.
PRESENTED
"Arr-Kansas!" the sequel of "The NEWS"
.
(FINAL CHAPTER)
Natalia Arlovskaya : Reporter
Gilbert Beilschmidt : Leader
Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man
Francis Bonnefoy : Driver
Airlangga Putra Brawijaya : Journalist
Characters
Indonesia, Prussia, Belarus, France, Spain
Germany, South Italy, North Italy, America
England, Scotland, Ireland, Wales
Turkey, Greece
Hungary, Austria
Denmark, Norway, Sweden
Mexico, Falkland Island, Argentine, Cuba
Netherlands, Belgium
Kansas City Southern Railway
Gerbong VIP 2
Gilbert bergegas mendekati Connor, yang masih tertegun dan tampak bingung menatap saudara-saudaranya yang tersandera. Gilbert dengan cekatan langsung mengunci pergerakan Connor, memastikan bahwa pria itu tidak bisa melarikan diri.
"Maaf, sepertinya kau harus bergabung dengan saudara-saudaramu di sana," kata Gilbert jahil.
Di saat yang sama, Berwald datang dengan langkah cepat dan melepaskan Connor dari tangan Gilbert. "Dia sekarang menjadi tahanan Interpol," kata Berwald dengan suara penuh otoritas. Tanpa membuang waktu, ia memborgol tangan Connor, memastikan bahwa pria itu tidak bisa bergerak bebas.
Berwald kemudian membawa Connor menuju saudara-saudaranya yang sudah terikat.
Melihat semua masalah sudah teratasi, Gilbert segera menghampiri pundak Ned dengan ekspresi lega dan menepuk-nepuknya dengan keras, membuat punggung Ned terdorong-dorong ke depan. "Kerja bagus, Kawan. Tapi, maaf, saja, tapi aku lebih awesome tadi di atas sana. Kau memang tidak melihatnya, tapi, aku bisa jamin kalau a-" kata-kata Gilbert terhenti di udara, ketika matanya menangkap sesuatu dari balik punggung Ned.
Mata Gilbert tertuju pada keberadaan seseorang yang susah payah bangkit berdiri dari tempat persembunyiannya Matanya terbelalak. Dan dengan sekali hempasan kuat, Gilbert mendorong Ned sampai pria Belanda itu hampir terjatuh lagi, dan berlari riang menuju Airlangga.
"AIRLANGGA!"
Pelukan itu menerjang Airlangga seperti karung beras yang berat, membuat Airlangga terhuyung-huyung ke belakang.
"Gilbert!" sahut Airlangga tak kalah senang, memeluk rekan sejawatnya itu erat-erat. "Aku sangat khawatir dengan kalian! Di mana yang lain?"
Tiba-tiba Gilbert tersadar. "Oh, benar. Aku harus menyusul mereka!"
Guncangan-guncangan di dalam gerbong kereta api kembali mengingatkan mereka bahwa roda kereta api yang mereka tumpangi tidak berada pas di relnya dan bisa sewaktu-waktu tergelincir bebas dari rel. "Tapi, situasi terlalu berbahaya. Kau sebaiknya tetap di sini, Airlangga. Biar aku yang menolong mereka."
"Tapi–"
"Lihat, kau ada seseorang yang harus diperhatikan juga!" Gilbert melirik-lirik Ned dengan tatapan penuh kode seolah-olah berkata ' orang itu perlu diperhatikan juga'.
Ned menyadarinya dan memutar bola matanya dengan malas.
"Lagipula kau sudah terlalu lama terlibat dalam situasi berbahaya, Airlangga. Aku yakin kau akan lebih aman bersama orang-orang ini."
Airlangga merasa bimbang. Di satu sisi, dia ingin sekali membantu teman-temannya, yang kini berada dalam situasi genting dan penuh bahaya. Di sisi lain, ia juga memiliki tanggung jawab besar terhadap seseorang yang harus dijaga.
Akhirnya Airlangga berkata dengan murung. "Baiklah. Tapi, berjanjilah!" tangan Airlangga menggenggam tangan Gilbert erat-erat. "Kita semua harus pulang sama-sama dengan selamat!" Matanya berkaca-kaca. "Kita semua, tanpa terkecuali." bisiknya tajam sambil menoleh ke arah Ned.
ARR-KANSAS
Chapter 12
written by Raputopu
.
Copyright
Hetalia: Axis Powers & Hetalia World Series © Himaruya Hidekaz
Gerbong Barang
Dalam situasi yang semakin terjepit, Antonio merasa terdesak. Dengan refleks cepat, ia mulai mendorong kotak-kotak kayu yang menggunung tinggi di dalam Gerbong Barang. Kotak-kotak berat tersebut mulai bergeser dan akhirnya jatuh ke arah Arthur.
"Aaah!"
Emas-emas yang tersembunyi di dalam kotak-kotak itu berhamburan keluar, berserakan di lantai gerbong.
Arthur, yang berdiri di dekat tumpukan kotak-kotak, mencoba menghindari serangan mendadak tersebut dengan cepat. Namun, usaha tersebut malah membawa malapetaka baginya. Ia terjebak di antara gundukan kotak-kotak berat dan emas yang berceceran. Berbagai benda menimpa dan membuat tubuhnya terjepit.
Arthur berusaha keras untuk melepaskan diri, tapi setiap gerakannya hanya membuat situasinya semakin buruk. Dengan tubuhnya tertahan di bawah beban berat, ia terpaksa bergulat dengan tumpukan kotak kayu dan emas yang menyekatnya.
Melihat kesempatan untuk memperbaiki situasi, Antonio segera mengambil langkah cepat untuk melarikan diri dari Arthur.
"Selamat tinggal!" seru Antonio melambai pada Arthur sambil berjingkat-jingkat di atas emas-emas yang berserakkan.
