.
PRESENTED
"Arr-Kansas!" the sequel of "The NEWS"
.
Natalia Arlovskaya : Reporter
Gilbert Beilschmidt : Leader
Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man
Francis Bonnefoy : Driver
Airlangga Putra Brawijaya : Journalist
Characters
Indonesia, Prussia, Belarus, France, Spain
Germany, South Italy, North Italy, America
England, Scotland, Ireland, Wales
Turkey, Greece
Hungary, Austria
Denmark, Norway, Sweden
Mexico, Falkland Island, Argentine, Cuba
Netherlands, Belgium
Kansas City Southern Railway
Gerbong VIP 2
Gerbong mereka kini telah kosong, hanya tersisa mereka berempat di dalamnya. Ned sedang terluka parah. Airlangga berpikir cepat untuk mengambil tindakan.
Matanya melirik sekilas ke arah lampu-lampu yang berjejer di sepanjang langit-langit gerbong, lalu bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat, ia menembaki lampu-lampu itu satu per satu.
"A-apa yang—" Dylan terheran dengan situasi yang sedang terjadi ketika percikan-percikan kecil kaca lampu meledak di sekitarnya.
Dengan satu tembakan beruntun, lampu-lampu itu pecah, meletus dalam kilatan cahayanya yang terakhir sebelum meredup. Dan dalam sekejap, cahaya yang terakhir kali bersinar di gerbong itu lenyap, meninggalkan ruang itu dalam keheningan yang menegangkan dan kekelaman yang mencekam.
Gerbong VIP 2 menjadi gelap total di tengah kegelapan malam.
"Sial! Cari mereka!" seru Scott.
Dalam kebutaan yang tiba-tiba menyelimuti gerbong, Airlangga segera menarik tubuh Ned mundur, ketika cahaya-cahaya peluru yang ditembakkan mengenai kursi-kursi di sebelah mereka.
Dalam kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti gerbong, Airlangga berusaha menarik tubuh Ned mundur, menghindari tembakan-tembakan yang berterbangan dari peluru-peluru yang ditembakkan secara liar, berusaha melindungi kekasihnya dari ancaman yang ada.
Mereka tersembunyi di antara kursi-kursi penumpang yang kosong, dikelilingi oleh kekacauan yang mencekam. Dengan tangan gemetar, Airlangga memeluk Ned erat-erat, berusaha memberi sedikit rasa aman di tengah kegilaan.
Kegelapan menyelubungi mereka, membuat setiap suara tembakan di luar terasa lebih menakutkan. Detak jantung Airlangga berdentum kencang di telinga Ned, bercampur dengan napasnya yang tersengal-sengal. Dalam hening yang menegangkan, Ned merasakan tubuhnya diselubungi oleh kehangatan pelukan erat Airlangga.
Di dalam kegelapan, Scott sudah siap dengan pistol di tangan, mencari di dalam kegelapan, sementara Dylan masih berusaha mengontrol situasi. Airlangga menggenggam pistol Ned dengan tangan yang basah oleh keringat, bersiap menghadapi serangan apa pun yang mungkin terjadi.
Airlangga merasakan telapak tangan Ned menggenggam erat kedua tangannya yang menggenggam senjata. Menenangkan dirinya. Seolah-olah sentuhan itu berbicara padanya.
Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
ARR-KANSAS
Chapter 11
written by Raputopu
.
Copyright
Hetalia: Axis Powers & Hetalia World Series © Himaruya Hidekaz
Atap Gerbong VIP 2
Sementara itu, tepat di atap gerbong, Gilbert dan Connor sedang berdiri saling berhadapan. Wajah mereka sama-sama dipenuhi tekad yang membara. Angin malam yang kencang bertiup mengibaskan rambut dan pakaian mereka.
Di tengah atmosfer sengit di atas atap gerbong, suasana tiba-tiba pecah dengan bunyi tembakan yang menggelegar dari gerbong di bawah mereka.
" Ouch! Sial!" Gilbert segera mengangkat kakinya bergantian menghindari desingan peluru yang muncul tiba-tiba di antara kedua kakinya.
Bunyi bunyi desingan-desingan peluru dan tembakan-tembakan beruntun menembus atap kereta api. Setiap tembakan menembus badan kereta dengan suara ledakan menakutkan, menciptakan lubang-lubang baru.
Gilbert dan Connor, yang sebelumnya saling berhadapan dengan penuh konsentrasi, kini harus menghadapi ancaman ganda. Mereka bergerak cepat, menghindari peluru yang menghujani mereka dari segala arah.
Gilbert dan Connor akhirnya mundur secara bersamaan, menjaga jarak di antara mereka untuk menghindari area yang terkena tembakan.
Setelah tembakan-tembakan tersebut mereda, suasana di atap kereta menjadi sedikit lebih tenang, meski akhirnya kembali dipenuhi ketegangan.
Gilbert menyeringai puas, matanya menilai kerusakan yang ditinggalkan di atap—lubang-lubang besar yang menembus logam. Dengan nada penuh sindiran, ia berkata, "Seru juga di bawah sana."
Connor, tidak mau kalah, menjawab dengan sinis, "Sayang sekali mereka tidak bisa melihat yang terjadi di sini!"
