Chainsaw Man © Tatsuki Fujimoto
Alternated Universe. Enjoy!
Party Monster
by
Rachel Cherry Giusette
-First Glimpse-
Denji berdiri di balkon penthouse, udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya sementara lampu-lampu kota berkelap-kelip di bawahnya. Apartemen ini jadi salah satu diantara banyaknya unit bertingkat tinggi yang menghadap langsung ke dalam pusaran kekacauan Tokyo—pemandangan yang jarang dilihat orang, apalagi dari sudut ini. Acap kali ia dapat merasakan muak yang naik ke tenggorokan, melihat Tokyo yang selalu berdetak tanpa henti, seolah tak pernah redup, tak pernah tidur. Dengan memikirkannya saja sudah cukup membuat pening.
Jari-jarinya mencengkeram gelas wiski yang dipegangnya—meskipun ia hampir tidak merasakan alkohol yang membakar saat mengalir ke tenggorokannya. Malam ini, seharusnya ia merasa berada di puncak dunia—ya, harusnya—yang dia rasakan hanyalah kekosongan yang menggerogoti seolah membandel dan enggan singkirkan.
Pesta di dalam sedang berlangsung meriah, dengan musik yang menggelegar menembus dinding dan tawa menggema dari setiap sudut. Orang-orang bertampang rupawan menari di bawah lampu redup berwarna-warni, wajah mereka ditutupi euforia, sementara yang lain menikmati diri di sudut-sudut pribadi, membisikkan rahasia yang akan terlupakan di pagi hari—jenis pemandangan yang hanya pernah diimpikan Denji, saat ia masih belia, begitu bangkrut dan sekuat jiwanya berjuang untuk bertahan hidup. Sekarang, semua yang pernah ia dambakan terhampar di hadapannya, namun, rasanya hampa—seolah ia adalah seorang aktor dalam lakon orang lain.
Dan ia selalu setuju—benar-benar memahami dirinya sendiri—bahwa dalam satu hal, ia memang seperti itu.
"Denji," sebuah suara memanggil dari belakangnya, lembut dan halus. Nada yang selalu membuatnya merinding. Ia menoleh dan melihat Makima—berdiri tepat di balik pintu, bermandikan cahaya lembut lampu pesta. Ia tampak berseri-seri, seperti biasa, rambut merahnya menjuntai di bahunya bak sulutan api, matanya berkilauan dengan ketajaman predator yang tampaknya tak pernah pudar.
"Menikmati pestanya?" tanyanya, melangkah lebih dekat, tumitnya mengetuk lantai marmer dengan setiap langkah yang penuh perhitungan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, sesuatu yang meneriakkan kendali juga kekuatan—pengingat bahwa semua yang ada di ruangan ini, termasuk dirinya, adalah miliknya.
Denji mengangguk, memaksakan senyum. "Ya. Aku… cukup menikmatinya."
Bibir Makima melengkung membentuk senyum yang tidak mencapai matanya. "Benarkah? Kau tampak seperti sedang melamun."
Denji ragu-ragu, tidak yakin harus berkata apa. Apa yang bisa dikatakannya? Bahwa kehidupan yang dulu ia anggap surga kini terasa seperti sangkar emas? Bahwa setiap momen kesenangan diwarnai dengan rasa takut tak tergoyahkan? Bahwa, terlepas dari segalanya, ia tidak dapat menahan perasaan seperti ia semakin kehilangan jati dirinya setiap hari?
"Aku hanya... menikmati semuanya," akhirnya ia menjawab, menghindari tatapannya.
Senyum Makima melebar saat ia mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh pipinya dalam gerakan yang lembut sekaligus posesif. "Bagus. Kau harus menikmatinya, Denji. Bagaimanapun, ini adalah kehidupan yang kau inginkan, bukan? Kehidupan yang kuberikan padamu."
Denji menelan ludah, beban kata-katanya menekannya seperti selimut tebal. Tentu saja, itu benar. Wanita ini telah memberinya semua yang pernah ia inginkan—kekayaan, kekuasaan, wanita. Namun, semua itu harus dibayar dengan harga yang mahal, harga yang belum sepenuhnya ia pahami hingga semuanya terlambat.