Gerbong 8
Seluruh penumpang di gerbong itu terheran melihat Antonio muncul dari balik pintu dan langsung menutup pintunya dengan napas ngos-ngosan. Suasana di dalam gerbong seolah terhenti sejenak saat mereka menyaksikan kedatangan Antonio yang terlihat tertekan.
"Cepat sekali, Antonio," kata Natalia dengan nada heran.
Antonio, yang tampaknya kehabisan kata-kata, berusaha mengatur napasnya sebelum menjelaskan. "Dia masih di sana! Arthur! Emas-emas itu! Ada ledakan! Ah, sudahlah!" serunya sambil mengibaskan tangannya dengan frustasi.
Tak sengaja mata Antonio melihat Francis yang masih terkunci cengkraman tangan Victoria. Melihat situasi tersebut, Antonio tidak bisa menahan tawa. Victoria, dengan ekspresi serius, memegang Francis seolah-olah dia sedang mencoba mengamankan burung yang ribut, sementara Francis berusaha keras untuk tidak terlihat seperti kelinci yang terjebak.
"Mengapa orang itu masih di sini?" tanyanya heran, sementara Martin dan Juan sudah diikat dengan aman oleh Natalia di tiang-tiang kursi.
"Pendekatan. Bonding." goda Natalia sambil mengedipkan mata. "Biarkan mereka saling mengenal lebih jauh."
"Ini tidak lucu, Nat!" seru Francis, sementara tangan Victoria semakin menekan lehernya.
Victoria berdiri tegak dengan ekspresi garang, tangan dikepal, dan suara menggelegar saat dia meneriakkan, "Aku bisa membunuh teman kalian jika aku mau!" gertaknya dengan keras.
Namun, apa yang terjadi selanjutnya benar-benar mengacaukan suasananya.
Antonio dan Natalia, yang sedang berdiri di hadapannya, saling memandang dengan tatapan kosong dan kemudian berpaling ke arah Victoria dengan ekspresi datar. Mereka bahkan mengangkat bahu seolah-olah Victoria baru saja menawarkan mereka secangkir teh. "Ya, coba saja," kata mereka dengan nada santai.
Francis, yang terjepit di cengkraman Victoria, terkejut dan hampir merosot lebih jauh. "Hey! Aku di sini, tahu!" teriaknya, melambaikan tangan seolah-olah dia sedang tenggelam.
Victoria, yang awalnya tampak percaya diri dan menakutkan, kini terlihat keheranan.
"Apa kalian sekumpulan orang-orang gila?!" raungnya frustasi.
Gerbong 4
Gilbert merasakan jantungnya berdetak kencang saat dia melesat dari satu gerbong ke gerbong lainnya, melawan arus penumpang yang panik dan berlarian. Tubuhnya bergerak cepat, memanfaatkan setiap celah yang ada di antara kerumunan yang berlarian dengan keringat dingin dan wajah penuh ketakutan. Suara jeritan dan gemuruh badan kereta yang bergemeretak bercampur menjadi satu.
Di sekelilingnya, suasana sangat menegangkan. Penumpang-penumpang berlarian tanpa arah, sebagian berusaha mencari tempat berlindung, sementara yang lain hanya tampak bersembunyi. Gilbert berjuang untuk tetap fokus, berusaha mencari teman-temannya di tengah huru-hara ini. Wajah-wajah panik dan teriakan yang terputus-putus membanjiri pendengarannya.
"Di mana mereka?"
Saat Gilbert melewati gerbong tersebut, dia menangkap potongan-potongan kalimat yang melayang di antara suara-suara panik. "Ada bom!" teriak seseorang. "Ada bom!"
Gilbert meraih bahu pria tersebut dan mengguncangnya dengan keras. "Di mana? Di mana ada bom?" teriaknya dengan suara yang menggelegar di tengah kebisingan.
Pria itu menatapnya dengan mata yang hampir meneteskan air mata, tubuhnya bergetar. "Di Gerbong 5! Di meja paling belakang! Ada koper mencurigakan yang terus berbunyi!" suaranya tercekat oleh ketakutan.
Gilbert tidak perlu kata-kata lebih lanjut. Dia segera berlari secepat yang dia bisa menuju Gerbong 5. Ketika dia akhirnya mencapai pintu gerbong tersebut, dia terpaksa menendangnya dengan kuat, memaksa pintu terbuka dan memasuki gerbong yang sudah sepi.
Gerbong 5
Gilbert menghampiri lokasi kursi paling belakang yang ditunjukkan oleh penumpang tadi dengan langkah cepat dan hati-hati. Suara detak jantungnya semakin keras di telinga saat dia melihat sebuah koper hitam tergeletak di bawah kursi, seolah menunggu untuk ditemukan.
Gilbert membukanya dengan hati-hati dan di dalam koper, Gilbert menemukan perangkat yang rumit dengan detik-detik yang bergetar di layar digitalnya. Dia menyadari bahwa waktunya hampir habis.
"Sial!" decihnya. "Bagaimana menghentikan alat ini?"
Menyadari bahwa tidak ada waktu untuk bertindak, sementara koper hitam itu terus mengeluarkan bunyi alarm mengerikan, dia tahu bahwa diperlukan tindakan segera untuk menyelamatkan semua orang. Dengan satu dorongan penuh kekuatan, dia meraih koper itu dan melemparkannya ke arah jendela kabin.
DUARR!
Sesaat kemudian, ledakan hebat mengguncang kereta. Suara ledakan yang memekakkan telinga dan getaran yang mengerikan membuat semuanya bergetar. Koper yang meledak menciptakan dorongan besar yang mendorong badan kereta, menyebabkan kereta semakin tergeser dari relnya.