Saat Gilbert terlalu teralihkan oleh kekacauan di hadapannya, Connor mengambil kesempatan. Dengan gerakan cepat dan penuh tenaga, Connor berlari menuju Gilbert, menerjang tubuhnya dengan dorongan yang kuat. Tujuannya jelas: mendorong Gilbert ke tepi atap dan menjatuhkannya dari kereta yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi.
Gilbert mengerang saat dorongan Connor menghantamnya dengan kekuatan yang sangat besar. Dia berusaha membalas dengan dorongan, namun serangan Connor lebih kuat dan membuatnya terjerembab.
Punggung Gilbert semakin tergelincir ke pinggir atap kereta, hingga kepalanya menggantung di udara. Angin malam yang kencang menerpa rambutnya.
"Riwayatmu tamat, Reporter!" seru Connor dengan penuh kemenangan.
Mendengar ancaman itu, Gilbert merasa geram. Dengan cepat, dia mengangkat kakinya dan menendang perut Connor dengan keras.
"Argh!" Kesakitan membuat Connor terhuyung, memberi Gilbert celah untuk membalas dengan pukulan keras ke wajahnya. Sangat keras sampai membuat Connor terjerembab ke samping.
Gilbert melihat kesempatan untuk menyeimbangkan diri ketika melihat Connor menjerit kesakitan. Ia berusaha keras untuk kembali ke posisi stabil. Namun, tangan Connor yang masih kuat meraih kaki Gilbert, menariknya dengan tiba-tiba.
"Argh! Sial!" Serangan mendadak tersebut membuat Gilbert kembali jatuh terjerembab dan terseret ke arah tepi kereta api.
Connor merayap di atas tubuh Gilbert, berusaha menyerang wajahnya dengan kekuatan penuh.
"Kau tidak akan berhasil kali ini!" raung Connor.
Gilbert berjuang keras, mendorong bahu Connor untuk menjauh dari wajahnya, namun Connor terus melancarkan serangan liar dan tak terduga.
Dalam pertarungan sengit ini, kaki Gilbert terus berusaha memberontak, berusaha menjauhkan diri dari cengkeraman Connor yang semakin intens.
"Coba saja menghentikan reporter ini kalau bisa!" balas Gilbert dengan penuh semangat, sambil berusaha menangkis serangan Connor yang terus-menerus.
Sementara itu, kereta api terus melaju dengan kecepatan tinggi, menambah intensitas pertarungan di atas atap. Angin malam berhembus deras menerjang tubuh kedua orang yang saling menyerang dengan brutal itu.
Gerbong 8
DOR! DOR! DOR!
Tembakan-tembakan meledak dengan keras dari arah senapan laras panjang Victoria dan Martin, memaksa Natalia, Francis, dan Antonio segera berpencar. Mereka dengan cepat bersembunyi di balik kursi dan meja terdekat, mencoba menghindari peluru yang melesat deras. Suasana di sekeliling mereka berubah menjadi penuh ketegangan.
"Wanitamu sangat menyebalkan, Francis." gerutu Natalia.
"Aku tahu. Dia menakjubkan, bukan?"
Saat tembakan itu berhenti, Natalia bangkit dengan cepat dan melemparkan pisau yang mengenai bahu Juan dengan presisi. Tembakan Victoria dan Martin langsung terarah pada Natalia, namun dengan gerakan gesit, Natalia memanjat besi tempat penyimpanan koper dan bersembunyi di balik teralis-teralis besi yang ada di atas.
"Sekarang, Antonio!"
Melihat Victoria dan Martin lengah, Francis dan Antonio keluar dari tempat persembunyian mereka dengan cepat, berusaha menyerang dari sisi yang tidak terduga, mencoba memanfaatkan kekacauan yang terjadi.
Kamera Antonio tertinggal di meja dalam posisi merekam kejadian di sana.
Diserang dari dua arah sekaligus, Martin dan Victoria mengalami kesulitan dalam membidik target mereka. Ketika mereka akhirnya tersadar, Natalia sudah muncul di hadapan mereka dari atas. Dengan kecepatan dan ketepatan yang mengejutkan, Natalia menyerang tangan Martin dan Victoria, membuat senjata Martin dan Victoria terlepas dari tangan.
Antonio dan Francis bergerak cepat, masing-masing berusaha menyingkirkan senjata dari tangan Victoria dan Martin. Dengan senjata-senjata yang kini tidak berfungsi, pertarungan tangan kosong pun pecah. Antonio mendorong Martin dengan kekuatan penuh hingga menabrak dinding, sementara Francis berusaha mengunci pergerakan Victoria yang berusaha memberontak.
Namun, saat kekacauan itu terjadi, Juan melihat peluang. Dia langsung menyerang Natalia yang sedang berada di hadapannya, dengan brutal mencekik lehernya. Natalia tercekat, berjuang untuk mendapatkan udara sambil berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Juan yang kuat.
"Natalia!" teriak Francis dan Antonio bersamaan, mata mereka penuh kekhawatiran.
Pisau-pisau Natalia berjatuhan dari kantong celananya, bertebaran di lantai seiring dengan perjuangannya. Juan, dengan senyuman jahat di wajahnya, mengejek, "Akhirnya kau tertangkap juga, burung kecil."
Melihat kesempatan, Victoria dan Martin memanfaatkan kelengahan Francis dan Antonio. Martin segera mendorong Antonio dengan kekuatan yang hebat, membuatnya terjerembab ke meja dengan keras. Sementara itu, Victoria bergerak cepat, mendorong Francis ke kursi dan menahan pergerakannya dengan cengkaman yang kuat.
