Candy
.
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
.
.
What makes you laugh
I hope it's me
~
Baekhyun ~ Candy
.
.
Sejujurnya, Ino tidak tertarik dengan murid baru itu. Dia nyaris tak pernah memperhatikan kebiasaannya yang tidur di kelas sepanjang waktu istirahat atau hukuman-hukuman yang diterimanya karena tak memperhatikan pelajaran. Namun terkadang nasib bisa menunjukkan jalannya untuk mengenalkanmu pada seseorang yang bahkan awalnya luput dari pengawasanmu. Entahlah, rencana Tuhan seringnya sulit untuk dipahami.
.
.
Gerimis malam bukan sesuatu yang patut untuk disyukuri. Ino berdiri di halte, berteduh disana sembari mengeringkan beberapa buku yang sedikit basah di tangannya. Arlojinya menunjuk pukul sembilan malam, dan suasana sedikit sepi membuatnya nyaris tak tahan berada disana lebih lama lagi. Dia menghela napas panjang, memperhatikan jalanan yang terguyur gerimis dan menggerutu dalam hati karena tak membawa payung. Yah... tapi siapa yang tahu bakal ada gerimis yang membuatnya susah begini.
Ia agak terkejut ketika melihat pemuda yang berlari dari arah kiri. Rasanya Ino mengenal bocah itu. Bukankah Inuzuka Kiba, apa yang terjadi padanya? Namun belum sempat bertanya, Kiba sudah masuk ke dalam semak-semak di dekatnya. Berjongkok, seolah dia tengah bersembunyi dari seseorang. Di dorong oleh rasa penasarannya, gadis itu menoleh ke arah persembunyian dan mendapati pemuda itu meletakkan telunjuk di bibir. Memberi isyarat agar ia tetap tutup mulut. Apa sih maksudnya? Tapi Ino toh tak ambil pusing. Ia kembali memperhatikan gerimis yang masih turun dengan intensitas yang makin deras.
Tidak lama kemudian seorang pria setengah baya tampak berjalan tergopoh-gopoh, dia mengedarkan pandangan seperti tengah mencari sesuatu. Ketika pria itu berhenti di depan Ino, gadis itu bisa melihat gurat kemarahan yang begitu kentara disana.
"Maaf Nona, apa kau melihat bocah berambut coklat lewat sini? Maksudku, dia memakai jaket abu-abu." Suaranya terdengar begitu kepayahan.
Jelas Kiba yang dimaksud pria itu, siapa lagi yang lewat situ dengan ciri-ciri rambut coklat dan jaket abu-abu. Tapi, ia ragu untuk memberitahu yang sebenarnya sebab mungkin saja Kiba akan menghabisinya kalau sampai ia memberi tahu pria itu. "Kurasa dia tadi lari kesana" Tangannya menunjuk arah kanan, dan merasakan jantungnya berdebar kencang ketika pria itu menatapnya intens.
"Sudah kuduga dia bakal lari sejauh-jauhnya. Awas saja kalau kena, bakal kupukuli dia." Gerutunya pelan. "Terimakasih Nona."
Ino mengangguk, menyunggingkan senyum tipis ketika pria tersebut berlalu meninggalkannya. Dan punggungnya yang tegang terasa ringan mendadak. Diam-diam ia mengembuskan napas lega sembari menoleh ke persembunyian Kiba.
Pemuda Inuzuka itu tersenyum, keluar dari semak-semak ketika merasa posisinya sudah aman. Well, demi Tuhan Ino agak terpana melihat senyum tipis itu, karena sejak masuk sekolah ia belum pernah melihat bocah nakal tersebut menampakkan ekspresi seramah itu. "Thanks ya."
Gelenyar aneh merambat sepanjang tulang belakangnya. Ia pikir itu karena dingin yang seolah membekukan udara, tapi mungkin tidak. "Uhm, oke."
