Jujutsu Kaisen © Gege Akutami
AU. Friendship. Angst.
Spiral
by
Rachel Cherry Giusette
.
.
.
.
.
Di sebuah desa pantai kecil di ujung terjauh Jepang, kehidupan bergerak mengikuti pasang surut. Desa itu lahir nyaris penuh motif dengan pertahanan hidup, meskipun mula aslinya dibangun oleh para tahanan yang dikirim dari daratan utama pada awal tahun 1900-an. Seiring berjalannya waktu, keturunan para tahanan itu menjadi nelayan, kehidupan mereka terikat pada lautan, seperti halnya nenek moyang mereka yang terikat pada rantai mereka. Tempat ini nyaris tak pernah didengar siapapun yang ada di pulau-pulau terkenal—jenis tempat yang terlupakan oleh seluruh dunia, tanpa pelabuhan yang ramai atau kapal-kapal besar, hanya perahu-perahu kayu yang berderit melawan ombak yang datang tak henti-hentinya.
Pada tahun 1950-an, desa itu masih terisolasi, menjadikan laut segalanya. Orang-orang hidup mengikuti iramanya, terbit bersama matahari, berlayar ke cakrawala yang tak berujung, dan kembali bersama senja. Di antara penduduk desa itu ada dua anak laki-laki, Megumi dan Yuji, yang lahir di udara asin yang sama dan dibesarkan di bawah terik matahari yang sama. Mereka telah saling kenal sejak napas pertama mereka, dan seiring bertambahnya usia, mereka menjadi tak terpisahkan—saudara, hubungan itu kental, meskipun tidak sedarah.
Laut adalah taman bermain mereka. Ketika mereka masih terlalu muda untuk memancing, mereka akan berlari di sepanjang pantai, bertelanjang kaki, berlomba melawan arus, menertawakan buih yang mengejar mereka kembali ke pasir. Seiring bertambahnya usia, permainan mereka menjadi lebih serius. Mereka belajar cara memperbaiki jaring, cara bernavigasi berdasarkan bintang, dan cara membaca suasana laut. Ayah mereka telah mengajarkan mereka bahwa laut adalah pemberi dan penerima, dan anak laki-laki harus menanamkan hal itu dalam diri, dan menghormatinya.
Megumi, yang lebih tua, selalu lebih berani. Perangainya pendiam, kuat, dan keras kepala, dengan mata gelap yang seolah menyerap dunia di sekitarnya. Yuji, di sisi lain, lebih banyak bicara, selalu penuh energi dan tawa. Bersama-sama, mereka saling menyeimbangkan, seolah-olah lautan telah membentuk mereka untuk saling melengkapi.
.
.
.
.
.
.
Saat itu musim panas tahun 1953 ketika badai datang.
Pagi itu dimulai seperti pagi-pagi biasanya. Langit kelabu lembut, angin sepoi-sepoi, dan lautan tenang. Megumi dan Yuji berangkat dengan perahu kecil mereka, perahu tua tapi kokoh yang telah mereka perbaiki sendiri. Ayah mereka pernah memancing di perairan ini, tetapi keduanya telah terhanyut oleh laut bertahun-tahun yang lalu. Sekarang, giliran mereka untuk meneruskan tradisi itu.
Saat mereka berlayar, kedua anak laki-laki itu bercanda dan tertawa, suara mereka terbawa angin sepoi-sepoi. Mereka sekarang sudah menjadi nelayan berpengalaman, meskipun masih muda—Megumi berusia enam belas tahun, dan Yuji baru berusia lima belas tahun. Mereka tahu arus, tempat terbaik untuk melemparkan jaring, dan trik untuk mengakali ikan. Tetapi hari itu, lautan tenang, hampir terlalu tenang.
"Kurasa kita akan kembali saja, Megumi," kata Yuji, melirik langit, di mana awan gelap mulai terbentuk di cakrawala. "Lihatlah, cuaca sepertinya mulai tidak bersahabat."
Megumi menyipitkan mata ke awan, lalu mengangkat bahu. "Belum ada tangkapan yang cukup. Kita tunggu sedikit lagi. Tenang saja, Yuji. Ini hanya hujan sebentar."
Yuji ragu-ragu, namun ia memercayai Megumi. Ia selalu memercayainya. Mereka tetap tinggal, hanyut lebih jauh ke tengah laut, jala mereka tergantung berat dengan harapan akan mendapatkan tangkapan yang banyak. Namun angin bertiup kencang, dan segera, ombak yang lembut berubah menjadi gelombang besar yang bergulung-gulung. Awan gelap yang tadinya tampak begitu jauh kini menjulang di atas kepala, dan tetesan hujan pertama yang tebal mulai turun.
"Megumi, kita harus kembali sekarang!" teriak Yuji mengatasi angin yang bertiup kencang, suaranya bergetar karena takut.
Namun sebelum mereka sempat menarik jala mereka, badai menerjang dengan kekuatan penuh. Langit terbuka, melepaskan lembaran hujan yang menghantam wajah mereka. Ombak yang tadinya tenang, berubah menjadi ganas, menghantam sisi perahu mereka. Guntur bergemuruh di kejauhan, dan kilat menyambar, menerangi laut yang bergolak.
Megumi dan Yuji bekerja dengan panik, menarik jala, mencoba menyeimbangkan perahu yang bergoyang maju mundur. Akan tetapi badai itu terlalu kuat, dan dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, ombak besar menghantam mereka, menenggelamkan perahu dan melemparkan anak-anak itu ke dalam air yang dingin dan tak kenal ampun.
