.
PRESENTED
"Arr-Kansas!" the sequel of "The NEWS"
.
Natalia Arlovskaya : Reporter
Gilbert Beilschmidt : Leader
Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man
Francis Bonnefoy : Driver
Airlangga Putra Brawijaya : Journalist
Characters
Indonesia, Prussia, Belarus, France, Spain
Germany, South Italy, North Italy, America
England, Scotland, Ireland, Wales
Turkey, Greece
Hungary, Austria
Denmark, Norway, Sweden
Mexico, Falkland Island, Argentine, Cuba
Netherlands, Belgium
Kansas City Southern Railway
Gerbong VIP
Airlangga duduk dengan gelisah di barisan kursi bagian depan dan berkali-kali melihat keluar jendela, mencari tanda-tanda kehadiran Kirkland atau mungkin teman-temannya. Entah mengapa ia menjadi lebih khawatir dari sebelumnya. Dia sudah mengingat sosok para Kirkland ini. Dia sudah mengingat memori yang ia miliki dengan mereka. Dia bahkan sudah ingat apa yang menyebabkannya kecelakaan.
Bagaimana jika mereka tidak sempat meringkus Kirkland? Bagaimana jika dia dan teman-temannya celaka? Bagaimana jika dia tidak bisa menolong mereka?
Perasaan Airlangga kalut dan tak bisa disembunyikan. Lukas menyuruh Airlangga untuk tenang.
"Sebentar lagi kau akan bertemu Ned yang asli, Nak." kata Mathias menggodanya. Mathias yang awalnya menyamar menjadi Ned di saat Airlangga mengalami hilang ingatan, sempat mendistorsi ingatannya. Tapi, sekarang ia sudah mengingat sosok itu.
Beberapa kursi di sekitar mereka, Airlangga mendengar videonya terus diputar dan ditonton berulang kali oleh orang lain.
Agak malu juga lama-lama. Begini, ya, rasanya viral? Lirih Airlangga dalam hati.
Di tengah kesibukan para polisi Interpol yang mengerjakan tugasnya masing-masing, ada yang melakukan panggilan telepon, ada yang mengetik sesuatu di laptopnya, hingga ada yang sibuk membuat strategi, hanya Airlangga yang duduk melongo tidak tahu harus ngapain.
Tiba-tiba Airlangga merasa ada yang mendekati kursinya. Lalu, ia mendengar jeritan kaget.
"Kau! Bukankah kau yang ada di dalam video ini?" tanya orang itu sambil menunjukkan layar ponselnya dan menunjukkan wajah Airlangga.
Untung saja ia tidak menyetujui saran Mathias untuk menggunakan filter lucu di dalam video itu.
Airlangga mau tak mau mengangkat kedua bahunya. "Yeah, bisa dibilang begitu."
"Hei, jadi di mana emas-emas itu? Apa kau tahu letaknya?"
Airlangga berpikir sejenak dan memutuskan untuk menjawab asal-asalan.
"Entahlah, mungkin, di dalam sini?"
ARR-KANSAS
Chapter 10
written by Raputopu
.
Copyright
Hetalia: Axis Powers & Hetalia World Series © Himaruya Hidekaz
Gerbong Barang
Di dalam gerbong barang yang terletak di ujung paling belakang kereta api, terlihat tumpukan tinggi kotak-kotak perkakas berukuran besar yang ditumpuk hingga ke langit-langit gerbong. Semua kotak itu diselimuti kain hitam tebal yang menutupi mulai bagian atas hingga lantai gerbong, membuatnya terlihat seperti bangunan-bangunan tinggi yang gelap dan misterius. Kotak–kotak itu mulai bergetar pelan ketika kereta api mulai bergerak.
Bunyi-bunyi koin dan batang emas di dalamnya berbunyi pelan saling bergemerincing.
Rel Kereta Api Arkansas menuju Oregon
"Lebih dekat, Francis!"
Gilbert berpegangan di atas mobil yang sedang melaju kecepatan tinggi di sebelah kereta api Kansas yang sedang melaju. Di tengah-tengah hamparan padang rumput yang luas, nampak dua kendaraan yang saling melintas menuju Utara.
Taksi putih tua milik Maximo itu berusaha menyamakan kecepatan dengan kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bunyi mesin kereta api yang bergemuruh beradu dengan suara raungan mesin mobil yang dipacu dengan brutal.
Di dalamnya bukan Maximo yang menyetir, melainkan Francis, yang terus memainkan setir kemudi dengan agresif, berusaha mendekati gerbong kereta api agar sejajar dengan gerbong yang dituju Gilbert. Sementara di kursi sebelahnya, Maximo dengan wajah horor yang ketakutan, mencengkram pegangan pintu mobil sambil menjerit keras. "Ya, Tuhaaaan! Pelan-pelan!"
Dia tidak terbiasa dengan semua ini.
"Kita harus berpencar!" kata Ned duduk di pinggir mobil dengan pintu yang terbuka. Dia juga sedang bersiap-siap untuk melompat.