Kiba melambai, berjalan menjauh. Namun belum sampai langkah ke lima dia menoleh, menampakkan ekspresi yang tengah berpikir. "Eh namamu Yamanaka kan? Yamanaka Ino?"
Tidak tahu harus menjawab apa, gadis itu hanya mengangguk. Masa beberapa hari berada dalam satu kelas, pemuda itu masih tidak tahu namanya.
"Sampai jumpa di sekolah."
Ino nyaris menggumamkan kalimat yang sama. Tapi mengingat hubungannya dengan kiba yang nyaris transparan dan sama sekali tidak bisa dibilang dekat membuatnya ragu. Besok atau paling lambat lusa, pemuda nakal itu pasti akan melupakan insiden malam ini. Jadi, abaikan saja lah Ino.
Namun ia tidak berhenti memikirkan pria setengah baya yang mengejar Kiba tadi. Apakah paman-paman itu ayahnya? Kenapa tidak mirip.
.
.
Tampilannya mungkin sama saja antara Kiba yang ditemuinya malam kemarin dan Kiba yang pagi ini hadir di kelas. Rambutnya yg entah sengaja atau memang di model tak rapi, ekspresi wajah yang seperti tak terlalu peduli dengan sekitar, serta kegiatan tidurnya tiap kali sampai di kelas. Duh, apa anak itu juga seperti itu di sekolah lamanya? Ino tak terlalu ambil pusing, tapi pertemuannya dengan cowok itu malam kemarin agak membuatnya terganggu. Pelanggaran apalagi yang dilakukan bocah Inuzuka itu?
.
.
Bu Guru Kurenai memanggilnya usai pelajaran Biologi, sepanjang perjalanan ke ruang guru ia bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah ia lakukan hingga guru favoritnya itu sampai ingin bicara empat mata dengannya? Mungkinkah ulangan hariannya beberapa waktu lalu kurang memuaskan? Atau kah ada masalah yang lain. Tapi pemeberitahuan ini ternyata lebih mengerikan ketimbang apapun. Bagaimana mungkin wanita satu ini menyuruhnya jadi tutor seorang Inuzuka Kiba? Astaga yang benar saja.
"Ini permintaan Tuan dan Nyonya Inuzuka. Bukan berarti mereka menginginkan mu mendampingi Kiba, tapi sebagai wali kelasmu aku merekomendasikanmu." Kata sang guru dengan nada sederhana, tidak tahu jika muridnya tertekan akan tugas itu. "Bagaimana Ino? Lagi pula apa salahnya mengajari Kiba, setidaknya itu baik kan? Kalau sampai dia masuk perguruan tinggi favorit setahun setelah ini, orang tuanya pasti sangat berterima kasih padamu."
Bukan masalah itu, Yamanaka muda itu sampai tak bisa mengatakan apapun sebagai penolakan, tapi bukan berarti ia setuju. Ayolah, murid baru itu kelihatannya bandel luar biasa. "Kenapa harus saya? Masih ada Sakura yang juga sering juara kelas."
"Sakura membawahi banyak sekali ekskul, aku tidak merekomendasikan ini untuknya."
Tapi kan ada Hinata, Tenten, dan bahkan beberapa murid lelaki seperti Sasuke, Neji dan Gaara, kenapa harus dirinya?
"Ku rasa kau juga mampu mengatasi anak itu, dia tidak pernah bermasalah denganmu kan?"
Memang tidak, tapi kan... Ah, sejujurnya ia tak suka ide ini. Yang benar saja, orang tua Kiba tinggal memasukkan bocah itu ke tempat les, bukankah itu mudah? Tidak perlu tutor segala.
"Dia keluar masuk bimbingan belajar, berangkat tapi tidak sampai tempat." Wanita itu memberikan jawaban, seolah tahu apa yang dipikirkan muridnya.
Mau menolak, Ino merasa tidak enak. Bu guru Kurenai memilihnya pasti bukan karena alasan sepele, bukti bahwa wanita itu begitu percaya padanya tampak begitu jelas. Jadi, akhirnya ia menerima tugas itu, sembari memikirkan nasibnya nanti. Ah, yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Inuzuka mau belajar bersamanya?
