Bumble Trouble 18
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!
.
.
.
"Sudah selesai?" tanya Sasuke begitu melihat Hinata keluar dari toilet. "Baiklah, kalau begitu, ayo." Sasuke menarik Hinata setelah mendapatkan anggukan dan senyuman. Ia membawa perempuannya menuju sudut halaman, di mana keluarga intinya berada.
"Sasuke?" suara sapaan terdengar begitu Sasuke dan Hinata mendekat. "Ah, kau sudah tiba." Seorang wanita paruh baya mendekat dan tersenyum pada keduanya. "Bu, ini Hinata." Sasuke memperkenalkan pada ibunya.
Maju satu langkah kecil, Hinata membungkuk pelan. "Halo, Tante Mikoto?" sapa Hinata ragu. "Halo, Hinata. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu!" Mikoto menyambut Hinata dan mengajaknya mendekat keluarga intinya. "Ayah, Temari, lihat. Ini Hinata!"
Mikoto menggeser tubuhnya, membiarkan Hinata dilihat oleh keluarganya. "Selamat datang di kediaman keluarga Uchiha, Hinata." Ayah Sasuke menyapa sambil menggendong balita.
"Hai, Hinata, bertemu lagi." Temari menyapa, menghadirkan kebingungan pada mertuanya. "Tadi aku bertemu dengannya di toilet," terangnya.
Hinata memerhatikan balita perempuan dalam gendongan Ayah Sasuke. Matanya bolak-balik melihat sang bayi dan Temari yang menyuapinya buah-buahan. Rasanya Hinata pernah melihatnya, tapi di mana ya?
"Well, well. Jadi ini yang namanya Hinata?"
Seorang pria muncul dan berdiri tepat di samping Hinata. Sekilas perawakannya mirip Sasuke kecuali rambut gondrong dan garis di wajahnya. Senyuman ramah pria itu malah membuat Hinata tak nyaman karena terlalu diperhatikan.
"Jangan terlalu dekat dengannya, Kak. Hinata tidak nyaman." Sasuke menarik pinggang Hinata agar mendekat padanya. Sebuah gelak tawa muncul dari pria yang dipanggilnya kakak itu.
"Duh, Sasuke. Belum juga jadi siapa-siapa sudah posesif saja." Kakak Sasuke berpindah untuk berdiri di samping Temari. "Dan Hinata, namaku Itachi Uchiha, kakaknya Sasuke. Aku tidak kalah tampan, 'kan?" sebelah alis Itachi terangkat.
"Sayang sekali aku sudah punya istri." Itachi melingkarkan tangannya di pinggang Temari dan menariknya, seperti yang Sasuke lakukan. Perlakuannya membuat Temari menatap sinis sekilas.
"Itachi, jangan membuat Hinata tak nyaman. Ibu tidak ingin keluarga Otsutsuki tak jadi membiarkan Hinata berkenalan dengan Sasuke." Mikoto menegur anak sulungnya sementara balita di gendongan Ayah Sasuke mulai rewel sehingga Temari melepaskan diri dari rangkulan sang suami dan mengurus anaknya.
Itachi mengernyit samar. "Tunggu, ini Hinata anak keluarga Otsutsuki? Bukankah ini Hinata yang –matc"
"Ada apa ini ribut-ribut?" Ucapan Itachi terpotong dengan datangnya seorang pria Uchiha lain bersama Koichi.
Diam-diam Sasuke menghela napas lega karena Itachi membatalkan ucapannya. "Tante Hinata?!" Koichi mendekati Hinata dan menyapanya. "Kakek Madara, ini Tante Hinata, temannya Paman Sasuke." Perkenalan Hinata pada Madara Uchiha oleh Koichi membuat Itachi tersenyum mengejek pada adiknya. Teman katanya?
Madara melirik menantunya sebentar dan kembali pada Hinata setelah melihat anggukan. "Halo, Hinata. Selamat bergabung di acara ulang tahun Koichi," sapa Madara. "Jadi, apa kita sudah siap dengan acara ulang tahun cucuku ini?"
Tak lama acara ulang tahun Koichi dimulai. Para tamu sudah memenuhi halaman dan pembawa acara memimpin kegiatan dengan semangat. Hinata mengikuti acara bersama Sasuke dan keluarga intinya. Mengobrol dengan hangat meskipun pikirannya tak tenang.
"Aku ingin mengambil minum. Kau mau?" Hinata menawarkan diri untuk mengambil minuman jus dan memisahkan diri dari Sasuke. Ia berjalan menuju tengah halaman, pada deretan makanan.
