"Hadiah... untuk acara apa?" Naruto bertanya dengan bingung, alisnya bertaut saat menatap adiknya.

Ravel, yang berdiri di hadapannya, menghela napas pelan sebelum menjawab dengan lembut,

"Onii-sama, apakah Onii-sama benar-benar lupa? Perayaan Festival Lucifer akan segera tiba. Semua bangsawan sudah mempersiapkan hadiah untuk orang-orang terdekat mereka. Rias Onee-sama pasti menantikannya."

Naruto terdiam sesaat, mengedipkan mata seolah mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan adiknya.

"Tunggu... hadiah untuk Rias?" suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya. "Apakah itu benar-benar diperlukan? Maksudku, hubungan kami... sangat rapuh."

Ravel tersenyum lembut, langkahnya mendekat. "Justru karena itu, Onii-sama. Bukankah ini kesempatan yang baik untuk membuat hubungan kalian lebih erat?" Nada suaranya penuh keyakinan, matanya berkilau dengan harapan.

Keringat dingin perlahan mengalir di dahi Naruto. Ia merasa terpojok. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan salah satu perayaan terbesar di Dunia Bawah? Langit malam di Dunia Bawah yang biasanya kelam, kini lebih cerah dari biasanya, dihiasi lentera-lentera magis yang melayang di udara seperti bintang-bintang. Jalan-jalan menuju Istana Phenex juga dipenuhi wangi manis bunga yang bermekaran, menghadirkan keindahan yang jarang dia perhatikan.

"Festival Lucifer..." Naruto bergumam, mengusap rambut pirangnya dengan gelisah. "Dan aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuberikan untuk Rias..."

Tangannya, yang biasanya mantap dan penuh percaya diri, kini bergerak tak teratur menyisir rambutnya. Rambut pirangnya yang biasanya rapi kini berantakan karena kecemasannya. Detak jantungnya terasa lebih cepat. Seolah seluruh beban dunia tiba-tiba jatuh ke pundaknya.

Ravel, yang melihat kakaknya begitu kebingungan, tersenyum penuh simpati.

"Onii-sama, tidak perlu khawatir. Aku yakin Rias Onee-sama akan menghargai apa pun yang Onii-sama berikan, asal itu dari hati." Dia berhenti sejenak, memiringkan kepalanya, matanya bersinar cerdas.

"Tapi, jika Onii-sama benar-benar bingung... kenapa tidak meminta saran dari teman-temannya? Mereka pasti lebih mengenal Rias Onee-sama dan bisa membantu."

Naruto termenung sejenak, matanya sedikit menyipit. "Teman-temannya, ya?" Dia mengangguk pelan, wajahnya mulai menampakkan tanda-tanda keputusan.

"Hm, mungkin itu bukan ide yang buruk... Aku bisa mulai dari sana."

Ravel tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. "Aku akan membantumu, Onii-sama! Kita bisa menemukan sesuatu yang sempurna bersama-sama."

Naruto menghela napas panjang, seolah menerima nasibnya. "Baiklah, tak ada pilihan lain... Aku akan mencobanya."

Kata-kata itu membuat Ravel tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Bagi Naruto, ini bukan hanya soal hadiah, tapi tentang mencoba untuk memahami dan menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Rias--meski pertunangan mereka diatur oleh keluarga, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membangun sesuatu yang lebih berarti.

--

Setelah mendapatkan sedikit bantuan dari Ravel, Naruto memulai langkah pertamanya yaitu menemui Kiba Yuuto, ksatria tampan yang terkenal sebagai pria berbakat dan setia dalam Peerage Rias.

"Kau mulai terbiasa, Naruto-sama," kata Kiba sambil tersenyum, menghindari tebasan cepat dari Naruto.

Pedang beradu dengan suara dentingan logam yang tajam. Naruto dan Kiba bergerak dengan cepat di halaman belakang, masing-masing mengayunkan pedang mereka dengan keahlian yang mumpuni. Kiba, dengan gerakan yang halus dan elegan, mencoba menekan Naruto, sementara Naruto menggunakan kekuatannya untuk mengimbangi kecepatan Kiba.

"Masih jauh dari kata sempurna," jawab Naruto, napasnya terengah, namun dengan semangat yang tak surut. Keduanya terus bertukar serangan dengan intensitas yang meningkat. Suara dentingan pedang yang beradu menggema, namun di balik itu, ada pikiran lain yang mengganggu Naruto.

Saat Kiba melancarkan serangan lain, Naruto berhasil menangkisnya, namun alih-alih melanjutkan serangan balasan, dia mengambil jeda, menatap Kiba sejenak.

