Naruto © Masashi Kishimoto
Canon setting.
Even by My Thousand Years of Death
Nagato x Konan
by
Rachel Cherry Giusette
.
.
.
Di sudut-sudut Amegakure yang sunyi, tempat hujan turun tanpa henti, Konan dan Nagato hidup dalam dunia bayangan, dunia tempat kata-kata tak diperlukan. Ikatan mereka ditempa dalam tragedi dan diredam oleh kehilangan bersama, oleh penderitaan perang dan dinginnya kematian. Hubungan mereka melampaui ucapan, bahasa yang hanya mereka pahami—bukan bahasa kata-kata, tetapi bahasa tatapan, beban bersama, dan janji tak terucap yang tak dapat dipahami sepenuhnya oleh keduanya.
Konan selalu memperhatikannya. Dia adalah bayangan yang selalu ada di sisinya, angin lembut yang membawa rasa sakitnya. Nagato, dengan sikapnya yang tabah, tak pernah mencari matanya tetapi selalu tahu dia ada di sana. Ada kenyamanan dalam kesunyiannya, dalam cara sayap kertasnya berkibar tanpa suara, cara kehadirannya tidak pernah menuntut darinya apa yang telah dicuri dunia sejak lama—harapan.
Hujan mencerminkan kehidupan mereka: tak berujung, tanpa henti, tetapi entah bagaimana menenangkan. Dalam gerimis yang terus-menerus, mereka telah menemukan satu sama lain, dan di dalamnya, mereka tetap bersama—dua jiwa yang terikat oleh lebih dari sekadar keadaan. Namun, tidak ada kata-kata cinta yang pernah terucap. Hati mereka berbicara di sela-sela napas, seperti tangan Konan yang terkadang berlama-lama di dekatnya, tidak pernah benar-benar menyentuh. Nagato juga merasakannya, dengungan pelan dari sesuatu yang lebih dalam, tetapi tetap terkubur di bawah lapisan tujuan dan tugas.
Mereka membangun dunia bersama, atau mencoba membangunnya. Visi Nagato tentang kedamaian itu gelap, berbelit-belit oleh jalan yang terpaksa harus dilaluinya. Konan mengikutinya, bukan karena dia percaya secara membabi buta, tetapi karena dia percaya padanya. Dia percaya pada anak laki-laki yang telah ditemuinya sejak lama, sebelum rasa sakit, sebelum dunia mengeraskan mereka berdua menjadi sosok yang telah mereka bentuk. Dan meskipun dia tidak pernah mengatakannya, Nagato tahu. Dia selalu tahu.
Cinta mereka seperti hujan: tidak terlihat pada awalnya, tidak diperhatikan oleh dunia, tetapi meresap ke dalam segalanya, meninggalkan jejak yang tidak akan pernah benar-benar kering. Dan pada saat-saat itu, ketika mereka berdiri berdampingan, mengawasi hujan gerimis yang tak henti-hentinya di kota mereka yang hancur, ada kehangatan di antara mereka, pemahaman yang tenang bahwa tidak ada yang akan berbicara keras. Itu tidak perlu.
Namun, bahkan saat mereka berdiri bersama, bayang-bayang kematian tampak semakin dekat, selalu berada di luar jangkauan mereka. Dan ketika akhirnya datang, seperti yang selalu terjadi pada kematian, ia datang dalam keheningan. Tidak ada kata-kata terakhir, tidak ada pernyataan cinta, hanya hujan yang turun lembut dan kepakan sayap kertas Konan saat ia berdiri di atas tubuh Nagato yang tak bergerak, matanya akhirnya terpejam ke dunia.
Ia telah pergi, dan bersamanya, begitu pula alasan Konan untuk bertahan di dunia ini. Namun bahkan saat ia mengikutinya ke dalam kegelapan, kisah mereka tidak berakhir. Kematian bukanlah akhir bagi mereka—itu adalah tahap lain, alam lain tempat jiwa mereka akan melayang, bersama tetapi terpisah, selalu dekat, selalu dekat, tetapi tidak pernah mengucapkan kata-kata yang tertinggal di balik permukaan.