"Apa kita sungguhan akan melompat dari mobil yang sedang ngebut ke dalam kereta api yang tak kalah laju, kawan-kawan?" tanya Antonio tak yakin.
"Oh, aku lebih dari siap." kata Natalia di sebelahnya.
"Ayolah, aku tak bisa menahan lebih dari ini! Mobilnya sudah tidak sanggup!" jerit Francis sambil terus memasukkan gigi dan meningkatkan kecepatan.
"Oke, baiklah!" Gilbert berusaha memegang pinggiran mobil dengan dua cengkraman tangannya di kanan dan kiri sambil berusaha menyeimbangkan tubuh di atas mobil yang sedang melejit. "Yak! Kita sedang berusaha mengejar kereta api menuju Oregon! Untuk mengejar Kirkland!" kata Gilbert menoleh ke arah kamera yang dikeluarkan dari jendela.
"Aku sedang berusaha mendekati gerbong itu, Gil! Kau bisa mencapainya?" teriak Francis dari balik setir kemudi, berkomunikasi dengan pemuda berambut putih di atas kap mobil yang sedang merangkak.
"Woaah! Ini awesome, Francis!" Gilbert menjerit kegirangan. Tubuhnya nyaris terpental-pental ke luar mobil yang menderu kencang akibat pergerakan ekstrem yang dilakukan Francis. Rambut-rambut Gilbert berterbangan dengan kencang dan matanya yang terpapar angin membuatnya tak bisa melihat dengan jelas.
Di sebelah mereka, bunyi mesin kereta api beserta deretan gerbong yang sedang melaju cepat saling berpapasan.
"Kenapa kita tidak beli tiket saja, kawan-kawan?" Maximo masih menjerit panik dengan tubuh yang terus terpental ke kanan dan kiri akibat manuver dadakan yang dibuat oleh Francis, tapi pemuda Perancis itu seperti tidak mendengarnya, melainkan masih fokus pada Gilbert yang berpegangan di atas.
"Oke, ini saatnya!" seru Francis memberi kode setelah mobilnya sejajar dengan sebuah gerbong.
Belum sempat Gilbert mengambil ancang-ancang, Ned melompat dari kursinya dengan gerakan cepat. Dalam sekejap, tangan Ned berhasil meraih salah satu pilar gerbong, dan tubuhnya tergantung di luar kereta api. Dengan penuh usaha, kaki dan tangannya merayap di dinding kereta, akhirnya mencapai teras terbuka di bagian belakang gerbong.
Di bagian badan Kereta Api Kansas umumnya terbagi menjadi beberapa bagian, masing-masing dengan teras terbuka di ujung-ujung gerbong. Teras itu memiliki pagar pengaman dan besi pengait besar yang menghubungkan antar gerbong, dirancang untuk memudahkan pergerakan di atas rel. Dengan perjuangan yang berat, Ned akhirnya berhasil mendarat di teras terbuka di bagian belakang gerbong, memandang ke belakang dengan napas yang masih terengah-engah dan mengajak teman-temannya.
"Ayo!" katanya sambil mengulurkan tangan.
"Kau mau terlihat lebih keren dari aku, ya?" cibir Gilbert, berusaha menegakkan punggungnya di tengah guncangan mobil yang menderu liar. Dengan dorongan kaki yang kuat, ia meluncur ke udara beberapa saat sebelum akhirnya melompat ke area yang sama dengan Ned, mendarat dengan keras dan bertubrukan langsung dengan dada pria Belanda itu.
"Ouch! Dadamu keras. Boleh juga," kata Gilbert dengan senyum nakal sambil meraba dadanya yang terbentur. Dengan tangan melambai ke belakang, ia menambahkan, "Ayo, teman-teman!"
Antonio, Natalia, dan Francis saling berpandangan, menunggu siapa yang akan bergerak duluan. Namun, pandangan Francis yang kurang fokus menyebabkan mobilnya tiba-tiba menabrak batu di jalan, memicu guncangan keras yang melemparkan mereka ke sekitar.
"Aw, hati-hati, Francis!" jerit Natalia, berpegangan erat pada tempat duduknya.
"Aku hampir menjatuhkan kameraku," kata Antonio dengan nada sedih, mencoba menstabilkan kameranya yang terguncang.
Francis berusaha meluruskan kemudi dengan panik. "Maaf!"
"Apakah kita masih harus terus melakukan ini, kawan-kawan!" teriak Maximo, jelas frustasi dengan situasi yang semakin tidak stabil.
Guncangan tadi menyebabkan jarak antara gerbong Gilbert dan mobil mereka semakin menjauh. Dari kejauhan, mereka bisa melihat tangan Gilbert melambai-lambai. "Teman-teman!" Suaranya semakin mengecil saat gerbong itu semakin menjauh dari mereka.
"Gawat, kita harus pergi sekarang!" kata Francis, suaranya penuh urgensi. "Ayo, tidak ada waktu lagi!"