"Ya," katanya pelan. "Memang begitu."
Mata Makima menatap tajam ke arahnya, mencari sesuatu, meskipun Denji tidak tahu apa. Akhirnya, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, napasnya hangat di telinga Denji saat ia berbisik, "Jangan lupa siapa pemilikmu, Denji. Dunia ini, kehidupan ini... semuanya karena aku."
Kata-katanya adalah pengingat, peringatan. Dan Denji tahu lebih baik daripada berdebat. Ia mengangguk, rasa pasrah menyelimutinya saat merasakan Makima menjauh.
"Ayo," kata Makima, berbalik kembali ke arah pesta. "Ada seseorang yang ingin aku temui."
-The Descent-
Jam-jam berikutnya hanya dipenuhi cahaya, musik, dan alkohol. Makima menuntunnya melewati kerumunan, memperkenalkannya kepada orang-orang yang namanya tidak akan ia ingat, yang wajahnya samar-samar karena terlalu banyak. Mereka bersulang untuknya, untuk kesuksesannya, untuk kehidupan yang dijalaninya—kehidupan yang terasa lebih seperti mimpi, atau mungkin mimpi buruk yang tak dapat ia tinggalkan.
Denji mengikuti gerakannya, memainkan peran yang diharapkan Makima darinya, sementara tenggelam jauh lebih dalam dari relitas—seolah-olah hidup ini bukan kepunyaannya—seolah-olah getar jantungnya yang sudah berdengung sampai telinga tidak berdetak untuknya—hidup ini bukan miliknya, seolah ia telah mati sejak hari di mana ia menyambut uluran tangan Makima. Seolah-olah… ia lebih seperti spektator dalam hidupnya sendiri.
Musik berdenyut di telinganya, bass bergetar di dadanya saat malam semakin gelap dan pesta semakin liar. Tubuh-tubuh bergerak di sekelilingnya, tangan saling bersentuhan, bibir berbisik—semuanya kabur, tenggelam dalam kesenangan dan dosa.
Pada satu waktu, ia kehilangan jejak Makima, meskipun ia tahu Makima tidak pernah jauh. Makima selalu mengawasi, selalu memegang kendali. Bahkan saat Makima tidak berada di sisinya, ia dapat merasakan kehadirannya, seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkannya.
Ia mendapati dirinya berada di sudut penthouse yang remang-remang, terkulai di kursi kulit dengan sebotol wiski di tangannya. Pikirannya kabur, alkohol menumpulkan indranya, tetapi tidak cukup untuk membungkam suara yang mengganggu di belakang kepalanya—suara yang terus mengatakan kepadanya bahwa ada sesuatu yang salah, bahwa ia kehilangan dirinya.
"Denji."
Suara itu menyadarkannya dari lamunannya, dan ia mendongak untuk melihat seorang wanita berdiri di depannya. Wanita itu cantik, dengan rambut hitam panjang dan mata yang berbinar nakal. Wanita itu tersenyum padanya, senyum yang mengundang sekaligus berbahaya.
"Keberatan kalau aku ikut?" tanyanya, meskipun ia tidak menunggu jawaban sebelum duduk di sebelahnya.
Denji mengerjap, mencoba untuk fokus pada wajahnya. Ada sesuatu yang familier tentang wanita itu, meskipun ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. "Apakah aku... mengenalmu?" tanyanya, suaranya tidak jelas.
Wanita itu tertawa, suara lembut dan merdu yang mengirimkan rasa dingin ke tulang punggungnya. "Belum, tapi kita bisa saling mengenal," katanya, sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Aku sudah banyak mendengar tentangmu, Denji. Bintang yang sedang naik daun, anak emas Makima. Pasti menyenangkan, menjalani kehidupan yang mewah."
Denji mengangkat bahu, merasa tidak nyaman di bawah tatapannya. "Itu bukan apa-apa."
