Boruto: Naruto Next Generation belongs to Masashi Kishimoto and Mikio Ikemoto

Alternated Universe.


Fell

Boruto x Sarada

by

Rachel Cherry Giusette


.

.

.

Hujan turun membasahi jalanan Tokyo yang diterangi gemerlap lelampuan neon, memantulkan warna-warna cerah di trotoar yang basah. Dengungan kota selalu ada tiap detik, seolah menjadi pengingat konstan bahwa hidup terus berjalan, tak peduli apa pun terjadi.

Boruto Uzumaki berdiri di jendela apartemennya yang tinggi, memperhatikan hujan deras, tangannya di dalam saku. Nyanyian kota, yang dulunya menjadi latar belakang yang menenangkan, terasa hampa malam ini.

Ponselnya bergetar, tetapi dia mengabaikannya. Dia tahu itu pesan lain dari seseorang di kantor, atau mungkin salah satu temannya yang mencoba menyeretnya keluar untuk melupakannya. Tetapi tidak ada yang bisa membuatnya melupakan ruang kosong yang telah tumbuh di antara dirinya dan Sarada Uchiha.

Apa yang mereka miliki—apa yang dia pikir tak terkalahkan—menyelinap melalui jari-jarinya seperti air. Sarada masih menjadi bagian dari dunianya, masih mengorbit cukup dekat untuk mengingatkannya tentang apa yang pernah mereka miliki, tetapi cukup jauh untuk merasa seperti dia sudah pergi.

Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama, tumbuh sebagai sahabat, bertransisi menjadi sesuatu yang lebih, dan untuk sementara, rasanya mereka tak terpisahkan. Namun, banyak hal berubah. Kota mengubah mereka. Tekanan karier mereka, kebutuhan untuk membuktikan diri di dunia yang menuntut kesuksesan, telah membangun tembok di antara mereka.

Boruto mendesah, melirik foto di rak. Itu adalah mereka berdua, berdiri di tepi pantai. Mata gelap Sarada berbinar di bawah sinar matahari, dan senyumnya begitu tulus hingga membuat dadanya sakit. Itu bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka masih percaya bahwa mereka bisa menghadapi apa pun.

Sekarang, rasanya mereka tenggelam.


.

.

.

Sarada berjalan di tengah hujan, payungnya tak mampu melindunginya dari hujan deras. Ia baru saja menyelesaikan shift malam di rumah sakit, tubuhnya kelelahan, tetapi pikirannya terlalu penuh dengan pikiran untuk beristirahat. Langkah kakinya bergema di trotoar, setiap langkah lebih berat dari sebelumnya. Ia melirik teks yang belum dibacanya sepanjang malam—nama Boruto bersinar samar di layarnya. Itu bukan pesan pertama yang diabaikannya.

Ia tidak tahu kapan mereka mulai menjauh, tetapi ia bisa merasakan jarak semakin melebar di antara mereka. Mereka tidak bertengkar—tidak juga. Mereka hanya... berhenti mencoba. Percakapan menjadi mekanis, obrolan ringan mengisi ruang yang dulunya memiliki hubungan yang mendalam. Ia tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara tentang impian, masa depan, atau bahkan masa kini mereka.

Kenangan itu membebaninya, setiap langkah lebih menyakitkan dari sebelumnya. Mereka pernah begitu dekat, lebih dekat daripada siapa pun dalam hidupnya. Boruto adalah segalanya baginya. Tetapi sekarang, rasanya mereka berdua tenggelam dalam keheningan.

Ia teringat kembali saat mereka masih lebih muda dan naif, saat Tokyo menjadi taman bermain mereka, saat mereka berkeliaran di jalan-jalan larut malam, membicarakan tentang masa depan mereka, bagaimana mereka akan menghadapi dunia bersama. Sarada mengepalkan tangannya. Ia percaya pada mereka. Ia percaya bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Namun sekarang, rasanya hubungan mereka mulai tenggelam ke dasar laut, seperti Atlantis—sesuatu yang indah, kini tenggelam, hilang ditelan waktu.


