A/N: Hai! Ini adalah one shot kisah Shinshi / CoAi, yang dibayangi dengan kepergian Ran. Shinichi adalah seorang detektif terkenal di Jepang, dengan julukan Heisei Holmes. Tidak ada Organisasi Hitam, yang membuatnya berbeda dengan kisah di Canon. Hanya sebuah kisah menyedihkan ditengah kejamnya dunia. Shinichi tidak mengenal Shiho, dan Shiho hanyalah seorang wanita muda sebatang kara yang telah kehilangan orang tuanya sejak kecil, dan kehilangan kakak perempuannya beberapa waktu yang lalu. Bukan seorang ilmuwan, hanya seseorang yang sedang mencari jati dirinya. Dirinya akan membawa kembali Heisei Holmes keluar dari kegelapan. Menjadi Irene Adler bagi Holmes Modern.


Aku berjalan dalam gelap. Tanpa arah yang dapat menuntunku keluar dari kesengsaraan ini. Tubuhku terasa berat, pikiranku kosong. Kurasakan kakiku tak lagi kuat menopang, padahal selama ini kaki-ku lah yang menjadi alasanku tetap berdiri. Jantungku terasa ingin lepas setelah berdebar-debar tak karuan. Cahaya, aku butuh cahaya! Kenapa aku tidak bisa menggapai cahaya?!

Aku berteriak, sangat keras. Tenggorokanku sakit dan perih, seperih hatiku. Aku ingin menangis, tapi aku tak mampu. Diriku terduduk lemas di tanah yang kosong, kering dan keras. Kenapa? Kenapa aku tidak bisa terlepas dari kegelapan ini?!

"Kopi American Latte anda, tuan."

Shinichi mendongak dari layar laptopnya. Seorang pelayan wanita yang usianya tidak berbeda jauh dengannya, tersenyum hangat saat menyuguhkan secangkir kopi yang dia pesan. Senyumannya indah, pikirnya. Seolah dipahat oleh para dewa untuk menarik seseorang dari kegelapan yang pekat. Hangat dan penuh kasih, itulah yang dibutuhkan.

"Terima kasih, nona."

Pelayan itu tersenyum hangat menatap Shinichi sembari menunduk hormat, seraya kembali ke konter café. Rambutnya yang pirang stroberi tampak terurai indah saat membalikkan badan. Rambut pendek cocok untuknya.

Dahulu kala ada yang kusebut rumah. Rumah yang hangat dan menerimaku apa adanya. Begitu setia menunggu diriku yang bodoh ini. Seolah hanya bagian dari masa lalu, kini semua itu sirna dalam sekali hempasan. Bagai sebuah lembaran indah yang digantikan dengan lembaran yang menyedihkan.

Aku butuh cahaya itu kembali. Cahaya yang dapat menghangatkanku saat aku terjerumus ke dalam kegelapan. Aku butuh senyumannya, pelukannya, perhatiannya. Kenapa Kau merenggutnya dariku?! Kau tahu aku sama sekali tidak bisa hidup tanpanya!

Shinichi mengambil cangkir kopi itu. Hangat, pikirnya, saat ia menyeruput pelan kopinya. Menikmati setiap sensasi yang ada, aromanya, uapnya, kafeinnya, kehangatannya yang-

Namun ia kembali mengerutkan kening, tidak cukup, ini tidak cukup. Ia butuh kehangatan yang jauh lebih besar daripada secangkir kopi ini.

Diriku termenung, mengingat setiap masa lalu yang telah kulalui bersama cahayaku. Aku sengaja masuk kedalam kegelapan untuk menerangi sisi gelap itu. Ia selalu menungguku di sisi terang. Aku tersenyum saat mengetahui dia baik-baik saja. Ia selalu berada di sisi yang terang, dibawah cahaya yang hangat, menciptakan rasa nyaman dan aman.

Namun, aku mendapati diriku panik saat menyadari kami berdua menaiki seekor kuda yang liar. Kuda itu tidak sehat, parahnya, seakan-akan roh jahat sedang merasukinya. Aku berusaha mengendalikan kuda itu. Rasa panik menguasai diriku saat menyadari bahwa kami dibawa menuju kegelapan. Bukan sembarang kegelapan, melainkan kegelapan yang begitu pekat. Kegelapan ini dapat membunuh, membunuh kami berdua.

'Shinichi.'

Kumohon, kumohon jangan pergi cahayaku. Aku merasakan sakit yang begitu hebat di dadaku ketika sosoknya perlahan memudar. Aku menggenggam cahayaku semakin erat ketika dia semakin memudar. Hingga-

Cahaya itu padam.

Aku berdiri dalam kegelapan. Sendirian. Tidak ada lagi cahaya yang mendampingiku, tidak ada lagi sisi terang yang dapat kembali menuntunku keluar dari kegelapan ini. Duniaku seakan direnggut dan ditutupi asap tebal. Kenapa cahaya itu tidak pernah datang?!

"Apa anda baik-baik saja Tuan?"

Shinichi tersentak. Ia dengan cepat mendongak ke arah suara tersebut. Suaranya terasa begitu hangat di tengah dinginnya malam.

"Apa anda sakit?" tanya pelayan wanita berambut pirang stroberi itu. Matanya, yang walaupun tajam, menyiratkan kecemasan. Mirip dengan dirinya, pikir Shinichi. "Wajah anda tampak pucat."

"Bukan apa-apa," jawab Shinichi sembari tersenyum meyakinkan. "Aku baik-baik saja."

"Apa saya boleh duduk disini?" tanya wanita itu, memegang ujung kursi yang ingin didudukinya.

