Takius terbangun oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela. Dia tahu bahwa kain yang menutupi bagian bawah mata kanannya agak tergeser karena terasa sinar matahari pagi membayang dari balik kelopak mata. Masih sambil menutup mata setengah mengantuk, tangannya bergerak naik berniat untuk membetulkan posisi kain tersebut.
Namun tiba tiba tangannya berhenti di udara dan jatuh terkulai lemas. Kesadarannya telah kembali, menampilkan kilas balik apa saja yang sudah terjadi kemarin dalam kepala, membuat dia mengumpat dalam hati kepada alkohol keras itu. Semalam rasanya kamar itu luar biasa panas meskipun angin dingin berhembus di luar menara sihir.
Gadis mage itu merasakan ada seseorang yang tidur di belakang punggungnya, sudah pasti itu adalah Robin. Takius masih diam menutup mata sambil berbaring menghadap jendela. Dia mempertimbangkan keputusannya sebelum membulatkan tekad.
"Maafkan aku, Guru. Hanya sekali ini saja" bisik Takius.
Dengan hati hati agar tidak membangunkan Robin, Takius mengubah posisi tubuhnya dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Dia menolehkan kepalanya ke samping dan pelan pelan membuka mata.
Dari kain penutup mata yang tergeser, ada celah kecil di bagian bawah yang membuatnya bisa melihat sedikit dengan mata kanan. Rasanya sedikit silau dan berbayang karena sudah lama sejak terakhir kali dia melihat sesuatu dengan mata langsung. Perlu waktu beberapa saat bagi matanya untuk menyesuaikan dengan cahaya di sekitar.
Mata kanan berwarna abu abu tersebut menatap lekat wanita berambut hitam sebahu yang berbaring miring tanpa busana tertutupi oleh selimut. Tanpa berkedip, dia berusaha mematri jelas paras cantik berhidung tinggi itu dalam ingatan. Dia terpesona mengagumi wajah eksotis itu sekaligus merasa sedih karena mungkin tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Setelah 10 detik berlalu, akhirnya Takius merasa sudah cukup. Sambil menghela nafas berat, tangan kanannya naik membetulkan kain hitam itu agar bisa menutup mata kanannya dengan sempurna. Dia turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, dan membawanya berjalan menuju kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup dan suara air dari shower terdengar, Robin membuka matanya. Sesungguhnya dia sudah bangun dari tadi sebelum Takius. Dengan kekuatan Hana Hana no Mi, arkeolog itu memunculkan satu matanya di plafon kamar dan melihat bagaimana Takius diam diam menatap dirinya dari balik celah kain penutup mata yang bergeser itu.
Robin punya aturan tersendiri setiap kali melakukan petualangan malamnya, yaitu dia tidak pernah mau tertidur sampai pagi dengan orang yang melewatkan malam bersamanya. Begitu urusan mereka selesai, dia akan langsung pergi begitu saja meninggalkan teman seranjangnya tanpa peduli seperti apapun mereka membujuknya untuk tetap tinggal.
Aturan itu dibuat karena dia tidak pernah percaya kepada siapapun. Tentu dia tidak mau lehernya mendadak lepas saat tertidur lelap di samping orang asing yang tidak sengaja dikenalnya di bar.
Setelah bergabung dengan Straw Hat Pirates, Robin jauh lebih santai. Bersama mereka membuatnya merasa aman, mereka takkan mencelakainya dan tidak mungkin ada yang bisa menyusup masuk ke Going Merry atau Thousand Sunny tanpa ketahuan. Hanya saat bersama teman temannya, dia bisa tertidur lelap.
Mungkin karena sudah terlalu lama tidak melakukan petualangan malam sejak meninggalkan Alabasta atau karena berbulan bulan berbagi kamar dengan Nami membuatnya tanpa sadar bisa tidur tenang meskipun ada orang lain di ruangan yang sama, semalam Robin melanggar aturannya sendiri.
Dia terbangun setelah tertidur sesaat. Begitu menyadari orang yang tidur di sampingnya bukan Nami, secara refleks Robin nyaris melompat dari ranjang. Ketika mengenali siapa orang tersebut, arkeolog itu menghembuskan nafas lega sambil berbaring mengingat kembali apa saja yang sudah terjadi.