Dari posisinya, Hinata bisa semakin jelas melihat sosok berambut merah yang bergabung di sisi lain ruangan. Sedikit banyaknya Hinata berharap, apakah mata mereka akan bertemu?
"Hai, Hinata."
Sapaan muncul. Hinata dihampiri oleh seseorang, yang sayangnya bukan orang yang Hinata nantikan. Sedikit terperanjat, Hinata tersenyum kikuk. "Halo, Sai?"
Sudah berbulan-bulan, Hinata yakin ia meninggalkan pesan Sai tak terbaca hingga menutup akun bumble-nya. Tapi sepertinya tak banyak yang berubah dari pria itu. Senyumannya masih lembut seperti terakhir mereka bertemu.
"Oh, apa seharusnya aku berpura-pura tidak melihatmu?" Sai terkekeh pelan. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya basa-basi. "Kupikir kenapa kau tak pernah membalasku, rupanya kau sudah punya lelaki baru, ya?" Entah basa-basi lagi atau apa. Tapi jelas Sai melihat Hinata bersama Sasuke, kan?
"Aku baik. Maaf tidak sempat membalasmu, Sai. Aku sudah menghapus akun bumble-ku."
Hinata dan Sai terlibat dalam obrolan selama beberapa saat. Menyebabkan orang yang haus jadi harus menunggu lebih lama.
"Kau bersamanya?"
Sasuke menoleh, menemukan paman bungsunya tiba-tiba mengajak berbincang. Mengikuti arah pandang sang Paman, sudah jelas mengarah pada Hinata yang sedang bersama Sai. "Ya, Paman. Kenapa?" tanya Sasuke curiga.
"Sayang sekali. Padahal aku menunggunya wisuda dan bekerja." Suara kesahan terdengar. "Kau mengenal Hinata, Paman Kakashi?"
Kakashi Hatake, adik sepupu Mikoto Uchiha, yang juga diketahui sebagai dosen pembimbing Hinata Hyuuga. "Ya. Dia mahasiswa bimbinganku. Apa Hinata tidak cerita?" Sasuke mencibir dalam hati, untuk apa diceritakan?
"Padahal aku ingin mendekatinya sejak di perkuliahan. Kau tahu? My Lecturer My Husband? Pasti genre yang disukai banyak orang, 'kan?"
Sasuke berdesis. "Sayang sekali kisahmu tidak akan terjadi di sini, Paman," kata Sasuke penuh tekanan. Kakashi tertawa pelan. Ia sedikit menyesal tapi bagaimana lagi? 'Hinata-nya' akan diambil keluarganya dengan cara yang berbeda.
"Omong-omong kau kenal dia, Sasuke?" Kakashi mengganti pandangan pada sosok lain yang menarik perhatiannya.
"Bukankah itu adiknya kakak iparku?"
"Oh ya? Siapa namanya?"
"Tidak tahu." Kakashi menoleh dengan kedua alis terangkat. "Aku jarang melihat apalagi menyapanya. Untuk apa memerhatikan keluarga jauh?" Sasuke menjawab tak peduli. Kakashi pun ikut mengangkat bahu tak peduli. Tentu saja Sasuke lebih peduli pada hal lain.
.
.
"Kau mengenal Sai?"
Akhirnya Sasuke menanyakan hal yang membuatnya penasaran selama acara ulang tahun Koichi. Bagaimana tidak? Keluarga jauhnya itu beberapa kali mendekati Hinata saat perempuannya mengambil makanan atau minuman. Padahal sudah jelas, apakah rangkulan Sasuke dengan Hinata selama acara kurang terlihat?
"Siapa?" Hinata pura-pura tak mendengar padahal sebenarnya ia terkejut.
"Sai Shimura. Sepupuku dari keluarga ayahku. Bukankah kalian tadi sempat mengobrol?" Sasuke memperjelas pertanyaannya. "Oh... Yah, kurang lebih seperti itu." Hinata meneguk ludah. Meskipun ia sebenarnya yakin Sasuke akan bertanya tentang Sai yang terlalu ramah menyapanya selama acara.
"Kenal dari mana?"
Agak lama tak ada jawaban dari Hinata. Hingga Sasuke menoleh dan berdeham pelan padanya di sela perjalanan kembali menuju flat Hinata.
"Dari... Bumble?" Sasuke kembali menoleh ke arah Hinata. Gantian, pria itu yang kini terlihat terkejut sampai-sampai hampir melewati lampu merah. "Hn? Dia yang mendekatimu waktu itu?" tanya Sasuke lebih serius.