Gerbong VIP 2
Airlangga mendengar bunyi ledakan keras dari arah gerbong belakang. Terlihat asap-asap tinggi yang menjulang tinggi dari balik jendela. Matanya menyapu sekitar dengan cemas. Ledakan tadi mengguncang kereta dengan sangat keras.
Airlangga terus berdoa agar teman-temannya baik-baik saja.
Ned menyadari kekhawatiran di wajah Airlangga dan meraih tangan yang sedang mengobatinya dengan genggaman lembut.
"Mereka pasti baik-baik saja." katanya berusaha menenangkan. "Aku tahu teman-temanmu bisa menghadapi situasi seperti ini. Aku sudah melihatnya sendiri."
Gerbong 6
Gilbert menoleh ke sekeliling, berharap menemukan Natalia, Francis, dan Antonio di antara kerumunan penumpang yang panik. Namun, mereka tidak terlihat di manapun. Gilbert tahu dia tidak bisa tinggal di situ lebih lama lagi. Dengan waktu yang tersisa, dia bergerak cepat menuju Gerbong 6.
Setidaknya ancaman bom sudah berkurang.
"Keluar! Keluar dengan tertib! Jauhi area ini!" Gilbert terus mencoba memastikan keamanan setiap penumpang di sepanjang jalan. Ia terus memerintahkan mereka untuk segera keluar dan mencari tempat aman.
Dia khawatir masih ada bom lain.
Suara teriakan dan desakan untuk segera bergerak memperburuk suasana, namun, orang-orang itu akhirnya mendengarkan perkataan Gilbert.
Gerbong 7
Setelah Gerbong 6 aman, Gilbert melanjutkan perjalanannya ke Gerbong 7. Di sini, dia masih menemukan beberapa penumpang yang tampak bingung dan ketakutan, seperti belum sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancam mereka.
Gilbert segera menghampiri mereka dengan cepat. "Kalian semua harus meninggalkan gerbong ini! Di sini berbahaya!"
Seorang penumpang pria menatap Gilbert dengan penuh perhatian, sambil mengamati seragamnya. "Kau adalah teman-teman mereka?" tanya pria itu dengan nada mendesak.
Gilbert mengerutkan kening, sedikit kebingungan. "Teman-temanmu berada di dalam! Mereka sedang berhadapan dengan tiga orang penjahat!" lanjut pria itu dengan menggebu-gebu.
"Oke! Terima kasih! Dan ngomong-ngomong kalian harus keluar dari sini! SEKARANG!"
Gerbong 8
"Oke, sekarang apa? Kita akan menonton Francis bermesra-mesraan dengan wanita yang baru dikenalnya?" tanya Antonio.
"Aku sedang terjebak, tahu!" Francis balas berteriak.
Natalia menyentuh dahinya dengan frustasi. "Aku tidak yakin kita bisa meninggalkan orang-orang ini di sini, Antonio. Mereka bisa saja menyerang lagi sewaktu-waktu."
"Jika ada Gilbert di sini, pasti dia bisa memberi solusi," kata Antonio murung, sambil memandang sekeliling dengan rasa putus asa.
Natalia mengangguk, matanya menatap ke arah Francis. "Biasanya aku mengharap Francis untuk berpikir di situasi seperti ini, tapi dia sedang sibuk pacaran."
"Kami bahkan baru kenal!" Francis berteriak, wajahnya memerah dengan marah dan malu. "Sampai kapan kalian mau berakting seperti ini?"
Tiba-tiba, pintu gerbong terbuka dengan suara berderit yang keras, dan Gilbert muncul di sana. Wajahnya yang ceria menonjol dengan penuh semangat. "TEMAN-TEMAN!" teriaknya lega.
Gilbert segera melesat ke arah Natalia dan Antonio dan memeluk mereka berdua. Antonio dan Natalia menyambutnya dengan pelukan hangat yang tak kalah erat. "Kami kira kau jatuh dari kereta." kata Natalia.
"Kau dan Ned berhasil menemukan Kirkland yang lain?" tanya Antonio dengan nada penasaran.
"Ya. Kami berhasil meringkusnya. Dan kami juga menemukan Airlangga di sana." ucapnya dengan bangga.
"Wow." Natalia berseru dengan wajah terpana. "Anak itu selalu memberi kejutan."
Di sudut ruangan, Victoria memandang reuni tersebut dengan tatapan bingung. Dia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Dia merasa terasing di tengah euforia sekelompok orang yang tampaknya baru bertemu kembali setelah terpisah puluhan tahun.
Gilbert menyadari tatapan Victoria dan berbalik untuk menanggapi. "Ngapain kalian?"
"Ugh! Kau bisa lihat sendiri!" seru Francis dengan nada frustrasi, berusaha keras untuk berbicara sambil tetap berada di posisi yang tidak nyaman.
Antonio menambahkan dengan nada menggoda, "Francis sebenarnya sangat betah di posisi itu, makanya dia tidak melawan." Dia menatap Francis dengan senyum geli, tampaknya menikmati situasi yang membuat Francis terlihat konyol.
Natalia ikut menambahkan dengan nada penuh sindiran, "Francis sengaja mengalah, makanya dari tadi tidak berpindah dari posisinya."
Francis mengerang dan menggertakkan gigi, "Dia benar-benar kuat, mon ami!" gerutunya.
Gilbert menatap interaksi tersebut dengan campuran rasa lucu dan prihatin. Meskipun dia merasa lega bisa berkumpul kembali dengan teman-temannya, tapi dia juga tersadar bahwa masih ada masalah lain yang harus mereka hadapi. "Baiklah, cukup bercanda," katanya sambil tersenyum lebar, berusaha meredakan ketegangan. "Sekarang kita harus fokus pada apa yang harus dilakukan. Kita masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Oke," kata Natalia, "Kita harus segera mengatur strategi untuk mengakhiri ini. Gilbert, beri tahu kami apa yang perlu kami lakukan."
