Chapter 3
Reddish Blue
College Fever
Sasuke dan Sakura sama-sama mendaftar di universitas bergengsi yang sama di East Coast, meskipun mereka memilih jurusan yang sangat berbeda. Sasuke memilih Teknologi Informasi, tertarik pada dunia pengkodean dan keamanan siber, sementara Sakura memilih Biomedis, didorong oleh hasrat mendalamnya terhadap sains dan kesehatan. Meskipun jalur akademisnya tampak sangat berbeda, mereka mendapati diri mereka berada di kampus yang sama, kehidupan mereka bersinggungan dengan cara yang tidak terduga.
Pertemuan pertama mereka di perguruan tinggi tidak sedramatis masa SMA, tetapi masih ditandai dengan ketegangan yang sama. Saat itu sore musim gugur yang cerah, dan Sakura berada di perpustakaan, terkubur di bawah tumpukan buku teks dan makalah penelitian. Dia tampak asyik belajar untuk ujian yang akan datang ketika dia mendengar suara familiar di belakangnya.
"Haruno, masih mengubur diri di dalam buku. Oh yeah, benar."
Sakura mendongak dan menemukan Sasuke berdiri beberapa meter jauhnya, mata gelapnya bertemu dengan matanya dengan ekspresi yang menyebalkan. Dia memegang setumpuk buku teks ilmu komputer.
"Sasuke," kata Sakura, suaranya bercampur antara mencelos dan jengkel. Mencelos karena hari ini dia tak berencana bertemu dengan si rival. Dan jengkel otomatis begitu netranya memindai seraut wajah sinis khas Sasuke Uchiha. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu," jawab Sasuke sambil mengangkat alisnya. "Ini perpustakaan, bukan pasar malam."
Sakura menyipitkan matanya disusul seringaian tipis. "Sebagian dari kita benar-benar menghargai ketenangan dalam belajar, Uchiha. Jadi tutup mulut sinismu itu."
Percakapan mereka tetap tajam, tapi ada uaran keakraban yang mendasari olok-olokan itu. Kehadiran Sasuke, meski masih menyebalkan, anehnya menghibur Sakura. Terlepas dari histori kompetitif mereka, Sakura mendapati dirinya diliputi kelegaan. Sejanis rilis perasaan ringan ketika tahu bahwa hidupnya masih akan berwarna karena ada si rival—yang selama ini dia harus akui memotivasinya untuk tidak cepat puas, dan terkadang membuatnya berakhir menemukan hal-hal yang sebelumnya Sakura pikir tak bisa dipelajari. Demikian pula, Sasuke tidak dapat menyangkal sebagian kecil dari dirinya merasakan nostalgia saat melihat Sakura.
Tensions
Seiring berjalannya semester, Sasuke dan Sakura menyadari bahwa mereka memiliki beberapa kelas yang sama—kebanyakan courses pendidikan umum diperlukan untuk semua jurusan. Kelas-kelas ini, seperti Sastra Inggris dan Sejarah, tidak berhubungan langsung dengan bidang spesifiknya tetapi merupakan bagian dari kurikulum inti universitas.
Di kelas-kelas ini, interaksi mereka merupakan perpaduan antara persaingan lama dan manifestasi bonding yang baru—asing rasanya, tapi terasa menyenangkan. Mereka duduk berseberangan dalam kelas, namun jalan mereka sering bersilangan. Percakapan mereka berkisar dari perdebatan akademis hingga perdebatan sengit tentang gaya penilaian para profesor, masing-masing mencerminkan keunggulan kompetitif yang mereka miliki di sekolah menengah.
Suatu sore, saat kelas sejarah, mereka berpasangan untuk presentasi kelompok. Penugasan tersebut mengharuskan mereka bekerja sama untuk membuat analisis komprehensif terhadap suatu peristiwa sejarah. Sakura kesal membayangkan berpatner dengan Sasuke, tetapi dia tidak dapat menyangkal bahwa kemampuan analitis dan perhatiannya terhadap detail sangat berguna.