"Tentu."

Wanita itu tersenyum seraya duduk di kursi, berhadapan dengan Shinichi. Ia menatap Shinichi dengan rasa ingin tahu. Kacau, itulah satu kata yang paling menggambarkan pria itu. Rambutnya berantakan, mata biru safirnya tidak memancarkan apapun selain kehampaan, pakaiannya kusut, serta pikirannya tampak kosong. Apa pria dihadapannya ini depresi?

"Aku penasaran," ujar wanita itu pelan, menatap laptop Shinichi, dimana pria itu sedari tadi mengetik sembari melamun. "Apa yang sedang kau ketik?"

Shinichi hanya tersenyum tanpa arti.

"Sebuah catatan dari lembar pertama dan kedua hidupku," jawabnya, kemudian kembali menyeruput kopinya. Setelah itu ia menaruh kembali cangkirnya ke meja dengan pelan. "Lembar pertama adalah cahaya dan lembar kedua adalah gelap."

Wanita itu mengerutkan kening. Bukan berarti dirinya bodoh tidak mengerti kata-kata kiasan, tapi masalahnya, nada dalam ucapan pria itu sangat dalam dan hampa, membuat dirinya merinding. Sudah berapa lama dia ditelantarkan seperti ini?

"Kau tak akan sadar mengenai apa yang kau miliki dalam hidup ini," ucap Shinichi sembari menyipit menatap langit-langit dengan tatapan kosong, seakan-akan terdapat sesuatu yang berharga di langit-langit itu. "Hingga Ia merenggutnya darimu."

Begitu, pikir wanita itu. Dia telah kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Seseorang yang sangat penting dan bermakna besar dalam kehidupannya.

"Anda tahu, aku juga pernah kehilangan," ucap wanita itu pelan. Shinichi menatapnya, walau tatapannya tampak kosong. "Dirinya adalah alasanku untuk tetap hidup dan terus berjuang, tapi saat Dia merenggutnya dariku, aku merasa begitu hampa,"

"Tapi aku sadar, bahwa aku harus terus maju apapun yang terjadi," ucapnya lagi sembari tersenyum meyakinkan. Namun pria tersesat didepannya sama sekali tidak bergeming ataupun menunjukkan ketertarikan. "Terus menghadapi takdirku di tengah dunia yang begitu kelam dan jahat ini, melebarkan pikiran naifku untuk percaya bahwa harapan akan tetap ada."

Shinichi mendengus tak percaya, kecuali bahwa pemikiran yang naif dapat membuat semuanya menjadi lebih baik. Ketidaktahuan menghasilkan kebahagiaan.

"Lalu," ucap Shinichi pelan, hampir seperti bisikan. "Apa yang kau pilih? Kenaifan atau kehampaan?"

"Aku mengubahnya," jawab wanita itu dengan nada tegas. Shinichi mengangkat salah satu alisnya dengan arti bertanya. "Aku mengubah kenaifan ini menjadi sebuah semangat untuk tetap menjalani hidupku."

"Kenapa kau memilih untuk tetap bersemangat, ketika segalanya tampak menyedihkan?" tanya Shinichi tidak percaya, menatap tajam ke arah wanita itu. "Dan aku tidak percaya bahwa terdapat harapan ketika terjebak di kegelapan. Kegelapan sama sekali tidak memiliki cahaya, apalagi harapan."

"Seorang yang bijak, yang penuh dengan wawasan dan pengalaman, pernah berkata padaku," ucap wanita itu tenang, tidak bergeming dengan tatapan tajam lawan bicaranya. "Akan tetap ada harapan, ketika segalanya terasa menyedihkan."

Shinichi terdiam sembari menatap lekat-lekat wanita itu. Matanya menatap mata wanita itu, berusaha mengorek segala kebohongan dan ketidakpastian dari ucapannya. Tapi yang dia temukan hanyalah ketegasan dan ketetapan hati. Pada akhirnya ia menyerah, menghela napas berat, mengeluarkan semua kehampaan yang ada.

"Begitu," ucap Shinichi pada akhirnya, menatap jendela untuk melihat lingkungan sekitar yang kini sedang diguyuri hujan. Ia kemudian kembali menatap wanita itu sembari tersenyum, walau lemah tetapi meyakinkan. "Akan kuusahakan. Terima kasih atas nasihatnya, sangat berarti bagiku."

Wanita itu tersenyum lega karena bisa membantu Shinichi. Dapat mengeluarkannya secara perlahan dari kegelapan masa lalu, memberikannya secercah harapan untuk bisa menemukan kembali cahaya masa depan. Cahaya dalam hidupnya di lembar ketiga.

"Sama-sama."

"Omong-omong Nona, siapa namamu?" tanya Shinichi penasaran. "Tidak bermaksud jahat, hanya ingin mengenal."

Wanita itu tersenyum, membuat Shinichi merasakan hangat di dalam dirinya. Walau berbeda dengan hangat dari cahayanya yang sebelumnya, hangat ini membuatnya merasa, merasa seperti telah disinari cahaya abadi.

"Shiho Miyano," jawab wanita itu sembari tersenyum hangat. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada Shinichi. "Salam kenal, Shinichi Kudo, Heisei Holmes."

"Salam kenal, Nona Miyano." balas Shinichi tersenyum sembari menjabat tangan Shiho. Rasanya begitu hangat dan lembut, pikir Shinichi.

"Katakan Nona Miyano," ucap Shinichi saat mereka sudah melepaskan genggaman tangan mereka. "Apakah anda tertarik menjadi Irene Adler-ku?"

Shiho tersenyum.

"Tentu."