"Kiba...," panggil Naruto, suaranya sedikit lebih serius dari biasanya. Kiba mengangkat alis, namun tetap menjaga sikap waspada. "Aku butuh saran."

Kiba menurunkan pedangnya sedikit, cukup untuk menandakan dia mendengarkan namun masih siap beraksi. "Saran? Tentang apa?"

Naruto mengayunkan pedangnya lagi, mencoba mendorong Kiba mundur, namun kali ini gerakannya lebih lambat, seolah pikirannya terpecah.

"Festival Lucifer sebentar lagi, dan... aku belum menyiapkan apa pun untuk Rias," ungkap Naruto akhirnya, di sela-sela napasnya yang berat.

Kiba menghindar dengan elegan, melakukan satu langkah mundur sebelum melepaskan tawa kecil.

"Ah, jadi itu masalahnya. Hadiah untuk Rias Buchou?" Dia melangkah maju lagi, menyerang Naruto dengan serangan rendah yang berhasil ditangkis dengan cepat.

"Iya," Naruto menjawab sambil menahan tebasan Kiba, kali ini lebih agresif. "Hubungan kami... rumit. Aku tak ingin memberikan sesuatu yang salah."

Kiba tersenyum, dan dengan gesit dia melompat ke samping, mengayunkan pedang dengan gerakan yang mulus.

"Rias-buchou adalah orang yang menghargai makna di balik sesuatu, bukan nilainya. Tapi, aku mengerti kebingunganmu."

Serangannya berlanjut, tetapi kini tampak lebih seperti latihan ketimbang pertarungan serius.

Naruto mengangguk, meskipun dia kembali diserang dengan cepat. "Aku tahu, tapi... apa yang bisa kupilih yang benar-benar akan bermakna bagi nya? Aku tidak ingin hubungan kami semakin renggang."

Kiba berhenti sejenak, memutar pedangnya sebelum menempatkannya di samping. Dengan napas yang masih teratur, dia menatap Naruto, menimbang apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Mungkin sesuatu yang bersifat petualangan bisa jadi ide yang menarik. Rias-buchou selalu menyukai pengalaman baru. Mungkin kau bisa memberinya tiket untuk perjalanan atau liburan."

Naruto menghela napas, kembali mengayunkan pedangnya dengan perlahan untuk melanjutkan latihan.

"Itu ide yang bagus, tapi... terlalu biasa. Aku ingin sesuatu yang lebih personal, lebih berarti."

Kiba tersenyum penuh pengertian, meskipun dia tak melepas sikap defensifnya.

"Personal, ya? Aku mengerti. Kadang hal-hal sederhana yang datang dari hati justru lebih berkesan. Sesuatu yang bisa merefleksikan perasaanmu mungkin akan lebih baik."

Naruto berhenti, menurunkan pedangnya sejenak, memikirkan kata-kata Kiba. "Kau mungkin benar. Tapi apa yang bisa menunjukkan itu? Kami bukan pasangan yang memilih satu sama lain, jadi aku ingin memperbaiki situasi ini."

Kiba mengangkat pedangnya sekali lagi, tapi kali ini dengan nada yang lebih tenang. "Kau sudah memikirkan hal ini dengan sangat baik, Naruto-sama. Itu sendiri sudah menunjukkan niatmu yang tulus. Dan percayalah, Rias-buchou pasti akan menghargainya."

Naruto tersenyum tipis, meski masih merasa sedikit ragu. "Terima kasih, Kiba. Setidaknya aku punya satu arah untuk memulainya."

Kiba menundukkan kepalanya, lalu menempatkan pedangnya di pundak. "Kapan pun butuh bantuan lagi, aku selalu ada di sini."

Naruto mengangguk sebelum berbalik dan meninggalkan lapangan latihan.

Selanjutnya, dia menemui Koneko Toujou.

--

Aroma mentega dan gula yang meleleh memenuhi udara. Naruto berdiri di depan meja, apron putih terikat rapi di pinggangnya. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba membuat sesuatu yang istimewa.

"Kue manis, huh...," gumam Naruto sambil merapikan adonan dengan hati-hati. "Kupikir Koneko pasti akan suka ini."

Tepat saat dia selesai menuangkan adonan ke dalam loyang, pintu dapur berderit terbuka, dan gadis kecil berambut putih muncul. Koneko masuk tanpa suara, seperti biasanya, dengan wajahnya yang tenang dan datar.

"Naruto-senpai?" tanyanya datar sambil menatap adonan yang sedang dipanggang. "Apa yang sedang kau buat?"

Naruto menoleh, sedikit terkejut. "Ah, Koneko-chan! Aku sedang membuat kue. Kue cokelat. Aku tahu kau suka yang manis-manis, jadi... kupikir aku akan mencoba membuatnya untukmu."

