Air

Chapter 14

Disclaimer : Jk. Rowlings


Hermione masih terjongkok di tempatnya bahkan ketika cahaya berkilauan di Jade Vine telah redup lima menit yang lalu.

Kau gantikan aku hari ini, aku sibuk. Besok gantian aku.

Ucap lelaki itu dingin sebelum dia melangkah pergi masuk kedalam kantor Professor Snape. Lelaki brengsek itu bahkan tidak memberikan dia kesempatan menolak dan mempertimbangkannya. Seperti Hermione harus menjalankan apapun perintahnya saja. Hermione menggerutu dan memakinya sepanjang perjalanan menuju ke Jade Vine, tapi apa yang bisa ia lakukan? Menunggunya keluar dari ruangan Professor dan berdebat dengannya? Seperti itu akan menghasilkan keputusan yang lebih baik saja. Kalau memang lelaki itu sibuk, Hermione khawatir memaksanya merawat Jade Vine akan berpengaruh kepada nasib Jade Vine itu sendiri.

Namun apa yang sebenarnya lelaki itu sibukan?

Di hari biasanya, Hermione tidak akan memerdulikannya. Namun goresan di lehernya dan berita di koran, membuatnya tidak tenang.

Apakah ia harus mengecek jadwal pelajaran Draco Malfoy dan mencari tau apakah ia benar benar sibuk?

Hermione merasa muak dengan pemikiran dirinya sendiri. Seolah olah ia terobsesi dengan lelaki menjijikkan itu. Jika benar ada yang tidak beres dengannya, bagus, artinya ia tidak berdelusi. Namun jika tidak, ia akan terlihat seperti orang sinting yang menguntitnya. Hermione tidak mengiginkan itu. Terlebih kepada Draco-fvcking-Malfoy.

Hermione berdiri mendadak dan kakinya terasa kesemutan.

Shit. Aku harus mengurangi menghabiskan waktu di perpustakan dan lebih banyak dilapangan.


Malam ini penjara bawah tanah lebih ramai dari biasanya. Greyback dan Mulciber menangkap dua pria lainnya yang berada di toko pakaian ketika pembunuhan itu terjadi. Yang pertama lelaki berambut hitam terlihat pada usia pertengahan dua puluh tahun terjatuh seperti karung beras ketika manusia serigala itu melemparkannya ke lantai beton. Sedangkan yang satunya terlihat jelas lebih penting karena ketika ia memasuki sel dan jarak pandangnya terlihat oleh Olivia Brooks, wanita itu terlihat histeris dan menjerit.

" Travis! Oh Tuhan, kumohon kumohon lepaskan dia! "

Alis Draco kusut di dahinya. Akhirnya wanita ini memperlihatkan dirinya. Dan itu terjadi bukan ketika ia dibuat merenggang nyawa, namun ketika melihat orang dicintainya tersiksa. Cinta adalah yang membuat manusia lemah. Sesuatu yang sering ayahnya katakan.

Sebuah kalimat yang membuatnya bingung, apakah ayahnya mencintai ibunya. Jika ya, itu menjawab kegilaan ayahnya sekarang. Ia dulunya adalah pria penakut yang selalu membuat malu keluarganya. Draco menyadarinya, tentu saja karena semua orang menyadarinya. Bahkan Dark Lord mulai mempertimbangkan kedudukan mereka sebagai pengikutnya. Peringkat mereka merosot dengan cepat ketika ayahnya terus terusan mengecewakan Dark Lord. Draco sangat malu dengannya. Ia mengerti alasannya, karena ayahnya takut sesuatu terjadi kepada keluarganya; namun tetap saja ia merasa egonya tergores dan direndahkan ketika ayahnya kalah. Namun kini ketika ibunya tiada, ayahnya seperti pribadi yang baru. Statusnya di Death Eater perlahan merangkak naik, dan Dark Lord mulai memberikan tugas tugas penting untuknya. Bagus karena kini mereka tidak diremehkan lagi. Semakin jarang gosip yang berisi cemooh kepada mereka dari kalangan pengikut Dark Lord. Artinya semakin disiplin, semakin banyak latihan yang berat, dan luka yang takkan bisa hilang.