Ketiga anggota The NEWS kini terjebak.
Gerbong VIP 1
Lukas, Mathias, dan Berwald terus-menerus mendengar bunyi tembakan yang keras disertai dengan teriakan panik dari penumpang di gerbong-gerbong di belakang mereka. Suasana semakin tegang, dan kegentingan yang mencekik menambah tekanan pada situasi mereka.
"Kita harus menghentikan kereta api ini!" seru Lukas.
"Apa kau tidak mendengar pengumuman tadi?" cibir Mathias. "Di sini ada bom, Lukas! Dan ada ratusan penumpang di sini!"
"Ya, begitu pula dengan para Kirkland itu!" balas Lukas tak kalah keras. "Kita harus menangkap para Kirkland itu sebelum mereka meledakkan tempat ini! Kau pikir mereka mau meledakkan saudara mereka sendiri di sini?"
Lukas segera berlari memasuki ruang masinis, berusaha mencari cara untuk menghentikan kereta yang melaju dengan cepat. Sementara itu, Berwald mencoba menghubungi pasukan interpol yang berada di Arkansas, berjuang melawan waktu untuk meminta bantuan dan memberitahu mereka tentang situasi darurat yang sedang berlangsung.
Mathias mendecih, merasa kesal dan cemas. Pikirannya segera terfokus pada Gerbong VIP 2, tempat di mana adu tembak sedang berlangsung dengan intens. Ia melirik ke arah penumpang-penumpang yang meringkuk ketakutan di sekelilingnya, wajah-wajah mereka pucat dan mata mereka dipenuhi kecemasan.
"Apa yang terjadi di sana sebelum kalian pindah kemari?"
Seorang penumpang yang tampaknya sangat ketakutan memberanikan diri untuk berbicara, suaranya bergetar dan terbata-bata. "A-ada seorang pria dari luar gerbong yang tiba-tiba datang dengan pistol. L-lalu, pria itu menyerang seorang penumpang. Kemudian, terjadi keributan. Dan tiba-tiba muncul pria lain yang mengeluarkan seorang sandera dari dalam toilet," jelasnya dengan nada putus asa.
Toilet? Airlangga. Pikiran Mathias langsung tertuju pada satu orang.
Mathias menggelengkan kepala, menggerutu penuh kekesalan. "Ah, kacau sekali di sana," ujarnya, suara frustrasinya jelas terdengar. Ia kemudian menoleh ke Berwald yang berdiri di sampingnya. "Jaga mereka, Berwald. Aku akan mengecek gerbong sebelah dan melihat apa yang bisa kulakukan di sana."
Berwald mengangguk serius, sementara Mathias segera bergerak menuju gerbong sebelah yang sudah gelap gulita, menyusul Airlangga dan siapapun lagi yang berada di sana.
Ruang Masinis
Lukas mendobrak pintu bertuliskan 'DILARANG MASUK' dengan penuh kekuatan dan segera menemukan masinis yang sedang mengemudi dengan wajah ketakutan. Lukas dengan cepat menunjukkan kartu identitas. "Kami dari kepolisian, biar aku yang ambil alih!" katanya tegas.
Tanpa membuang waktu, Lukas segera menggeser tubuh masinis yang ketakutan itu dan mengambil alih kendali kereta. Dalam suasana malam yang gelap, penglihatan sangat terbatas, membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas.
Namun, meski dengan penglihatan yang terbatas, Lukas berhasil menangkap sesuatu di kejauhan di ujung rel. Dari kanan dan kiri, Lukas melihat banyak cahaya lampu mobil yang berkedip-kedip, seolah-olah mengintai dan mengelilingi kereta api. Cahaya-cahaya itu semakin banyak dan semakin mendekat.
Dalam waktu singkat, Lukas menyadari bahwa sejumlah besar mobil tampaknya mendekati kereta mereka.
Apakah ini pembajakan lagi? Pertanyaan itu menggema di pikirannya. Atau justru bala bantuan?
Little Rock
Maximo, bersama dengan pasukan para pengemudi taksi lainnya, memacu kendaraan mereka dengan penuh semangat di hamparan padang rerumputan Arkansas, berbaris di kanan dan kiri kereta api yang sedang melaju cepat. Sekitar sepuluh mobil taksi bergerak bersamaan, seolah-olah membentuk sebuah formasi pelindung yang berusaha mendekati kereta tersebut.
Salah satu pengemudi, yang berada di mobil taksi yang tidak jauh dari Maximo, menoleh dan bertanya dengan nada cemas, "Kau yakin di dalam sana ada emas-emas itu, Max?"
Maximo menatap lurus ke depan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. "YA! Teman-temanku berada di sana! Kita harus menolong mereka dan menghentikan penjahat-penjahat itu!" teriaknya dengan penuh semangat. Mobil-mobil taksi terus melaju dengan kecepatan tinggi mendekati badan kereta api.
Atap Gerbong VIP 2
Gilbert merintih kesakitan saat sebuah pukulan telak kembali menghantam wajahnya. Sementara itu, dengan penuh kemarahan dan keputusasaan, Gilbert membalas dengan sebuah tendangan keras ke arah perut Connor, yang membuat pria itu terjerembab ke tanah sambil memegangi perutnya yang nyeri. Keduanya tampak kelelahan, terengah-engah di tengah pertempuran sengit.