"Bisa dibilang begitu." Hinata tersenyum canggung. Ia masih tak tenang tapi sudah ada yang harus diceritakan. Jika Sai sudah membuat Sasuke waspada, bagaimana dengan lelaki lain?
"Begitu, ya? Aku tidak tahu dia bermain bumble juga." Sasuke menjalankan kembali mobilnya setelah lampu hijau terlihat. "Bagaimana perkenalan kalian sebelumnya? Kau sempat bertemu dengannya?"
Sasuke kembali mencari tahu lebih jauh. Meskipun sebagian dari dirinya bilang jika Hinata sudah bersamanya, tapi ia merasa waspada tentang laki-laki yang membuat Hinata patah hati.
Hinata menceritakan pendekatannya dengan Sai tahun lalu. Sedikit banyaknya Hinata bersyukur karena Sasuke tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mendengarkan dan memberi reaksi-reaksi kecil. Namun, bukannya merasa lega, Hinata malah semakin tak tenang.
Bukan, bukan masalah Sasuke tahu tentang Sai yang mengganggunya. Pikirannya sendiri yang menyiksa. Hinata terus memikirkan orang lain yang bahkan sama sekali tak menyapanya di ulang tahun Koichi. Lucu sekali, anak sekecil Satoru hingga Nanami saja masih mengenalinya kemarin.
Hari-hari terakhir ini Hinata jadi sering merenung, apalagi saat sendirian di flat. Kepalanya terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Membuat pertanyaan yang tak terjawab.
Apakah dia tidak melihat Hinata? Sudah melupakan Hinata? Atau malah tahun lalu sebenarnya hanyalah sebuah imajinasi dalam hidup Hinata? Tangannya terkepal, Hinata benar-benar menangis ingin jawaban.
"Hey, Hinata. Ada apa?"
Menoleh, Hinata menemukan Sasuke yang menatapnya bingung. Pandangannya berputar melihat sekeliling, Hinata baru menyadari posisinya. "Ah, kita sudah sampai?" tersadar, Hinata melepas sabuk pengaman.
"Kau baik-baik saja? Kau lebih banyak diam hari ini?" tanya Sasuke khawatir.
Hinata mengepalkan tangan lagi sebelum tersenyum. "Tidak papa. Aku hanya butuh istirahat," katanya. "Terima kasih sudah mengajakku keluar seharian, Sasuke."
"Sama-sama. Terima kasih sudah menemaniku, Hinata." Keduanya melemparkan senyum satu sama lain.
"Oh ya, Sabtu aku akan menjemputmu jam tujuh malam setelah meeting dengan perusahaan Brasil. Kau tidak papa?" Hinata mengernyit bingung. "Sabtu?"
"Ya. Kita akan terbang ke Fukuoka untuk menonton pertandingan Shikamaru hari Minggu pagi. Kau ingat, 'kan?"
Ah, benar. Hinata benar-benar kacau akhir-akhir ini sampai-sampai ia lupa dengan undangan Shikamaru bulan lalu di Paris.
"Oh, iya. Tentu saja. Aku akan bersiap untuk menonton Shikamaru-san." Akhirnya Hinata kembali pada dirinya. "Baiklah, sampai jumpa hari Sabtu, Hinata."
Hinata sudah akan turun dari mobil tetapi ia malah melihat Sasuke ikut melepaskan sabuk pengaman dan menatapnya. "Pelukan selamat malam?" kedua tangan Sasuke terlentang.
Hinata tersenyum kecil melihatnya. Tak lama Hinata ikut melentangkan tangan dan mendekat untuk berpelukan dengan Sasuke. Selama beberapa saat mereka berpelukan, membelai punggung masing-masing. Rasanya satu hari bersama Hinata tak cukup bagi Sasuke.
Cup
Sasuke mengecup pelan kening Hinata setelah pelukan mereka selesai. "Selamat malam, Hinata." Rasanya seperti tersengat listrik kecil. Hinata merasakan jantungnya berdebar lagi dengan cara yang menyenangkan. Mungkin bukan saatnya Hinata memikirkan laki-laki lain.
Tapi, bagaimana bisa Hinata berhenti memikirkan pria yang lagi-lagi tertangkap netranya? Oh, sialan. Hinata bahkan lupa jika Ravens bertanding dengan Tiger. Sudah pasti sponsor tim Tiger yang sempat 'dikenal dekat' olehnya hadir untuk menonton. Hinata mungkin salah lihat, tapi sepertinya pandangannya bertubrukan dengan dua orang.
.
.
Suara bisikan dari samping mengalihkan perhatian Hinata dari orang-orang di tribun seberang. "Maaf semalam kita tiba terlalu larut karena meeting-ku tertunda. Kau baik?" kata Sasuke memastikan.
