Air
Chapter 11
Disclaimer : Jk. Rowlings
Suara burung bercuit dan dedaunan yang disapu angin menemani seorang pria pirang berpakaian rapi serba hitam ketika ia berjalan menyusuri lorong dinding rumput hijau. Cahaya bulan menerangi jalannya menuju sebuah Manor megah yang serba hitam pula. Ia merapalkan mantra untuk membuka pintu dan masuk kedalamnya. Ia merapalkan mantra silencio di sepatunya dan berjalan mengelilingi rumahnya. Draco melewati beberapa ruangan dan mendapati ruangan itu kosong. Ketika ia berjalan kearah ujung dekat dapur ia menemukan pintu ruang melukis terbuka sedikit. Dengan perlahan ia menyelinap masuk kedalamnya.
Di dalam ruangan itu ada cahaya cahaya lilin yang menyala redup dan dengan warna dinding yang gelap, membuat ruangan itu suram. Draco mendengar ada suara berbisik pelan ketika ia melangkah menuju ke arah tangga ruang bawah tanah.
Tiba tiba muncul sesosok naik dari tangga keatas membuat laki laki slytherin itu tersontak. Ia menahan nafasnya dengan perasaan ngeri ketika mengenali wanita itu.
" Oh sayangku, Draco.." wanita itu melompat kecil kegirangan sambil memeluk lelaki itu sekejap. Draco mencium bau anyir dan tengik seperti besi yang kuat dalam sedetik pelukan itu. Dari balik punggungnya muncul Lucius yang tangannya berlumuran darah.
" Ah, aku ingin tinggal dan berbincang bincang dengan keponakan kesayanganku, tapi sayang sekali Dark Lord sudah memanggil," Bellatrix menunjukkan wajahnya yang kecewa dengan berlebihan ketika ia menurunkan mulutnya. Ekpresinya berubah cepat menjadi riang ketika ia melompat lompat pergi dan menghilang dibalik pintu. Meninggalkan kedua lelaki pirang berdarah murni itu berdiri dan saling menatap. " Ayah,"
Lucius merapalkan mantra pembersih ke arah tangannya dengan tenang," Aku tak ingat memanggilmu, Draco,".
" Kukira ini sudah seminggu," draco menjawabnya dan ayahnya mengangkat kepalanya menatapnya tajam, " - tapi mungkin aku salah hitung, " draco melanjutkan dengan datar. Ayahnya menatapnya sejenak sebelum berjalan perlahan meraih tongkatnya di dekat perapian. " Ketidak-patuhanmu perlu diperbaiki, Draco. Kita tidak membutuhkannya lagi. Dalam waktu dekat, jika kau masih memilikinya, aku tak yakin Dark Lord masih akan mempertahankan kita,"
Draco tidak berbalik untuk menatap ayahnya. Matanya masih tertuju kearah tangga menuju penjara bawah tanah. " Ya. Ayah," ia menelan ludahnya sebelum melanjutkan, " bolehkah aku bertanya apa yang ada di bawah sana?"
Beberapa detik kekosongan yang ditinggalkan ayahnya membuatnya gelisah. Ia membalikkan badannya, dan mendapati ayahnya bersender di samping perapiran sambil menatapnya. " Baiklah jika kau ingin tau. Aku menjauhkanmu untuk sementara, karna aku rasa kau belum siap," ayahnya berjalan kembali kearahnya. " Namun kurasa kau berhak tau," ia melewati Draco dan berjalan menuruni tangga. Draco mengikutinya dari belakang.
Ketika ia menuruni tangga itu, bau menyengat menusuk hidungnya. Ia menebak itu bau darah lagi, dan beberapa cairan lainnya seperti keringat, kencing dan muntah. Bercampur dengan bau lembab dari dinding basement, membuatnya mual. Draco mendengar suara cairan menetes netes, namun ia tak dapat melihat apa apa. Dibawah sana gelap, tidak ada setitik cahaya pun. Hingga ayahnya merapalkan mantra lumos di tongkatnya.
Ada seseorang di ujung gelap sana, dengan darah mengenangi lantai yang ia duduki. Ia dirantai di kiri dan kanan pergelangan tangannya, serta kakinya. Ketika mereka mendekat, keadaannya tampak lebih mengenaskan. Ada darah segar mengalir dari segala lubang ditubuhnya, rambut hitam panjangnya kusut dan lengket menutupi wajahnya. Kepalanya tertunduk, sepertinya ia kehilangan kesadaran. Lucius merapalkan mantra dan kepalanya tersentak terangkat seketika dan matanya terbuka dengan horor.
Draco membatu. Otot ototnya terkunci di tempat seperti bongkahan es, seolah seseorang merapalkan mantra petrified. Ia merasakan ada kilatan cahaya di kepalanya dan melewati pelupuk matanya. Darah meraung di telinganya.