Harus menjaga keseimbangan di atas kereta api yang sedang bergerak laju ditambah harus melancarkan serangan-serangan brutal kepada lawan benar-benar sangat menguras tenaga.
"Hah! Hah! Mau sampai kapan kita begini?" seru Gilbert frustasi, napasnya tersengal-sengal karena kelelahan, tubuhnya hampir ambruk di tengah pertempuran yang sengit.
"Sampai kau menyerah!" balas Connor dengan suara penuh tekad, sementara dia berusaha tetap berdiri meskipun rasa lelah juga mulai menggerogoti fisiknya.
"Mimpi saja kau!" jawab Gilbert dengan penuh semangat, berusaha mengabaikan rasa lelahnya, dan kembali berdiri tegak untuk melancarkan serangan berikutnya.
Namun, saat Gilbert bersiap untuk menyerang, pandangannya tertuju pada sekumpulan mobil taksi tua yang tiba-tiba muncul dari berbagai arah, membentuk sebuah konvoi yang tidak terduga. Bunyi deru mesin-mesin tua mobil mereka meraung ganas, menggema dan memecah keheningan padang rerumputan Arkansas. Suara mesin yang berkarat dan penuh tenaga itu menyatu dengan getaran tanah, membentuk kebisingan mobil-mobil berkarat yang saling dipacu dengan kecepatan tinggi.
Di antara deretan mobil tersebut, ia menangkap sosok mobil putih reot yang sangat familiar, memimpin rombongan dengan penuh kepercayaan diri.
"Maximo!" jerit Gilbert dengan penuh kegembiraan setengah terharu, melambai-lambaikan kedua tangannya ke arah mobil putih tersebut, merasa harapan baru muncul di tengah kesulitannya.
Maximo, yang sedang berada di dalam mobil putih dan melihat Gilbert berdiri di atas kereta api dan sedang melawan seorang penjahat. Ia tersenyum puas dan mendecih dengan rasa senang. "Kau keren sekali di atas sana, Kawan!" teriaknya dengan semangat dari kejauhan, mengapresiasi keberanian Gilbert sambil terus mempercepat mobilnya menuju tempat kejadian.
"Terima kasih!" balas Gilbert dengan penuh semangat, senyum lebar menghiasi wajahnya di tengah kekacauan.
Connor menoleh dengan penuh rasa ingin tahu, heran melihat keributan yang terjadi di sekeliling mereka. "Apa-apaan lagi ini?" tanyanya, suaranya penuh kebingungan saat matanya meneliti situasi di luar.
Dia menatap takjub pada deretan mobil-mobil taksi tua yang mengerumuni kereta api mereka, berderet di kanan dan kiri, seolah-olah membentuk barikade. Jumlahnya banyak dan suasananya tampak semakin kacau. Namun, sejauh ia melihat, tidak satu pun dari mobil-mobil tersebut adalah mobil polisi. Hal ini menambah rasa heran dalam pikirannya.
"Kami sudah membuat barikade!" seru Maximo dengan penuh semangat, mencoba untuk menyampaikan pesannya kepada Gilbert.
Namun, angin yang menderu di sebelah kuping Gilbert membuat suara Maximo hampir tidak terdengar. Gilbert hanya dapat menangkap kata-kata yang samar. "Hah?" tanyanya, wajahnya penuh kebingungan.
Maximo, melihat ketidakmengertian Gilbert, berteriak lebih keras, "BA-RI-KA-DE!"
Gilbert semakin bingung, berusaha keras untuk memahami apa yang dikatakan Maximo. "BA-APA?" teriaknya kembali, suaranya dipenuhi dengan rasa frustasi dan kebingungan, berusaha melawan deru angin yang menghalangi pendengarannya.
Maximo ikut merasa kesal dan tidak sabar. Dengan gerakan cepat, dia menunjuk ke arah depan. "Lihat di depan!" serunya.
Gilbert mengikuti arah jari Maximo
Sekitar 200 meter dari lokasi kereta api mereka saat ini, matanya tertuju pada tumpukan pasir yang menghalangi rel kereta api di depan mereka. Rel-rel kereta api tampak tertutup oleh tumpukan pasir tinggi yang menghalangi jalur dan membentuk penghalang besar yang membentang di sepanjang rel.
Tumpukan pasir itu jelas dibangun dengan harapan dapat menghentikan laju kereta api untuk sementara waktu.
Gerbong VIP 2
Mathias menyuruh para penumpang menjauhi pintu. "Apapun yang terjadi, kalian harus tetap menundukkan kepala dan bersembunyi mencari tempat aman!" perintah Mathias. Dan ia segera membuka pintu menuju gerbong gelap tersebut.
Dylan dan Scott yang mendengar pintu di balik punggungnya terbuka langsung melancarkan tembakan-tembakan ke arah pintu. Ketika pintu terbuka desingan-desingan peluru bermunculan dari dalam gerbong yang gelap. Mathias bergegas menutup pintu di balik punggungnya dan merunduk menghindari tembakan. Peluru-peluru yang dilepaskan menimbulkan percikan-percikan cahaya. Beberapa titik-titik cahaya yang menyala mulai menunjukkan lokasi orang-orang yang berada di dalam gerbong, termasuk Dylan, Scott, dan Ned.
Salah satu tembakan berdesing di lengan Mathias dan menyayat kulitnya perih, membuat kemejanya robek dan mengalirkan darah merah yang merembes.