Sebenarnya ini adalah kesempatan untuk langsung pergi begitu saja. Dari jendela terlihat bahwa di luar masih gelap, masih banyak waktu sebelum matahari terbit. Tapi sebagian besar hatinya ingin tetap tinggal dalam kamar bersama gadis penyihir itu hingga pagi nanti.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Robin mengambil keputusan. Dia memejamkan mata sambil merapatkan selimut, mencoba untuk tidur kembali. Malam itu, dia bisa tidur lelap untuk pertama kalinya meskipun terpisah jauh dari teman temannya dan berada seranjang dengan orang yang baru dikenalnya dalam waktu kurang dari 24 jam.
Pengaruh alkohol yang sudah hilang membuat suasana menjadi canggung di antara dua perempuan yang baru saja melewatkan satu malam bersama itu. Sedari tadi, mereka berdua hanya berbasa basi dengan canggung mengenai rencana pulang ke Grand Line dan Prontera.
Sambil mengenakan sepatunya, Robin melirik Takius yang berdiri bersandar di tembok sambil melipat tangan. Isi pikirannya tak bisa diprediksi karena wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Robin sudah selesai memakai sepatu. Dia mengenakan ranselnya, bangun dari kursi, dan berjalan ke hadapan Takius lalu meletakkan telapak tangan kanannya di wajah kiri mage itu dan mengelus pipinya pelan tanpa berkata apapun. Dalam hati, dia bingung kalimat apa yang sebaiknya diucapkan untuk salam perpisahan.
Takius mengangkat tangan kirinya naik menggenggam tangan kanan Robin dan menoleh sedikit untuk mencium telapak tangan hangat beraroma bunga itu. Dia masih menggenggam tangan itu dan menempelkannya di wajah sambil bertanya "Apa Nee-san akan datang ke konferensi 5 tahun lagi?"
Dari balik kain hitam itu, Robin bisa merasakan bahwa ada sepasang mata abu abu yang menatapnya dengan penuh harap. Pertanyaan yang sulit dijawab karena nyawanya akan selalu terancam oleh World Government. Masih bisa hidup setelah 20 tahun dikejar dan dihantam dua kali Buster Call sudah menjadi rekor.
Akhirnya dia memutuskan untuk menjawab "Aku pasti akan datang 5 tahun lagi kalau aku masih hidup"
Jawaban yang suram, membuat Takius terdiam tak tahu harus merespon apa. Namun dia memahami bahwa tak ada yang salah dari jawaban itu karena mereka berdua sama sama menjalani hidup berbahaya dengan cara berbeda. Lebih baik tidak usah berjanji apapun karena nyawa mereka bisa melayang kapan saja.
"Jangan mati dulu. Datanglah 5 tahun lagi untuk bertemu denganku"
Meski mengucapkan kalimat itu sambil tersenyum, Takius tahu bahwa tangan kirinya bergetar sambil menggenggam tangan kanan Robin. Pastilah wanita arkeolog itu bisa merasakan getarannya juga.
"Kau juga jaga diri baik baik, jangan sampai mati dibunuh monster" jawab Robin sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan untuk mencium kening gadis itu sambil menghirup aroma hutan yang mungkin tidak bisa ditemukannya di tempat lain.
"Sampai jumpa 5 tahun lagi, Takius" ucap Robin dengan berat hati sambil melepaskan tangan kanannya. Dia berbalik dan melangkah membuka pintu lalu pergi begitu saja meninggalkan gadis mage itu termenung sendirian.
Takius masih terdiam berdiri di tempatnya, mendengarkan suara langkah kaki Robin yang semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pendengaran. Dia hanya bisa menarik nafas dalam dalam berusaha mengisi paru parunya dengan sisa aroma bunga yang semakin tipis terasa di ruangan itu.
Dalam hati, dia mengumpat tentang betapa ironis dirinya saat ini. Sekitar dua belas jam yang lalu dia berusaha keras tidak menghirup terlalu banyak aroma bunga tersebut, tapi sekarang malah tidak ingin aroma itu menghilang dari penciuman.
"Kelihatannya aku harus berburu monster lebih banyak agar dikirimi surat undangan lagi"
5 tahun kemudian
"Ada surat untukmu, Robin!" Nami membuka pintu ruang makan dan menyodorkan dua buah amplop ke hadapan Robin yang sedang membaca buku sambil meminum kopi buatan Sanji.
"Surat?" respon Robin heran sambil menerima kedua amplop itu.
"Iya, barusan ada burung hantu yang mengantarkannya. Aku sampai kaget kenapa ada burung hantu di tengah laut. Sekarang burung itu sedang bermain dengan Chopper dan Luffy di dek rumput, kelihatannya dia menunggu surat balasanmu. Satu surat dari Tuan Hyuga Maximus dan satu lagi tidak ada nama pengirim. Hei, apa kabar kakek tua itu? Kalau dia akan datang untuk menjemputmu lagi, aku ingin menanyakan beberapa hal tentang navigasi kepadanya... ASTAGA! USOPP! Jangan main bahan peledak di ruang makan!" jerit Nami kesal sambil menyerbu ke arah Usopp yang sedang melakukan eksperimen entah apa lagi.