Dia mengangkat sebelah alis, jelas tidak yakin. " Bukan apa-apa? Kupikir kau berada di puncak dunia. Kau punya semua yang diinginkan siapa pun."
"Ya, yah... terkadang tidak seperti yang diharapkan," gumam Denji serak, sambil meneguk lagi dari botol.
Wanita itu memiringkan kepalanya, mengamatinya. "Kau tidak bahagia, ya?"
Denji membeku—sedikit berjenggit ketika kata itu meluncur, seperti anak panah yang tepat menancap di titik tengah papan dart—begitu merinding sampai membuat dadanya bergemuruh. Ia telah berusaha keras untuk tetap berpura-pura, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah kehidupan yang diinginkannya. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu wanita itu benar. Ia tidak bahagia. Ia sengsara.
"Siapa kamu?" tanyanya pada akhirnya, tak berusaha menutupi nada curiganya.
Wanita itu tersenyum lagi, meskipun kali ini tidak sampai ke matanya. "Hanya seseorang yang mengerti bagaimana rasanya terjebak dalam kehidupan yang tidak kamu minta," katanya samar. "Seseorang yang tahu bagaimana rasanya dimiliki."
Darah Denji mendingin mendengar kata-katanya, rasa takut merayapi tulang punggungnya. Ia membuka mulutnya untuk bertanya lebih lanjut, tetapi sebelum sempat ia bisa berbicara, sebuah tangan mengelus bahunya—memberinya efek merinding lainnya.
"Denji."
Ia berbalik untuk melihat Makima berdiri di sana, ekspresinya tidak terbaca. Senyum wanita itu memudar saat ia menatap Makima. Ketegangan di antara mereka terlihat begitu kental.
"Kurasa sudah waktunya kau pergi," kata Makima kepada wanita itu, nadanya dingin.
Wanita itu melirik Denji sekali lagi, matanya dipenuhi sesuatu yang tidak bisa ia pahami—rasa kasihan, mungkin, atau mungkin peringatan. Lalu, tanpa sepatah kata pun, dia berdiri dan berjalan pergi, menghilang di antara kerumunan.
Makima memerhatikan kepergiannya sebelum kembali mengalihkan perhatiannya kepada Denji. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lebih lembut sekarang, tetapi dengan nada yang mengatakan bahwa ia sudah tahu jawabannya.
Denji mengangguk, meskipun pikirannya masih terguncang dari pertemuan itu. "Ya, aku baik-baik saja."
Mata Makima sedikit menyipit, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan, mengambil botol dari tangan Denji dan menyingkirkannya. "Kau harus istirahat," katanya, nadanya tegas. "Malam ini panjang sekali."
Denji ingin membantah, bertanya tentang wanita itu, mempertanyakan semua yang telah terjadi malam ini. Namun kata-katanya tercekat di tenggorokannya, dan yang dapat dilakukannya hanyalah mengangguk sambil membiarkan wanita itu menuntunnya pergi.
-The Realization-
Keesokan paginya, Denji terbangun dengan sakit kepala yang berdenyut-denyut, kejadian-kejadian pada malam sebelumnya terus terngiang di benaknya. Gelisah mengguyurnya, membuatnya semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia kehilangan kendali, bahwa hidupnya bukan lagi miliknya.
Makima sudah bangun, duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangan. Ia tampak tenang seperti biasa. Pada saat-saat seperti itu, Makima tampak menjadi epitome sempurna dari apa yang disebut kendali dan keanggunan. Denji merasakan sedikit kebencian saat ia memerhatikannya, sebagian dari dirinya ingin menyerang, menuntut jawaban. Namun ia tahu itu tidak akan ada gunanya.
"Selamat pagi," katanya, nadanya netral saat ia menyesap kopinya.
"Pagi," jawab Denji, suaranya serak. Ia duduk di seberangnya, pikirannya masih berkabut karena alkohol.
Makima meletakkan cangkirnya, tatapannya tertuju padanya. "Tentang tadi malam," ia memulai, nadanya terukur. "Kau tampak... tidak fokus."
