletto asli."

"Karena orang akan lebih tertarik dengan aksi dan pertarungan, Nat." kata Gilbert dengan mata berapi-api yang bersemangat. "Yang memacu adrenalin, yang membuat darah mendidih, yang membuat jiwa kita bersemangat, yang membuat–" Gilbert terus melotot dan memberondong Natalia dengan kata-kata yang membara.

" Eugh, wajahmu terlalu dekat, Gil," kata Natalia mendorong pipi Gilbert jauh-jauh.

Di tengah percakapan makan malam yang diisi dengan kericuhan obrolan yang dilakukan para anggota The NEWS, Ned berjalan ke tepi sungai dan mencuci tangannya.

Dibandingkan ke-lima orang yang lain, hanya Ned yang mengasingkan diri di bawah pohon dan terus memandang kosong ke arah aliran sungai. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang.

Ia masih tidak tahu kabar Airlangga sampai saat ini.

"Entahlah. Mungkin bisa kau tanyakan pada si homo ini mengapa ia meninggalkan kita tanpa kendaraan. Maaf, Maximo. Kita terus merepotkanmu untuk misi-misi kita." sungut Francis ketus.

"Hei, benar! Kau terlihat mencurigakan, kawan!" seru Gilbert. "Kau yang mengundang kami ke Arkansas, lalu Tarzan itu menyerang kami di bandara, kemudian kau membawa kami makan siang, dan sepasang Hanzel dan Gratel gila datang membawa senapan dan menembaki kami semua. Kau yakin kau tidak ada hubungannya dengan ini semua, Tuan Mafia?" desis Gilbert.

"Dan kau juga tidak melibatkan Airlangga di semua misi ini." tambah Natalia dingin. "Apa kau ingin membunuh kami semua tanpa meninggalkan jejak agar bisa bebas beradu kasih dengan sahabat kami yang polos itu?"

Ned menggeleng. "Bukan begitu–"

"Kami sudah bilang bahwa kau tidak akan pernah dianggap sah menjadi kekasih Airlangga jika belum mendapatkan restu dari kami, bajingan." tambah Francis tegas.

"Aku sudah bilang, kami tidak–"

"Ned, setidaknya kau harus membiarkan kami mengucapkan perpisahan dengan Airlangga. Kau tidak berhak memisahkan kami dengannya."

"Bukan begitu ceritanya! Oke?" Ned meraung frustasi. "Aku justru melindunginya!"

Suasana mendadak hening.

"Dia sedang hilang ingatan dan terlibat kasus! Aku tidak ingin melibatkannya lebih dari itu!"

Keempat orang itu saling berpandangan. Kasihan mendengar Ned yang terlihat putus asa.

"Kau tidak makan, Ned?" tanya Gilbert kepada Ned yang masih mematung suram di pinggir sungai. "Ya, ya, kami tahu kau yang paling bugar dan atletis di antara kami semua, Ned, tapi kau tetap butuh protein untuk mempertahankan otot-otot itu,"

Ned tidak menanggapi. Atau mungkin tidak mendengar ajakan Gilbert, karena pikirannya sedang tidak fokus.

Tiba-tiba Maximo yang berseru keras.

"Lihat! Ada video trending lagi! Ledakan di dalam Hutan Ozark Saint Francis! Itu adalah hutan ini!"

"Mana, mana?" Kumpulan reporter itu langsung berkerumun mengelilingi ponsel Maximo. Tiba-tiba ponsel itu langsung disambar oleh Ned yang muncul dari belakang.

"Terjadi ledakan misterius dari dalam Hutan Nasional Ozark Saint Francis." Mata Ned membelalak horor ketika melihat wujud rumah pohon yang ia kenal berada di dalam video tersebut.


Ozark Saint Francis, National Forest

"Hei, Ned! Kita sedang berada di tengah hutan, ingat?" seru Gilbert tersengal-sengal berusaha menyamakan langkah dengan Ned yang berlari menuju pusat ledakan. Mereka tiba di titik kebakaran setelah hampir satu jam berlari melintasi hutan.

Dan suasana hutan sudah menjadi gelap.

Antonio, Francis, dan Natalia ikut menyusul di belakang. Ned sama sekali tidak mempedulikan mereka. Ned menghentikan kakinya begitu melihat titik kebakaran itu.

Dari kejauhan nampak asap yang membumbung tinggi di udara dengan sisa-sisa jilatan api yang masih mengerubungi beberapa area rumah hingga menyisakan kayu-kayu hitam yang gosong. Muncul sejumlah kobaran api yang membakar area pepohonan dan semak-semak di sekitar rumah. Beberapa puing-puing kayu nampak berserakkan di tanah dan pohon-pohon di sekitar area rumah tersebut tumbang akibat tekanan dari ledakan.

