[Sahabat, artis]

.

.

.

"Jelaskan apa yang terjadi pada dirimu, Hinata!"

Hinata yang sedari tadi menunduk cemas kini menatap Shino yang tengah mengemudi.

"Iya, jelaskan pada kami! Kegilaan macam apa ini, Hinata?"

"Kiba sudah kubilang kau gak diijinkan bicara sebelum Hinata membuka suara."

Kiba sontak membuang muka seraya menggerutu.

Lalu dari kaca spion, Shino melirik Sasuke yang juga menatapnya lewat spion. Jika ditanya apa pendapatnya saat ini, bagi Shino pernikahan Hinata dan Sasuke sungguh tidak masuk akal. Jelas sekali diingatannya, pada hari Sasuke keluar dari altar. Mulai hari itu hidup Hinata berubah drastis. Dari pribadi yang percaya diri Hinata berubah menjadi pesimis. Sahabatnya bahkan tak mau keluar kamar selama berbulan-bulan karena banyak sekali tekanan dari keluarga besar serta media. Saat itu Shino dan Kiba begitu kelimpungan untuk menyemangati sahabatnya. Bahkan Kurenai-san -mantan dosen mereka- yang jarang mereka ditemui rela menolong. Lambat laun, dengan usaha mereka yang begitu tulus akhirnya Hinata jadi membuka diri.

Namun dari semua itu, Shino juga tak dapat mengesampingkan rasa penasarannya.

Bagaimana bisa mereka menikah?

Apa yang terjadi beberapa bulan belakangan ini selama dirinya pergi?

Shino hanya tak habis pikir.

"Karena aku yang mengemis pada Hinata." Sasuke berkata faktanya.

Sementara itu mata Shino menyipit tidak suka dan Kiba tersenyum sinis seraya mengepalkan tangannya.

"Selain brengsek, ternyata kau emang gak tau malu ya Sasuke."

Hinata terdiam sedari tadi pun akhirnya bersuara, "M-Meskipun begitu... Aku menikahi Sasuke karena kemauanku sendiri."

Shino sejenak melirik Hinata dari kaca spion. Ia memegang kemudinya keras, dan bergumam dengan nada kecewa, "Ah... Begitu."

"Tunggu! Apa aku salah dengar?" Kiba menyambar seperti kilatan petir yang penuh amarah, "Hinata kau gak mungkin lupa kan apa yang si brengsek itu lakukan padamu dulu!?"

Seketika bibir Hinata terkunci rapat, sedangkan Sasuke membeku di tempat dengan tangan yang terkepal keras. Sementara itu dua pria di depan terdiam dengan rasa penasaran yang tinggi di diri mereka.

Masa lalu telah terlewati namun kenangan pahit itu masih saja terasa di lidah.

"Dan jangan bilang kau masih menyukainya?"

"Kiba, bisakah kau diam?"

Dan ini kesekian kalinya Kiba menggerutu kesal hari ini. Sasuke pun sempat melirik istrinya saat Kiba melontarkan pertanyaan hal itu padanya. Akan tetapi, hal itu membuat Hinata tak bergeming dari rasa tenangnya.

"Saat di tempat parkir berikutnya, bisakah Shino berhenti?" sejenak Hinata melirik Sasuke seolah tengah meminta izin, "Aku mau bicara bertiga saja."

Dan begitu mobil mereka tiba di tujuan, Sasuke keluar. Di dalam mobil suasana jadi semakin tegang, akan tetapi Hinata masih terlihat tenang.

"Beberapa bulan belakangan saat kalian keluar kota, aku mengalami kecelakaan..."

Seketika itu tubuh Shino dan Kiba menegang,

"Aku menjadi korban tabrak lari, dan kejadian itu hampir merenggut nyawaku."

"La-lalu... Pelakunya gimana?"

"Dua pemuda mabuk itu sudah tertangkap tiga hari setelahnya,"

"Aku tak sadarkan diri selama 30 jam dan dirawat di rumah sakit selama 4 hari."

Setelah itu Hinata menyingkirkan helaian poninya dan menunjukkan bekas jahit di sisi kanan pelipis, "Aku sempat dioperasi dan mendapatkan lima jahitan di sini."

Mendengar cerita Hinata hanya bisa membuat kedua sahabatnya terdiam. Bagi mereka berita itu cukup mengguncang hati.