.
.
Sakura tidak berhenti tertawa mendengar penuturannya, sedikit tak habis pikir karena ayolah Hinata yang levelnya lebih sabar bisa menangani Inuzuka pastinya.
"Kenapa dia tidak merekomendasikan tutor laki-laki saja, ku rasa itu bakal lebih mudah. Shikamaru, atau Sasuke sepertinya cocok untuk menjinakkan spesies semacam Kiba."
Spesies? Ino nyaris tergelak, andai saja tak ingat jika bangku kantin di sekitar mereka di penuhi banyak sekali siswa dari berbagai macam kelas. "Yeah, sepertinya Bu Guru Kurenai sedang berusaha mengerjaiku."
"Kurasa tidak, dia hanya sedang mengujimu." Kerut kening Sakura serta senyum tertahannya menampakkan semua olokan yang--demi Tuhan, Ino ingin melempari wajah itu dengan sepatu pantofelnya--terlalu jujur.
" Apa bedanya?"
"Jelas itu beda."
Tapi Ino tidak menemukan perbedaan dalam dua makna kata itu.
.
.
Ino nyaris kehabisan kesabaran, dia sudah menjelaskan panjang kali lebar mengenai rumus aljabar tapi fokus Kiba justru ke mana-mana. "Kau memperhatikan tidak sih?" Ia sudah menahan sejak tadi, sebab perpustakaan kota yang hening dan nyaman untuk belajar bukanlah tempat yang cocok untuk marah-marah.
"Memperhtikan kok."
Yamanaka muda itu mendengus, jelas sekali Kiba dari tadi hanya memperhatikan gerak bibirnya namun tak melihat apapun yang ia jelaskan di buku. Antusiasmenya juga kurang, kalau seperti ini mana bisa ia membuat si Inuzuka memperoleh nilai bagus. Astaga, baru hari pertama tapi rasanya sudah membuatnya muak sampai ubun-ubun. "Bohong, kau tidak mendengarkanku."
Kiba mengalihkan tatapan sejenak ke arah jendela, dimana gerimis halus mulai turun, titik-titik airnya menempel di kaca yang bening. "Aku bosan."
Ino rasanya ingin menangis di tempat, benar-benar berat seperti dugaannya. "Ayolah Inuzuka, bekerja samalah. Kalau sampai aku tak berhasil membuatmu dapat nilai bagus saat ujian nanti, reputasiku bakal hancur."
"Reputasi?" Kiba tergelak, ekspresi sedih dan genangan air di kubangan biru jernih iris gadis itu benar-benar tak bisa disembunyikan, dan ini konyol.
"Jangan tertawa di atas penderitaan orang lain dong."
"Berlebihan sekali kau," netranya memperhatikan Ino lekat-lekat, dan merasa sosok Ino yang yang muram begini kurang cocok. Yang terekam dalam memori selama beberapa minggu satu kelas dengan si cewek Yamanaka adalah sosok yang ceria, suka tersenyum, dan ramah pada teman sekitar. Sejujurnya Ino yang seperti itu lebih menyenangkan untuk ditatap dari pada Ino yang ada di hadapannya sekarang. "Aku bisa dapat nilai sempurna kalau aku mau, tapi sayangnya aku tak mau."
Ino tertegun dengan pernyataan barusan, apa maksudnya itu? Kalimat sombong untuk menutupi kekurangan? "Kenapa?"
Kerut di kening cewek itu agak melunturkan ekspresi sedihnya, setidaknya rasa ingin tahu Ino soal topik ini membuat Kiba sedikit lega. Tapi entah lega karena apa. "Karena aku suka begini."
"Ya Tuhan Inuzuka yang serius dong."