Gilbert mengangguk, "Baik, kita harus memastikan Kirkland yang tersisa berada di mana. Meringkusnya. Lalu, memastikan semua orang tidak ada yang terluka."
"Tidak perlu repot-repot." Suara dingin dan menenangkan memecah keheningan penuh ketegangan di gerbong terakhir. Pintu belakang terbuka dengan deritan logam, memperlihatkan sosok Arthur berdiri di sana dengan ekspresi penuh kemenangan.
Di tangannya, Arthur memegang koper hitam lain yang berbunyi dengan alarm pelan yang mengerikan. Suara beep yang monoton dan menakutkan melayang di udara.
Little Rock
Maximo terus mengikuti kereta tersebut dengan mesin mobilnya yang mulai menderu keras. Matanya terfokus pada kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi menuju jembatan yang melintasi sungai. Semakin dekat kereta itu mendekati sungai, semakin jelas kekhawatiran Maximo menjadi. Suara deru mesin dan gesekan roda di rel semakin menggelegar, dan dia bisa merasakan getaran tanah di bawah kakinya.
Maximo tahu bahwa kecepatan kereta tersebut belum menunjukkan tanda-tanda melambat.
Maximo segera meraih radio komunikasi yang tergantung di sabuknya dan menyalakannya dengan tangan bergetar. "Urgensi! Urgensi! Ada sebuah kereta api menuju ke jembatan di atas Sungai Arkansas dengan roda yang terlepas dari rel! Kecepatannya tidak menurun! Aku khawatir kereta bisa jatuh ke sungai!" suaranya terdengar mendesak dan penuh kecemasan melalui radio.
Suara operator di ujung radio terdengar bingung. "Siapa ini? Mengapa kau masuk saluran radio polisi?" tanyanya.
"Tidak ada waktu!" teriak Maximo, matanya tetap terpaku pada kereta yang terus melaju. "Kita harus menghentikan kereta ini! Tolong kirim pasukan kalian kemari!"
Gerbong Masinis
Dari balik bukit-bukit dan pepohonan yang rimbun, Lukas menyadari bahwa mereka akan melintas jembatan di atas sungai. Dan kekhawatirannya meningkat drastis saat dia menyadari sesuatu yang mengerikan: roda kereta tidak berada di jalur yang seharusnya.
"Tidak!" teriak Lukas dalam hati. Dia bisa melihat bahwa posisi roda kereta mulai bergeser dari rel, dan jika dibiarkan terus menerus, kereta bisa meluncur ke dalam sungai di bawahnya.
Lukas tahu bahwa situasi ini sangat kritis. "Ancaman bom sudah tidak penting sekarang!" pikirnya. Pikiran tentang potensi ledakan menjadi tidak berarti dibandingkan dengan bahaya yang mengancam langsung di depan mata. Prioritas utama saat ini adalah menghentikan kereta sebelum kereta jatuh ke dalam sungai yang deras.
Dengan tekad yang bulat, Lukas berlari ke arah kabin mesin. Di sana, dia menemukan sang masinis yang tampak sama paniknya. "Kita harus menghentikan kereta ini sekarang juga!" Lukas berteriak, suaranya penuh dengan urgensi.
Sang masinis, wajahnya pucat dan tangan bergetar, menjawab dengan nada penuh kebingungan dan keputusasaan. "Aku sudah mencoba semua yang aku bisa, tetapi sistem pengereman tidak merespons dengan baik!"
Lukas melihat ke panel kontrol dan menyadari bahwa masalahnya jauh lebih kompleks dari yang dia kira. Dia berusaha menenangkan diri dan berfokus pada tindakan yang bisa mereka ambil. "Kita perlu mengaktifkan sistem pengereman darurat! Coba periksa sistem cadangan dan pastikan semua saluran pengereman berfungsi."
Sang masinis segera memeriksa panel kontrol dan memulai proses pengaktifan sistem pengereman darurat, sambil Lukas dengan cepat menghubungkan kabel dan memeriksa setiap bagian dari sistem pengereman. Setiap detik terasa seperti jam, dan mereka tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.
Di luar, jembatan yang melintasi sungai semakin dekat, dan Lukas bisa merasakan getaran kereta semakin intensif. "Ayo, ayo!" teriak Lukas, mendorong dirinya dan sang masinis untuk bekerja lebih cepat. "Kita harus memperlambat laju kereta atau semuanya akan berakhir di sana!"
Gerbong 8
"Tidak Gerbonga akan bertemu kalian lagi di tempat seperti ini," katanya terkekeh dengan nada sinis. "Tapi, sayang sekali, ini akan menjadi pertemuan terakhir kita." Dia memandang Gilbert, Natalia, dan Antonio satu per satu.
Gilbert, yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi, tidak membuang waktu untuk kata-kata lebih lanjut. Dengan tekad yang membara, dia menerjang Arthur dengan kekuatan penuh. "Ya, benar, karena ini akan menjadi akhir dari riwayatmu!" teriak Gilbert.
Arthur terkejut, matanya membelalak saat Gilbert menghampirinya dengan kecepatan dan kekuatan yang mengejutkan. Tanpa sempat melakukan apa-apa, Arthur terhuyung-huyung ke belakang. Gilbert, dengan seluruh tenaga dan keberaniannya, mendorong Arthur dengan keras, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.
Arthur, yang kini berada di ambang pintu, berusaha keras untuk mempertahankan posisinya, tangannya meraih bingkai pintu dengan cemas. "Kau tidak akan menang!" teriak Arthur, suaranya penuh dengan kemarahan dan kesombongan. "Kalian tidak akan pernah bisa menghentikanku!"