Koneko berjalan lebih dekat, menatap dapur yang penuh bahan-bahan dan aroma manis yang memenuhi udara. "Kue cokelat?" tanyanya, nadanya tetap tanpa emosi, tapi jelas ada ketertarikan di matanya. "Naruto-senpai bisa membuat kue?"

Naruto tertawa kecil, mengusap belakang lehernya dengan canggung. "Yah, bisa dibilang begitu. Dulu, aku pernah belajar sedikit dari koki di istana. Lagipula, ini kan untukmu, Koneko-chan. Kupikir ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan."

Koneko duduk di kursi dekat meja dapur, matanya masih memperhatikan Naruto. "Kue adalah kejutan yang baik." katanya singkat, namun ada sedikit kilauan di matanya.

Naruto menyiapkan loyang dan memasukkannya ke dalam oven, lalu berbalik menghadap Koneko. "Ngomong-ngomong, aku sebenarnya ingin bertanya sesuatu padamu," ucapnya sambil bersandar ke meja dapur.

Koneko mengangkat alis. "Apa itu?"

Naruto menghela napas panjang, terlihat sedikit gugup. "Jadi, festival Lucifer sebentar lagi, kan? Dan... aku seharusnya menyiapkan hadiah untuk Rias." Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata. "Masalahnya, aku tidak tahu apa yang harus kuberikan padanya. Kau kenal Rias lebih lama dari aku. Menurutmu, apa yang akan dia suka?"

Koneko memandang Naruto dengan tatapan datarnya, namun kali ini dia benar-benar memikirkan pertanyaannya. "Rias-buchou suka hal-hal yang elegan dan artistik. Tapi... hadiah yang bermakna biasanya lebih penting baginya dari pada yang mewah."

Naruto mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Jadi, sesuatu yang lebih personal? Sesuatu yang menunjukkan kalau aku benar-benar memikirkannya?"

Koneko mengangguk pelan, mengalihkan pandangannya sebentar ke arah oven, lalu kembali menatap Naruto. "Ya. Rias-buchou menghargai hal-hal yang datang dari hati."

Naruto menggaruk dagunya, merenung. "Hm, sesuatu yang datang dari hati, ya... Mungkin sesuatu yang bisa ku buat sendiri?" Dia tampak lebih tenang sekarang setelah mendapat sedikit arahan dari Koneko.

"Naruto-senpai juga bisa membuatkan sesuatu untuknya, seperti kue ini," Koneko menambahkan, dengan nada datar namun tulus. "Hal yang manis kadang-kadang bisa berarti lebih."

Naruto menatap Koneko dengan mata melebar, lalu tertawa kecil. "Heh, membuat kue untuk Rias, ya? Itu sebenarnya bukan ide yang buruk. Terima kasih, Koneko-chan. Kau benar-benar membantuku di sini."

"Kalau itu untuk Rias-buchou, aku yakin dia akan menyukainya," jawab Koneko sambil mengamati Naruto dengan tenang. "Seperti aku yang menyukai kue ini nanti."

Naruto tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan memastikannya sempurna."

Tidak lama kemudian, bunyi timer oven terdengar. Naruto dengan hati-hati mengeluarkan kue yang baru saja matang dari dalam oven. Aroma manis cokelat yang baru saja dipanggang menyebar ke seluruh ruangan. Dia memotong sepotong kecil dan meletakkannya di piring, lalu menyerahkannya kepada Koneko.

"Ini dia. Coba dan beri tahu aku bagaimana rasanya," kata Naruto, berharap cemas.

Koneko mengambil garpu kecil, menusukkan sepotong kue, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Sesaat kemudian, matanya sedikit melebar, meskipun wajahnya tetap datar.

"Manis dan lembut...," gumamnya pelan. "Ini enak, Naruto-senpai."

Naruto tersenyum lega. "Syukurlah! Kupikir mungkin rasanya akan sedikit aneh."

Koneko menggeleng. "Tidak, ini sangat enak. Terima kasih." Dia melanjutkan makan kuenya dengan tenang.

Naruto menatap Koneko sejenak, merasa sedikit lebih lega karena setidaknya dia tahu apa yang disukai Rias. Sesuatu yang datang dari hati--mungkin hadiah buatannya sendiri akan lebih berarti daripada sesuatu yang mahal. Dan meskipun dia belum memutuskan sepenuhnya, bantuan kecil dari Koneko telah memberinya arah.

Dengan napas panjang, Naruto meninggalkan Koneko dan terus mencoba menemui anggota Peerage lainnya. Yang berikutnya adalah Asia Argento.

