Air

Disclaimer: I wish mine. But it belongs to J.K Rowling


" Perpustakaan akan tutup lima belas menit lagi," suara Madam Pince menggema di seluruh lorong perpustakaan. Seorang anak berkacamata tebal kelas 3 terlihat buru buru menyimpan barang barangnya. Selain itu tak ada satu pun orang yang masih berada disana. Memang, perpustakaan bukan tempat yang cukup menyenangkan, kecuali untuk sebagian kecil orang.

Misalnya saja seorang gadis satu satunya yang masih berada disana. Kesenangannya terhadap buku dan pengetahuan terlalu besar. Sehingga ia mungkin gadis paling cerdas yang termuda didunia sihir. Rambut cokelat bergelombangnya berjatuhan karna ia menunduk sambil membaca buku yang tak terlalu tebal itu.

" Miss. Granger,"

Hermione mengangkat kepalanya secara refleks. "Oh, Madam Pince. Maaf maaf, aku akan segera pergi," katanya cepat melihat Madam Pince yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. " Tak apa. Kau bisa melanjutkan membacamu dulu. Aku akan beres beres barangku sementara kau baca," kata Madam Pince.

Hermione tersenyum, " Terima kasih Madam. Aku akan segera pergi setelah kau selesai dengan barang barangmu,"

Madam Pince tersenyum lalu pergi meninggalkan gadis itu. Hermione memijat tengkuknya dengan letih. Lehernya terasa sakit dan kaku karna ia menunduk dalam waktu yang lama. Hermione mengangkat buku itu lalu melanjutkan membaca lagi.


Aula besar dipenuhi siswa dan siswi untuk sarapan pagi. Terdengar suara dentingan garpu, sendok, dan piring yang saling beradu. Roti, susu, telur, dan berbagai jenis buah buahan seperti cery, blueberry, anggur jeli terhindang di keempat meja panjang Aula Besar. Murid murid terlihat berbincang bincang sambil menyantap makanan mereka dengan lapar. Namun tidak dengan Draco. Belum apa apa ia sudah kehilangan mood makannya.

"Cantik sekali," Blaise tak berhenti hentinya mengucapkan kata tersebut. Dan tentu saja Draco tak punya cukup stok kesabaran yang untuk itu. " Damn Zabini! Diamlah! Atau mau ku sumpal mulutmu dengan kuali ini?" Draco mengangkat kuali berisi susunya jengkel. Makanan di depan sama sekali tidak disentuhnya.

Blaise terkekeh, namun pandangannya masih tak lepas dari gadis di seberang meja mereka. Meja Ravenclaw. Salah satu gadis tercantik di Hogwarts. Penelope Clearwater. Gadis itu bermata bulat, berkulit putih, dan bibirnya mungil. Mirip dengan Cho chang, namun ia kebaratan dengan rambutnya yang pirang keemasan.

"Kurasa aku jatuh cinta," Blaise senyum senyum tak jelas, sambil memasukkan sepotong roti selai ke dalam mulutnya. " Kau menjijikan," Draco menyipitkan matanya tak percaya. " Kalau kau benar benar jatuh cinta padanya, Zabini, kau bukan lagi temanku,"

Blaise memasang wajah ngeri, " Kenapa?" Draco tak menjawab, malah menatapnya dengan ekspresi yang masih sama.

Blaise membuka mulutnya," Karna dia Darah Campuran?". Draco tak menyiakan. Ia hanya menaikan alis dan bahunya bersamaan. " Ya ampun, Malfoy! Kau benar benar benci Darah Campuran- maksudku, aku tau kau benci mereka, tapi aku tak tahu sebenci itu. Setidaknya jalan bersama mereka sebentar sebelum mencampakkan mereka kan tidak apa apa!"

" Kalaupun kau-" Draco menggelengkan kepalanya dengan ekspresi jijik, " – hanya sekali saja jalan dengan mereka. Baumu akan seperti mereka. Menijikan, membuat mual. Bau pengkhianat. Tidak seperti bau kita Darah Murni,"

Blaise dan Draco menatap ke depan dengan waktu lama. Sama sama sedang berpikir.

" Bagaimana dengan Darah Lumpur?"