Namun, Gilbert tidak memberi Arthur kesempatan untuk melawan. Dia terus menekan Arthur dengan semua kekuatan yang dia miliki. "Ini untuk menghentikan semua kekacauanmu!" teriak Gilbert.
Dengan satu gerakan cepat, Gilbert berhasil melepaskan rompi dari tubuh Arthur, merobek sabuk-sabuk pengaman dan alat peledak yang menempel pada tubuhnya. Lalu melemparnya ke dalam gerbong barang. Rompi yang penuh dengan bom itu melayang melalui udara dan mendarat di dalam lantai berisi emas-emas dengan suara gemeretak. Begitu rompi itu berada di dalam gerbong, Gilbert segera menarik Natalia dan Antonio menjauh dari gerbong, menutup pintunya rapat-rapat.
"Tidak!" Arthur berteriak sia-sia.
Gilbert langsung menarik Arthur menjauh, disusul Natalia dan Antonio yang bersama-sama membantu Juan dan Martin untuk lepas dari ikatannya.
Natalia bekerja cepat melepas ikatan Juan dengan tangan terampil, sambil berbicara dengan tegas, "Kami bukan pembunuh. Tapi kalau kau mengganggu seperti tadi, kau akan merasakan akibatnya." katanya dingin.
Antonio membantu Martin dengan hati-hati sambil memotong tali yang mengikatnya. "Ayo, cepat! Kita harus segera pergi dari sini!"
Francis dengan sigap langsung balik mengunci pergerakan Victoria dan membantunya berdiri. Victoria tampak terpana dengan mata bulat penuh kekaguman dan kebingungan, karena sedari tadi Francis menunjukkan perlawanan.
"Teman-temanku memang menyebalkan. Tapi semua yang dikatakan mereka benar." kata Francis malu-malu.
Victoria, yang masih terpana dan sedikit bingung dengan tindakan Francis, menatapnya dengan rasa kagum.
"Kita harus bergerak sekarang juga!" seru Gilbert, memimpin teman-temannya dengan tekad dan keberanian. "Jangan ada yang tertinggal! Kita harus memastikan semua orang aman di kereta ini!"
Antonio langsung buru-buru mengambil kameranya yang dari tadi merekam.
Gilbert menuntun Arthur dengan cepat melalui koridor kereta yang bergetar. Natalia menuntun Juan dengan hati-hati. Francis, dengan sigap dan perhatian, mendampingi Victoria yang tampak bingung namun berusaha mengikuti, sementara Antonio membimbing Martin yang kesulitan mengikuti langkah kakinya.
"Ayo, cepat! Kita harus menjauh dari sini!" Gilbert berteriak, memacu kecepatan mereka.
Ketika mereka akhirnya tiba di gerbong berikutnya, tiba-tiba suasana menjadi pecah dengan suara ledakan yang sangat keras yang datang dari gerbong belakang.
DUARR!
Suara ledakan yang memekakkan telinga itu mengguncang seluruh kereta, dan getaran hebat terasa sampai ke gerbong tempat mereka berdiri. Gerbong itu hancur berantakan, dan pintu-pintu yang sebelumnya tertutup lebar terbuka, mengeluarkan serpihan emas dan puing-puing yang berserakan.
Serpihan-serpihan harta, yang sebelumnya tersimpan dengan aman di dalam gerbong, kini terlempar ke udara dalam hujan kecil kuning yang berkilauan. Emas yang sebelumnya diincar oleh seluruh warga itu, kini tenggelam di dalam kedalaman sungai, terkubur dari pandangan dalam air yang mengalir.
Di waktu yang sama, roda-roda kereta api yang sebelumnya berputar dengan cepat mulai berdecit perlahan. Suara gesekan logam yang berderak semakin melemah. Dan akhirnya, kereta api berhenti sepenuhnya di atas jembatan yang membentang di atas Sungai Arkansas.
Dengan emas-emas yang berhujanan jatuh ke dalam Sungai Arkansas yang dingin.
Perbatasan Arkansas-Chicago
Lampu-lampu sirine dan puluhan mobil polisi terus mengerubungi sisa-sisa kereta api yang berhasil diderek keluar dari jembatan. Di antara mobil-mobil polisi tersebut, ada puluhan mobil taksi yang menemani.
Berkat laporan yang dibuat oleh Maximo, para polisi berhasil datang tepat waktu. Karena kegigihan dan keberaniannya, serta dari keterangannya yang berhasil membawa para anggota The NEWS menyelamatkan diri berulang kali, Maximo sempat ditawari untuk menjadi polisi lokal, yang tentu saja langsung diterima oleh pemuda Kuba itu dengan senang hati.
Di salah satu gerbong yang terbuka, para anggota The NEWS duduk di pinggirannya dengan wajah kusut.
Lukas terus memperlihatkan kartu identitasnya kepada para kepolisian agar menjauhi mereka dan tidak melakukan interogasi lebih lanjut meski mereka dilaporkan sudah menimbulkan kerusakan di mana-mana, termasuk penyerangan di bandara, membakar restoran, penerobosan hutan, dan menghancurkan sebagian badan kereta api.
Wajah-wajah mereka yang polos dan berantakan, hanya bisa terpesona saat Lukas terus memperlihatkan pangkatnya di hadapan polisi-polisi itu.
"Interpol. Mereka tanggung jawab kami sepenuhnya." katanya penuh otoritas. "Jangan coba-coba mengintervensi."
Melihat kawan-kawannya tengah diinterogasi di kantor polisi berkat informasi dari sosial media, Heracles dan Sadiq menyewa salah satu taksi lokal milik teman Maximo, dan datang menyusul sambil membawakan puluhan tusuk ikan bakar untuk mereka makan malam, yang langsung disantap rakus oleh Gilbert dan kawan-kawan.
