Disclaimer: Naruto and it's universe always belongs to Masashi Kishimoto-sensei
I just take his characters, none others but non-profit entertaining purpose. Enjoy!
Alternated Universe.
Lilies
Tobirama x Karin
by
Rachel Cherry Giusette
.
.
.
Karin Uzumaki duduk di tepian tempat tidurnya, menatap potret USG dengan tangannya yang gemetar. Gambar kecil itu, yang belum terbentuk, menggambarkan kehidupan yang seharusnya memberinya kegembiraan, tetapi yang dirasakannya hanyalah ketakutan yang begitu menusuk.
Suigetsu Hozuki, rekannya yang dulu suka bermain-main, telah bersamanya melewati masa-masa yang memusingkan juga di saat malam-malam sembrono, tapi sekarang dia telah pergi. Berita tentang overdosisnya telah menghancurkannya. Dalam sekejap, semuanya terurai. Mereka telah menjadi pasangan—bukan dalam cinta—tetapi dalam ikatan yang kacau yang tidak disebutkan oleh mereka berdua.
Hari ketika dia mengetahui bahwa dirinya sedang hamil adalah hari ketika jasad Suigetsu ditemukan di apartemennya, pil-pil berserakan di lantai. Tidak ada kata-kata terakhir, tidak ada kesempatan untuk mengakhiri. Ironi itu membuatnya hampa. Dia bahkan tidak bisa marah padanya; kondisi itu terlalu tragis, terlalu final. Sekarang, dia tidak memiliki apa pun kecuali ketidakhadirannya dan beban anak yang belum dilahirkannya.
Minggu-minggu berlalu, dan mati rasa itu berubah menjadi keputusasaan. Semangat Karin yang biasanya berapi-api kini padam. Si rambut merah terang, yang dikenal karena lidahnya yang tajam dan tekadnya yang lebih kuat dari baja, tenggelam dalam kesedihan. Dia hampir tidak pernah keluar dari apartemennya, dan setiap kali dia keluar, jalanan Konoha terasa menyesakkan.
Tidak lama kemudian dia mendapati dirinya berdiri di tepi jembatan yang menghadap ke Konoha Valley, angin menderu di telinganya. Dia merasa lebih ringan, seolah-olah jika dia melepaskannya, beban segalanya akan hilang bersamanya. Pikiran itu terus menghantuinya, menggodanya.
"Kau tidak serius memikirkannya, kan?"
Suara itu mengejutkannya, dan Karin menoleh untuk melihat seorang pria berdiri beberapa kaki di belakangnya. Rambutnya yang keperakan, diikat rapi ke belakang, tato perang biru mencolok di wajahnya membuatnya menonjol di antara warna-warna lembah yang redup. Tobirama Senju, seorang pria, mungkin berusia awal 40-an, dengan penampilan yang tenang namun berwibawa, mengamatinya dengan ekspresi yang tidak terbaca.
Karin menoleh ke arah lembah, pegangannya pada pagar jembatan semakin erat. "Kenapa kau peduli?" balasnya, suaranya dingin.
"Tidak," kata Tobirama, melangkah lebih dekat. "Tapi melompat tidak memperbaiki keadaan. Percayalah padaku."
Karin mengatupkan rahangnya, menahan air matanya. "Kau tidak mengerti. Aku telah kehilangan... segalanya."
Tobirama berdiri di sampingnya sekarang, tidak terlalu dekat, tetapi cukup dekat sehingga dia merasakan kehadirannya. "Kau salah. Kau belum kehilangan segalanya. Belum."
Keheningan di antara mereka berlanjut. Karin tidak menjawab, pikirannya berputar-putar dalam kekacauan pikirannya. Dia tidak menyangka ada yang akan menghentikannya, apalagi pria seperti itu. Tatapannya yang mantap tidak goyah, dan dia mendapati dirinya dengan enggan melangkah mundur dari tepi jurang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Tobirama menawarinya tumpangan pulang. Bukan tindakan kebaikannya yang membuatnya melakukannya, tetapi kepercayaan dirinya yang tenang—kestabilannya dalam menghadapi badai. Untuk alasan yang tidak dapat dijelaskannya, Karin menerimanya.