Ia merasakan sebutir keringat tebal menetes di pelipis, " A-apakah dia..."
Draco mengelapkan tangannya, dan jantung berdegup sangat kencang di telapak tangannya hingga rasanya menyakitkan. Dan gelombang kemarahan membakar tubuhnya. Suara ayahnya bergema di dinding batu penjara itu.
" Ya Draco, ini mudblood jalang itu,"
Hermione mengikuti seekor burung kertas oranye yang disihir sang slytherin dari daun, ke arah timur hutan. Tak lama ia bertemu dengan pemiliknya sedang berjongkok di samping sepotong batang pohon yang tergeletak di tanah. Di tengah batang kayu itu terdapat lubang kecil sekitar 10centimeter. Draco menunjuk ke arah lubang itu dengan tongkat sihirnya. Hermione memeriksa isi dalamnya, ternyata terdapat sisa cangkang telur burung Jobberknoll. Mereka pun mengumpulkan sisa cangkang itu. Hermione membawanya dan membaginya ke dalam dua kantung kosong, sebelum melemparkan salah satunya ke pria itu.
" Buatlah menjadi pupuk,"
Draco menggerutu sambil mereka berjalan kembali ke Jade Vine mereka. Hari ini giliran pria pirang itu bertugas, dan Hermione hanya mengawasinya. Semua berjalan lancar dan normal kecuali,
Sebuah luka segar di pergelangan tangan Draco menampakkan diri ketika ia melipat kerah lengan bajunya saat ia merapalkan aquamenti. Hermione yakin, sangat yakin luka itu tidak ada ketika dua hari yang lalu ia merapalkan mantra yang sama. Ia bertanya tanya dimana dan bagaimana, ia mendapatkan luka itu. Setaunya, pria itu tidak latihan Quidditch dua hari ini. Hermione belum sempat memperhatikannya lebih seksama, si slytherin sudah mengembalikan kerah lengan bajunya seperti semula. Ia berjalan menuju ke tempatnya di bawah pohon seperti biasa. Begitu juga Hermione. Dan sore itu mereka duduk dalam diam. Gadis itu cukup aneh melihat perilaku Draco hari ini, lelaki itu hampir tidak mencelanya. Dan itu sesuatu yang baru. Bahkan bisa dibilang, laki laki itu tidak banyak berbicara hari ini. Suasananya sedikit suram, namun Hermione tidak mengeluh. Keadaan muram itu lebih tenang, dan Hermione menyukainya. Ia hanya... sedikit penasaran.
Hari Jumat terlewati dengan normal. Hermione mengikuti jadwal kelasnya dengan baik. Siangnya ia makan bersama sahabatnya. Setelah itu ia ke Hutan Terlarang merawat Jade Vine. Tentu saja Draco tidak ada disana. Dan ketika hari mulai gelap ia kembali ke kastil, mandi dan berganti pakaian. Setelah makan malam, ia duduk di perpustakaan sampai ia menjadi murid terakhir disana. Itu seperti suatu kewajiban. Rasanya aneh jika ia keluar dan melihat ada murid lain masih duduk dan membaca. Itu membuatnya merasa 'tertinggal'. Setelahnya ia kembali ke Ruang Gryffindor. Mengobrol dan bermain bersama teman temannya.
Lalu datang hari Sabtu. Semuanya berjalan seperti semalam, kecuali di hari itu ia bertemu dengan si Slytherin. Dengan begitu saja moodnya tentu langsung menurun drastis. Hermione membenci hari hari ia menghirup udara yang sama dengannya, namun ia juga harus memastikan Jade Vine tumbuh dengan sempurna. Ia mengincar nilai O dan ia harus mendapatnya. Sore itu kedua belah pihak tidak saling menyerang, terima kasih Salazar. Hermione masih merasa ada yang aneh dengan suasana hatinya, walaupun hari ini Draco sudah mulai kembali mencercanya. Namun Hermione merasa ada beberapa saat, lelaki itu termenung. Matanya kosong dan terbang jauh. Sebelum ia tersentak kembali ke kenyataan dan mengumpatkan hinaan baru untuk gadis berambut liar itu. Dan perasaan Hermione melompat dari penasaran menjadi aku tidak-fucking-peduli. Laki laki itu terus membuat Hermione mengingat alasan mengapa Hermione membencinya, dan mengapa mereka bermusuhan. Walaupun begitu, ketika hari telah usai, Hermione mengingatkannya untuk datang kembali besok untuk mempelajari Hermione menaburkan pupuk baru yang mereka buat. Draco memutar bola matanya sebelum ia melesat dengan cepat ke langit.