Ned menarik Airlangga dari kerumunan dan membawanya menjauh.
"Maaf." kata Ned menyesal.
"Aku sudah memaafkanmu sejak mendapatkan kembali ingatanku." kata Airlangga tersenyum.
"Maaf untuk semua yang terjadi. Maaf aku pernah meninggalkanmu. Aku … aku … menyesal atas semua yang pernah terjadi kepadamu …"
"Sudahlah." kata Airlangga. Telapak tangannya menepuk-nepuk pelan wajah Ned yang tertunduk murung. "Yang terpenting adalah kau kembali." katanya mengurung kedua pipi Ned dengan tangannya yang hangat. "Dan hanya itu yang aku inginkan."
"Maaf, aku tak bisa kembali," kata Ned, suaranya parau.
Kening Airlangga berkerut, bingung. "Apa maksudmu?"
Saat itulah dari balik punggung Airlangga terdengar langkah kaki berat. Lukas mendekati mereka berdua, ekspresinya serius. "Kau sudah siap, Ned? Mobil Interpol sudah menjemput."
Airlangga memandangi Lukas dan Ned bergantian dengan tatapan heran, kebingungannya semakin dalam. "Sebenarnya ada apa ini?" tanyanya kebingungan, kekhawatiran mulai menyelimuti suaranya.
Lukas menghela napas. "Jelaskan padanya, Ned. Mungkin jika ada kata-kata terakhir yang ingin kau sampaikan." katanya sebelum balik badan dan meninggalkan mereka. "Maaf, soal cincin tunanganmu. Aku berbohong soal itu. "
Airlangga menatap Ned dengan tidak percaya, seakan kata-kata dari Lukas membuatnya merasa tercekik. Mata Ned, menatap Airlangga dengan penuh penyesalan mendalam.
"Aku … berjanji untuk menyerahkan diri jika kasus ini selesai," kata Ned dengan suara yang bergetar.
Kata-kata itu membuat dada Airlangga terasa sempit, seolah ada beban begitu berat menekan ke arahnya. Napasnya menjadi tersendat-sendat, tak disadari matanya mulai berkabut oleh air mata yang tak tertahan. "Maaf … aku selalu pergi meninggalkanmu," ujar Ned dengan nada menyesal.
Airlangga yang merasa sangat dikhianati, hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak, tidak, tidak. Air matanya mulai membasahi pipi, merasakan keputusasaan yang mendalam.
Ned semakin tertunduk dan menghindari mata Airlangga berkaca-kaca penuh kesakitan. "Kurasa … memang seharusnya kita tak pernah bersama–" Kalimat itu belum sepenuhnya selesai.
PLAK! Suara tamparan keras memecah keheningan. Telapak tangan Airlangga terangkat, merah, setelah menampar wajah Ned.
Bunyi tamparan itu menggema nyaring di seluruh lapangan, membuat orang-orang dari kejauhan menoleh dengan penasaran. Bunyinya terdengar dari tempat Airlangga dan Ned berdiri. Airlangga terlihat menarik sesuatu dari jarinya dan melemparkan cincin tunangannya dengan keras ke tubuh Ned.
Dan berbalik meninggalkannya … menangis.
Ned tidak berusaha untuk menghentikannya. Dia tahu ini semua sudah berakhir.
Sejak hari itu, Ned tidak pernah terlihat lagi di hidupnya.
.
"Berita malam Arkansas. Terjadi aksi pembajakan kereta api yang terjadi pada Kansas Railway dengan rute Arkansas-Oregon yang menyebabkan sebuah kereta api meledak dan terbakar di lokasi. Para penumpang telah dievakuasi oleh kepolisian setempat berkat laporan seorang warga yang berprofesi sebagai sopir taksi.
Pelaku pembajakan diketahui merupakan empat orang warga negara Inggris, dengan anggota-anggota kriminal yang membantu aksi mereka, yaitu seorang pria kebangsaan Maximo, seorang wanita dari Falkland Islands, dan seorang pemuda asal Argentina.
Diketahui bahwa mereka tengah melakukan aksi penyelundupan emas ilegal yang hendak dibawa ke London dengan jadwal keberangkatan kapal pagi ini.
Tindakan mereka berhasil dihentikan oleh sekelompok orang yang berada di dalam kereta api.
Hingga saat ini, sejumlah emas yang ditemukan oleh kepolisian telah dievakuasi dan diamankan oleh pihak perwakilan Interpol. Sementara, sisa-sisa emas yang berada di dasar sungai, dikabarkan akan tetap dibiarkan berada di sana, sebagai kompensasi dan hadiah untuk warga Arkansas yang sudah turut kooperatif dalam menyelesaikan misi ini.
Aksi pembajakan ini juga dihiasi dengan aksi sekelompok orang berseragam reporter yang dilaporkan turut membantu melumpuhkan para penjahat. Keberadaan mereka juga sudah terlihat sejak hari pertama penyerangan yang terjadi di Bandara Arkansas dan Restoran Petit & Keet.
Berdasarkan laporan para penumpang di dalam kereta, mereka menyaksikan para reporter ini berusaha melawan dan menghentikan komplotan penjahat tersebut. Video-video aksi mereka yang viral di lini media sosial, kini telah menjadi ikon pahlawan dan idola baru bagi warga Arkansas. Diketahui bahwa orang-orang misterius ini menyebut diri mereka sendiri sebagai … The NEWS."
.
.
.
.
Epilogue
11 tahun kemudian
17 Agustus 2024
Mimpi yang sama masih menghantuinya hampir tiap malam. Airlangga masih terjebak di masa lalunya.
Airlangga membuka matanya dengan susah payah saat mendengar bunyi gedoran-gedoran dari pintu kamarnya. Belum sempat ia bangkit dari tempat tidur, pintu kayunya yang malang didobrak dengan begitu keras dari luar dan hadirlah sekumpulan manusia yang ia kenal selama belasan tahun terakhir.