--

Naruto memutuskan bahwa untuk berbicara dengan Asia, suasana yang lebih santai akan lebih tepat. Maka, dia mengundang Asia untuk berjalan-jalan di taman kota Kuoh, di mana bunga-bunga yang bermekaran dan pepohonan yang rimbun menciptakan suasana tenang dan damai. Matahari bersinar lembut, memberikan kehangatan yang menyenangkan ketika mereka melangkah menyusuri jalan setapak berbatu.

Asia tampak bahagia, senyum lembut selalu terpancar di wajahnya, membuat Naruto merasa nyaman. Mereka berdua berjalan beriringan, menikmati kedamaian suasana sore. Naruto merasa sedikit gelisah, memikirkan bagaimana ia harus mengungkapkan pertanyaan tentang hadiah untuk Rias tanpa membuat suasana menjadi canggung.

"Naruto-sama, tempat ini indah sekali," Asia berkata dengan mata berkilauan saat dia memandang sekeliling taman. "Kebun bunga ini terasa begitu damai, seperti surga kecil."

Naruto tersenyum, setuju dengan perasaan Asia. "Ya, taman ini memang menenangkan. Aku tahu dari seseorang tempat ini cocok untuk menenangkan pikiran."

Mereka melanjutkan berjalan dalam keheningan sejenak, sebelum Naruto menghela napas dan akhirnya memutuskan untuk berbicara. "Asia... sebenarnya, aku ingin meminta pendapatmu tentang sesuatu."

Asia menoleh dengan antusias. "Tentu, Naruto-sama. Ada apa?" tanyanya dengan nada lembut.

Naruto menggaruk kepalanya sedikit canggung sebelum melanjutkan. "Jadi, festival Lucifer sebentar lagi, dan aku harus memberikan hadiah untuk... Rias."

Mendengar nama Rias-buchou, Asia tersenyum cerah. "Oh, Rias-buchou pasti akan sangat senang dengan apapun yang kau berikan, Naruto-sama. Dia sangat menghargai perhatian dari orang-orang di sekitarnya."

Naruto menghela napas, merasa agak lega mendengar itu, tapi dia tetap merasa bimbang. "Tapi itulah masalahnya, Asia. Aku tidak tahu apa yang harus kuberikan. Hadiah ini penting, dan aku tidak ingin memberikan sesuatu yang biasa saja. Aku ingin itu berarti."

Asia tampak berpikir sejenak, matanya menatap jalan setapak yang mereka lewati. "Hmmm... Rias-buchou sangat menyukai hal-hal yang elegan, tapi dia juga seseorang yang menghargai ketulusan hati." Asia kemudian berhenti berjalan, memandang Naruto dengan tatapan penuh pengertian. "Mungkin kau bisa memberinya sesuatu yang dibuat dengan tanganmu sendiri, sesuatu yang menunjukkan perhatianmu."

Naruto tersenyum mendengar saran itu. "Sesuatu yang aku buat sendiri... seperti apa, ya?"

Asia tertawa kecil, terlihat malu-malu. "Naruto-san, aku rasa hadiah yang paling berharga adalah sesuatu yang personal, yang menunjukkan bahwa kau benar-benar peduli padanya. Itu tidak perlu mahal atau mewah."

Naruto mengangguk, mulai merasa lebih yakin. "Terima kasih, Asia. Saranmu sangat membantu. Aku mungkin akan mencoba membuat sesuatu yang spesial untuk Rias."

Asia tersenyum lembut, terlihat puas bisa membantu. "Aku yakin apapun yang kau pilih, Rias-buchou pasti akan menyukainya."

Naruto tersenyum kecil. "Aku harap begitu. Terima kasih lagi, Asia."

--

Selanjutnya, Naruto menemui Akeno Himejima. Gadis dengan senyum manis dan aura menggoda itu langsung menangkap minat Naruto, meskipun dia merasa sedikit gugup di dekatnya.

Suasana malam hari dipenuhi dengan aroma teh yang baru diseduh. Naruto duduk dengan tenang di meja yang sudah tertata rapi, dua cangkir teh tersaji di depannya. Angin lembut menyapu taman, sementara bulan memberikan cahaya ke sekitar.

Akeno Himejima, dengan senyum khasnya yang menggoda, berjalan perlahan mendekati meja. Dia mengenakan gaun yang elegan, seolah ingin menyesuaikan suasana anggun dari keluarga Phenex.

"Naruto-sama, kau mengundangku untuk teh malam hari? Manisnya,"

Akeno berkata dengan nada lembut yang penuh godaan. Dia duduk dengan anggun, matanya menatap langsung ke arah Naruto, seperti mencoba membaca pikirannya.