Kiba tergelak, dan membuat lawan bicaranya makin merengut. Ia sudah berencana membuat sang tutor menyerah di pembelajaran awal, dan tak ingin menemuinya lagi untuk kedua kali. Tapi Ino Yamanaka sepertinya pengecualian. Cewek yang diam-diam sering dibicarakan para cowok di sela-sela acara istirahat, pelajaran olah raga, dan saat berada di toilet ini menarik juga. "Jadi rencanamu bagaimana? Memperbaiki nilai ulangan harianku?"
"Itu salah satunya."
Inuzuka mengangguk. Ini tidak akan sulit, cewek itu bakal terkejut jika tahu ia tak sebodoh yang dipikirkan semua orang.
.
.
Bertemu Kiba usai sekolah seolah jadi rutinitas wajib beberapa hari belakangan, namun Bu Guru Kurenai tetap menegurnya perihal tidak ada perubahan nilai dalam pelajaran apapun yang selalu coba Ino bahas bersama pemuda itu. Padahal Kiba selalu memperhatikannya, meski sebagian lagi atensinya entah kemana. Rasanya Ino ingin menyerah, seolah Kiba berusaha mengerjainya atau bagaiamana. Ada saat-saat tertentu ketika pemuda itu mampu menyanggahnya, dan berhasil menjawab tapi kadang juga dia tampak malas untuk sekedar memegang pena.
Seperti hari ini, janjian mereka di perpustakaan kota dibatalkan lantaran Kiba bilang dia malas keluar rumah, dan Ino yang seharusnya menjadi seseorang yang dibutuhkan justru yang harus rela pergi ke rumah keluarga Inuzuka. Sialan Kiba, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
.
.
Cowok itu membukakan pintu untuknya setelah tiga kali Ino memencet bel, dan rambut coklatnya yang tampak awut-awutan seolah sengaja tak disisir. Dia habis bangun tidur?
"Ternyata kau," Kiba membukakan pintu sedikit lebih lebar, "ku kira kau nggak bakal sudi datang kemari. Omong-omong aku di rumah sendirian."
Ino mengerjap, sejenak memahami kalimat aneh si lawan bicara. "Memangnya kenapa kalau kau sendirian di rumah?"
Kiba menahan tawanya, dan memilih mengedikkan bahu. "Entahlah Nona jenius, apa yang mungkin bisa kau pikirkan soal laki-laki dan perempuan yang tengah berada di rumah yang sepi?"
Pelipis Ino serasa berkedut, ia paham ke arah mana guyonan lelaki itu. Bahkan ketika Kiba menepi untuk mempersilahkannya masuk, Ino justru ingin lari dari sana. "Kalau kau sampai melakukan hal yang tidak-tidak padaku, aku akan menusuk matamu pakai gunting."
"Pffttt.. " Kiba tergelak, ia cuma bercanda tapi respon Ino kelewat serius. "Masuklah."
Rumah Kiba tampak sederhana dari luar, tapi arsitektur bagian dalamnya luar biasa menakjubkan. Lampu candelier terpasang di atas ruang tamu, sofa-sofa tertata apik dengan hiasan tanaman hijau asli di sudutnya. Dindingnya berwarna nude, sementara ruang tengah yang ia yakini sebagai ruang keluarga sepertinya sengaja dicat moca dengan tone warna sedikit lebih gelap.
"Mau minum apa?" Kiba membuka kulkas, dan menyadari nyaris tak memiliki apapun kecuali yogurt rasa stroberi dan susu cokelat milik sang ibu. "Yogurt mau?"
"Air putih saja." Ino mengamati Kiba yang mengembalikan yogurt botolan itu ke dalam kulkas. Fokusnya kini beralih ke foto keluarga yang terpajang rapi di sisi kanan ruang makan. Foto-foto saat Kiba masih kecil, foto Kiba bersama seorang perempuan yang sepertinya usianya tidak jauh dari si pemuda, dan foto keluarganya. "Jadi kau punya kakak?"
Bunyi 'buk' pelan kulkas yang ditutup terdengar sampai telinga Ino, membuat cewek itu menoleh sekilas, meski atensinya kini kembali ke si pemilik rumah.