Denji bergerak tidak nyaman di kursinya. "Ya, kurasa begitu. Hanya saja... banyak yang ada di pikiranku."
Mata Makima sedikit menyipit, meskipun ekspresinya tetap terkendali. Dia mencondongkan tubuh ke depan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ringan saat berbicara. "Banyak yang ada di pikiranmu?" ulangnya, suaranya lembut tetapi dengan nada tajam yang tersembunyi. "Kau tahu, Denji, aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Semua yang telah kulakukan, semua yang telah kuberikan padamu—semuanya demi kebaikanmu."
Denji menunduk menatap tangannya, jari-jarinya meremas-remas tepian kemejanya. Ia tahu bahwa kata-kata Makima benar, setidaknya di permukaan. Dia telah memberinya segalanya—uang, kekuasaan, dan gaya hidup yang tidak pernah dibayangkannya. Tetapi ada harga yang harus dibayar, dan itu adalah harga yang semakin terasa sulit dibayar.
"Aku tahu," katanya pelan. "Hanya saja... terkadang aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri dalam semua ini. Seperti, aku bahkan tidak yakin siapa diriku lagi."
Ekspresi Makima melembut, sikapnya berubah menjadi sesuatu yang lebih menenangkan. Dia mengulurkan tangan, meletakkan tangannya di atas tangan Denji. Sentuhan yang begitu terasa dingin tapi memberi efek aneh yang meyakinkannya. "Denji, di sini tempatmu, takdirmu, kehidupan yang seharusnya kau jalani. Lainnya hanyalah kebisingan."
Denji ingin memercayainya, ingin menerima kehidupan yang telah diciptakannya untuknya tanpa pertanyaan. Namun, pertemuan dengan wanita misterius dari malam sebelumnya masih terngiang di benaknya, kata-katanya bergema di benaknya.
'Seseorang yang tahu bagaimana rasanya dimiliki.'
Matanya menatap Makima, mencari-cari kehangatan yang sering dia pura-purakan di matanya, tetapi yang dia temukan hanyalah tatapan dingin dan penuh perhitungan yang selalu ada di sana. "Apakah kau pernah merasa seperti..." dia memulai, ragu-ragu. "Seperti ini tidak cukup?"
Genggaman tangan Makima di tangannya sedikit mengencang, senyumnya tak pernah pudar. "Apa lagi yang mungkin kau inginkan, Denji? Kau punya segalanya. Dunia ada di bawah kakimu."
Denji memaksakan senyum, meski terasa hampa. "Ya, kau benar. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir."
Senyum Makima melebar, dan ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya berubah menjadi bisikan. "Jangan khawatir, Denji. Aku akan selalu ada di sini untuk membimbingmu. Kau tidak pernah sendirian."
Kata-katanya dimaksudkan untuk meyakinkan, tetapi bagi Denji, kata-kata itu terasa seperti rantai yang mengencang di lehernya. Ia mengangguk, tidak mampu menemukan kekuatan untuk menyuarakan keraguannya.
-The Temptation-
Seiring berlalunya hari, Denji mencoba menyingkirkan rasa gelisah itu dari benaknya, dan lebih berfokus pada tanggung jawab yang menyertai kehidupan barunya. Makima membuatnya sibuk, selalu memastikan bahwa ia dikelilingi oleh orang-orang, tenggelam dalam gaya hidup yang telah ia rancangkan untuknya. Namun, tidak peduli berapa banyak pesta yang ia hadiri, berapa banyak transaksi yang ia buat, atau berapa banyak wanita yang ia hibur, kekosongan itu tetap ada.
Kemudian, suatu malam, saat ia meninggalkan acara penting lainnya, ia melihatnya lagi—wanita dari pesta itu. Ia berdiri di luar tempat acara, bersandar di dinding dengan sebatang rokok di tangan. Saat pandangan mereka bertemu, ia menyeringai, seolah-olah wanita itu telah menunggunya.