.
.
.
Hari berganti minggu, dan Karin mulai lebih sering bertemu Tobirama. Ia tampak sering berada di sekitar Konoha, dan mereka akan berbincang-bincang sebentar, awalnya canggung, lalu selanjutnya terasa semakin alami.
Perlahan, Tobirama menjadi bagian tetap dalam hidupnya, memberinya kestabilan saat ia sangat membutuhkannya. Ia bukan tipe yang suka memaksa, tidak pernah mengusik kehidupan pribadinya, tetapi selalu menawarkan kehadiran yang mantap.
Suatu sore, mereka duduk bersama di sebuah kafe yang tenang di kota. Karin tanpa sadar mengusap perutnya, yang mulai terlihat. Ia belum memberi tahu Tobirama tentang kehamilannya, dan beban itu sangat memperberat pundaknya.
"Kau tahu," ia memulai, suaranya sedikit bergetar. "Suigetsu… dia ayahnya. Tapi dia sudah tiada."
Tobirama menatapnya, ekspresinya melembut. "Aku berasumsi begitu. Kau tidak berutang penjelasan apa pun padaku, Karin."
"Tidak, aku berutang. Kau telah… membantuku bahkan tanpa mengetahui keseluruhan ceritanya." Ia menelan ludah. "Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini. Aku bahkan tidak tahu apakah aku ingin melakukan ini."
Tobirama bersandar di kursinya, menyilangkan lengannya. "Ini bukan jalan yang mudah, Karin. Tapi kau lebih kuat dari yang kau kira."
Karin mendengus, tapi tidak ada maksud yang kuat. "Kau tidak tahu itu."
"Aku tahu," kata Tobirama singkat. "Kau masih di sini."
Hubungan mereka semakin dalam seiring waktu, bukan karena terburu-buru, tapi karena saling pengertian. Tobirama tidak pernah memaksanya untuk mengambil keputusan. Ia hanya berdiri di sampingnya, menawarkan dukungan yang tenang saat ia sangat membutuhkannya. Perlahan tapi pasti, Karin merasakan kesedihannya mereda. Ketajamannya mereda, digantikan oleh sesuatu yang lebih hangat, lebih penuh harapan.
Suatu sore, saat matahari terbenam di atas desa, Karin mendapati dirinya berada di jembatan lagi, tapi kali ini ia tidak berdiri di tepi jembatan. Tobirama berdiri di sampingnya, tangannya bersandar di pagar jembatan.
"Aku memikirkan apa yang kau katakan," gumamnya. "Bahwa aku tidak kehilangan segalanya."
Tobirama meliriknya, ekspresinya tidak terbaca. "Lalu?"
"Kau benar," Karin mengakui. "Aku punya sesuatu yang layak untuk dipegang. Hanya saja sulit… mengetahui Suigetsu tidak akan ada di sini untuk melihatnya."
Tobirama mengangguk. "Kehilangan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya... berubah bentuk. Kau akan belajar untuk menerimanya, tetapi kau tidak harus menghadapinya sendirian."
Tangan Karin menyentuh perutnya yang membesar, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya membayangkan masa depan. Bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk anak yang dikandungnya. Kehadiran Tobirama yang mantap telah menjadi tali penyelamat baginya, menenangkannya dengan cara yang tidak pernah ia duga.
"Aku tidak pernah mengira akan mengatakan ini," kata Karin pelan, "tetapi aku senang aku tidak terkejut."
Bibir Tobirama bergerak membentuk senyum tipis. "Aku senang kau juga tidak terkejut."
Seiring berlalunya hari, hubungan Karin dan Tobirama semakin dalam, bukan melalui gerakan besar penuh intimasi, tetapi melalui momen-momen rapuh dan pemahaman yang tenang bersama.
Mereka tidak sempurna, dan mereka berdua membawa luka mereka sendiri, tetapi bersama-sama, mereka menemukan rasa damai. Jalinan itu terasa lambat, bertahap, dan sama sekali tidak terduga, tetapi… nyata.
Dan pada akhirnya, itu sudah cukup.
.
.
.
/end/