"Tentu saja. Aku selalu baik untuk Shikamaru-san." Hinata bicara bangga sebagai seorang penggemar. Tak lama, acara pertandingan dimulai. Pikiran Hinata benar-benar teralihkan. Ia fokus menonton pertandingan dengan saksama. Matanya tak pernah meninggalkan para pemain tim Ravens yang memimpin permainan. Saking fokusnya, Hinata bahkan tak sadar jika dirinya diperhatikan.
Kekahan kecil terdengar. "Kau tahu? Kau sangat lucu jika sedang fokus menonton begitu." Komentar Sasuke mendistraksi Hinata. "Benarkah? Wah, beruntungnya Shikamaru-san." Hinata menanggapi setengah hati.
Sasuke mengernyit tak suka. "Kenapa Shikamaru?" Harusnya aku, kan?
"Karena ditonton dan digemari oleh orang lucu seperti aku?" Sasuke menggulirkan bola matanya, malas. "Tentu saja yang lebih beruntung itu –a"
TANG!
Suara pukulan bola oleh Shikamaru Nara kembali terdengar. Hinata dan Sasuke kembali fokus pada permainan. Lari dan lari. Anggota tim Ravens tak memberi jeda di pertandingan santai ini hingga akhirnya... "HOME RUN!"
Seperti hasil prediksi cepat pemerhati olahraga baseball di media sosial. Pertandingan kali ini dimenangkan oleh Ravens. Acara yang sempat membuat heboh penggemar Shikamaru Nara dan Chouji Akimichi itu kini penuh dengan sorakan. Entah sorakan kemenangan dari tim Ravens atau erangan kekecewaan dari pendukung tim Tiger. Hinata bahkan sempat berdiri dan melompat-lompat sebelum kembali duduk untuk dikejutkan.
CUP
Sasuke kembali mencium Hinata. Bukan di kening seperti Minggu lalu, melainkan tepat di bibir Hinata. Hal itu jelas-jelas membuat Hinata terkejut. Ia tak membayangkan hal ini akan terjadi.
Dengan posisinya yang duduk menyamping. Sasuke mencium Hinata dari depan. Tubuhnya menunduk, terdapat sela-sela di pandangan si perempuan. Kali ini Hinata yakin. Iris jade itu betul melihat padanya.
.
.
TETTTT
Suara bel hotel terdengar. Ceklek. Pintu dibuka setengah, menampilkan pria berambut gondrong dengan pakaian santainya. "Lama sekali. Sedang apa?" kepala pria itu mengintip ke celah pintu.
"Apa kau lihat-lihat, Shika?" Sasuke sedikit menutup pintu lebih banyak, menghalang pandangan Shikamaru. "Cewekmu mana? Jadi makan malam bersama?" tanya Shikamaru setelah tersenyum senang menjahili Sasuke.
Tak berapa lama, Hinata keluar dari kamar di seberang Sasuke. Shikamaru jadi mengernyit bingung. Bukankah mereka sedang saling mengenal?
"Selamat malam, Shikamaru-san. Kau terlihat berbeda tanpa ikat rambutmu," sapa Hinata.
"Selamat malam. Kau memang punya selera yang baik soal pria!" kerlingan diterima Hinata. Kemudian ia menghampiri Sasuke untuk berjalan bersama di belakang Shikamaru dan seorang wanita yang Hinata tak sadar melihatnya.
Dari belakang, Hinata memerhatikan Shikamaru yang terus berbincang dengan perempuan berambut keunguan. Ia menoleh bingung pada Sasuke. "Seingatku bulan lalu bukan dia yang kulihat menghampiri Shikamaru-san," bisiknya.
Sasuke mengesah pelan. "Sekarang kau tahu sifatnya, 'kan?" Hinata membuat muka. Ia meyakinkan diri untuk berhenti memikirkan apapun yang ia pikirkan. Ingat, kau pengemarnya, Hinata. Penggemarnya, batinnya.
"Yo, Shick! Kemarilah, makan bersamaku."
Nah, kan... Ini kebetulan yang ke berapa kali? Lagi, lagi dan lagi Hinata menangkap sosok berambut merah itu. Kali ini benar-benar ada di dekatnya.
"Cih." Shikamaru berdecak kesal. "Jangan konyol, Chow! Meja makanmu sudah penuh," tolak Shikamaru pada Chouji.
"Muat, kok. Kalau hanya kau dan Hinata pasti muat."