"Hm."
"Sekarang, kuliah?"
"Yeah."
"Dimana?"
"Melbourne, dia ambil Kedokteran Gigi."
"Wow." Melbourne? Keren. Barangkali karena hal itu orang tua Kiba bersikeras mencarikan tutor untuk mengajari Kiba, karena bagaimana pun, sebagai anak kedua kau akan selalu dibandingkan dengan anak pertama jika kau tak mampu melampui kakakmu, atau minimal setara dengannya.
"Aku juga bisa masuk Oxford kalau aku mau."
Ino memutar bola mata, kambuh lagi sifat sombongnya.
"Oh ya, Yamanaka kau mau dipesankan makanan apa? Aku benar-benar tak mamiliki apapun untuk menyambut kedatanganmu."
Entah kenapa Kiba seolah peduli sekali dengan apapun yang akan dihidangkan untuknya, tapi sisi Kiba yang seperti ini membuatnya diam-diam merasa nyaman. Aneh sekali, Kiba yang ini dan yang Ino temui di sekolah sangat bertolak belakang. "Please, Inuzuka. Aku kesini untuk mengajarimu, bukan untuk mengajakmu makan bersama."
"Oke, oke. Nona jenius."
.
.
Ada debar tak tenang di jantungnya sejak bangun tidur pagi tadi. Ujian kimia sudah di depan mata, hasil akhir menentukan banyak hal. Tapi bukan hasil ujiannya yang ia khawatirkan, melainkan hasil ujian si lelaki Inuzuka. Kalau masalah belajar, Ino yakin ia nyaris hafal tema dan rumus yang bakal banyak keluar dalam soal, tapi bagaimana dengan Kiba? Terakhir kali ia mengajari Kiba, cowok itu justru ketiduran di atas buku catatannya, sungguh bikin kepala Ino pening.
Tadi pagi, ia mengirim pesan singkat. Isinya hanya 'jangan sampai terlambat, ini hari yang sangat sakral,' tapi Kiba tak membalasnya hingga kini. Padahal Ino sudah menyiapkan rangkaian kalimat pertanyaan seputar soal yang mungkin belum dikuasai cowok itu, tapi setengah hatinya enggan terlalu perhatian. Kiba jelas tak akan menangkap niat baiknya, tapi justru menganggapnya Nona sok jenius yang cerewet.
"Kau sakit? Aku ada paracetamol di loker." Dengan buku tebal di tangannya, Sakura tampak cukup rileks pagi ini, meski beberapa hari belakangan dia sering mengkhawatirkan nilai ujian Kimianya. "Kau agak pucat."
"Benarkah?" Pasti Sakura bisa merasakan ekspresinya yang kalut berat. Baru saja hendak menenangkan Sakura jika ia tidak apa-apa, tapi ia justru menemukan sosok Kiba tengah berdiri di depan lokernya. Cowok itu sepertinya baru saja sampai di sekolah. "Sebentar, aku ada urusan dengan Inuzuka."
Haruno muda itu mengernyitkan kening, "inikah yang membuatmu khawatir dari tadi?"
Tapi Ino mengabaikannya, seolah tak punya waktu lagi. Tidak lucu kalau ia harus lari mengejar Kiba jika cowok itu sudah pergi dari sana. "Hei."
Mendengar suara yang familiar, Kiba menutup lokernya, tak jadi mengambil komik Conan yang hendak ia bawa ke kelas. Sudah ia duga, Yamanaka Ino bakal menemuinya pagi ini. "Pagi."
Ino mendengus melihat respon Kiba, masih pagi loh bocah satu ini sudah kelihatan malas menjalani aktivitas. "Dengarkan aku Inuzuka--"
"Kiba, panggil aku Kiba."
"Oke, Kiba. Dengarkan aku, naik tidaknya nilaimu bakal jadi bagian dari urusanku juga. Jadi kumohon bekerja sama lah, kerjakan soalnya baik-baik, ya?"