" Kumohon ia tidak tau apa apa! "

Suara tangisan wanita itu terdengar tidak jelas dan serak dengan pita suaranya yang retak. Ia memandangi lelaki dengan tangan terborgol dibelakang dan dengan usaha sia sia mendekatinya. Mr. Brooks tertunduk lemas dengan wajah berantakan dan penuh darah. Ia kesulitan bernafas, apalagi untuk berbicara.

Tepat dibelakang berdiri ayahnya dan Bellatrix yang mengacungkan tongkat sihir ke kepala lelaki itu. Greyback, Mulciber dan beberapa pelahap maut lainnya menonton disamping. Draco berdiri agak jauh di belakang dan merapatkan punggungnya ke dinding. Ia cukup hanya melihat dari sela sela badan mereka. Melihatnya langsung membuatnya mual, dan ia tidak mau muntah di depan mereka.

" Mudblood, suamimu mengaku ia yang membunuh Narcissa. Jadi ia kuseret kemari untuk mencocokkan pernyataan kalian," suara Lucius tenang dan kontras dengan tangisan Olivia yang panik. " Tidak.. tidak aku yang melakukannya. Bunuh aku, jangan dia! Kumohon ia tidak tau apa apa ! "

Bellatrix menjambak rambut gondrong beruban itu kebelakang dan menodongkan tongkat sihir ke lehernya, " Ayoo lovebird... siapa diantara kalian yang melakukannya? Dan berikan aku alasan jelas mengapa?" Wanita itu tersenyum sadis. " Atau, atau... mari kita bermain permainan,"

Permainan. Draco tau apa artinya itu.

" Berikan aku alasan kau membunuhnya, atau aku akan menyabut satu persatu anggota tubuh lelaki tampan ini,"

" A-aku melakukannya karna kalian Death Eater, dan aku adalah Darah Lumpur! Kalian selalu memburu kaum kami! Dan aku hanya ingin membalas dendam- kumohon.. kumohon tolong lepaskan dia !" Wanita itu terisak dan ingus kotornya bercampur dengan darah dan air mata. " Bohong!!!!" Bellatrix mengayunkan tongkatnya dengan cepat dan gumpalan daging yang sebelumnya adalah telinga jatuh kebawah lantai dengan cepat.

Draco merasa perutnya berputar, namun ia berusaha memperlihatkan ekspresi datar.

Wanita itu berteriak lagi. Bellatrix berjalan mengelilingi perlahan tubuh Mr.Brooks yang tak berdaya itu. Dari asumsi Draco, ia terkena kutukan Imperius, sehingga ia tidak bergerak walaupun ia masih sadar. Ia bahkan tidak berteriak ketika bagian kiri kepalanya disayat dan meninggalkan lubang menganga dengan darah bercucuran.

Bellatrix berhenti di sebelah kanan pria itu dan mengacungkan tongkatnya di telinga kanannya. Dengan satu ayunan telinga itu juga lepas dari asalnya, diiringi teriakan histeris dan permohonan ampun dari wanita di depannya. " Aku melakukan hal yang sangat baik! Aku membantu si tampan ini agar ia tidak mendengar suara berisikmu itu! Ah betapa mulianya diriku!" Tawa bellatrix menggema di basement. Greyback dan beberapa pelahap maut lain ikut cekikikan di samping. Lucius hanya memasang wajah dingin sambil memegangi tongkatnya.

" Kumohon..." isak wanita itu menutup matanya dengan erat seolah olah berharap gambar didepannya bisa hilang, " Aku bukan anggota Order, aku tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku tak mengenal Dumbledore, maupun Harry Potter..." suaranya terdengar bersungguh sungguh.

Draco melipat tangannya di depan dadanya dan berpikir. Banyak cara yang lebih efektif untuk mencari tau kebenarannya, mengapa cara ini yang dilakukan? Jika memang iya mereka adalah anggota Orde, kemungkinan besar mereka juga telah bersumpah atas nyawa mereka tidak akan membocorkannya.