Ned memandangi tempat tinggalnya dengan tatapan nanar. Ia sesungguhnya sudah tidak peduli lagi dengan keadaan tempat persembunyian yang hancur ini, ia hanya ingin mengetahui kabar dari Sadiq dan Heracles sekarang.

Gilbert tiba beberapa menit kemudian disusul Natalia, Francis, dan Antonio yang tersengal-sengal kehabisan napas.

"Sial! Aku harus latihan kardio setelah ini!" seru Gilbert.

Mereka tidak bisa mendekati karena banyak mobil polisi yang berpatroli di dekat bangunan tersebut.

"Oh, Tuhan … " Gilbert baru tersadar dan terperanjat ketika melihat keadaan rumah kayu tersebut yang berserakkan menjadi puing-puing arang di depan mata, disusul Natalia, Antonio dan Francis yang turut berjalan mendekati Ned.

"Aku turut berduka cita, Ned … " ucap Gilbert bersimpati sambil menepuk-nepuk pundak Ned.

"Mereka belum mati." kata Ned penuh keyakinan.

Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, terdengar bunyi rintihan seperti orang kesakitan yang muncul dari tengah kegelapan hutan.

Gilbert merinding. "Apakah itu … hantu?"

"Minggir." Ned langsung membelah kerumunan untuk masuk ke dalam sebuah semak-semak dan mengeluarkan tubuh seseorang berpakaian lusuh dari dalam sana.

Melihat sosok itu, Gilbert langsung berjingkrak kesenangan. "Heracles! Syukurlah! Kau masih hidup, Kawan!" jerit Gilbert gembira melihat mantan musuhnya itu.

"Di mana Sadiq?" tanya Ned segera, berusaha mengangkat wajah Heracles agar nampak jelas.

"Mereka … membawanya …" jawab Heracles lirih. "Kirkland … Mereka membawa Sadiq."

"Ke mana?"

"Mount Holly." Heracles menegak ludah. "Mereka membawa Sadiq ke Mount Holly. Mereka akan mengambil emas-emas itu, Ned … " kata Heracles lirih. "Maaf, Ned …"


Bandara Internasional Kansas City, Missouri

"Kita harus menerbitkan video itu, Lukas!"

Pria Norwegia itu keheranan melihat Airlangga yang tersengal-sengal.

"Kau yakin? Secepat ini?"

"Iya! Aku yakin! Aku melihat beritanya di televisi! Terjadi banyak kekacauan di sini! Dan orang-orang juga terus membahas-bahas itu! Aku yakin situasi di sini semakin genting!" kata Airlangga susah payah di tengah-tengah napasnya.

Lukas mengernyit. "Pelan-pelan, Brawijaya." katanya berusaha menenangkan. "Tapi," Lukas terlihat berpikir. "jika memang seperti itu kondisinya, maka tidak ada jalan lain."

"Dan satu lagi, Lukas!"

"Apa?" Lukas menoleh.

"Aku mengingat apa yang terjadi! Aku mengingat semua kejadiannya!"


3 bulan yang lalu

Brussel, Belgia

"Sudah kubilang jangan pergi begitu saja, Keparat!"

Di tengah jalanan Berlin yang sunyi, tampak dua pria saling berhadapan, berdiri tegang di bawah lampu jalanan yang menjadi satu-satunya sumber penerangan di antara kegelapan malam pada persimpangan jalan tersebut.

Salah satu dari mereka sedang menodongkan pistolnya ke arah pria lainnya yang terlihat samar dan tenggelam di dalam bayangan. Tangan pria yang sedang diancam itu nampak terangkat perlahan di hadapan pria yang memegang pistol, terlihat berusaha menenangkan pria yang sedang murka di hadapannya.

"Kau tidak mengerti, Airlangga, mereka bisa mencelakaimu … Semakin lama aku menghabiskan waktu denganmu di sini, maka akan semakin berbahaya untuk keselamatanmu. Aku tidak bisa berada di sini terus bersamamu … "

"Kau benar-benar egois, Ned …" suara itu bergetar lirih.

Ned tahu Airlangga sedang menahan air mata dari suaranya yang serak. Tapi ia tak bisa berbuat apapun.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Ned ucapkan dengan berat hati, semua ini demi keselamatan Airlangga. Dan lalu pria itu balik badan dan meninggalkan Airlangga.

DOR!

Beberapa meter dari balik punggungnya, Airlangga melepaskan tembakan, dan mengenai lengan Ned. Pria itu berhenti untuk meraba lengannya yang terasa perih. Dirasakan cairan dingin membasahi tangannya.