"Yeah, Miss."
"Kiba, aku serius."
"Aku juga serius." Hiruk pikuk loker tak lagi membuatnya terusik, fokus Kiba sepenuhnya teralihkan pada biru jernih iris mata di hadapannya. Warna birunya secerah langit musim semi, dan kadang-kadang ketika menatap kedalamnya ia seolah terhipnotis. Ino sadar tidak ya kalau dia cantik sekali.
"Kau kelihatan nggak serius sama sekali."
Kiba menumpukan tangan di pintu loker, di dekat kepala pirang cewek itu sembari menunduk, mendekatkan wajah mereka. "Dengar Ino, kalau aku berhasil melampaui nilaimu, kau harus jadi pacarku."
Ditatap sedemikian dekat membuat jantung Ino bertalu-talu. Ia yakin, Inuzuka Kiba bukanlah tipenya. Si pemalas tingkat dewa itu tak cocok dengan apapun tentangnya. Saking dekatnya posisi mereka, ia sampai bisa merasakan hembusan napas pemuda itu menerpa dahinya, menyebar hingga ke pipi. "Yeah, oke."
"Aku serius, Ino."
Ino mengangguk mantap. "Kita buktikan saja nanti, karena kau tidak akan mampu melampauiku."
Kiba menarik diri, tergelak usai melihat semu merah di pipi pualam gadis itu yang sudah menjalar sampai telinga. Mudah sekali membuat cewek itu salah tingkah. "Lihat, siapa sekarang yang sombong."
"Aku tidak sombong, kalimatmu barusan membuatku ragu." Ino memilin ujung rambutnya yang hari ini sengaja ia urai. "Terlalu tidak mungkin, kau seperti sedang bilang kalau beruang bisa bertelur."
Kening Kiba mengernyit, dan dia tergelak lagi. Bel masuk berbunyi sebelum keduanya melanjutkan sesi adu mulut yang seolah tak ada ujungnya itu.
.
.
"Wow, apa Inuzuka hampir menciummu?"
"Tentu saja tidak, Sakura."
"Tapi yang tadi itu," Sakura tak mampu membayangkannya, "maksudku, anak-anak disana bahkan menahan napas karena mengira kau dan Inuzuka hampir--"
"Lupakan, oke. Kita harus segera masuk kelas sebelum ujian dimulai."
Sakura tersenyum sekilas melihat kekesalan yang meluap-luap dalam kilat mata si sahabat. "Oke."
.
.
Bu Guru Kurenai menepuk pundaknya ketika mereka berpapasan di lorong dekat perpustakaan. Senyum cerah wanita itu yang nyaris tak pernah Ino lihat membuat wajahnya yang biasa tampak serius jadi agak aneh. Yeah, entah itu pantas disebut sebagai kemajuan atau kemunduran. Ada banyak pertanyaan dalam otak yang belum sempat ia tanyakan ketika wanita itu berujar kelewat bangga.
"Benar-benar tepat aku memilihmu untuk menjadi tutor Inuzuka."
Ino mengerjap, tak terlalu paham. Akhir-akhir ini ia jarang bertemu Kiba, mereka hanya sesekali saling mengirim pesan dan itu sama sekali tak membahas apapun soal tugas atau sekolah. Ino terlalu sibuk belajar untuk mempersiapkan ujiannya, dan sedikit mengabaikan Kiba sembari berharap agar cowok itu tak mengecewakannya. Meskipun ujian sudah berakhir dua minggu lalu, namun belum ada kesempatan yang membuatnya berinteraksi dengan cowok itu. Menjelang kelulusan, Kiba justru tampak lebih akrab dengan Sasuke serta klub papan atasnya. Hanya sesekali sih mereka tampak saling bicara di kelas, dan juga berjalan pulang melewati gerbang bersama Naruto juga. Tapi, Kiba lebih seringnya sendirian, seolah tak ingin diusik siapapun. Aneh, si berandalan mendadak akrab dengan para bintang sekolah.