Ucapan Chouji membuat beberapa orang terkejut. "Kau mengenal Hinata?" Shikamaru memicing curiga. "Tentu saja. Dia kan..." Chouji menggantung kalimatnya. Ia melirik sebentar pada pria di depannya yang berwajah dingin sebelum menyadari tatapan tajam sang pelatih dan sebuah tangan yang menggenggam tangan Hinata. "...penggemarmu saat masih di Tiger?"
"Oh, tumben ingatanmu bagus." Shikamaru melengos. Ia duduk di meja seberang tim Chouji. "Terima kasih atas tawaranmu, coach. Tapi aku akan duduk di meja sebelah yang kosong. Lagipula kami berempat," ucap Shikamaru menyindir mantan pelatihnya yang sama sekali tak mengajaknya bicara sejak pertandingan berakhir.
Tarikan tangan membawa Hinata duduk di meja makan seberang tim Tiger, empat orang pria dengan tiga orang pria yang 'sempat' dikenalnya. Memesan makanan, Hinata menahan diri untuk tidak melirik pria berambut merah yang bangkit. "Aku akan merokok di luar." Samar-samar Hinata bisa mendengar obrolan dari meja seberang.
"Kenapa sih, Shika jadi ketus sekali? Padahal tahun lalu dia masih mengajakku bertemu," keluh Chouji. "Kau ada masalah dengannya, Asuma-sensei?" tudingnya.
Pelatih Tiger hanya menatap dingin salah satu anggota terbaiknya sebelum kembali menyantap makan malam. Chouji mengesah karena tak mendapat jawaban.
"Kau memang tidak tahu gosipnya, senpai?" seorang anggota tim yang lain mulai ikut bicara. "Shikamaru-san tidak ada masalah dengan pelatih."
"Memangnya gosip apa, Jean?" Jean Kirstein, salah satu anggota terbaik dan termuda yang bergabung dengan Tiger setelah Shikamaru pindah klub. "Shikamaru-san sepertinya ada konflik dengan presdir sponsor kita."
"Hah? Apaan sih?"
"Iya, aku mendengar gosip jika Shikamaru-san sempat mendekati salah seorang keluarga Sabaku. Tapi sayangnya tak direstui. Perempuan incarannya dijodohkan dengan keluarga Uchiha."
"Konyol. Salah satu sahabat Shikamaru saja setahuku dari keluarga Uchiha."
"Sumpah, senpai! Aku mendengarnya saat SMP."
Pendengarannya terasa penuh. Suara bisik-bisik dari meja sebelah, suara decakan dan dering gawai Sasuke. Hinata lebih bisa merasakan suara detak jantungnya sendiri.
"Hey," sentuhan lembut dirasakannya dari samping. "Hinata, aku akan mengurus kerjaan sebentar. Bisa kau menunggu dengan Shikamaru dan... temannya?" pinta Sasuke.
"Kerjaan? Sekarang?"
"Ya. Hanako perlu untuk presentasi besok pagi. Aku akan cepat," kata Sasuke meyakinkan. Usapan lembut diterima Hinata sebelum Sasuke pergi meninggalkannya. Kini yang menemaninya adalah suara bisikan dari meja sebelah dan suara decakan Shikamaru.
Tak. Pukulan pelan di meja makan. "Hinata, bisa tolong bilang pelayan untuk mengantarkan makananku ke kamar saja kalau sudah jadi?" tak berselang lama Shikamaru memutuskan untuk pergi juga. "Aku dan Konan akan makan di kamar saja. Terlalu berisik di sini," sindirnya sembari mendelik meja seberang.
Shikamaru tak menunggu persetujuan Hinata. Laki-laki itu langsung pergi beberapa langkah di depan perempuan bernama Konan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh detik Hinata sendirian di meja makan. Ia menguatkan tekad. Hinata bangkit dan ikut pergi seperti yang lain.
Sekilas Hinata bisa merasakan lirikan Chouji, Asuma, dan Jean padanya saat melintas. Tapi Hinata tak ada waktu untuk menyapa. Ia perlu menenangkan hatinya yang tak karuan sejak dua minggu lalu. Jadi, Hinata putuskan untuk menghadapinya. Menghampiri laki-laki berambut merah yang tahun lalu dengan gila dinantikannya.
Kepulan asap terlihat. Pria itu memunggungi Hinata. Satu, dua. Hinata menggigit bibir bawahnya sesaat. "Bisa kita bicara, Gaara?"
Terima kasih atas dukungannya!
finest: Bagaimana? Sudah lebih sempit belum nih dunia Sasuke dan Hinata? Tunggu chapter berikutnya untuk melihat yang lebih sempit, ya! ;)