"Agh, sial."
Ned mendorong Airlangga dengan kasar agar tubuhnya tersembunyi dan melangkah keluar dari tempat persembunyian. "Ned!" teriak Airlangga dengan sia-sia, tetapi Ned sudah bangkit berdiri dan mengarahkan tembakannya ke Scott yang berdiri dekat jendela.
Dylan, yang melihat tembakan mengarah ke kakaknya Scott, segera membalas dengan menembakkan senjatanya ke area sekitar. Namun, dalam kegelapan, bidikannya meleset dan justru mengenai saudaranya sendiri. "Argh! Kau bodoh, Dylan!" jerit Scott, kesakitan karena tembakan yang tidak tepat sasaran.
Memanfaatkan kekacauan, Ned segera menabrak sumber suara yang mengganggu dan menyerang orang itu tanpa ampun.
Di tengah rasa nyeri yang menggigit di lengannya, Mathias berusaha untuk mengeluarkan senter darurat dan menyalakannya. Cahaya terang dari senter menyinari seisi gerbong yang gelap, sementara sebuah tembakan melintas dekat pipinya, menyadari bahwa tembakan itu berasal dari Dylan.
" Sialan!" maki Mathias.
Mathias yang menyadari tembakan yang datang dari Dylan, segera membalas dengan menembakkan peluru ke arah Dylan yang kini merunduk di balik kursi penumpang.
Tembakan-tembakan di dalam gerbong tersebut terus dilancarkan dengan membabi-buta.
Airlangga yang dikelilingi oleh desingan-desingan peluru, menutup kupingnya erat-erat dengan tubuh gemetar, mencoba melindungi dirinya dari kekacauan yang bergemuruh di sekelilingnya.
Gerbong 8
Natalia merasakan tenggorokannya tercekik oleh tangan-tangan besar Juan yang mencengkramnya dengan kekuatan yang hampir menghancurkan tenggorokannya. Dalam perjuangan terakhirnya untuk bernafas, dia berusaha sekuat tenaga, tetapi tangan-tangannya tidak cukup panjang untuk meraih Juan yang berdiri di depannya.
" Arghh, sialan–kau–" rintih Natalia kesal.
"Kau bukan apa-apa, burung kecil." ejek Juan, menyeringai melihat Natalia yang tak berkutik.
" Aku-ugh–bukan … burung!" Dengan sisa tenaga yang tersisa, Natalia berjuang keras untuk membebaskan dirinya dari tangan-tangan Juan yang besar. Dia memfokuskan seluruh kekuatannya pada kakinya dan menendang dengan sekuat tenaga ke arah dagu pria Meksiko itu. "Rasakan ini!" Tendangan keras yang diarahkan dengan penuh kemarahan membuat Juan, yang bertubuh besar dan kekar, terhuyung mundur dengan terkejut.
"Argh!"
" Lepaskan-aku!" geram Natalia. " Dasar sialan!" Dengan kecepatan yang membabi-buta, Natalia terus melancarkan serangan, menendang wajah Juan dengan kedua kakinya secara bersamaan.
Pria Meksiko itu kesakitan dan tangannya terlepas dari leher Natalia.
Begitu Natalia mendarat di lantai setelah tendangannya melumpuhkan Juan, dia segera bergerak dengan cepat meraih pisau-pisaunya yang berserakan di lantai. Tangan-tangannya bergerak lihai untuk menusukkan senjata-senjata tajam tersebut ke betis Juan dengan gerakan cepat tanpa ragu.
"Argh!"
Setiap tusukan menyebabkan pisau menancap dalam-dalam di betis Juan, membuat pria Mexico itu menjerit keras.
"Lihat siapa yang tak berkutik sekarang!" hardik Natalia geram.
Dengan keberanian yang mengalir dalam dirinya, dia mengambil ancang-ancang dan berlari dengan penuh kecepatan. Kakinya melayang dan menendang tubuh Juan dengan kekuatan maksimal. Tendangan yang keras dan terarah itu membuat Juan terpental ke arah jendela.
BRAK!
Dengan dorongan yang kuat, tubuh besar Juan menghancurkan kaca dengan suara berderak yang menggema di seluruh ruangan. Benturan keras di kepalanya membuat tubuh Juan terhuyung dan tumbang ke lantai. Besi-besi penyangga di atas kepalanya rubuh dan berjatuhan mengenai tubuhnya.
Antonio dan Francis menatap dengan terpana melihat bagaimana Natalia yang bertubuh ramping itu berhasil melumpuhkan Juan yang seperti raksasa.
Natalia menatap mereka dengan tatapan berkilat marah. "Ingat kata Maximo! Dia itu lambat!" katanya menunjuk Juan dengan telunjuk teracung.
Victoria dan Martin menjadi lengah akibat serangan tiba-tiba dari Natalia yang membuat situasi berubah. Martin terbelalak, matanya melotot penuh rasa marah saat Natalia mendekatinya dengan penuh intimidasi. "Lepaskan temanku!" teriak Natalia dengan suara penuh kebencian, membuat pertahanan Martin sedikit mengendur.
Martin yang terlihat terkejut dan ketakutan, membuat Antonio memanfaatkan celah untuk memberontak dari cengkraman Martin. Dengan cepat, Antonio mendorong pria Argentina itu dengan keras, memberi Natalia kesempatan untuk bergerak.