"Hasil ujiannya sudah keluar, kau belum lihat?" Mendapati salah satu siswa kesayangannya itu tampak bingung sejak tadi, membuatnya bertanya demikian.
"Benarkah?"
"Yeah, di mading depan aula."
Ino mendadak lupa dengan kehadiran Bu Guru Kurenai, karena detik berikutnya langkah cepat kakinya sudah membawanya ke lorong menuju gedung sayap kanan sekolah, di mana bangunan aula berdiri kokoh di dekat pohon ginko.
Ino sempat mengirim pesan singkat pada Sakura, dan berpikir si Haruno masih ada di kantin, atau mungkin di perpustakaan. Entahlah. Yang jelas, Ino ingin melihat hasil ujiannya. Mari kita lihat ia berada di urutan berapa?
.
.
Yeah, lumayan. Ia mampu mengalahkan Sakura di ujian ini, namanya bertengger di urutan ke lima sementara Sakura di urutan keenam. Soal nilai, nilainya juga cukup bagus. 9,1 untuk matematika dan 9.0 untuk kimia. Tapi yang membuat jantungnya mencelos adalah si juara satu. Melampaui Shikamaru dan Sasuke, yang biasanya saling berebut di urutan paling atas.
'Inuzuka Kiba'
Ino mengeja satu persatu hurufnya. Ini benar Kiba? Kiba yang selalu malas mendengarkan penjelasannya itu? Yang benar saja, matematikanya nyaris sempurna. 9,8 dan kimianya 9,6. Astaga, dia dapat kunci jawaban darimana.
"Lihat, bukankah kau harus menepati janjimu."
Suara bass yang familiar mendadak membuat Ino nyaris melompat, sejak kapan cowok itu ada disini? "Kau berbuat curang?"
"Mana mungkin." Kiba menantang tatapan agak kesal dihadapannya, seru juga melihat cewek yang selalu percaya diri itu kini merengut suntuk.
"Ini pasti cuma kebetulan." Tapi kalau memang cuma kebetulan, tidak mungkin nilai Kiba merata bagus untuk semua mata pelajaran yang dujikan. Cowok itu pasti curang kan?
"Percayalah, aku nggak sebodoh yang dikira orang-orang." Jemarinya menyugar rambut, sembari menatap murid-murid di sekitarnya yang sama tak percayanya dengan si cewek Yamanaka.
Ino masih tak tahu harus berkata apa. Ada banyak sekali pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan, dan ia justru memilih mematung. Memahami apa yang terjadi sebelumnya. "Jadi selama ini kau membohongi kami semua?" Kerut di kening, kesal dalam dada, dan gejolak panas di matanya sudah cukup untuk menunjukkan kemarahannya. "Itukah alasanmu selalu malas mendengarkan penjelasan ku? Karena kau sudah menguasai isi materinya, aku pasti tampak konyol sekali di matamu." Tak ada alasan lagi berada di tempat itu, jadi ia memilih berjalan pergi.
"Hei, bukan begitu maksudku." Kiba menahan tangan cewek itu. "Dengar, boleh aku menjelaskan sesuatu?"
Ino menghentakkan tangan Kiba, tapi pegangan si pemuda terlalu erat.
.
.
"Aku punya alasan kenapa melakukan ini." Kiba berjalan di sebelahnya, kendati Ino tak menghiraukannya sejak tadi. Ia sampai repot-repot menyuruh Sakura pulang duluan agar bisa menemani Ino pulang sekaligus memberi penjelasan. "Orang tuaku jelas menyuruhku ambil beasiswa ke Oxford. Dan ini tidak ada dalam rencana hidupku."
Ino baru mau menoleh mendengar kalimat Kiba, mendadak ucapan cowok itu tempo hari jadi terasa masuk akal.
"Ayolah, aku bahkan rela masuk penjara daripada harus pergi ke Eropa, lalu kuliah disana."
