Air

Chapter 12

Disclaimer : Jk. Rowlings


Hari hari sejak ia bertemu dengan wanita itu seperti siksaan batin. Ia tidak bisa tidur. Ketika Draco menutup matanya ia melihat wajahnya, dan ketika ia membukanya ia memikirkan cara membunuhnya. Pada hari kamis malam ia tertidur secara tidak sengaja, dan yang ia mimpikan adalah wanita itu. Ia tersentak bangun dalam keringat dingin dan tubuh yang panas. Kemudian ia menghabiskan malam hingga pagi terlempar kembali ke masa lalu. Bahkan selama pelajaran di Hogwarts, ia tidak bisa fokus. Pikirannya melayang layang ke Malfoy Manor. Akar mandrake terlempar ketika Draco memotongnya dan ia tak sengaja melukai jarinya. Ia begitu sangat ingin bertemu dengan wanita itu, jika bukan karna ayahnya melarangnya datang sebelum dipanggil, ia akan datang setiap harinya. Dan malam ini, ayahnya memanggilnya. Jantung berdegup kencang ketika gelang di tangannya panas dan menusuk.

Draco bisa melihatnya dari cahaya diujung tongkat sihirnya.

Pembunuh ibunya.

Ibu

Darahnya yang sebelumnya ia lihat masih berada disana, namun sudah lumayan mengering. Draco bisa menebak siksaan yang mereka lakukan hari ini tidak berhubungan dengan raganya. Kemungkinan besar mengarah ke rohani, dan kepalanya. Keadaannya tidak terlihat lebih baik, masih kotor dan bau tengik. Namun kali ini ketika Draco melangkah mendekat, wanita itu mengangkat kepalanya perlahan. Dan darah laki laki itu berdesir ketika menatap wajahnya.

Wanita itu menatap balik Draco dari sela sela rambutnya yang menempel diwajahnya.

Mata ini yang menatap ibu ketika ia merapalkan mantra pembunuh.

Draco ingin sekali membunuhnya. Di dalam kepalanya mencari cari mantra yang paling menyakitkan untuk penyihir didepannya.

Jika tidak karena dia. Narcissa Malfoy masih hidup. Satu satunya yang membuatku tenang di rumah ini.

" Mengapa kau membunuh ibuku, Mrs.Brooks?" tanya Draco terdengar sedikit bergetar.

Ibu bahkan tidak tau dia dibenci dan akan diserang. Mungkin ibu sedang tersenyum dengan tenang ketika, mudblood ini menghentikan jantungnya.

Wanita itu menatap Draco beberapa saat, sebelum kedua ujung bibirnya tertarik keatas. Bibirnya terbuka lebar memperlihatkan isi mulutnya yang penuh darah, dan giginya yang rontok rontok. Ia tertawa. Sebelum beberapa saat kepalanya tertunduk untuk terbatuk batuk lalu memuntahkan darah di lantai batu. Namun pria didepannya masih menatapnya dingin. Ia tak peduli jika wanita ini memuntahkan isi perutnya bahkan.

Draco menggepalkan tangannya, " Mengapa? Mengapa kau membunuhnya?" ulang Draco ketika batuk wanita itu sudah terhenti. Agatha meludahkan darahnya kesamping dan kembali mendongkakkan wajahnya ke arah Draco. Ia menatap lelaki itu dengan mata yang berani. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Dan tongkat Draco teracung di depan wajahnya. " Jawab, mudblood. Atau kulubangi kepalamu,"

Wanita itu menggeleng geleng sambil kembali tertawa. Tawanya tidak terdengar seperti tawa gila milik Bellatrix. Lebih ke tertawa menyepelekan. Seperti lelaki yang berdiri di depannya tidak bisa melakukan apa pun kepadanya.