Robin mengambil dan membuka amplop dengan tulisan nama pengirim Hyuga Maximus.
Halo Nona Nico Robin
Apa kabarmu di tengah lautan? Sudah lama tidak bertemu sejak konferensi 5 tahun lalu. Aku mengirimkan surat ini untuk memberitahukan bahwa Konferensi 5 Tahunan akan diadakan pada tanggal XX bulan depan. Untuk tahun ini kami berencana mengundang seorang tabib dari kepulauan tropis yang baru saja menemukan ramuan pengobatan penyakit tropis. Banyak orang yang selamat dari kematian berkat ramuan itu sehingga kupikir akan bagus jika dia berbagi resep dengan para tabib dan penyihir lain.
Untuk konfirmasi kehadiran, berikan surat balasanmu kepada burung hantu pengantar surat. Nona Robin juga bisa mengajak Chopper! Rusa kecil itu pasti akan senang karena tahun ini temanya adalah ramuan pengobatan. Jika Nona bisa hadir, maka aku sendiri yang akan menjemput Nona (dan juga Chopper kalau dia bisa ikut) pada tanggal XX demi keamanan.
Salam,
Hyuga Maximus.
Robin tersenyum sambil melipat kembali surat tersebut. Tentu saja dia akan hadir. Selain memang menyukai acara itu sejak pertama kali menghadirinya 5 tahun lalu, ada seseorang yang ingin sekali dia temui di sana.
"Lalu yang satu ini surat dari siapa?" gumam Robin bingung sambil membuka amplop satunya yang tidak ada nama pengirim.
Halo Robin Nee-san
Apa kabar, Nee-san? Ini aku, Takius. Aku menanyakan alamat suratmu kepada Tuan Hyuga Maximus namun beliau tidak mau memberitahukannya karena alasan keamanan. Untunglah beliau menawarkan aku untuk menitipkan surat karena kebetulan beliau juga ingin mengirimkan surat undangan konferensi kepadamu.
Aku ingin bilang bahwa kau harus datang ke konferensi bulan depan. Aku tahu kau masih hidup karena aku tidak ada mendengar berita kematianmu :)
Salam,
Takius.
"Hahahahahaha..." Robin tertawa dengan keras, membuat Nami menoleh dan menghentikan kegiatannya menghajar Usopp.
"Kelihatannya Robin sedang sangat senang" ucap Usopp lirih dengan wajah babak belur sementara tangan Nami masih mencengkeram kerah bajunya.
"Nami, aku minta perkamen sedikit untuk menuliskan surat balasan. Tuan Hyuga Maximus bilang dia akan datang menjemputku pada tanggal XX bulan depan, kau bisa bertanya sepuasnya kepada beliau nanti" kata Robin ceria sambil berjalan keluar ruang makan membawa surat suratnya.
"Oh iya, ambil saja di meja kerjaku. Aku akan menyiapkan daftar pertanyaan untuk Tuan Hyuga" sahut Nami ikut jadi ceria juga sambil berjalan meninggalkan Usopp yang terkapar lemah di lantai.
Robin bersandar ke pagar kayu yang berada di depan ruang makan sambil menunduk melihat Luffy dan Chopper yang tengah bermain dengan burung hantu besar berbulu kelabu di dek rumput.
"Oy, Robin! Itu surat dari Kakek Hyuga? Apa dia mau datang bermain ke sini lagi?" teriak Luffy begitu menyadari kehadiran Robin.
"Ya, Luffy! Dia akan datang bulan depan! Chopper, Tuan Hyuga bertanya kau mau ikut tidak karena tema kali ini tentang ramuan obat"
"EH, SUNGGUH? Luffy, aku mau ikut dengan Robin dan Tuan Hyuga nanti!" Chopper langsung kegirangan.
"Wah, aku jadi ingin ikut juga!"
Robin tertawa kecil menonton mereka sambil merapikan rambut hitamnya yang sudah panjang dan agak berantakan terkena hembusan angin laut.
"Rasanya aku tidak sabar menunggu bulan depan" gumam Robin sambil tersenyum menatap laut dan langit yang berwarna biru cerah, secerah warna matanya.
Author's Notes
Bonus 2 extra chapter setelah ini.