Yuji muncul ke permukaan, terengah-engah, air asin menyengat matanya. Ia berpegangan pada sepotong kayu dari perahu mereka, dengan putus asa mencari Megumi di antara ombak yang gelap.
"Megumi! Kau di mana?!"
Hujan turun deras, dan ombak menjulang tinggi di atasnya, menghalangi pandangannya. Ia memanggil lagi, tetapi tidak ada jawaban. Kepanikan melanda dirinya saat ia menendang air, mencoba untuk tetap mengapung.
Jam-jam berlalu dalam sekejap mata karena hujan, angin, dan ombak. Otot-otot Yuji terbakar karena kerasnya ia berupaya bertahan, tenggorokannya sakit karena meneriakkan nama Megumi. Tetapi lautan tidak memberinya jawaban. Hanya ombak yang tak berujung dan tanpa ampun.
Ketika badai akhirnya mereda, Yuji ditemukan oleh penduduk desa, setengah sadar dan berpegangan pada reruntuhan perahu mereka. Mereka menariknya ke atas kapal penyelamat dan membawanya kembali ke pantai, tetapi tidak ada tanda-tanda Megumi.
.
.
.
.
.
.
.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari kesedihan dan ketidakpercayaan. Yuji menolak untuk percaya bahwa Megumi telah pergi. Mereka telah melewati semuanya bersama-sama—manis pahit kesulitan hidup di desa. Bagaimana mungkin Megumi, orang terkuat yang dikenalnya, dapat dengan mudah tersapu oleh lautan?
Ia mencari di sepanjang garis pantai setiap hari, berharap-harap cemas bahwa Megumi akan terdampar di suatu tempat, hidup dan bernapas. Namun, seiring bergantinya hari menjadi minggu, penduduk desa mulai berbisik-bisik bahwa Megumi telah hilang, tersapu oleh lautan seperti banyak orang lainnya sebelum dirinya.
Yuji tidak dapat menerimanya. Ia menghabiskan malam-malamnya menatap ke arah laut yang gelap, bertanya-tanya apa yang salah, bertanya-tanya mengapa ia tidak dapat menyelamatkan temannya. Ia memutar ulang badai itu berulang-ulang dalam benaknya, yakin bahwa jika ia melakukan sesuatu yang berbeda, Megumi akan tetap berada di sana, berdiri di sampingnya.
Dan kemudian, seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan yang tak terlihat, Yuji mulai membawa perahunya ke laut lagi. Namun, tidak pada hari-hari yang tenang, saat matahari bersinar dan airnya tenang. Tidak—Yuji hanya pergi melaut saat badai. Saat guntur bergemuruh dan kilat membelah langit, ia akan berlayar ke jantung badai, mencari.
Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa Megumi masih di luar sana, menunggu untuk ditemukan. Laut telah membawanya, tetapi tidak membawanya pergi selamanya. Yuji percaya bahwa jika ia berlayar cukup jauh, jika ia berjuang melewati cukup banyak badai, ia akan menemukan temannya dan membawanya pulang.
Penduduk desa mengkhawatirkannya. Mereka pernah melihat ini sebelumnya, bagaimana lautan tidak hanya dapat menelan tubuh tetapi juga jiwa. Yuji dulunya adalah salah satu anak laki-laki paling cerdas di desa, penuh tawa dan energi. Namun sekarang, ia tampak hampa, matanya selalu mengamati cakrawala, menunggu badai berikutnya.
Malam demi malam, Yuji berlayar, menantang lautan, menantangnya untuk membawanya juga. Namun, laut, dengan segala kekuatannya, tidak pernah mengklaimnya. Laut melemparkannya, memukulinya, dan memuntahkannya kembali, tetapi tidak pernah membawanya. Setiap kali ia kembali ke desa, basah kuyup dan kelelahan, ia akan menggeritkan gerahamnya, menerima kenyataan ia masih pulang dengan keadaan hidup.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tahun-tahun berlalu, dan Yuji bertambah tua, tetapi ia tidak pernah berhenti mencari. Badai yang pernah membuatnya takut kini menjadi satu-satunya temannya. Ia tidak lagi takut pada laut—ia memeluknya, berharap suatu hari laut akan memberinya jawaban yang dicarinya.
Namun, laut tidak baik. Ia tidak mengembalikan apa yang telah diambilnya.
Maka, Yuji berlayar, lagi dan lagi, ke jantung badai. Mencari anak laki-laki yang pernah menjadi saudaranya. Mencari teman yang telah hilang karena ombak yang tak berujung dan tak kenal ampun.
Tidak peduli berapa banyak badai yang dihadapinya, Megumi tidak pernah kembali.
Yuji tidak bisa berhenti. Ia tidak akan berhenti. Karena laut telah mengambil sesuatu darinya yang tidak akan pernah bisa digantikan, dan ia akan terus berlayar sampai laut mengembalikan temannya—atau mengambilnya juga.
Laut adalah pemberi dan penerima, dan bagi Yuji, laut telah memberinya kehidupan pencarian yang tak berujung. Selama ombak menerjang dan badai mengamuk, ia akan berada di luar sana, di atas perahu kecilnya, mengejar kenangan tentang anak laki-laki yang telah hilang.
Bagi Megumi, di mana pun ia berada, ia akan selalu menunggu.
.
.
.
/owari/
Author's Note:
"Spiral" refers to: Yuji being fall into deep sorrow and put him in spiral sadness. Thanks for reading!
P.S: gak sabar pulang kampung dan lari ke tepian pantai buat melepas kangen. udah dari Juni sejak terakhir pulang. gawd, cannot wait!