"Hei," panggilnya, suaranya memecah kebisingan jalan yang ramai. "Denji, benar?"
Denji ragu sejenak sebelum mendekatinya. "Ya," jawabnya, jantungnya berdebar kencang di dadanya. "Kau... dari malam itu."
Ia mengangguk, menghisap rokoknya sebelum membuangnya ke tanah. "Kulihat tatapan matamu masih kosong," katanya, nadanya menggoda tetapi tidak kasar. "Apa kau sudah memikirkan apa yang kukatakan?"
Denji melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka sebelum menjawab. "Memang," akunya. "Tapi aku tidak mengerti apa maksudmu. Siapa kau?"
Wanita itu tersenyum, ada sedikit kesedihan di matanya. "Aku seseorang yang pernah berada di posisimu, Denji. Seseorang yang tahu bagaimana rasanya berada dalam cengkeraman Makima."
Napas Denji tercekat di tenggorokannya, dan dia melangkah mundur—tiba-tiba waspada. "Apa yang kau bicarakan?"
Wanita itu mendesah, ekspresinya melembut. "Dengar, aku di sini bukan untuk menakut-nakutimu. Aku hanya ingin membantu. Makima... dia tidak seperti yang terlihat. Kehidupan yang dia berikan padamu, itu bukan kebebasan. Itu kurungan."
Denji menggelengkan kepalanya, kata-katanya tidak begitu masuk akal. "Tidak, kau salah. Dia menyelamatkanku. Dia memberiku segalanya." Caranya yang begitu mulus dan otomatis membela Makima sebegitu rupa membuat hatinya sakit—sepertiya, seperti yang sudah-sudah, Denji masih ingin berpura-pura.
"Benarkah?" tanya wanita itu sambil mengangkat sebelah alis. "Atau dia mengambil semua yang membuatmu menjadi dirimu sendiri?"
Denji membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi kata-kata itu terhenti di bibirnya. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam apa yang dikatakan wanita itu, tetapi ia tidak ingin mempercayainya. Ia tak bisa. Makima adalah satu-satunya orang yang selalu ada dalam hidupnya, satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya.
"Aku tidak bisa melakukan ini," gumamnya, berbalik untuk pergi. "Aku harus pergi."
"Tunggu," wanita itu memanggilnya, suaranya dipenuhi dengan uaran desakan. "Pikirkan saja apa yang kukatakan. Jika kamu ingin bicara, aku ada di sekitar sini."
Denji tidak menoleh ke belakang saat ia berjalan pergi, tetapi kata-kata wanita itu terngiang di benaknya, bercampur dengan keraguannya sendiri yang semakin besar dan mengakar.
The Fall
Selama beberapa minggu berikutnya, Denji merasa semakin tertarik pada wanita itu. Ia mencarinya secara diam-diam, menemuinya di sudut-sudut tersembunyi kota yang tak terjangkau oleh tatapan Makima. Wanita itu menceritakan kisah hidupnya sendiri, bagaimana ia pernah seperti Denji—sangat menginginkan kekuasaan, pengakuan, dan sesuatu yang lebih dari sekadar tangan yang telah ia dapatkan. Namun, semakin ia melangkah maju, semakin ia kehilangan jati dirinya, hingga ia hanya menjadi seonggok cangkang kosong.
"Kau tidak harus berakhir sepertiku," katanya, suaranya dipenuhi campuran penyesalan dan harapan. "Kau masih bisa menemukan jalan keluar."
Namun, bagi Denji, jalan keluar itu tampak mustahil. Setiap kali ia mencoba menjauhkan diri dari Makima, ia mendapati dirinya kembali tertarik oleh pesona Makima, oleh janji-janjinya, oleh kehidupan yang telah diberikan Makima kepadanya. Tarikan Makima seperti tarian yang rumit, di mana ia tidak bisa membedakan apakah ia boneka atau dalang.
Suatu malam, setelah pertemuan lain dengan wanita itu, Denji kembali ke penthouse, pikirannya berpacu dengan emosi yang saling bertentangan. Saat melangkah masuk, ia melihat Makima, duduk di ruang tamu yang remang-remang, menunggunya.