"Tapi untungnya kecelakaan itu gak menyebabkan saraf otakku terkena parah. Jika itu terjadi, kata dokter mungkin aku akan kehilangan ingatan atau yang paling berbahaya adalah kematian."

"Ka-mi turut berduka dengan apa yang terjadi pada dirimu, Hinata. Jika kami tau... Kami... Pasti-" Kiba tak dapat melanjutkan rasa kecewanya.

"Itu benar, Hinata... Kami gak tau harus ngomong apa? Ini pertama kalinya bahwa kami gak berguna, " imbuh Shino yang menyuarakan sama dengan apa yang dipikirkan Kiba.

"Itu bukan salah kalian, sungguh... Aku menceritakan hal itu hanya untuk memberitahu kalian, dan juga bukan untuk menarik simpati."

Kedua pria itu saling melirik Hinata dari kaca spion.

"Tapi- jangan bilang... Kecelakaan ini ada sangkut pautnya dengan si Uchiha itu!?"

Hinata melipat bibirnya seraya mengangguk pelan. Ia kemudian melihat ke arah Sasuke yang berdiri menunggunya. Melihat raut wajah pria yang telah menjadi suaminya itu, dia tersenyum simpul. Hinata tak menyangka, Sasuke yang selalu terlihat stoic serta berlagak keren itu mempunyai ekspresi wajah yang lain. Itu adalah raut wajah Sasuke seperti anak anjing yang pundung karena di hukum tuannya. Dan baginya, itu adalah hal yang unik.

"Itu benar, dia adalah penyelamatku."

Mendengar sang Uchiha telah menyelamatkan hidup Hinata, kedua pria tak tahu bersikap apa pada pria yang telah mengacaukan hidup sang Hyuuga.

"Setelah sekian lama menghilang, Sasuke langsung melamarku saat pertama kali bertemu kembali."

"Haahhh, pria itu sudah gila ya?!"

Hinata yang masih terpatri senyuman di wajahnya kembali menatap ke arah dua sahabatnya. Dia bahkan tak menyanggah kala Kiba mengejek suaminya, dan hanya bisa menarik napas panjang.

"Hebatnya, Sasuke tak pantang menyerah menempel padaku hingga membuatku mampu pindah 3 kali dalam waktu singkat. Dan itu sangat mengganggu."

"Sasuke sudah pantas masuk rumah sakit jiwa."

"Aku setuju denganmu Kiba."

Hinata menggeleng pelan, "Aku juga berpikir Sasuke sudah gila. Tapi, kalo gak ada Sasuke saat itu..."

Sejenek Hinata menatap kembali Sasuke yang kini duduk di atas pembatas mobil, pria itu pasti menunggu dengan rasa penasaran, "Mungkin aku gak bisa duduk di sini melihat kalian semua."

Kiba dan Shino lantas terbungkam. Dalam seketika suasana hening menyapa. Hinata memainkan tali tasnya dengan gugup.

"Tapi, apa gak ada cara lain?"

Jika 'balas budi' adalah cara tangkap pemahaman kedua pria itu dalam cerita Hinata, maka itu bukanlah kesalahan. Akan tetapi bagi Hinata, menikahi Sasuke bahkan lebih dari itu. Sasuke adalah takdir hidupnya, itu adalah cara tangkap Hinata atas pertanda yang Tuhan berikan.

"Ini lebih dari balas budi... Dan ini bukan keputusan yang kuambil dengan sembrono."

Kini Hinata menatap kedua sahabatnya dengan pandangan lurus, "Terlepas dari semua perasaan dan masa lalu, aku sudah mantap menerima Sasuke sebagai seseorang yang kuajak satu perahu di sisa umurku."

"..."

"Masalah aku masih menyimpan rasa pada Sasuke atau tidak... Saat ini kalo boleh jujur, aku tak menyimpan perasaan apapun selain aku mulai nyaman bersamanya."

Bibir Hinata mengulum. Ia pun teringat lagi masa-masa dimana Sasuke menemuinya.

"Lagipula kita tak tau apa yang terjadi selanjutnya. Bukankah yang terpenting sekarang adalah masa depan?"

Lalu Hinata teringat kata dokter psikolognya sebelum ia memutuskan menerima Sasuke seminggu sebelum mereka menikah, "Aku ingin mencoba berdamai dengan masa laluku."