"Apa kau lupa kita sudah bertunangan!" raungan orang itu membelah kesunyian malam.

Tapi Ned hanya berdiri mematung. Sama sekali tidak menoleh. Sama sekali tidak menjawab. Dan beberapa saat kemudian, dia tetap berjalan.

Airlangga melepaskan tembakan lagi, namun, kini pistolnya tidak berfungsi. Yang tadi dia tembakkan adalah peluru terakhir.

"Ned!" panggil Airlangga. Namun, pria Belanda itu tetap pergi meninggalkannya. "NED!" Airlangga memanggil dengan putus asa. Suaranya semakin parau.

Tetapi, orang itu tetap pergi.


Tiga minggu kemudian, Airlangga benar-benar tidak mendapatkan kabar apapun dari Ned.

Ia masih menjalankan aktivitasnya seperti biasa, namun tanpa gairah dan semangat yang sama. Ia masih mengunjungi Bella. Memeriksa kabarnya. Sesekali menanyakan kabar mengenai Ned. Namun, adiknya juga sama sekali tidak tahu kabar mengenai kakaknya.

Ned pergi untuk selama-lamanya, hanya itu yang Airlangga ketahui.

Berjam-jam dan berhari-hari Airlangga menunggu di Kafe Bella untuk menunggu kabar dari Ned. Biasanya orang itu akan datang di waktu sore mendekati malam untuk memesan segelas kopi Americano pahit dan sepiring waffle. Membaca koran. Dan duduk di meja paling pojok dekat jendela.

Namun, sudah tiga minggu ini Ned masih belum juga terlihat.

Mungkin itu benar, Ned benar-benar meninggalkannya.

Airlangga mengelap cincin yang melingkar di jari manisnya dengan murung.

Mungkin sudah seharusnya ia mendengarkan saran teman-temannya sejak awal. Sejak hari pertama, mereka tidak pernah setuju. Dia ingat pendapat teman-temannya yang tak setuju ketika Airlangga mengumumkan bahwa dia ingin serius dengan Ned.

"Yeah, kita semua tahu, Ned seksi, dia keren, tapi seberapa bisa itu semua menjamin kehidupan kalian di masa depan?" kata Francis memberi saran. "Kalau aku boleh kasih saran, dia bisa menjadi penari striptease di sudut Amsterdam, atau pelayan seksi, maksudku, ayolah–"

"Tatapannya mesum, Airlangga. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kami melihatnya berkali-kali bagaimana ia curi pandang ke bokongmu." kata Natalia.

"Err, kau tahu kehidupan percintaan antara pria agak sulit, kan? Aku dan Lovino bahkan tidak bisa bebas bermesra-mesraan di depan umum. Padahal dia sangat menggemaskan." kata Antonio.

"Semua ini kembali pada dirimu, Airlangga. Kalau sudah cinta, mau bagaimana lagi? Meski kalian terpisah benua dan jarak pun, jika memang ditakdirkan bersama, maka akan dipertemukan kembali." kata Gilbert. "Tapi, semua itu ada di keputusanmu, Airlangga. Jika kau saja tidak yakin, siapa lagi yang bisa mempertahankan hubungan kalian?"

Lalu, di sinilah dia. Duduk di kursi yang biasanya Ned duduki. Memesan kopi dan makanan yang biasanya dia pesan. Menunggu sampai Ned kembali.

"Sebentar lagi akan hujan, Airlangga." kata Bella memeriksa ramalan cuaca di ponselnya. Kepalanya menoleh ke jendela dan melihat awan yang sangat gelap gelap mengerubungi langit Brussel. Kilat-kilat petir membuatnya bergidik. "Sepertinya yang sangat deras. Err, kurasa aku harus menutup kafe sekarang."

Airlangga menyadari bahwa ia sudah sendirian di kafe itu.

"Kau bisa berteduh di dalam sambil menunggu hujan reda." Bella datang menghampiri untuk membersihkan mejanya.

"Biar aku saja. Sebaiknya kau istirahat. Aku akan menunggu di luar Lagipula ini sudah larut malam." kata Airlangga membersihkan mejanya sendiri. "Maaf, sudah merepotkanmu selama ini, Bella." ucap Airlangga.

"Tidak apa-apa, Airlangga. Sungguh. Aku bahkan senang jika kau mau menemaniku di sini." ujar Bella riang. "Sejak kakak tidak pernah datang, aku lihat preman-preman kembali berkeliaran di sini lagi. Melihatmu di sini, mungkin preman-preman itu berpikir dua kali itu mengganggu." Bella tersenyum cerah.