"Sekarang, Nat!"
Natalia dengan gerakan cepat dan terampil, langsung menyambar tubuh Martin dan menarik lehernya dalam satu tarikan keras. Dia mengunci Martin dengan kuat, memastikan bahwa pria itu tidak bisa bergerak. Dalam posisi yang terkunci, Natalia mengarahkan ujung pisaunya yang tajam dengan di dekat mata Martin, memberikan ancaman yang nyata dan menakutkan.
"Kau salah pilih lawan, Tuan," desis Natalia dengan dingin.
"Aku akan memeriksa emas-emas itu, Nat!" kata Antonio bergegas bergerak menuju gerbong barang di paling belakang.
"Baik, Antonio! Teriak saja kalau butuh bantuan!" kata Natalia percaya diri.
Sementara itu, beberapa meter di belakang mereka, Francis yang masih terbaring di kursi, merintih dalam posisi tertekan di bawah cengkeraman Victoria yang masih berdiri dengan tatapan nyalang, menatap tajam ke sekeliling mereka.
"Eum, teman-teman?" Francis memecah keheningan dengan suara yang penuh nada terluka, "Sepertinya kalian lupa ada satu anggota lagi yang belum diselamatkan."
Sambil berusaha keras untuk tetap mengunci pergerakan Martin, Natalia mendecih. Dengan tatapan penuh arti, dia berbalik ke arah Francis yang terperangkap di tangan Victoria dan berkata, "Bukankah ini momen yang kau nantikan, Francis?"
Natalia memberi sinyal lirikan ke arah Victoria dan Francis secara bergantian, membuat wanita pirang itu menatap keheranan. Natalia mendengus setengah tertawa dengan geli sambil melirik Francis dengan tatapan mengasihani, "Temanku yang berotak mesum ini naksir denganmu, Nona. Dia sangat tergila-gila padamu."
"Hei! Diam, Nat!" seru Francis dengan wajah bersemu merah. Namun, melihat Victoria yang langsung beralih memandangi wajahnya, membuat jantung Francis berdegup kencang.
"H-hai …" Francis melambai malu-malu.
"Nikmati waktu kalian berdua!" Kemudian, Natalia tertawa keras-keras, menikmati ekspresi Francis dan Victoria yang saling bertatapan canggung.
Ruang Masinis
Saat berusaha mengendalikan laju kereta api, Lukas tiba-tiba melihat sesuatu yang menghalangi rel di depannya. Dalam suasana gelap yang menyelimuti malam, sulit bagi Lukas untuk menentukan apa benda itu. Namun, saat kereta semakin mendekat, bentuknya mulai jelas terlihat—sebuah tumpukan pasir yang tinggi terletak di tengah-tengah rel, mengancam untuk menghentikan perjalanan mereka.
"Hentikan kereta ini!"
Lukas segera berteriak kepada masinis, meminta bantuannya untuk menghentikan kereta api. Dengan kedua tangan, masing-masing kedua orang itu segera menarik tuas pengereman dengan sekuat tenaga, mencoba memicu sistem rem agar kereta dapat berhenti. Namun, yang terjadi adalah, kereta semakin mendekati tumpukan pasir, masih terus melaju dengan kecepatan tinggi, dan usaha mereka untuk menghentikannya terasa semakin sia-sia.
Atap Gerbong VIP 2
Gilbert membelalak dengan horor saat melihat tumpukan pasir tinggi yang dibuat oleh Maximo berdiri tegak di tengah-tengah rel kereta mereka. "Apa kau gila, Maximo?" jerit Gilbert dari atas gerbong, suaranya penuh kekhawatiran dan rasa heran. Namun, cukup takjub melihat usaha Maximo.
Maximo yang berusaha keras untuk tetap memacu taksinya, membalas teriakan Gilbert dengan penuh keyakinan, "Ini bisa menghentikan kereta untuk sementara! Percayalah!" Suaranya terdengar sangat percaya diri.
Gilbert membalas. "Kau mulai sama gilanya dengan kami, Maximo!"
Sementara itu, Connor memandang tumpukan pasir itu sambil berusaha berdiri di tengah goncangan dan kebisingan. Rasa cemas teruir di wajahnya.
Dan dengan kecepatan yang terus meningkat, tabrakan antara ujung kereta api dan tumpukan pasir itu pun tak terelakkan. Suara benturan yang mengguntur dan guncangan hebat mengguncang seluruh kereta. Efek dari benturan tersebut menyebabkan roda-roda kereta kehilangan cengkeraman pada rel.
Akibatnya, roda kereta mulai tergelincir, sedikit meluncur keluar di luar jalurnya. Suara berderak dan getaran keras mengguncang seluruh gerbong saat kereta mulai beralih dari jalurnya. Kereta yang sebelumnya melaju dengan mantap kini terombang-ambing dan terhuyung-huyung, berusaha untuk tetap berada di rel yang sudah mulai miring.
"Aaah!"
Tubuh Connor terlempar ke samping ketika kereta tergelincir dari rel, dan kakinya kehilangan pijakan yang stabil. Dalam momen penuh kekacauan, tubuh Connor merosot ke tepi gerbong dan terhuyung-huyung ke arah pinggir, menyebabkan bagian bawah tubuhnya menggantung di udara bebas. Terasa seolah-olah hidupnya berada di ujung tanduk, ia merasakan betapa dekatnya kematian saat kakinya bergetar di luar gerbong.