"Sebaiknya kau berusaha sekuat tenaga, Uchiha," kata Sakura saat mereka mulai bertukar pikiran.
Sasuke meliriknya sekilas. "Sama denganmu, Haruno. Aku tidak ingin menyelesaikan semua pekerjaan ini."—tekannya pada salah satu kata.
Sakura mendengus.
Meskipun mereka merasa kesal, proyek ini memaksa mereka untuk menghabiskan waktu berjam-jam bekerja bersama. Mereka bertemu di perpustakaan, di kedai kopi, dan terkadang bahkan di larut malam, kolaborasi mereka riuh dengan perdebatan sengit dan sesekali momen… lucu?—baiklah, mungkin lebih tepatnya potongan-potongan konversasi konyol tapi tetap bernuansa sinis. Khas duo kompetitif ini seperti biasanya. Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin mereka mulai melihat satu sama lain dari sudut pandang yang berbeda.
Saat ujian tengah semester tiba, ketegangan antara Sasuke dan Sakura telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Mereka terus menantang satu sama lain, namun interaksi mereka semakin diiringi sekelumit emosi yang tak terucapkan. Mereka masih berdebat dan berkompetisi, namun ada saat-saat ketika mata mereka akan menatap lebih lama, atau sentuhan mereka akan terlihat lebih disengaja.
Suatu malam, setelah sesi belajar yang sangat melelahkan untuk proyek bersama mereka, mereka memutuskan untuk istirahat. Duo rival itu akhirnya berjalan melewati halaman kampus, udara segar dan dedaunan berguguran menciptakan latar belakang yang tenang.
"Kau tahu," kata Sakura, suaranya lebih lembut dari biasanya—mungkin efek kenyamanan suasana yang dia rasakan sekarang. "Aku tidak pernah berpikir aku akan mengatakan ini, tapi sebenarnya aku merindukan kompetisi lama kita."
Sasuke memandangnya, ekspresinya berpikir. "Ya, aku juga. Saat-saat itu... terasa lebih sederhana."
Yang mereka maksudkan adalah saat-saat mereka masih duduk di elementary, melakukan persaingan khas anak-anak yang sembrono tetapi membekas. Ringan dan bebas. Dan sekarang, sepertinya duo rival itu sepemikiran bahwa menjadi dewasa itu memusingkan. Seperti tugas sejarah yang praktis menyita banyak waktu mereka ini.
Percakapan itu terhenti oleh kedatangan sekelompok teman, dan momen itu segera terlupakan. Namun percakapan singkat dan remeh itu masih melekat di benak keduanya. Bahkan ketika mereka sampai di kamar dan menanggalkan pakaian yang mereka pakai di penghujung hari.
Yah, lebih tepatnya, dimulai sejak perpisahan SMA mereka yang menyisakan rasa aneh itu, semuanya memang sudah berubah.
De ja vu
Menjelang akhir semester, universitas mengadakan acara formal musim dingin tahunan. Acaranya megah, dengan ruang dansa yang didekorasi dengan nuansa perak dan biru yang elegan, dan musik diputar dengan lembut sebagai latar belakangnya. Baik Sasuke maupun Sakura hadir bersama kelompok temannya masing-masing, namun mereka tidak bisa lepas dari eksistensi satu sama lain.
Saat acara formal, Sakura mengenakan gaun cantik berwarna biru safir, rambutnya ditata elegan. Dia bersenang-senang, tapi pikirannya terus melayang ke arah Sasuke—diam-diam melihat sosoknya di seberang ruangan, tampak tampan dalam setelan jas. Seiring berlalunya malam, mereka mendapati diri mereka berada di orbit satu sama lain, jalur mereka semakin sering bersilangan.
Pada satu titik, saat Sakura sedang berdiri di dekat meja minuman, Sasuke mendekatinya. Udara seolah berubah, menguarkan energi spesifik yang menggelitik leher keduanya—yang tidak dapat mereka abaikan.