Dengan cepat, Francis membuka pintu kemudinya, yang langsung berpapasan dengan gerbong sebelah. Tanpa ragu, pemuda Prancis itu melompat keluar dan meraih pipa-pipa di bagian luar kereta api dengan cengkraman kuat.
"Apa kau gila?!" jerit Maximo, menyaksikan setir yang berputar liar tanpa pengemudi. Dalam kepanikan, pemuda Kuba itu segera mengendalikan setir dan berpindah tempat duduk dengan cepat.
"Ayo, Antonio!" seru Natalia, suaranya penuh semangat. Tubuhnya yang ringan melenting dengan lincah, dan dia berhasil menyambar pipa-pipa di bagian luar kereta api, mengikuti jejak Francis yang sudah lebih dulu berada di sana.
Antonio mengulurkan kameranya ke luar mobil, dan Natalia segera meraihnya, memegangnya dengan hati-hati. Tanpa membuang waktu, Antonio mengambil ancang-ancang dan melompat, menyusul Francis dan Natalia yang sudah merayap di dinding kereta api.
"Kita harus menyusul segera Ned dan Gilbert," kata Francis, memberikan komando dengan tegas.
"Ayo!" seru Natalia, penuh semangat.
"Kita tangkap para Kirkland itu!" teriak Antonio, tidak kalah bersemangat.
Sementara Maximo berjuang mengendalikan kendaraannya yang mengeluarkan asap dari kap mesin, dia hanya bisa menatap terpana saat ketiga temannya berhasil membuka jendela penumpang yang terbuka setengah dan meloncat masuk satu per satu.
Tak lama setelah itu, jeritan panik penumpang mulai terdengar dari dalam gerbong.
Gerbong VIP 2
Gilbert dan Ned saling berpandangan dengan canggung. Kini, hanya tinggal mereka berdua di teras gerbong.
"Kau duluan," kata Gilbert, sambil merentangkan tangannya ke arah pintu masuk dengan nada santai. "Yang tua lebih dulu."
Ned hanya mendengus sekilas, lalu membuka pintu gerbong dengan tegas. Dia mengokang senjatanya, bersiap menghadapi apa pun yang ada di dalam.
Gilbert memandangi Ned dengan sinis saat pria itu menjauh. Dalam pikirannya, ia mempertanyakan apakah orang yang kaku dan tak berperasaan dengan kecenderungan membunuh ini layak menjadi pasangan Airlangga.
"Kau masih membutuhkan restu dari kami, penjahat," desis Gilbert, memicingkan mata dengan penuh ketidakpercayaan.
Gerbong VIP 1
Airlangga bangkit berdiri dan mencari toilet terdekat, hanya untuk menemukan bahwa semua toilet di Gerbong VIP 1 sedang terisi. Akhirnya, ia meminta izin kepada rekan-rekannya untuk menggunakan kamar kecil di Gerbong VIP 2.
Awalnya, Lukas keras melarang Airlangga pergi, mengingat mereka berada di wilayah yang berbahaya dan Kirkland bisa berada di mana saja. Namun, setelah mempertimbangkan betapa merepotkannya jika Airlangga ngompol dan viral lagi, Lukas terpaksa mengizinkannya. "Cepat kembali setelah dua menit," kata Lukas dengan berat hati.
Airlangga memasuki area Gerbong VIP 2 dan menemukan banyak orang-orang bersetelan pakaian Eropa di dalamnya.
Gawat, pikir Airlangga. Apakah Kirkland ada di sini?
Tapi, Airlangga bergegas untuk memasuki pintu toilet dan menguncinya.
Dengan jantung berdegup kencang, Airlangga bergegas untuk menuntaskan keperluannya secepat mungkin dan membereskan celananya dengan buru-buru.
Dia membuka toilet dengan cepat dan … benar saja.
Aliran darah Airlangga terasa mengalir cepat ke ujung-ujung jari kakinya. Tubuhnya menegang kaku dan kakinya gemetar. Di hadapannya ada sepucuk pistol yang mengarah tepat ke wajahnya. Dan tanpa sadar, kakinya melangkah mundur ke belakang seiring dengan mendekatnya pistol di wajahnya.
Di baliknya ada seorang pria Inggris berambut pirang yang tersenyum cerah. Dari semua wajah yang masih diingatnya. Dari semua orang yang dianggap penting di hidupnya. Dari semua ingatan yang masih tersisa. Mengapa wajah orang ini entah mengapa berada di salah satunya?
Airlangga balas menatap mata itu dengan tajam. Dylan Kirkland menaik-naikan alisnya dengan genit.
"Apa kau mengingatku, manis?"
Gerbong VIP 2
Kemunculan Gilbert dan Ned yang membelah lorong gerbong dengan gelagat mencurigakan membuat penumpang di seisi gerbong melirik dengan ketakutan.