.

.

.

Boruto tidak tahan lagi. Ia meraih jaketnya, meninggalkan apartemennya dengan tergesa-gesa. Jalanan kota masih ramai, orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya seolah-olah ia tidak terlihat. Ia merasa seolah-olah ia tidak terlihat. Namun, ia harus menemuinya. Ia harus berbicara dengan Sarada sebelum mereka kehilangan segalanya.

Ia menemukan Sarada berjalan di dekat tepi pantai tua, tempat yang biasa mereka kunjungi saat mereka perlu melepaskan diri dari beban dunia. Tempat yang pernah mereka janjikan untuk tidak pernah melepaskan satu sama lain.

"Sarada!" panggilnya, suaranya nyaris menembus hujan dan kebisingan kota.

Sarada berhenti, bahunya menegang. Untuk sesaat, ia tidak berbalik, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Ia tahu konfrontasi ini akan terjadi, tetapi itu tidak membuatnya lebih mudah. Perlahan, ia berbalik menghadap Boruto, ekspresinya tidak terbaca.

"Kau tidak bisa terus menghindariku," kata Boruto, suaranya kasar, putus asa. "Kita perlu bicara."

Sarada menelan ludah, berusaha mengendalikan emosinya. "Apa yang harus kukatakan, Boruto? Kita sudah berpisah selama berbulan-bulan. Apa menurutmu pembicaraan ini akan memperbaikinya?"

Boruto melangkah mendekat, matanya menatap Sarada. "Entahlah... tapi aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan melihat kita kehilangan satu sama lain tanpa berusaha menyelamatkannya."

Napas Sarada tercekat. "Apa menurutmu kita bisa menyelamatkannya? Kita bukan orang yang sama seperti saat kita memulai ini. Kita telah berubah. Kota ini, pekerjaan kita... semuanya berubah."

Boruto menggelengkan kepalanya. "Kita selalu bisa melewati semuanya. Ini—" dia memberi isyarat di antara mereka—"ini bukan akhir kecuali kita membiarkannya terjadi. Aku masih... aku masih mencintaimu, Sarada."

Hatinya tercekat mendengar kata-katanya. Dia telah berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cinta tidak lagi cukup, bahwa mereka telah tumbuh lebih besar dari satu sama lain. Tetapi mendengarnya mengatakannya, dengan kerentanan mentah yang selalu dia sukai darinya, membuatnya mempertanyakan segalanya.

"Aku juga mencintaimu," bisiknya, suaranya bergetar. "Tapi apakah itu cukup?"

Boruto melangkah lebih dekat, tangannya meraih tangan Sarada. "Harus. Kita telah berjuang untuk semua hal lain dalam hidup kita. Mengapa kita tidak bisa berjuang untuk ini? Untuk kita?"

Hujan terus turun, membasahi mereka saat mereka berdiri di tempat yang sama di mana mereka pernah bermimpi selamanya. Sarada menatap matanya, melihat anak laki-laki yang sama yang telah membuatnya jatuh cinta, tetapi juga pria yang telah menjadi dirinya—lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih bertekad dari sebelumnya.

Mungkin mereka tidak bisa kembali seperti sebelumnya, tetapi mungkin mereka tidak harus melakukannya. Mungkin mereka bisa membangun kembali, bukan dari reruntuhan, tetapi dari apa yang masih tersisa di atas permukaan.

"Aku tidak ingin kehilanganmu," kata Sarada, suaranya bergetar.

Boruto meremas tangannya, senyum lembut dan penuh harapan tersungging di bibirnya. "Kalau begitu, mari kita berhenti tenggelam. Ayo berenang." Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sarada membiarkan dirinya percaya bahwa mungkin, mungkin saja, mereka belum terlalu jauh. Mungkin Atlantis mereka belum hilang sama sekali.

Saat mereka berdiri bersama di tengah hujan, dunia di sekitar mereka memudar, dan mereka bertahan—kali ini, menolak untuk melepaskan.

.

.

.

/end/