Dengan sebagian tubuhnya menggantung di udara, tiba-tiba Connor merasakan tangan seseorang menahan berat tubuhnya dengan sekuat tenaga, berusaha keras untuk menariknya kembali ke dalam gerbong.
Gilbert dengan ekspresi wajah penuh tekad dengan kegigihan, berjuang melawan gaya gravitasi dan berat tubuh Connor. Setiap otot di tubuhnya menegang saat ia berusaha menarik Connor kembali naik.
Connor terpana menatap Gilbert yang berjuang untuk menyelamatkan dirinya dari ambang kematian.
"Eugh! Aku memang membencimu!" seru Gilbert. "Tapi, mati karena jatuh dari atas gerbong … ADALAH HAL YANG TIDAK KEREN, KAWAN!"
Gerbong VIP 2
Guncangan keras yang melanda gerbong menyebabkan seluruh lantai dan dinding bergetar hebat, menciptakan kekacauan yang semakin tak terkendali. Di dalam Gerbong VIP 2, Ned, Scott, Dylan, dan Mathias terlempar ke sana kemari, tubuh mereka terguncang seiring dengan ketidakstabilan kereta api yang semakin parah.
Memanfaatkan kekacauan yang melanda gerbong, Ned segera mengambil kesempatan untuk melancarkan serangan mendadak pada Scott. Dalam hiruk-pikuk yang disebabkan oleh guncangan hebat, Ned berhasil merampas senjata dari tangan Scott dengan cepat, membuat senjata itu terlempar dan jatuh ke lantai.
Di saat yang bersamaan, Mathias tidak tinggal diam. Dia terus menembakkan pistolnya ke arah Dylan, menembus kegelapan yang remang-remang. Salah satu tembakan tepat mengenai tangan Dylan, membuat pistolnya terlepas dari genggaman dan meluncur ke lantai.
Ned, setelah berhasil menyingkirkan senjata Scott, bergerak cepat untuk menyergap Scott dan mengamankannya. Pada saat yang sama, Mathias menjaga Dylan dengan penuh kewaspadaan, memastikan bahwa pergerakan Dylan tidak menjadi ancaman lebih lanjut.
Ketika kedua Kirkland itu akhirnya berhasil diringkus.
Tiba-tiba Berwald muncul dari balik pintu gerbong dengan cahaya remang-remang yang menyinari sekeliling. Di tangannya, dia memegang lampu darurat yang dipinjam dari salah satu penumpang.
Berwald menilai keadaan di dalam gerbong yang sudah kacau balau dengan lubang-lubang peluru yang berserakan di mana-mana. Namun, dia merasa lega melihat bahwa Dylan dan Scott akhirnya berhasil diringkus.
"Baiklah. Berarti sudah aman." katanya datar.
Sementara itu, Airlangga terus menatap Ned dan Mathias secara bergantian, sebuah tatapan penuh ketajaman dan kebencian. Mathias, merespons tatapan tersebut dengan acuh tak acuh, berkata, "Ya, ya, dia Ned yang asli," menegaskan bahwa masalah siapa Ned-yang-sesungguhnya telah teratasi. "Kalian bisa berciuman sekarang kalau mau."
Atap Gerbong VIP 2
Roda kereta yang sedikit tergeser dari relnya menyebabkan laju kereta menjadi lambat. Meskipun tumpukan pasir telah dilewati, kereta masih terus bergerak, namun kali ini dengan pergerakan yang tidak stabil dan terus berguncang.
Sementara itu, kaki-kaki Connor yang masih menggantung di luar gerbong akhirnya berhasil mendarat di pinggir jendela yang terbuka. Menyadari ada kesempatan untuk melarikan diri dari situasi yang semakin berbahaya, Connor memanfaatkan momen tersebut dan melepaskan diri dari tangan Gilbert.
"Hey!" Gilbert berseru dengan penuh kepanikan, namun teriakannya sia-sia. Connor, yang sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri, tidak bisa dihalangi oleh seruan Gilbert. Di tengah-tengah guncangan kereta, Connor melompat keluar, berusaha menyelamatkan diri.
Connor meloncat ke bawah dengan penuh keberanian, bergelantungan di sekitar pipa-pipa gerbong yang menggantung di bawah. Dengan hati-hati, ia menahan pijakannya di pinggir jendela sebelum akhirnya melakukan lompatan yang berisiko, masuk ke dalam gerbong di bawahnya.
Setelah berhasil mendarat dengan selamat, Connor menatap ke arah jendela yang terbuka dan menghela napas dengan rasa lega. Dalam kekacauan dan guncangan kereta, ia sempat mendengarkan teriakan Gilbert yang penuh kemarahan.
"Ciih! Dasar! Tidak tahu berterima kasih!"
Meskipun merasa sedikit bersalah, Connor tahu bahwa ia harus fokus pada keselamatan dan kelangsungan hidupnya di tengah situasi ini.
Namun, ketika Connor membalikkan badan, ia menyadari bahwa ia telah salah masuk gerbong. Seketika, rasa panik melanda dirinya saat ia melihat Ned, Mathias, dan Berwald memandangnya dengan tatapan penuh kejutan. Di dalam gerbong yang sama, ia juga melihat saudara-saudaranya yang terkurung dan sudah diborgol di tiang-tiang.