"Hei, tunggu aku, Ned!" teriak Gilbert, ketinggalan beberapa langkah dari Ned yang berjalan cepat tanpa menoleh. Kaki dan bahu Gilbert berkali-kali menabrak penumpang yang sedang melintas.
"Aw! Maaf, permisi, maaf, aku harus lewat, ups, maaf," Gilbert terus minta maaf sambil berusaha melintas, sementara Ned terus membelah lorong dengan cepat. " Mein Gott. Kenapa dia buru-buru sekali?" pikir Gilbert, merasa frustasi dengan kecepatan Ned.
Seorang penumpang tiba-tiba bangkit dari kursinya dan berjalan cepat melawan arah, melewati pundak Gilbert sambil menutupi wajahnya dengan topi. Dalam sepersekian detik, Gilbert merasakan hawa yang familiar ketika pria itu melintas. Ia menoleh sejenak dan melihat rambut pirang yang khas serta postur tubuh tegap yang sangat dikenalnya.
"Tunggu sebentar," pikir Gilbert, jantungnya berdegup kencang. Dalam kilasan cepat, ia menyadari siapa orang itu. Gilbert berusaha mengejar, berusaha mengatasi kerumunan penumpang yang menghalangi jalannya, sambil memanggil nama yang terlintas dalam pikirannya.
Gilbert menoleh kembali ke arah Ned, tapi pria itu sudah menghilang di balik pintu menuju gerbong selanjutnya.
"Sial!" gerutu Gilbert, frustrasi. Kakinya tertahan di tempat, terjepit antara keinginan untuk menyusul Ned atau kembali mencari orang tadi yang baru saja ia lihat.
Tapi, dia yakin tidak salah lihat!
"Ah, persetan!" geram Gilbert, mengikuti instingnya. Dengan tekad yang kuat, ia segera berbalik dan mengejar orang tadi. "Aku yakin pernah melihat orang itu!"
Dia yakin pernah melihat orang itu di suatu tempat! Tidak salah lagi!
Ned baru sadar bahwa Gilbert menghilang ketika ia menoleh. Ia memeriksa kanan dan kiri, bingung mencari pria albino itu. "Ke mana dia?" pikir Ned, khawatir. "Tidak mungkin dia jatuh dari kereta, kan?"
"AAAAA!"
Tiba-tiba, jeritan penumpang di belakangnya membuat Ned menoleh. Beberapa penumpang berlarian menuju bagian belakang gerbong melewati dirinya, sementara yang lainnya buru-buru sembunyi di bawah meja dengan ekspresi ketakutan. Suara teriakan dan keributan membuat suasana dalam gerbong menjadi kacau seketika.
Ketika Ned akhirnya bisa memahami apa yang terjadi, semuanya sudah terlambat. Ned melihat sosok yang sangat dikenalnya berdiri dengan tenang di belakangnya.
Dia mendapati Scott berdiri dengan pistol terarah ke arahnya. Rasa terkejut melumpuhkan Ned seketika, sementara Scott, dengan wajah dingin dan penuh bara, membuatnya merasa terjepit dalam situasi yang sangat berbahaya.
" Welcome to Arkansas!" kata Scott sinis.
DOR!
Gerbong 7
Beberapa penumpang menjerit histeris saat Natalia, Francis, dan Antonio melompat masuk dari jendela, tampak seperti perampok. Penampilan mereka yang seram—rambut kusut, baju kotor, dan mata yang menyala dengan ekspresi waspada—menambah suasana tegang dan panik di dalam gerbong.
Saat Natalia, Francis, dan Antonio mendarat di dalam gerbong, ketegangan meningkat. Mereka segera mengarahkan pandangan mereka ke sekeliling, memastikan tidak ada ancaman tersembunyi. Para penumpang yang panik semakin berhamburan, mencoba melarikan diri atau bersembunyi. Natalia, dengan tatapan tajamnya, memberikan isyarat kepada Francis dan Antonio untuk mengamankan pintu masuk gerbong, sementara dirinya menenangkan kerumunan dengan suara tegas.
Natalia berlari menuju kerumunan penumpang, berusaha mengendalikan situasi dengan suara yang tegas namun tenang. Francis dan Antonio, dengan gerakan cekatan, mengamankan pintu gerbong dan memeriksa setiap sudut untuk memastikan tidak ada orang lain yang bersembunyi. Natalia memanggil beberapa penumpang untuk berkumpul di satu tempat, meminta mereka tetap tenang dan menjelaskan bahwa mereka tidak akan terluka jika mengikuti instruksi.
"Tetap tenang!" kata Natalia mengisyaratkan.
Dalam kekacauan, Natalia menatap ke arah jendela dan memastikan tidak ada yang menerobos masuk dan membuat situasi semakin memburuk. Setiap gerakan mereka penuh kewaspadaan, menyadari bahwa setiap detik yang mereka miliki begitu berharga dalam mengatasi situasi ini.