Pikiran Draco goyah ketika tiba tiba tantenya menyayat lengan kiri pria itu dibawah bahunya dan tangan itu terjatuh ditanah.

Draco memejamkan matanya refleks dan dengan cepat membukanya kembali. Dear Merlin. Kuku kukunya menancap di daging telapak tangannya, dan ia mengigit lidah dalam mulutnya hingga terasa sakit. Ia tak boleh terlihat lemah di depan para pelahap maut ini. Cepatlah berakhir..

Wanita itu teriak dengan sangat kuat hingga suaranya hilang. Kini mulutnya terbuka dan tak ada suara apapun yang keluar, wajahnya terlihat sangat menyedihkan dan kesakitan. Seperti seseorang baru menggenggam tenggorokannya dan menyabutnya dari lehernya. Sesuatu yang aneh Draco rasakan di hatinya. Tidak nyaman.

Tantenya kemudian mulai mengelilingi pria itu lagi, kemudian terdengar suara khas Lucius di belakangnya. " Aku punya ide lebih bagus, Bella,"

Bellatrix terlihat semangat dan melompat ke samping. Tangannya mempersilahkan pria berambut pirang panjang itu untuk maju kedepan. Olivia menatap Lucius dengan mata penuh air mata dan bercak darah, Lucius berbisik beberapa kata dan Mr.Brooks tergantung terbalik di udara seperti ada tali tak telihat yang mengikat kakinya. Wajahnya menghadap istrinya yang terduduk lemas di lantai beton. Bellatrix tertawa terbahak bahak, dan Olivia membuka mulutnya besar besar berusaha meneriakkan sesuatu dengan wajah penuh kengerian. Ekspresinya sangat ekstrim saat ia menatap wajah suaminya. Draco mengernyitkan dahinya bingung. Ayahnya kemudian membalikkan badan dan berjalan meninggalkan mereka. Saat itu Draco menyadarinya.

Tubuh Travis Brooks membusuk dengan cepat di depan wajah istrinya.

Draco memalingkan kepalanya dan mengikuti ayahnya dari belakang berjalan keluar sel. Ia kesulitan bernafas.

Ketika mereka keluar dari sel, Draco mengikuti ayahnya dari belakang. Ia menarik nafas dan berusaha menghembuskannya dengan normal. Di pikirannya gambar kejadian barusan ia rangkai dalam foto album dan ia lemparkan dalam api unggun di dalam hutan. Hutan itu tenang. Tidak ada apa apa. Hanya ada kicau burung yang merdu. Tak ada yang lain. Tenang. Tenang.

Mereka sampai dikantor ayahnya, dan ketika Draco sampai di ambang pintu, ia berhenti. Ayahnya berdiri di samping jendela dan melihat keluar jendela. Di tangan kanannya sudah ada segelas anggur yang Draco tebak ia ambil dari meja kerjanya.

" Ayah, kurasa Olivia mengatakan yang sejujurnya,"

Ayahnya menatapnya dingin, kemudian membuka mulutnya, " Lalu? "

Draco terdiam.

" Kalau aku ingin mengetahui yang sesungguhnya, aku tinggal mengorek ingatan mereka. Aku tidak peduli, Draco. Siapa yang membunuh, apa alasannya," ayahnya meneguk cairan itu dan melanjutkan, " Mereka semua akan mati. Satu persatu. Semuanya. Dari keluarganya, staffnya, pengunjung di tokonya. Mereka akan mati dengan cara paling mengerikan. Hingga sampai sebelum mereka mati, mereka bersyukur untuk mati karena yang mereka ingat hanya betapa sakitnya jika tidak,"

Bulu kuduk Draco merinding. Ia hanya dapat melihat kebencian di kedua bola mata abu ayahnya. Dirinya sendiri berdiri mematung dengan setelan jas hitam rapi bersih mahal. Dan dibawah mereka ada orang yang hampir telanjang, dengan anggota tubuh yang berantakan membusuk dan penuh belatung.