" Jika kau pikir aku tidak bisa meledakkan kepala disini sekarang juga, kau salah, mudblood. Aku sama kejamnya dengan pelahap maut yang menyiksamu, tadi,"

Penyihir di depannya berhenti tertawa namun tersenyum lebar menampakkan set gigi giginya yang berantakan. Ia menatap Draco dan tidak bergeming. Draco bersumpah, ia tidak melihat sedikitpun ketakukan di mata coklatnya. " Lakukan lah, kirim aku bertemu dengan ibumu,"

" Oh, aku takkan mengirimmu ke surga,"

" Apa yang membuatmu berpikir ibumu akan berada disana, nak? " wanita itu menyeringai, " Kirim aku ke neraka jahanam paling dalam dan aku akan berjumpa dengannya disana,"

Draco menggertakkan giginya, " Dia adalah wanita yang baik, dia takkan berada disana,"

Draco tidak percaya kepada neraka dan surga. Ia tak percaya kepada kehidupan kembali, ataupun karma. Karma terlalu mudah, sebuah teori untuk menenangkan hati manusia. Agar dunia menjadi lebih damai. Damai? Persetan dengan damai. Apakah orang yang berbuat keji pantas mendapatkan dunia yang damai? Mereka pantas mendapatkan hal yang setara dengan yang mereka lakukan atau lebih buruk. Karma takkan berlaku kecuali kita yang bertindak. Mata untuk mata. Nyawa untuk nyawa.

" Pelahap maut busuk adalah wanita yang baik? " ia tertawa cengengesan. Ia memberi jeda beberapa saat sebelum melanjutkan, " Namun itu bukan alasan aku membunuhnya, " ia menatap Draco dengan tajam. Bagian putih dari bola matanya tampak bercak darah yang sepertinya tidak akan hilang.

Draco merasakan isi dalam perutnya berputar. Ada sesuatu di kerongkongannya yang mendesak. " Kesempatan terakhir mudblood. Jawab pertanyaanku," tongkat Draco menyentuh keningnya ketika wanita itu sengaja memajukan kepalanya. Ia memejamkan matanya sambil tersenyum. Ujung tongkat Draco menyala hijau.

" Crucio,"

Wanita itu berteriak keras, membanting bantingkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Gerakannya sangat liar tak terkendali seperti hewan buas. Beberapa detik dalam mantra itu, suaranya pecah, dan yang tersisa jeritan sunyi dengan sedikit serak suara yang timbul tenggelam. Mulutnya menganga lebar dan matanya terpejam dengan kuat. Ia menghentak hentakkan kepalanya ke depan, seolah olah berharap kepalanya bisa lepas dari lehernya. Draco membiarkan mantra itu bekerja selama beberapa menit, menonton wanita itu menarik narik tangannya yang terborgol dengan kuat hingga tulangnya terdengar krek, kemudian sesuatu terpikirkan olehnya.

Aku tak bisa membiarkannya kehilangan akal sehatnya. Belum saatnya.

Cahaya hijau dari tongkat itu redup mendadak dan Draco berbalik melangkahkan kakinya dengan cepat membuka pagar dan menaiki tangga basement. Ketika ia sampai keatas, gumpalan yang mendesak di tenggorokannya melesat keluar dengan cepat. Ia membungkukkan badannya dan muntah.

Fuck

Ia tak tau apakah karna perpaduan bau didalam bawah tanah itu, ataukah karna ia baru pertama kali menyaksikan seorang dalam pengaruh Crucio dari tongkatnya sendiri. Sihirnya. Ia tak pernah menyangka efeknya akan seperti itu.

Tiba tiba terdengar suara pop disebelahnya.

" Master Draco, apakah tuan baik baik saja??" Dobby terdengar khawatir, walaupun Draco tidak melihat wajahnya ia yakin wajah peri rumah itu penuh dengan guratan guratan sedih. Menyebalkan.

" Pergi." ucap Draco dingin. Dobby terdiam sedetik, " T-tapi master Lucius memanggil tuan ke ruangan untuk berlatih," kata Dobby dengan sedikit ketakutan.

Draco mengusap bibirnya. Dengan tongkat sihirnya ia membersihkan kekacauan di bajunya dan di lantai. Ia menatap Dobby sinis, " Ayah tak perlu tau kejadian barusan," Dobby mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya. Draco kemudian menegakkan badannya dan berjalan pergi.