"Setelah ini apa, Francis?" tanya Natalia, melirik ke sekitarnya gelisah, tak nyaman menjadi pusat perhatian.
"Mencari Kirkland tentu saja!"
Natalia, Francis, dan Antonio menoleh saat seorang penumpang berteriak dari kursi. "Kalian adalah salah satu pemburu emas itu, kan?" tanya pria tersebut.
"Err, kami tidak peduli dengan emasnya, sungguh," kata Antonio cepat, mencoba meluruskan situasi. "Kami hanya mencari orang-orang yang menyembunyikannya."
Penumpang lain tampak sedikit lega namun masih curiga. Natalia menambahkan dengan nada meyakinkan, "Kami hanya ingin memastikan tidak ada yang terluka."
"Ikuti instruksi kami dan semuanya akan baik-baik saja." kata Francis.
Francis terus memantau sekeliling, waspada terhadap potensi ancaman, sementara Natalia dan Antonio berusaha menenangkan penumpang dan mengendalikan situasi.
"Tapi aku melihat kalian berkelahi dengan orang-orang ini." kata pria itu menunjukkan ponselnya, dan memperlihatkan sebuah video yang menampilkan aksi pertarungan mereka di bandara.
"Dan yang ini juga, Nak." Tak lama seorang penumpang lain berwujud ibu-ibu tua, datang menunjukkan video mereka yang bertarung di restoran Petit & Keet.
Kepala Antonio, Francis, dan Natalia berulang-kali menoleh ke kanan dan kiri karena orang-orang di sana terus berbicara dengan bergantian. Natalia, Francis, dan Antonio memandang video yang ditunjukkan oleh pria itu, memperlihatkan aksi mereka di bandara. Lalu, video lain dari ibu-ibu tua menunjukkan perkelahian di restoran Petit & Keet.
"Kami tahu di mana letak emasnya, tapi beberapa orang terlihat sedang menjaga gerbong itu," kata seorang remaja dari kursi penumpang lain.
Ketiganya saling berpandangan.
"Kami tak yakin bisa mendapatkannya dari tangan penjahat-penjahat itu. Tapi, kami lihat, kalian pernah melawan mereka," kata penumpang dengan nada khawatir.
"Err, pernah melawan, bukan berarti akan menang lagi," kata Antonio meringis.
"Di mana mereka?" tanya Natalia dengan tegas.
"Di Gerbong 8, di belakang gerbong ini. Emas-emasnya terlihat berada di gerbong paling akhir. Mereka sedang menjaga emas-emas itu. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sana selain mereka."
"Mereka siapa?" tanya Francis.
"Pria bertubuh besar yang terlihat di bandara, dan sepasang pria-wanita yang berambut pirang. Kalian pernah menghadapi ketiganya!" jawab penumpang, menegaskan tantangan yang harus dihadapi ketiganya.
Namun, ekspresi Francis langsung berubah menjadi cerah. "Jadi, maksudmu aku punya kesempatan lagi untuk bertemu dengan Victoria?" tanyanya dengan mata berbinar-binar.
"Fokus, Francis!" Natalia menyikut perut Francis.
"Ini gila." lirih Antonio, tampak khawatir. "Apa kita harus berhadapan dengan mereka lagi?"
"Sepertinya begitu, Antonio." kata Natalia bersemangat, membunyikan buku-buku tangannya.
Antonio mengangguk, menerima kenyataan dengan penuh tekad. "Apapun untuk mengakhiri ini semua."
"Baiklah, tidak ada jalan lain," kata Francis, menyemangati teman-temannya. "Ayo, kawan-kawan! Kita bereskan ini!"
Atap Gerbong VIP 2
Gilbert membuka pintu menuju teras terbuka di area pertemuan antar gerbong, tempat di mana ia tiba sebelumnya bersama Ned. Melihat ke bawah, ia meringis; jika ia terjatuh, maka habislah sudah. Gilbert berpegangan pada pagar pengaman untuk menjaga keseimbangan di atas kereta yang bergoyang, sambil terus memeriksa sekelilingnya.
Mana mungkin orang tadi terjun begitu saja? Lagipula ini area terbuka. Ke mana perginya? pikir Gilbert, merasa bingung.
Di antara hembusan angin yang menderu, Gilbert terus mencari petunjuk. Akhirnya, ia menemukan tangga menuju bagian atas gerbong di balik punggungnya. Tidak mungkin, kan, dia naik? batinnya penuh keraguan.
"Baiklah. Kita coba saja," kata Gilbert, menyemangati dirinya sendiri.
Pria Jerman itu mulai menaiki tangga kecil yang tegak lurus menuju atap gerbong. Dengan susah payah, kepalanya akhirnya mencapai bagian atas dan merasakan terpaan angin yang menampar pipinya dengan keras. Matanya kesulitan melihat di area terbuka yang luas dengan tekanan angin yang kuat.
Begitu Gilbert mendongak, dia melihat sepucuk pistol terarah di depan wajahnya. Connor, yang sedang berjongkok di atap gerbong, tersenyum sinis menyambut Gilbert yang baru memunculkan setengah kepalanya.