Draco memalingkan kepalanya menatap sahabatnya, " Mereka lebih rendah daripada peri rumah, maupun binatang. Derajat mereka yang paling rendah daripada siapapun, apapun di dunia ini," Draco menyeringai, " Jadi, kalau kau sempat saja jatuh cinta pada mereka, kau pasti mati,"


Malfoy Mannor

" Crucio!"

Terdengar teriakan melengking, dan laki laki itu jatuh berlutut. Sakit sekali, hingga rasanya mau mati.

Ketika lututnya tak bisa menahannya lagi, ia jatuh dengan keras ke lantai sambil memeluk tubuhnya sendiri dengan begitu erat. Mengerang, berteriak hingga tenggorokan serasa mau pecah. Tapi ia tetap berteriak. Ia tak bisa berhenti berteriak. Seolah darahnya terbakar, tulangnya remuk, dan dagingnya melepuh. Tidak ada yang seperti itu sebenarnya. Namun itu terasa begitu nyata. Sakit, sakit hingga ia ta dapat memikirkan apapun selain-

Mati.

Ia terus berteriak dengan pita suaranya yang retak hingga beberapa menit berikutnya, semua itu hilang. Tidak sepenuhnya. Ia masih dapat merasakan kesakitan itu di dalam dirinya. Mantra itu seperti berdesis di dalam dagingnya.

" Memalukan, Draco," ayahnya mengangkat Draco, memaksanya untuk berdiri. Lututnya bergetar hebat ketika ia berdiri. Kau dengar itu, Draco? Memalukan.

" Aku siap ayah,"

" Crucio!"

Draco berteriak lagi. Berusaha mati matian untuk tetap berdiri, namun ia tak bisa. Ia jatuh dengan mudahnya seperti daun yang gugur.

Fuck, no. Jangan berteriak.

Draco memejamkan matanya erat, menggigit bibirnya hingga berdarah. Berjuang keras untuk tidak mengeluarkan suara.

Ribuan belati menusuk tubuhnya sampai ke daging daging. Ribuan jarum menusuknya seolah ia bantal raksasa. Itu tidak nyata, sama sekali tidak. Ia mengeluarkan tangis kecil menahan nyeri, berusaha untuk tidak bersuara. Mungkin aku akan pingsan.

Kumohon biarkan aku pingsan.

Draco mulai menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Ia harus bisa menahannya.

Lalu menghilang, rasa sakit mulai memudar.

Draco membuka matanya perlahan, dengan nafas memburu. Ia melihat ayahnya dengan tenang menatapnya. Kemudian tangan ayahnya terangkat, tongkat itu mengacung padanya lagi.

Aku pasti mati. Atau gila. Atau gila kemudian mati.

Untuk beberapa detik, Draco yakin ayahnya akan melancarkan- Crucio lagi. Namun ayahnya menurunkan tongkatnya, menatap Draco tanpa ekspresi. Ia mengurungkan niatnya.

" Latihan hari ini selesai. Kembali lagi minggu depan, Draco," ayahnya melangkah keluar dari ruangan itu, tanpa menoleh lagi. Ada suatu perasaan lega dalam diri Draco. Lega? Kau gila, Draco. Kau tak boleh lega. Ini adalah kewajibanmu. Latihan ini suatu saat akan berguna untukmu.

Draco dapat mendengar ayahnya memanggil peri rumah, Dobby. Beberapa detik kemudian Dobby masuk.

" Tuan, anda baik baik saja?" terdengar nada sedih dari ucapannya ketika ia berlutut di depan Draco. Draco tidak menjawabnya. Ia terlalu lelah untuk membuka mulutnya sekalipun.

" Tunggu sebentar. Dobby akan segera kembali membawa obat untuk Tuan," katanya lalu bergegas pergi, meninggalkan Draco disana yang memejamkan matanya.

Air matanya mengalir. Ia mengingat seseorang yang selalu menangis untuknya, disaat seperti ini.


Chapter 3! Wow 3 chapter dalam 3 hari! =3

Ataachan Rey619: Sorry chapter 2 tidak memuaskan :( Gimana dengan chapter 3? :)

Fidya Raina Malfoy: Nanti juga tau :p kalo dibilang disini kan gak seru hahahaa

Thank you for reading! Sorry belum ada scene Dramionenya hahaha

Aku usahain chapter depan uda ada konfliknya =D

Review!