Connor baru saja menyadari kesalahannya ketika Gilbert, yang meluncur masuk melalui jendela mengikuti jejaknya, menabrak punggungnya dengan keras. "Kau tidak akan bisa lari kali ini, sialan! Kau akan–" seru Gilbert dengan penuh kemarahan, tapi kata-katanya terhenti di udara saat ia melihat suasana canggung di dalam gerbong.
Gilbert mengalihkan pandangannya dari Connor ke orang-orang di dalam gerbong, matanya membelalak penuh kebingungan. "Aku tidak melewatkan sesuatu, kan?" tanyanya dengan nada ragu.
Little Rock
Maximo memperhatikan dengan cemas ketika kereta yang melaju kencang mulai terlihat sedikit terguncang. Walaupun laju kereta belum sepenuhnya terhenti, dia bisa melihat roda-rodanya sedikit tergeser dari rel.
Yang membuatnya khawatir adalah, beberapa kilometer di depan mereka, terdapat rel kereta sempit melintas di atas Sungai Arkansas yang terkenal dengan arus derasnya. Jika roda kereta tidak segera kembali ke posisi yang benar, kemungkinan besar kereta itu akan jatuh ke dalam sungai di bawahnya.
Maximo menyadari bahwa tindakannya, yang awalnya dimaksudkan untuk membantu, malah berpotensi memperburuk keadaan.
"Ini gawat," gumam Maximo. Ia menyadari bahwa pilihannya malah membawa situasi yang semakin buruk untuk orang-orang di dalam sana.
Gerbong Barang
Antonio akhirnya berhasil membuka pintu Gerbong Barang. Begitu pintu terbuka, ia melihat deretan tumpukan kotak kayu yang menimbulkan kesan mencurigakan di dalam gerbong yang gelap. Dengan hati-hati, Antonio mulai mengangkat kain-kain tebal yang menutupi kotak-kotak tersebut.
"Apakah ini tempatnya?"
Ia memilih salah satu kotak kayu dan membuka tutupnya dengan hati-hati. Ketika kotak itu terbuka, terlihat cahaya temaram cerah yang memantul dari dalamnya, menampilkan koin-koin emas dan perhiasan yang berkilauan. Harta karun yang selama ini dicari-cari.
"Ah, ini dia!"
Namun, euforia itu tiba-tiba terputus ketika Antonio mendengar bunyi pelatuk di belakang punggungnya. Suara itu tajam dan menegangkan—suara pistol yang siap ditembakkan. Dengan cepat, Antonio menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok Arthur yang berdiri di belakangnya.
Arthur tersenyum sinis, tatapannya penuh penghinaan dan kepuasan yang dingin. "Kalian benar-benar parasit," katanya, suaranya sarat dengan rasa benci dan kecemasan yang sudah lama mengendap.
DOR!
Antonio segera melompat menjauh dari arah tembakan, tubuhnya meluncur di antara kotak-kotak kayu berisi emas untuk mencari perlindungan. Ia merunduk di balik tumpukan kayu yang berisi emas-emas yang bergemerincing.
"Wow, aku tidak menyangka ada anjing penjaga di sini."
Arthur menggeram marah, tampak semakin kesal. Tahu bahwa situasinya sudah sangat berbahaya.
"Keluarlah, parasit!" seru Arthur.
"Kau harus merubuhkan benteng-benteng emasmu dulu kalau begitu." kata Antonio menggoda.
Sadar bahwa ia tidak ingin membuat kerusakan pada emas-emasnya, Arthur memikirkan jalan keluar yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan sebuah alat kecil dari sakunya, wajahnya menunjukkan ekspresi licik yang dingin.
"Baiklah. Kau membuatku tidak punya pilihan lain." kata Arthur, suaranya penuh ancaman. Ia menekan tombol pada alat tersebut dengan hati-hati, tampak menunggu reaksi dari Antonio yang masih bersembunyi.
"Bagaimana kalau kita hancurkan saja semua yang ada di sini?" Arthur menambahkan dengan nada putus asa yang sinis.
Gerbong 5
Di deretan kursi penumpang yang sempat tenang, ketenangan itu terganggu oleh bunyi alarm kecil yang menyala dari bawah meja. Seorang penumpang yang duduk dekat meja tersebut menoleh, mencari sumber suara yang mencurigakan. Matanya kemudian tertuju pada sebuah koper hitam yang tampaknya telah lama ditinggalkan di sudut gerbong.
Koper tersebut adalah milik seorang pria berambut pirang yang terlihat sangat terburu-buru saat meninggalkan tempat itu. Penumpang tersebut segera menyadari bahwa dari dalam koper muncul bunyi alarm yang semakin keras, dan alarm itu menunjukkan hitung mundur yang semakin mendekati nol.
Kepanikan mulai menyebar seperti api di antara penumpang. Mereka berteriak dengan ketakutan, beberapa melompat dari kursi mereka dan saling berdesakan untuk keluar dari gerbong. Suasana di dalam gerbong menjadi kacau, dengan suara teriakan, langkah-langkah panik, dan desakan yang menggema.
"Bom! Ada bom!" teriak salah satu penumpang, suaranya penuh dengan kepanikan.
Rasa takut dan kecemasan memuncak ketika penumpang menyadari bahwa mereka menghadapi kemungkinan terburuk—sebuah bom yang akan meledak dalam waktu yang sangat singkat.