" Welcome to Arkansas," kata Connor dengan senyuman penuh ancaman.
Gerbong VIP 2
Kepala Ned bergerak dengan cepat untuk menghindari tembakan, peluru Scott meleset, menghantam dinding kereta api dan menimbulkan percikan api serta dentuman yang menggelegar. Kekacauan semakin memuncak di dalam gerbong. Penumpang, dalam keadaan panik, berlarian dengan terburu-buru menuju pintu keluar, menabrak satu sama lain dalam upaya untuk menyelamatkan diri.
Di tengah hiruk-pikuk tersebut, Ned tidak kehilangan kewaspadaan. Dengan gerakan terlatih, ia menunduk untuk menghindari tembakan lanjutan dari Scott dan meraih kesempatan. Dalam sekejap, Ned menarik pelatuk pistolnya dan menembak tangan Scott, membuat senjatanya terlempar ke sudut gerbong. Peluru itu menyasar dengan akurat, mengurangi ancaman langsung dari Scott.
Kekacauan di sekitar mereka hanya menambah tekanan pada situasi. Penumpang yang panik berusaha mencari perlindungan di bawah meja atau melompati kursi, sementara jeritan dan teriakan semakin membanjiri suasana. Ned, dengan fokus yang tak tergoyahkan, memanfaatkan kekacauan itu untuk mendekati Scott. Ia dengan cepat meraih leher Scott, mengunci pria itu dengan kunci belakang yang kuat, dan menekan tubuhnya ke dinding gerbong. Dengan tangan yang masih memegang pistol, Ned mengarahkan larasnya ke kening Scott, menatapnya dengan penuh intensi.
"Jangan coba-coba bergerak, Scott," kata Ned dengan suara rendah dan tegas, berusaha mengendalikan situasi yang semakin tegang. "Ini adalah kesempatan terakhirmu untuk menyerah."
Scott, yang wajahnya menunjukkan campuran kemarahan dan rasa takut, tidak bisa melakukan apa-apa selain menatap Ned dengan matanya yang berkilat.
Namun, tiba-tiba Scott hanya terkekeh dengan nada sinis, membingungkan Ned. Gelak tawa Scott penuh kepuasan, seolah dia memegang kendali penuh atas situasi.
Pintu bilik toilet tiba-tiba terbuka dengan suara dentuman keras, dan Dylan muncul dengan ekspresi yang penuh kemenangan. Dia menarik leher seseorang dengan pistol diletakkan di pelipis orang itu. Ned merasa dunia seolah berhenti berputar saat ia menyadari siapa yang disandera—Airlangga.
Airlangga, dengan tangan terikat dan wajah yang penuh ketakutan, menatap Ned dengan mata penuh keputusasaan. Ned merasakan jantungnya berdetak kencang, dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Airlangga!" seru Ned, suara penuh kepanikan dan rasa sakit.
Dylan tersenyum jahat, menempelkan pistolnya lebih dekat ke pelipis Airlangga. "Tampaknya kau harus memilih, Ned. Kekasihmu atau nyawamu sendiri."
Suasana dalam gerbong berubah menjadi tegang dan mencekam. Teriakan panik dari penumpang menggema di sekitar mereka, menambah suasana yang semakin kacau. Ned, yang sebelumnya percaya diri, kini terperangkap dalam dilema yang sangat berat.
Airlangga menatap Ned dengan mata penuh harapan dan rasa sakit, semakin menambah penyesalan yang emosional di hatinya.
Gerbong 8
Antonio, Francis, dan Natalia membuka pintu gerbong menuju Gerbong 8, gerbong terakhir sebelum menuju gerbong barang. Begitu mereka memasuki ruangan, mereka langsung merasakan perubahan suasana. Gerbong itu tampak kosong, tanpa penumpang yang terlihat. Hanya suara deru mesin kereta yang menghiasi keheningan.
Di sudut paling belakang gerbong, mereka melihat tiga sosok yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Juan, Victoria, dan Martin.
Ketiga penjahat itu berdiri dengan sikap yang santai namun waspada, seolah telah menunggu kedatangan mereka.
"Wah, wah, lihat siapa yang ada di sini," kata Francis ceria, tersenyum genit ke arah Victoria. Disambut dengan tatapan geli wanita itu.
Natalia dengan cepat menutup pintu di belakang mereka, memastikan bahwa tidak ada satu pun penumpang yang bisa masuk atau keluar dari gerbong tersebut. Dengan gerakan cepat, dia mengunci pintu untuk memastikan keamanan para penumpang dari gangguan luar.
Antonio dan Francis berdiri di samping Natalia, masing-masing mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Ketegangan di udara semakin meningkat.
"Jadi, kalian akhirnya datang juga," ujar Juan dengan nada sinis, matanya memandang tajam. Victoria dan Martin di sampingnya tetap diam, hanya memperhatikan dengan ekspresi datar namun penuh bahaya.