"Ke mana saja kau?" tanyanya, nadanya tenang tetapi dengan nada tajam yang membuat bulu kuduknya merinding.
Denji ragu-ragu, mencoba mencari alasan, tetapi sorot matanya mengatakan bahwa ia sudah tahu. "Aku hanya... keluar," katanya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Makima berdiri, perlahan mempersempit jarak di antara mereka. "Kau menghabiskan banyak waktu di luar akhir-akhir ini," katanya, matanya menyipit. "Dengan seseorang."
Jantung Denji berdebar kencang di dadanya, kepanikan muncul dalam dirinya. "Aku... ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Bibir Makima melengkung membentuk senyum, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Benarkah? Kau lupa, Denji—aku tahu segalanya tentangmu. Tidak ada yang bisa kau sembunyikan dariku."
Suasana di ruangan itu menjadi tegang, Denji merasa terjebak, seperti binatang yang terpojok tanpa jalan keluar. "Aku hanya... butuh ruang," katanya, suaranya bergetar. "Perlu menjernihkan pikiranku."
Senyum Makima melebar, kemudian mengulurkan tangan, menempelkan tangannya di pipi Denji. "Kamu tidak butuh ruang, Denji. Kamu butuh aku. Aku satu-satunya yang bisa memberimu apa yang kamu inginkan."
Denji memejamkan mata, beban kata-kata Makima menekannya. Ia ingin memercayainya, ingin menyerah pada kehidupan yang ditawarkannya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak, suara kecil berbisik bahwa lingkaran setan ini akan terus melingkarkan api.
"Makima..." dia mulai, suaranya pecah. "Aku tidak tahu siapa aku lagi."
Cengkeraman Makima di pipi Denji mengencang, kukunya menancap di kulitnya. "Kamu milikku," bisiknya, nadanya posesif. "Dan kamu akan selalu menjadi milikku. Jangan lupakan itu."
Denji membuka matanya, menatap mata Makima, dan pada saat itu, ia melihat satu kebenaran. Ia bukan lagi manusia di matanya—ia adalah harta benda, mainan yang dapat ia kendalikan dan manipulasi. Dan kenyataan itu menghantamnya bagai pukulan di perut, membuatnya terengah-engah.
Namun, tidak ada jalan keluar. Ia telah membuat pilihannya sejak lama, dan kini, ia terperangkap dalam dunia ciptaannya sendiri, dunia di mana batas antara kesenangan dan kesakitan, cinta dan kendali, menjadi kabur tanpa bisa dikenali.
-The Aftermath-
Keesokan paginya, Denji terbangun di tempat tidur, Makima berbaring di sampingnya, lengannya melingkari dadanya dengan posesif. Peristiwa malam sebelumnya terasa samar-samar, tetapi rasa hampa yang tersisa tetap membekas di sana—tak bisa hilang.
Ia menatap langit-langit, pikirannya mati rasa, serasa realitas begitu memukulnya tepat di muka bahwa ini hanya mimpi buruk lainnya, hari di mana ia selalu bertarung dengan dirinya sendiri. Tidak ada jalan keluar—tidak tanpa kehilangan segalanya. Ia terjebak, seperti boneka yang diikat oleh tali Makima, menari mengikuti alunan lagu yang hanya bisa didengar oleh Makima.
Dan saat ia berbaring di sana, dengan kehangatan Makima di kulitnya dan beban kendali Makima yang membebaninya, Denji menyadari bahwa kehidupan yang pernah diimpikannya tidak lebih dari sangkar emas—ilusi indah yang menutupi kegelapan di dalamnya.
Pada akhirnya, ia tidak berbeda dari monster pesta yang berkeliaran di malam hari—didorong oleh hasrat, tersesat dalam mengejar kesenangan, dan perlahan tapi pasti, kehilangan dirinya dalam kehampaan.
Monster itu telah melahapnya, dan tidak ada jalan kembali.
.
.
.
/end/