Naruto, meskipun sudah sedikit terbiasa dengan kehadiran Akeno, masih sedikit merasa canggung dengan sifat menggoda yang selalu ia tunjukkan. Dia menyuguhkan secangkir teh kepada Akeno, sedikit menunduk sopan.

"Ya, aku hanya ingin mengobrol... santai." Naruto tersenyum sedikit kaku, mencoba tetap tenang meskipun tahu pasti apa yang akan terjadi.

Akeno mengambil cangkir teh itu dengan elegan, lalu menyesapnya perlahan. Senyumnya semakin lebar saat matanya kembali menatap Naruto. "Oh? Hanya untuk mengobrol, ya? Atau mungkin... ada hal lain yang ingin kau bicarakan, Naruto-sama?" Nada suaranya penuh kehangatan, tetapi jelas ada sedikit godaan di sana.

Naruto menghela napas, mencoba menata pikirannya. "Sebenarnya, Akeno, aku butuh bantuan. Aku sedang memikirkan hadiah untuk Rias. Kau tahu, festival Lucifer sudah dekat, dan aku benar-benar tidak tahu harus memberikan apa."

Akeno mendengarnya sambil tersenyum tipis, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Oh, jadi kau mengundangku ke sini untuk berbicara tentang Rias? Aku merasa tersaingi, Naruto-sama. Aku pikir kau ingin menyatakan perasaanmu padaku." Matanya menyipit, senyumnya semakin menggoda.

Naruto hampir tersedak mendengar kata-kata Akeno, wajahnya memerah seketika. "T-Tentu saja tidak! Ini tentang Rias!" dia buru-buru mengklarifikasi, meskipun Akeno hanya tertawa kecil melihat reaksi paniknya.

"Kau begitu lucu saat gugup, Naruto-sama," Akeno terkekeh, lalu menyilangkan tangan di depan dada, sikapnya kembali lebih santai. "Tapi soal hadiah... hmmm, Rias suka hal-hal yang romantis. Bagaimana kalau kau memberinya sesuatu yang menunjukkan perasaanmu? Mungkin ciuman di bawah bintang-bintang?" Ia mengedipkan mata dengan penuh godaan.

Naruto terdiam sesaat, mencoba memproses saran itu, sebelum akhirnya mendesah dalam hati. "Ciuman...? Itu terlalu... canggung untukku."

Akeno tertawa lebih keras, jelas menikmati momen ini. "Ah, Naruto-kun, kau terlalu serius! Rias pasti akan menghargai apapun yang kau berikan, terutama jika itu datang dari hati. Tapi... jika kau ingin membuatnya benar-benar tersentuh, kau harus menunjukkan sisi lembutmu yang tersembunyi."

Naruto mengangguk pelan, meskipun masih merasa bingung. "Sisi lembut, ya... Aku akan memikirkannya."

Akeno kemudian menyandarkan diri ke kursinya, ekspresinya lebih santai, tetapi tetap menggoda. "Atau mungkin, jika kau merasa tidak yakin dengan Rias, kau bisa mencobanya padaku dulu. Bagaimana, Naruto-sama? Latihan ciuman mungkin?" Ia tertawa pelan, senyumnya masih penuh misteri.

Naruto hampir tersedak lagi, menatap Akeno dengan wajah merah padam. "A-Aku tidak bercanda, Akeno! Ini serius!"

"Aku juga tidak bercanda," jawab Akeno, tersenyum penuh kepuasan karena berhasil membuat Naruto semakin malu. "Tapi baiklah, semoga berhasil dengan hadiahmu untuk Rias, Naruto-sama. Aku yakin kau akan menemukan sesuatu yang sempurna."

Naruto tersenyum kecil, berusaha tenang. "Terima kasih, Akeno. Meski kau selalu membuatku bingung..."

Akeno mengangkat bahu ringan, lalu menyeduh tehnya sekali lagi. "Apa yang bisa kukatakan? Aku suka melihatmu bingung."

--

Naruto mendekati Issei dengan harapan terakhir untuk mendapatkan saran terbaik. Saat dia tiba, Issei langsung menunjukkan antusiasmenya, matanya bersinar penuh harapan.

"Kau tahu apa yang akan membuat Rias-buchou senang? Sesuatu yang… seksi! Mungkin pakaian da—"

Namun, belum selesai Issei mengeluarkan saran itu, dia tiba-tiba terpental beberapa meter ke depan, terlempar dari tempatnya.

Naruto berdiri dengan tegas di belakang Issei, tangannya masih terulur setelah memberikan dorongan kecil. Betapa bodoh dia berharap lebih pada Issei.