"Kita akan menyelesaikan yang terjadi di bandara," kata Natalia, sambil membunyikan buku-buku jarinya dengan penuh tekad. Suara keras dari jari-jarinya yang saling bertemu menggema di dalam keheningan gerbong, menandakan persiapan untuk menyerang.
Juan, Victoria, dan Antonio membalas dengan tatapan tajam, sementara Natalia mengambil posisi yang lebih agresif. Antonio dan Francis bersiap-siap di belakangnya.
"Kita tidak akan mundur," kata Antonio dengan suara tegas. "Kita akhiri di sini!"
Ketiga penjahat itu saling bertukar tatapan, kemudian kembali fokus pada trio yang berdiri di depan mereka. Suasana menjadi semakin tegang. Masing-masing pihak siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, dan pertempuran yang menentukan segera dimulai.
Gerbong VIP 1
Mathias, Lukas, dan Berwald tertegun melihat penumpang-penumpang dari Gerbong VIP 2 berlarian dengan panik ke dalam gerbong mereka. Keadaan menjadi semakin kacau ketika suara teriakan dan langkah-langkah tergesa-gesa memenuhi udara.
"Ada penembakan di sebelah!" teriak seorang penumpang, suaranya bergetar penuh ketakutan.
Lukas berdiri dengan cepat, hatinya berdebar hebat. "Airlangga masih berada di sana!" serunya.
Mathias, mencoba mengendalikan situasi, segera memerintahkan penumpang untuk masuk dengan tertib. "Masuk, masuk, yang tertib!" Mathias berusaha mengarahkan penumpang ke area yang aman, memastikan mereka tidak lebih panik.
Berwald menegaskan prioritas mereka, wajahnya tegang. "Mereka sepertinya berada di sana. Kita harus melindungi penumpang terlebih dahulu."
Mathias tidak bisa menunggu lebih lama. "Beritahu masinis! Kita harus menghentikan kereta api ini!" serunya dengan semangat mendesak.
Tiba-tiba, suara pengumuman dari pengeras suara memecah keheningan yang mencekam dengan sebuah pernyataan yang membuat semua orang terdiam. Suara serak yang pelan mengalir dari alat pengeras suara, setiap kata terdengar penuh ketakutan.
" P-perhatian kepada semua penumpang," suara itu bergema di seluruh gerbong, " S-saat ini kereta api kita sedang dilengkapi dengan sebuah bom waktu yang terletak di salah satu bagian kereta. Bom tersebut akan diledakkan jika ada seseorang yang mengintervensi, menghalangi … atau berusaha menghentikan kereta ini … Yang perlu kalian lakukan hanya duduk tenang sampai kereta ini tiba di tujuan selanjutnya … T-terima kasih … "
Mendengar pengumuman itu, membuat suasana di dalam gerbong menjadi sangat tegang. Beberapa penumpang terbelalak ketakutan, sementara yang lain mulai menangis atau berusaha menenangkan orang di sekitar mereka. Kecemasan melanda setiap sudut gerbong, seolah suasana berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.
Mathias, Lukas, dan Berwald saling berpandang dengan ekspresi cemas.
Kereta api mereka sedang dibajak.
Mathias merasa tenggorokannya tercekat. "Kita harus berpikir cepat. Jika bom itu benar-benar ada, kita tidak punya banyak waktu."
Lukas mencoba tetap tenang. "Kita perlu mencari cara untuk mematikan bom tersebut atau setidaknya menghentikan kereta ini sebelum terlambat."
Berwald mengangguk dengan serius. "Tapi, kita juga harus memastikan keselamatan penumpang di sini. Jangan sampai ada salah satu dari mereka yang menjadi korban."
Di luar gerbong, keadaan menjadi semakin kacau, dengan penumpang-penumpang yang panik dan kebingungan. Semua orang di dalam kereta mengetahui bahwa setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan mereka pada ancaman yang mengerikan.
Ketegangan semakin meningkat. Suara pengumuman itu menambah kecemasan di dalam gerbong, menambah intensitas situasi yang mereka hadapi.
Atap Gerbong VIP 2
Gilbert mematung sejenak, matanya tertuju pada pistol yang diarahkan ke arahnya oleh Connor. Namun, saat yang sama, dia melihat dahan pohon yang menjulur dari sisi jalur kereta api, bergerak cepat menuju Connor.
Gilbert memanfaatkan kesempatan itu untuk mengulur waktu. "Mengagetkan orang begini itu tidak sopan, bruder." katanya sambil tersenyum lebar.
Connor, dengan senyuman tajam, membalas, "Datang tanpa tiket lebih tidak sopan, bukan?"
Namun, saat dahan itu menghantam punggung Connor, membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh, pistol di tangannya terlepas, dan Connor berjuang untuk berpegangan pada permukaan kereta dengan satu tangan.