"SELAMAT ULANG TAHUN!" Gilbert merentangkan tangan dengan gembira. Antonio menyalakan lilin. Dan Natalia menghampiri Airlangga membawa kue ulang tahun berwarna merah putih itu.
"Ayo, buat permintaan!" kata Francis.
Airlangga mengatupkan kedua tangan.
Permintaannya selalu sama setiap tahun.
Kedatangan para mantan anggota The NEWS semata-mata hanya untuk membuat kejutan di hari ulang tahun Airlangga yang kini sedang berada di Italia untuk promosi bukunya. Walau kini Gilbert disibukkan dengan pekerjaannya sebagai figur publik vlogger, Natalia sebagai anggota Interpol bersama Mathias, Antonio dengan jadwal syutingnya bersama sutradara terkenal, dan Francis dengan bisnis rental mobil balapnya, mereka masih meluangkan waktu untuk mengunjungi Airlangga di negara ini pada hari ulang tahunnya.
Airlangga sendiri kini menjadi seorang penulis terkenal yang buku-bukunya sudah best-seller di Indonesia, tentang ceritanya yang bertema tentang petualangan mereka semasa masih menjadi reporter.
"Aku dan Victoria akan menikah!" kata Francis berseri-seri. "Di Roma!"
"Berarti selanjutnya, tinggal Natalia dan Mathias, lalu, Antonio dan Lovino." kata Gilbert jahil. "Ah. Kita kalah cepat dari Ludwig dan Feliciano."
"Mimpi saja! Kau sendiri belum berani melamar Elizaveta!" balas Natalia, disusul gelak tawa pria-pria di sana.
Sepanjang hari, mereka berbincang di apartemen Airlangga dan bernostalgia tentang masa-masa perjuangan mereka semasa menjadi reporter ugal-ugalan. Suara tawa, canda gembira, dan obrolan yang berapi-api, membuat ulang tahun Airlangga tahun ini terasa meriah. Tanpa terasa langit menjadi semakin gelap dan teman-temannya akhirnya berpamitan untuk kembali bekerja.
Sebelum orang itu pergi, Airlangga menarik tangan Gilbert mendekat. "Gil, bisa bicara sebentar?"
"Ya?" tanya Gilbert antusias, mendekat.
"Kau pernah …" Airlangga berusaha berbicara dengan hati-hati. "punya kekasih seorang … tahanan kepolisian. Sama sepertiku." katanya menekankan. "Bagaimana caramu mengatasi rasa rindu, jika kau tak bisa bertemu dengannya selama ini?"
Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Airlangga, Gilbert hanya tersenyum. "Ah, masa tahanan orang itu akan berakhir di tahun ini, ya? Hm. Biar kupikirkan. Mengatasi rindu? Ya, ya. Aku pernah melewati masa-masa itu." Gilbert mengangguk-angguk. "Caraku adalah … dengan tidak pernah melupakannya. Dia mungkin tidak bisa bersamaku, tapi dia akan selalu tetap hadir di dalam ingatanku."
Roma, Italia
Bunyi lonceng pernikahan berkumandang tiga kali di bawah langit biru cerah di atas Roma, Italia.
Suasana pernikahan Francis dan Victoria yang meriah di Trevi Fountain, Roma, dipenuhi dengan nuansa elegan dan glamor. Panggung dekorasi yang indah diatur di tepi air mancur yang megah. Bunga-bunga segar berwarna pastel menghiasi area sekitar, dengan tirai putih dan aksen emas yang menambah kesan mewah.
Para tamu duduk di kursi yang disusun rapi dengan pandangan langsung ke air mancur yang berkilauan. Musik orkestra atau quartet string mengisi udara dengan melodi lembut, menciptakan suasana yang romantis. Victoria, sang pengantin, yang mengenakan gaun pengantin putih, melangkah perlahan menuju altar yang dihiasi dengan bunga dan lampu lembut, disambut kehadiran calon mempelai suaminya yang mengenakan jas hitam, Francis.
Selama upacara pernikahan, Airlangga terus menikmati momen penuh kebahagiaan ini. Gilbert sedang berdua bersama Elizaveta. Natalia sedang duduk menikmati wine bersama Mathias. Dan Antonio terus-terusan memeluk Lovino.
Francis mencium bibir Victoria dengan berhiaskan latar belakang air mancur Trevi Fountain, disusul tepuk tangan meriah oleh para tamu undangan.
Airlangga terpegun sesaat melihat pemandangan itu.
Usai upacara pernikahan berakhir dan para tamu undangan lain sedang menyantap jamuan makan mereka, Airlangga berdiri sendirian di sebelah air mancur Trevi Fountain, memandangi kolamnya yang berkilauan dengan airnya yang diterpa sinar matahari.
Sepuluh tahun yang lalu, tepat di lokasi ini, seseorang pernah melamarnya dan berjanji untuk membawanya kembali kemari. Dan selama sepuluh tahun berikutnya, orang itu tidak pernah muncul kembali di dalam hidupnya.
Airlangga memegang ID Card lusuh yang berada di dalam kantong jasnya.
Pagi ini, ia menemukan ID Card miliknya yang telah hilang selama belasan tahun, muncul di kamar tidur penginapannya. Bukankah itu aneh? Dia mengingat terakhir kali ID Card miliknya ini berada di tangan seseorang. Orang yang telah berjanji untuk tidak meninggalkannya, sekaligus orang yang meminta maaf untuk pergi darinya.
Di suatu tempat, di waktu seperti ini, di momen seperti ini … apakah mungkin …
"Bukankah ini yang diinginkan oleh setiap orang?" terdengar suara rendah dari balik punggungnya. "Menikah di Trevi Fountain."