"Tapi, kenapa?"
Helaan napas pelan ia lontarkan untuk menghilangkan sedikit kekalutannya, "aku kan sudah bilang, itu tidak ada dalam rencanaku." Jeda sejenak. "Mereka memaksaku ambil farmasi disana, dan yeah melengkapi anggota keluarga mereka yang nyaris seluruhnya berprofesi sebagai tenaga kesehatan."
Si pirang mulai paham arah percakapan ini. Tentang Kiba yang dikeluarkan dari sekolah lamanya karena bertengkar dengan anak si kepala sekolah, keluar masuk bimbingan belajar, suka tidur di kelas, dan jadi anak bandel di tiap kesempatan. Apa Kiba yang sebenarnya bukan sosok yang seperti itu? "Jadi, apa rencanamu?"
"Mungkin membentuk band, dengan Sasuke yang jadi vokalisnya."
"Hah?" Ino kira jawaban Kiba bakal sesimple masuk Todai jurusan pertanian atau apapun itu yang tidak berhubungan dengan jurusan kesehatan, tapi mana mungkin begitu. "Apa untuk alasan itu kau mendadak akrab dengan Sasuke dan Naruto."
Kiba mengerjap, mengalihkan atensinya dari lalu lalang mobil di sekitar mereka ke arah Ino. "Kau memperhatikanku?" Alisnya berkerut, dan bibirnya melukiskan senyum tipis.
"Apa? Mana mungkin begitu, aku kan hanya--" Hanya apa? Hanya penasaran? "Hanya heran saja kau tiba-tiba berjalan dengan kelompok anak-anak keren sekolah."
Cowok itu tergelak mendengar jawaban Ino yang agak terjeda. "Aku, Naruto dan Sasuke akrab waktu SMP. Dan kami sudah memikirkan pembentukan band itu dari saat usia kami tiga belas." Melihat ekspresi Ino yang sesekali antusias mendengar penjelasannya membuat Kiba gemas sendiri. "Lagipula itu salah satu alasanku pindah ke sekolah ini, karena ada mereka."
Oh, astaga. Ia tak habis pikir dengan segala hal yang dipikirkan Kiba. "Oh iya, waktu itu, maksudku malam itu, kenapa ada paman-paman yang mengejarmu?"
Sejenak Kiba tampak mengingat sesuatu, sebelum kembali tertawa. "Dia paman penjual buah dekat taman kota. Dia marah sekali ketika aku membagikan apelnya pada anak-anak kecil yang lewat depan tokonya."
"Konyol." Ino sungguh tak habis pikir.
"Tapi tenang saja, ayahku bertanggung jawab kok. Dia mengganti kerugiannya, tapi yeah... dengan memotong uang sakuku sebagai hukuman."
Semilir angin yang menerbangkan dedaunan kering maple terasa segar di pori-pori kulitnya. Tawa tanpa beban itu diam-diam membuatnya ikut tertawa, heran tak berkesudahan. Cowok Inuzuka itu sangat berbanding terbalik dengannya yang sering mengkhawatirkan banyak hal, sering panik sendiri, tak suka tantangan, dan menganggap semua peraturan harus ditaati.
"Ino."
"Hm."
"Jika ada yang membuatmu tertawa, ku harap itu aku."
Jantung Ino seolah berhenti berdetak, dan apa-apaan tatapan mata teduh itu? Seperti bukan Kiba sekali.
.
.
"So, kita benar-benar sudah jadian kan?"
"Eh?"
"Kita sudah menyepakati ini loh."
.
tbc
.
Aku bingung mau ngasih judul apa, akhirnya judulnya ngikutin judul inspirasi lagunya. Fic ini sudah ditulis lama sekali, sekitar tahun 2020 an, saat lagu candy itu muncul. Aga ragu sebenernya mau upload ini, tapi jika berkenan tingglkan kritik dan saran
Thanks
.
~Lin
2 Oktober 2024