"Haruno," kata Sasuke, suaranya rendah. "Kamu terlihat... berbeda malam ini."
Pipi Sakura sedikit memerah karena pujian tak terduga itu. "Kamu sendiri tidak terlihat terlalu buruk, Uchiha."
Sakura mendapati dirinya mengumpat bahwa Sasuke malam ini sangat tampan—tak terlalu buruk dari mana? Dia berlagak buta. Yang tadi itu egonya yang berbicara.
Mereka bertukar senyuman tipis. Saat musik berubah menjadi ballads yang lambat, Sasuke mengulurkan tangannya, ragu-ragu.
"Mau dansa?" Tanyanya, nadanya netral.
Sakura menatapnya, jantungnya berdebar kencang. Baiklah, Sakura kala itu baru menyadari bahwa Sasuke sering kali membuatnya gugup, terkadang paranoid kalau-kalau sang rival dapat mendengar debaran jantungnya. Tentu akan sangat memakukan.
Dan sejak kapan Sakura membuat Sasuke yang nir-ekspresi itu memberikan efek gelitik di dasar perut dengan sedikit mual yang aneh? Sasuke dalam hati juga mengumpat. Sakura malam ini sangat cantik. Ya, sangat menawan. Sasuke tak tahu rivalnya bisa semenarik ini.
Mereka seperti diguyur de ja vu, merasakan lagi adegan dansa yang pernah mereka lakukan dulu—yang rasanya sudah lama sekali.
"Tentu," balas Sakura akhirnya, sambil meletakkan tangannya di tangan pria itu.
Saat mereka melenggang ke lantai dansa, tubuh mereka berayun lembut mengikuti alunan musik. Jarak di antara mereka dekat tapi tidak terlalu bersentuhan. Tangan Sasuke bertumpu ringan di punggung Sakura, dan dia bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
Dansa malam itu menjadi perpaduan antara nostalgia dan konklusi baru—tentang perasaan mereka yang aneh—yang lambat dan selalu ditepis itu. Mereka bergerak dengan anggun, argumen sesekali menguar di antara napas mereka, sebelum kemudian dilunakkan oleh suasana romantis. Dua kepala beda warna itu berbicara dengan tenang, berbagi cuplikan kehidupan dan pemikiran mereka dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
Saat lagu berakhir, mereka berdiri berdekatan, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Momen itu dipenuhi dengan intensitas yang tidak dapat diabaikan oleh keduanya. Mereka tetaplah rival, masih didorong oleh sifat kompetitif mereka, masih ada tatapan arogansi masing-masing, namun terasa riak-riak yang menggelitik dari dasar perut sampai ke dada. Perasaan aneh itu terus ditepis. Dan kali ini sepertinya sama saja.
"Kurasa aku harus pergi," kata Sakura, suaranya nyaris berbisik.
Sasuke mengangguk, matanya bertemu dengan matanya. "Ya, aku harus pergi juga."
Saat mereka berpisah, sisa sentuhan dansa dan kata-kata yang tak terucapkan di antara keduanya membuat mereka berada seperti terjebak pusaran ketidaktentuan emosional. Rasa yang mungkin tak siap mereka hadapi. Ya, tidak siap. Entah karena tingginya ego masing-masing, atau… begitu tak mampunya mereka membayangkan dirinya bersatu dengan sang rival abadi.
Ujian akhir mereka datang dan pergi, dan ketika tahun berakhir, baik Sasuke maupun Sakura mendapati diri mereka merenungkan perubahan yang telah terjadi. Masih, tentang makna eksistensi satu sama lain. Terjebak dalam limbo—yang membuat pening dan sedikit mual—kadang berupa debaran-debaran antusiasme tak terdefinisi ketika memikirkan satu sama lain.
Saat mereka bersiap untuk liburan musim panas, mau tak mau mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
Akan seringkah pertemuan itu? Apakah justru berbalik… jauh?
…