--

Naruto duduk bersandar di salah satu tembok di arena latihan keluarga Phenex. Udara terasa dingin meski api samar-samar masih membara di tangannya, tanda-tanda latihan keras yang baru saja dia lalui. Pikiran tentang hadiah untuk Rias terus berkecamuk di kepalanya, membuatnya merasa frustrasi.

Dari kejauhan, Ruval Phenex, kakak tertua Naruto, mendekati arena. Ia mengamati adiknya yang tampak termenung. Matanya sedikit menyipit, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan adik kecilnya.

"Naruto," panggil Ruval dengan nada lembut namun penuh otoritas. "Kau terlihat seperti memikirkan sesuatu yang berat."

Naruto mendongak pelan, lalu tersenyum tipis. "Nii-san, aku... hanya sedikit bingung," jawabnya, sambil memadamkan api di tangannya.

Ruval berjalan mendekat, lipatan kecil di dahinya menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang mengganggumu? Kau jarang terlihat seperti ini."

Naruto menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku... sedang mencoba memikirkan hadiah yang tepat untuk Rias. Tapi... sepertinya aku tidak punya ide yang bagus."

Ruval tertawa kecil, lalu duduk di sebelah adiknya. "Jadi ini tentang hadiah, ya? Sepertinya aku tak pernah menyangka akan melihatmu seperti ini, Naruto. Kau, yang biasanya penuh percaya diri, sekarang terjebak dalam masalah kecil seperti ini?"

Naruto mengangkat bahu. "Aku hanya tidak ingin memberinya sesuatu yang biasa. Rias... pantas mendapatkan lebih."

Ruval memandang Naruto sejenak, melihat betapa seriusnya adiknya dalam hal ini. "Itu pemikiran yang baik. Tapi hadiah terbaik seringkali bukan tentang kemewahan atau harga. Kadang, itu tentang makna di baliknya. Sesuatu yang mencerminkan dirimu... dan hubunganmu dengannya."

Naruto tampak berpikir, tapi masih bingung. "Tapi... apa yang bisa mencerminkan itu semua? Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana."

Ruval tersenyum tipis, lalu berdiri, melangkah beberapa meter dari Naruto. "Aku tahu satu hal yang bisa mencerminkan itu, Naruto... tapi jika kau ingin mengetahuinya, kau harus mengalahkanku terlebih dahulu."

Naruto mendongak, matanya menatap Ruval dengan sedikit terkejut. "Nii-san, kau serius?"

Ruval mengangguk dengan penuh keyakinan. "Tentu saja. Kau sudah tumbuh kuat, Naruto. Tapi jika kau ingin menghadapi tantangan yang lebih besar--baik dalam kekuatan maupun hati--kau harus membuktikannya di sini dan sekarang."

Mendengar itu, Naruto berdiri. Wajahnya berubah serius, menyadari tantangan ini bukan sekadar latihan biasa. "Baiklah... jika itu yang kau inginkan."

Dengan satu gerakan, Naruto memasuki mode terkuatnya. Tato sigil rumit mulai muncul di lengan kanannya, dan menyebar ke sisi kanan tubuhnya. Rambutnya yang pirang kini berubah menjadi hitam. Api Phenex yang biasanya berwarna merah-oranye berubah hitam, tampak jauh lebih mengancam. Aura panas mengelilinginya, membuat udara di sekitarnya bergetar.

Ruval tersenyum melihat adiknya yang kini tampak sangat kuat, tapi dia tidak mundur. Dengan gerakan cepat, Ruval melontarkan semburan api biru khasnya, mengarah langsung ke Naruto.

"Aku tak akan menahan diri, Naruto!" teriak Ruval.

Naruto dengan tenang mengangkat tangannya, dan dengan mudah menangkis api tersebur. Mata birunya yang juga menghitam menatap tajam saat dia melangkah maju, aura api hitamnya semakin kuat.

"Aku juga tak akan menahan diri, Nii-san," jawab Naruto dengan tenang namun penuh kekuatan.

Ruval melepaskan lebih banyak serangan api, masing-masing lebih besar dan panas dari sebelumnya, tetapi Naruto menangkis mereka dengan mudah, seolah-olah kekuatan tersebut tidak berarti di hadapannya. "Kekuatanmu memang luar biasa, Naruto," ujar Ruval, sedikit terkagum-kagum. "Tapi apakah kau cukup kuat untuk mengalahkanku?"

Naruto melangkah maju, kekuatan apinya berkobar semakin ganas. "Ayo kita lihat, Nii-san."

Dengan kecepatan yang sulit diikuti, Naruto melesat ke arah Ruval. Tangan kanannya mengayun, menciptakan ledakan besar ketika bertabrakan dengan perisai api Ruval. Ledakan itu mengguncang seluruh arena, membuat batu-batu berjatuhan dan tanah retak.