Airlangga menoleh dengan perlahan, tubuhnya terasa kaku dan seperti membeku di tempatnya. Ia menatap dengan mata terbuka lebar.
"Selamat ulang tahun."
Namun, bibir Airlangga bergetar. Sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya membuatnya terkejut dan tak mampu mengalihkan pandangan.
"Teman-temanmu yang memberi ide ini. Aku sebenarnya sudah bebas sejak sepuluh hari lalu, tapi, teman-temanmu itu terus memaksaku untuk–"
Tidak ada kata-kata yang terucap.
Ned merasakan tubuh Airlangga menerjang dadanya dalam bentuk pelukan erat.
Kedua tangannya menarik tubuh itu kian erat dalam pelukannya dan mempertemukan bibir mereka dalam satu ciuman hangat. Airlangga membalas ciuman itu dengan lebih erat. Tangan Ned meraih tubuhnya semakin dekat. Jari Airlangga meraba wajah Ned dengan lembut. Merasakan kehadirannya. Merasakan bibirnya. Membuat tubuh keduanya semakin terikat erat. "Ned …" nama itu terucap lemah di sela-sela ciuman.
Usai kedua bibir mereka terpisah dalam desahan panjang, Ned memandangi mata Airlangga dengan tatapan penuh haru. Telapak tangannya meraba lembut wajah Airlangga yang berseri di hadapannya. Menyadari betapa ia merindukan sosok yang sama walau sudah sepuluh tahun.
Mata Ned melihat kolam bersejarah di sebelah mereka dan memberi tatapan penuh arti. "Kita pernah ke sini."
Airlangga mengangguk, tersenyum hangat. "Ya." Matanya yang berbinar memandangi kerlipan air kolam dengan berseri.
Ned bertanya dengan penuh harap, "Apa yang kau minta waktu itu di kolom ini?" tanyanya, berusaha mengingat kembali rahasia yang disimpan Airlangga selama bertahun-tahun.
Airlangga tersenyum lembut, tatapannya penuh makna saat memandangi wajah Ned. Dengan suara penuh perasaan, ia menjawab, "Lonceng pernikahan."
Senyum terukir di wajah Ned, mencerminkan kebahagiaan. Matanya bersinar penuh cinta saat ia mendengar jawaban Airlangga.
Ned mengeluarkan cincin dari sakunya dan dengan lembut meraih jari manis Airlangga. Ia mendorong cincin itu perlahan, sambil berkata pelan, "Sudah saatnya cincin ini kembali ke pemiliknya." Cincin yang sempat menjadi simbol janji dan harapan mereka kini kembali pada tempatnya, menandai momen kembalinya kisah mereka.
"Kuharap mereka tidak keberatan jika harus menyaksikan satu pernikahan lagi." kata Ned tersenyum lebar, menggenggam kedua tangan Airlangga erat-erat, menyambut tangan calon mempelainya.
.
.
END
Author's Note
What a rollercoaster riiideeeee!
11 Tahun Perjalanan, 11 CHAPTER PETUALANGAN (walau sebenarnya akhirnya jadi 12 chapter karena ternyata action-nya kebanyakan jadi ga muat, but isn't that good?) Dan tanggalnya juga bisa pas berakhir di tanggal yang sama saat pertama kali cerita ini di-posting! Aneh banget nggak sih kebetulannya! (nangis lagi)
Apakah memang ditakdirkan untuk TAMAT tepat setelah 11 tahun? (NANGIS DENGAN LEBIH EKSTREM)
Tidak ada lagi The NEWS yang susah payah mengejar penjahat, Kirkland Brothers yang menjadi ultimate villain, The HEROES yang menjadi anti-The NEWS, love-hate Netherlands/Indonesia, aksi pertarungan Gilbert, pisau-pisau Natalia, kebut-kebutan Francis, dokumentasi Antonio, dan semua tokoh-tokoh yang membuat cerita di universe The NEWS menjadi berwarna :')
Walau pernah ditagih pembaca tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tiap tahun, sampai mungkin pada lupa kalau cerita ini pernah ada, akhinya cerita ini menyentuh tulisan 'Tamat' jugaaaa. Rasa mager dan putus asa yang akhirnya dikalahkan oleh komitmen dan loyalitas. Cerita yang selalu mengawang-awang di pikiran dan sering menghantui karena sempat berhenti di tengah jalan. Awal mula rencana mau bertekad menyelesaikan ini padahal cuma karena pengen mewujudkan adegan Gilbert bergelut di atas kereta api, adegan berantem di gerbong, adegan Francis menikah di Trevi Fountain, dan scene kissu Ned-Indo:')
Setiap hari saya selalu dihantui memikirkan nasib kalian yang terjebak di dimensi lain dan masih berjuang untuk memecahkan kasus dan menyelesaikan pertarungan ini :')
Makasih yang sebesar-besarnya untuk semua pihak karena mau memperjuangkan kisah tokoh-tokoh hebat di dalam cerita ini. Gilbert, Natalia, Francis, Antonio, Airlangaaaa, Neeeed, dan semua tokoh-tokoh Hetalia yang terlibat di dalamnya. I'll never stop bragging how I finished this beautiful journey with amazing characters and wonderful story. Seperti mengurai benang kusut yang akhirnya bisa dirangkai menjadi kain yang penuh warna.
Saya sangat bahagia bisa mewujudkan kalian di dunia dan di hati saya. I'll never forget how each of you makes my day feels wonderful :')
Kalau kata Dee Lestari, ide itu yang menghampiri kita. Jadi ketika sebuah ide menghampiri kita, maka WUJUDKANLAH DIA!
Sign,
Rapuh (TSAAAHHH! MASIH GA NYANGKA BISA NULIS BEGINI LAGI WOY)