Gilbert tertawa terbahak-bahak. "Hah! Itulah yang aku maksud dengan 'mengagetkan'!" katanya dengan nada puas. Dia segera memanjat tangga dan melompat ke atap gerbong, mencoba menyeimbangkan diri di tengah guncangan kereta yang melaju kencang.
Di hadapannya, Connor mulai bangkit kembali, berusaha sekuat tenaga untuk menyeimbangkan diri di atas kereta yang terus bergerak. Angin kencang menderu di sekitar mereka, dan keduanya saling menatap, siap untuk menyelesaikan pertarungan mereka di atap kereta yang sedang melaju.
Tanpa senjata dan hanya berbekal tangan kosong.
"Ayo, kita selesaikan ini!" seru Gilbert, matanya penuh tekad, siap menghadapi Connor dalam pertarungan yang paling dinantinya.
Gerbong VIP 2
" P-perhatian kepada semua penumpang," suara penuh ketakutan itu bergema di dalam gerbong. " S-saat ini kereta api kita sedang dilengkapi dengan sebuah bom waktu yang terletak di salah satu bagian kereta–"
Ned mendongak dengan napas tertahan saat suara pengumuman memecah ketegangan di dalam gerbong. Pesan itu makin menambah kecemasan dari situasi yang sudah membara.
Ketika perhatian semua orang teralih, Airlangga melihat celah untuk melarikan diri. Dengan dorongan terakhir keberanian, dia berusaha keras melawan cengkraman Dylan. Setiap ototnya memberontak dalam perjuangan putus asa, dan dirinya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman orang di belakangnya.
"Ned!" teriak Airlangga, suaranya penuh kekhawatiran. Tanpa ragu, tangannya ikut melepaskan Scott yang kini tidak berdaya dan segera berlari menuju Airlangga. Tetapi Dylan segera menyadari tindakan Airlangga.
"Bajingan!"
Dalam ledakan kemarahan, Dylan menarik pelatuk pistolnya dan menembakkan peluru. Timah panas itu meluncur dalam keheningan yang mencekam menuju Airlangga.
Airlangga yang meringkuk di lantai berusaha melindungi dirinya sendiri, tiba-tiba merasakan kehadiran sebuah pelukan hangat penuh kekuatan, yang membungkus seluruh tubuhnya, melindunginya dari bahaya, dan membawa rasa tenang yang hangat walau hanya sesaat.
Peluru itu lantas mengenai bahu Ned dengan kecepatan mematikan. Ned merasakan seakan bahunya terbelah oleh hantaman yang luar biasa. Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam dan membakar menyebar dari bahu ke seluruh tubuhnya. Darah menyembur keluar dari luka yang menganga.
Ketegangan di dalam gerbong meningkat saat melihat seseorang tertembak, suara teriakan panik dan langkah kaki terburu-buru membanjiri suasana. Penumpang-penumpang berlarian dalam kekacauan, mencari perlindungan dan terjebak dalam kekacauan yang tak terhindarkan. Di tengah-tengah kekacauan, Airlangga, yang masih terjerat dalam pelukan hangat, menatap Ned dengan mata yang penuh dengan kesedihan.
Dengan tubuh bergetar dan darah yang membasahi wajahnya, Airlangga meraih pistol yang tergeletak di samping Ned. Tangannya gemetar, namun tekadnya yang membara membuatnya tetap fokus. Dengan gerakan cepat, ia mengarahkan senjata ke Dylan, yang berdiri dengan sikap penuh keangkuhan.
Dylan menyeringai puas, matanya memancarkan kebencian dan kesenangan. "Ah, Airlangga," katanya dengan nada mengejek. "Akhirnya dirimu yang sesungguhnya muncul. Apa kau pikir kau bisa mengubah apa pun sekarang?"
Jauh dari pandangan, Scott, yang telah pulih dari serangan sebelumnya, merangkak dengan gesit menuju pistolnya yang tergeletak di dekatnya. Dengan cepat, ia meraihnya dan berdiri, menstabilkan dirinya di tengah getaran kereta yang terus berlanjut.
Tanpa ragu, Scott mengarahkan pistolnya ke arah Ned yang terbaring kesakitan, matanya dipenuhi dengan tekad dingin. "Ini sudah berakhir, Ned."
Airlangga, dengan mata penuh air mata dan tekad, mengarahkan pistol ke arah Dylan dan Scott dengan bergantian, menekan pelatuknya dengan tangan yang gemetar.
Ned, yang terbaring di lantai dengan bahu terluka, berusaha keras untuk mengangkat kepalanya. "Airlangga, jangan!" jeritnya, suaranya penuh dengan kepanikan dan rasa sakit. "Ini tidak ada gunanya. Kau akan membahayakan dirimu sendiri!"
Dengan mata yang membara Airlangga membentak. "Diam, Ned." Matanya membara penuh tekad. Kata-kata yang selanjutnya terucap dari bibirnya yang bergetar membuat Ned tertegun. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi kali ini!"