Ruval melompat mundur, terkejut dengan kekuatan Naruto yang sebenarnya. "Aku tak pernah menyangka kau bisa menguasai kekuatan seperti ini..." gumamnya sambil tersenyum penuh kebanggaan.

Namun sebelum dia bisa melancarkan serangan berikutnya, Naruto sudah berada di belakangnya, api hitam melingkari tubuhnya dengan gerakan mematikan.

"Game over, Nii-san," kata Naruto dengan nada tenang, sebelum melepaskan serangan terakhirnya. Api hitamnya berkobar, menelan Ruval dalam ledakan besar.

Ketika asap mulai menghilang, Ruval terbaring di tanah, kelelahan tetapi tersenyum. "Kau benar-benar kuat, Naruto... aku bangga padamu."

Naruto mendekat dan membantu kakaknya bangkit. "Terima kasih, Nii-san. Jadi... sekarang kau akan memberitahuku apa hadiah yang tepat?"

Ruval tertawa kecil sambil mengusap debu dari pakaiannya. "Tentu. Kau sudah membuktikan dirimu. Dengarkan baik-baik, Naruto. Tidak ada yang lebih berharga bagi Rias daripada sesuatu yang menunjukkan hubungan kalian. Dan kau... kau sudah memikirkannya."

Naruto terdiam sejenak, merenungkan kata-kata kakaknya. "Sesuatu yang menunjukkan hubungan kami... liontin burung api," gumamnya. "Itu... itu ide yang bagus."

Ruval tersenyum dan mengangguk. "Itu adalah simbol keluarga kita dan api yang tidak pernah padam. Dengan sedikit usaha, itu akan menjadi hadiah yang sempurna."

Naruto tersenyum puas, akhirnya merasa yakin dengan keputusannya. "Terima kasih, Nii-san. Kau selalu tahu cara membuat segalanya lebih jelas."

Ruval menepuk pundak adiknya, matanya penuh kebanggaan. "Kau sudah melakukan banyak hal, Naruto. Sekarang saatnya untuk menunjukkan siapa dirimu--bukan hanya sebagai anggota keluarga Phenex, tapi juga sebagai seseorang yang benar-benar peduli pada Rias."

--

Malam perayaan tiba dengan gemerlap cahaya yang memenuhi langit. Seluruh taman dihiasi dengan lampu-lampu berkilauan, menciptakan suasana magis yang seolah mengalir dengan keindahan malam. Naruto, yang mengenakan pakaian formalnya, menunggu dengan cemas di tengah taman. Meski terbiasa dengan pertempuran dan kekuatan yang luar biasa, malam ini hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Naruto?" suara lembut Rias memecah keheningan malam. Ia berjalan mendekat, mengenakan gaun anggun berwarna merah yang membuatnya tampak begitu menawan. Rambut merahnya mengalir indah di bawah cahaya bulan.

Naruto menoleh, melihat Rias yang semakin dekat, dan sejenak ia terdiam. Ia merasa sedikit gugup, lebih dari biasanya, tapi ingat akan nasihat Ruval. Hadiah ini bukan hanya simbol dari keluarga mereka, tapi juga sesuatu yang lebih pribadi. Sesuatu yang hanya milik mereka berdua.

"Terima kasih sudah datang, Rias," Naruto berkata dengan suara tenang meski ada sedikit getaran di balik nada bicaranya. "Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu."

Rias mengangkat alisnya, tersenyum kecil. "Oh? Apa itu, Naruto?" tanyanya dengan nada penasaran.

Naruto menarik napas dalam-dalam, merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia membuka kotak itu, memperlihatkan liontin kecil berbentuk burung api--simbol dari Keluarga Phenex. Di bagian dalam liontin itu, terukir nama mereka berdua: "Naruto & Rias."

Mata Rias melebar sejenak, terkejut dengan hadiah yang begitu indah dan bermakna. "Naruto, ini… sangat cantik," katanya dengan nada terharu.

Naruto menggenggam liontin kecil itu dengan jemarinya, merasakan beratnya di tangannya. Suasana di taman terasa hening, hanya diiringi angin malam yang lembut. Rias berdiri di depannya, tersenyum tipis, namun ada keraguan yang sama di matanya.

"Uh, jadi... aku—aku membuat ini untukmu," Naruto membuka percakapan dengan sedikit gugup, suara yang biasanya tegas terdengar sedikit ragu. Dia mengulurkan liontin itu dengan tangan yang sedikit gemetar. "Ini... semacam hadiah."

"Kau membuat ini sendiri?"