Dalam kematian, mereka melayang melalui koridor waktu yang tak berujung. Kenangan mereka memudar perlahan, seperti tinta yang mengalir di tengah hujan, tetapi tidak peduli berapa banyak kehidupan yang telah berlalu, berapa banyak dunia yang telah mereka lalui, cinta mereka tetap ada. Mereka tidak pernah mengucapkannya—mungkin tidak akan pernah—tetapi itu ada di sana, sama konstannya seperti hujan yang pernah menyelimuti mereka.
Dalam kehampaan dingin akhirat, Nagato terkadang merasakannya dekat, kehadiran yang meredakan rasa sakit dari kematian yang tak terhitung jumlahnya. Dia tidak pernah meraihnya; dia tidak pernah meraihnya. Tetapi mereka selalu dekat, seolah-olah ada benang tak kasat mata yang mengikat mereka bersama sepanjang keabadian.
"Bahkan sekarang," pikir Konan, meskipun kata-kata itu bukan lagi miliknya. "Bahkan sekarang, kita bersama."
Tetapi mereka tidak pernah mengatakannya. Mereka tidak pernah mengucapkan kata-kata yang akan membuatnya nyata, yang akan menyegelnya di dunia orang hidup. Dan sekarang, di dunia orang mati, sudah terlambat.
Atau mungkin, hal itu tidak pernah diperlukan.
Nagato, dalam kehampaan keberadaannya, juga paham akan hal ini. Ia tidak dapat melihatnya lagi, tidak dapat mengingat warna rambutnya yang sebenarnya atau lekuk bibirnya, tetapi perasaan itu tetap ada. Ia bersamanya, seperti yang selalu terjadi. Bahkan dalam ribuan tahun mereka hanyut dalam kematian, bahkan saat kenangan memudar menjadi ketiadaan, ikatan itu tetap ada, tak terpatahkan dan sunyi.
Tidak ada reuni besar, tidak ada pelukan penuh air mata. Yang ada hanyalah keheningan, hanyut tak berujung melalui waktu, dan pengetahuan bahwa mereka telah mencintai tanpa perlu mengucapkan kata-kata.
Dan begitulah, mereka terus berlanjut. Melalui kehidupan yang tak terhitung jumlahnya, melalui siklus kematian dan kelahiran kembali yang tak berujung, mereka bertahan. Cinta mereka bukanlah sesuatu dari dunia ini, tidak terikat oleh aturan hidup dan mati, dan dengan cara itu, cinta itu abadi.
Tetapi mereka tidak pernah mengucapkan kata-kata itu—tiga kata sederhana yang dipegang teguh oleh banyak orang di dunia yang hidup. Itu bukan cara mereka.
Mungkin itu kutukan mereka. Atau mungkin itu cara mereka untuk bertahan.
Bahkan setelah ribuan tahun mereka meninggal, cinta di antara mereka tetap utuh.
Dan akan selalu berulang.
.
.
.
Di dunia yang jauh, di masa yang terlupakan, jiwa Konan sekali lagi bertemu dengan jiwa Nagato. Tidak ada kata yang terucap, tidak ada mata yang bertemu, tetapi ada kedipan, momen pengenalan. Dan pada saat itu, cinta yang telah mereka bagi sepanjang hidup tidak dapat disangkal, bahkan jika itu tidak pernah diucapkan.
.
.
.
Karena terkadang, cinta tidak perlu diucapkan. Terkadang, cukup dengan sekadar ada.
.
.
.
Bahkan setelah ribuan tahun kematianku, kau ada di sini.
.
.
.
Tetapi kata-kata itu tidak akan pernah keluar dari bibir mereka.
.
.
Mereka tidak pernah harus melakukannya.
.
.
.
.
.
.
/end/