Airlangga ikut tersenyum, walau hanya seukir tipis yang lesu.

"Kakakku pasti kembali, Airlangga. Percayalah." kata Bella hangat. "Dia pernah pergi menghilang selama 4 tahun tanpa kabar dan tiba-tiba muncul kembali. Dia memang seperti itu. Terkadang kita harus membiarkannya pergi sejenak untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu."

Atau mungkin Ned sudah tidak mencintainya lagi, Airlangga berpikir dalam hati.

Airlangga menemani Bella sampai kafe itu gelap, lalu melihat Bella memasuki taksi yang baru saja ia pesan.

"Kau yakin tidak mau ikut?" katanya dari ujung jalan.

Airlangga menggeleng. "Tidak. Aku akan menunggu di sini sampai hujan reda. Lagipula di sini banyak preman, kan? Aku akan menjaga kafemu di sini." kata Airlangga bercanda.

Bella tertawa sebelum melambai. "Baiklah, sampai ketemu besok!" Tangannya melambai sebelum ia masuk ke dalam taksi.

Taksi itu melaju meninggalkan halaman kafe dan menjauh, lalu menghilang di balik tikungan. Kemudian Airlangga tertunduk lesu. Pikirannya kembali berkecamuk. Tangannya memutar-mutar pelan cincin yang melingkar di jari manisnya dengan sedih.

Di lubuk hati yang paling dalam, ia masih mengharap Ned kembali muncul di hadapannya saat ini.

Doa Airlangga sepertinya terkabul ketika ia melihat sebuah sedan hitam menghampirinya perlahan dan berhenti tepat di hadapannya. Airlangga mundur beberapa langkah. Kaca mobil tersebut gelap total, ia tidak bisa melihat siapapun yang berada di dalam sana. Kemudian kaca mobil itu diturunkan.

Ia melihat sesosok pria berambut pirang yang sedang tersenyum. Airlangga merasa aneh. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat, namun, Airlangga tak yakin ia pernah mengenalnya. Mungkin teman-temannya pernah. Tapi sayangnya waktu itu dirinya sedang diculik di negara orang lain oleh orang yang ironisnya sedang ia tunggu saat ini.

"Ah, sayang sekali, kafenya sudah tutup." kata Arthur kecewa. Lalu, matanya menoleh ke arah Airlangga. Pandangannya langsung berubah dingin. "Dan sedang apa kau di sini sendirian?"

"Entahlah. Mungkin, menunggu kau pergi?"

Arthur mendengus setengah tertawa.

Jawaban Airlangga yang sarkas dan sinis entah mengapa membuatnya mengerti mengapa Ned bisa tertarik dengan orang ini. Gaya bicara mereka hampir sama.

Airlangga sebaiknya entah mengapa selalu terbiasa menjawab dengan ketus saat menghadapi orang mencurigakan. Kata Natalia dia seperti tabung elpiji yang mudah meledak.

"Di mana, Ned?"

Pertanyaan itu membuat Airlangga mematung.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Airlangga curiga.

Arthur menggedikkan kedua bahunya. "Hanya teman lama."

"Ned tidak berada di sini sekarang."

"Ke mana dia?"

"... Menghilang?"

Arthur mengerti. Dia hanya tersenyum paham.

"Kau mau Ned kupanggilkan ke sini?"

Airlangga terperanjat. "Kau bisa melakukannya? Ya! Katakan dia aku sudah berada di sini dan menunggunya sejak berminggu-minggu! Katakan padanya untuk jangan kabur lagi kali ini! Katakan padanya untuk pulang sekarang!"

Arthur hanya mengangguk-angguk mengerti.

"Baik. Baik. Sebentar, aku akan membawanya kemari."

Arthur memutar mobilnya dan memajukan kendaraannya hingga ke ujung jalan. Ia membanting setir dan mengarahkan lampu mobilnya ke arah Airlangga. Memberikan sorot lampu jauh.

Airlangga menutup wajah oleh silau lampu mobil yang begitu terang.

Di dalam mobil, Arthur tertawa kegirangan.

Setelah itu, ia menginjak gas dalam-dalam dan mobil itu melaju dari kejauhan, tepat ke arah di mana Airlangga berdiri.

Airlangga tak sempat menyadari ketika mobil itu melaju ke arahnya dengan bunyi gas yang gila-gilaan. Pandangannya masih terhalangi lampu sorot mobil dari kejauhan.

"Ned akan datang setelah ini, Nak!" Arthur meraung kegirangan seperti orang gila.

Dan hal terakhir yang Airlangga ingat adalah bunyi mesin mobil yang datang melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

.

.

To be Continued