"Iya," Naruto menundukkan kepala sedikit, menggaruk tengkuknya yang kini terasa panas. "Aku bukan ahli dalam membuat sesuatu, tapi... aku ingin memberikan sesuatu yang spesial. Aku harap... kau menyukainya?"

Rias tertawa kecil, tapi bukan karena menganggap enteng usahanya. Justru karena merasa canggung dengan situasi ini. "Naruto... aku... tentu saja aku menyukainya. Kau benar-benar membuat ini?" Suaranya terdengar ragu, seperti tidak percaya bahwa Naruto bisa melakukan hal semacam ini.

Naruto mengangguk pelan. "Aku pikir... yah, ini lambang keluarga ku, burung api. Dan aku ingin... aku ingin kita bisa mulai... dari sini. Membuat ini lebih berarti. Bukan cuma karena... pernikahan yang diatur." Kata-katanya terdengar terpatah-patah, bahkan ia sendiri merasa sedikit aneh mendengarnya.

Rias menggigit bibirnya perlahan, lalu menatap ke arah Naruto dengan senyum tipis yang agak canggung. "Naruto, aku... aku tidak tahu harus bilang apa. Kau sudah melakukan lebih dari yang kubayangkan. Aku bisa melihat bahwa kau benar-benar berusaha untuk ini."

"Ya... tapi aku tahu ini mungkin kelihatan bodoh atau..." Naruto berhenti sejenak, matanya berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku... aku serius. Meski kita awalnya tidak memulai ini dengan keinginan sendiri, aku ingin kita punya kesempatan yang baik."

Rias menarik napas dalam, merasa sedikit bingung dengan perasaan yang mendesak di dalam dirinya. "Aku juga merasa seperti itu," katanya pelan, sambil menundukkan pandangannya ke liontin. "Aku... aku juga ingin kita punya sesuatu yang lebih daripada sekadar kewajiban."

Keduanya terdiam sesaat, berdiri dalam keheningan yang hampir menyiksa. Naruto menatap Rias, berusaha mencari tahu apa yang ada di pikirannya, sementara Rias terus memandangi liontin itu, mencoba merangkai kalimat yang tepat di dalam benaknya.

"Rias... aku tahu aku bukan orang yang paling pandai dalam hal ini," Naruto akhirnya memecah keheningan, suaranya lebih lembut kali ini. "Tapi aku ingin kita... berusaha. Kau berhak mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dan aku akan mencoba untuk jadi orang itu."

Rias mendongak, matanya bertemu dengan Naruto. Ada kehangatan di sana, meski terasa agak canggung. "Naruto... terima kasih. Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Dan sejujurnya... aku juga merasa sama. Mungkin kita bisa... perlahan-lahan. Tidak harus terburu-buru."

Naruto mengangguk, merasa lega mendengar itu. "Ya, perlahan-lahan... itu kedengarannya bagus."

Setelah beberapa saat, Rias tersenyum lebih lebar, tapi masih ada sedikit kecanggungan di antara mereka. "Jadi... kau benar-benar bertanya ke banyak orang tentang apa yang harus kau berikan padaku?"

Naruto tertawa kecil, meski wajahnya sedikit memerah. "Yah, kau tahu... aku tidak begitu bagus dalam hal ini, jadi... aku butuh bantuan. Tapi ternyata... yah, banyak saran yang nggak begitu membantu."

Rias tertawa kecil, akhirnya suasana terasa sedikit lebih ringan. "Aku bisa membayangkannya. Tapi kau melakukan yang terbaik, dan itu lebih dari cukup bagiku, Naruto."

Dengan rasa lega yang perlahan-lahan menghilangkan kecanggungan di antara mereka, Naruto mengambil langkah kecil mendekat. "Jadi... mau kupasangkan liontinnya?" tanyanya, suaranya masih agak malu-malu.

Rias mengangguk pelan, membiarkan Naruto memasangkan liontin di lehernya. Begitu liontin itu terpasang, mereka berdua berdiri di sana, di bawah cahaya bulan, merasa bahwa hubungan mereka kini sedikit lebih jelas meski masih samar.

"Naruto," Rias memulai dengan suara lembut, "terima kasih. Ini bukan hanya tentang hadiah... tapi tentang usahamu. Itu yang membuatku merasa istimewa."

Naruto tersenyum, akhirnya merasa sedikit lebih nyaman. "Aku senang kau menyukainya, Rias. Semoga kita bisa membuat ini berhasil."

Dan di bawah langit malam, mereka berdua berdiri bersama, menyadari bahwa meski hubungan mereka dimulai dengan canggung dan penuh keraguan, ada kesempatan bagi perasaan yang lebih dalam untuk tumbuh di antara mereka.