Untuk sejenak Hinata menarik napas panjang. Seperti halnya melepas satu persatu plester yang lukanya telah pulih, ia merasa dirinya keluar dari rasa sakit.

"Jadi... Aku tak memaksa kalian untuk menerima kenyataan ini, tapi aku hanya berharap kalian menghormati keputusanku."

Suasan pun kembali hening, mereka pun terdiam dalam beberapa saat. Kiba dan Shino yang sibuk bergumul dengan pikirannya, sedangkan Hinata hanya menanti salah satu sahabatnya bersuara. Sementara itu Sasuke yang diluar tak kalah memendam rasa penasarannya. Ia menunggu dengan sabar seraya berpikir apa yang harus ia katakan jika kedua pria itu keluar dari mobil.

"Apa Kurenai-san tau tentang ini semua?" tanya Shino yang memecahkan kesunyian itu.

Hinata mengangguk pelan, "Sebelun siuman Kurenai-sensei sudah mencoba menghubungi kalian semua, tapi gak ada satu pun yang tersambung. Dan begitu sadar, aku memintanya untuk gak mengabari kalian semua."

Kiba dan Shino teringat tentang telepon dari Kurenai yang terlewatkan beberapa kali saat terakhir kali. Kala itu mereka pergi makan besar bersama tim hingga menjelang subuh. Dan begitu Shino menghubunginya kembali esok sore hari, wanita satu anak itu hanya ingin menanyakan kabar.

"Aku terlalu banyak merepotkan kalian."

Kiba dan Shino hanya bernapas lelah. Begitulah Hinata... pikir mereka.

"Kurasa gak ada yang harus kuceritakan lagi... Aku turun di sini saja, Sasuke udah menungguku lama."

Tanpa mengulur waktu Hinata pun keluar dan langsung menghampiri Sasuke yang telah menunggunya.

"Udah?"

Kepala sang Hyuuga itu mengangguk. Mereka berdua pun terdiam sejenak. Hinata hanya menanti Sasuke yang sepertinya ingin bertanya banyak. Akan tetapi Sasuke terlalu untuk menyuarakan isi pikirannya.

Pria itu pun sejenak melirik mobil yang mereka tumpangi tadi. Melihat tak ada tanda-tanda kedua pria itu keluar, Sasuke hanya menggosok lehernya seraya mendesah. Lalu ia pandangi Hinata yang tampak menantinya bertanya.

"Tiba-tiba aku lapar, bagaimana kalau kita ke kedai ramen?"

Hinata mengedipkan matanya lalu perutnya menyusul berbunyi. Sontak pipinya pun merona.

"Sepertinya perut kita sehati." kelakar Sasuke yang tersenyum tipis.

.

.

.

Keesokan hari aktivitas di tempat berjalan seperti biasa. Dengan perbincangan mereka kemarin malam, kedua sahabatnya tetap bersikap profesional, meskipun keramahan mereka beda dari biasanya.

Hinata pun sejenak melihat ponselnya. Sasuke telah membalasnya. Beberapa menit yang lalu ia mengirim pesan ke Sasuke bahwa malam ini ia harus lembur sampai tengah malam. Makanya pagi ini ia tak menaiki bis seperti biasanya, ia memakai mobil kei car kesayangannya yang berwarna ungu.

"Pagi, Bu manajer!" sapa salah satu bawahannya.

"Pagi!"

Hinata pun kembali menekan kembali mesin fotokopinya, dan memeriksa beberapa hasil fotokopinya.

"Hei, lihat siapa yang kulihat pagi ini!" seru salah satu bawahannya yang tengah berbicang dengan temannya. Wanita berambut pendek sebahu itu menunjukkan hasil jepretannya dengan wajah bangga.

"Wah, gantengnya~ Siapa pria ini? Pacar barumu?"

"Bukan! Dia ini seorang bintang!"

Seorang bintang?

Sejenak Hinata yang awalnya tak ingin menguping pembicaran kedua anak muda itu pun mau tak mau sedikit tertarik.

"Bintang? Artis bintang siapa? Bintang baru? Gak kenal aku."

"Bukan! Ini artis bintang lama. Dia terkenal banget pada masa. Waktu itu kita masih SMP, jadi gak begitu ingat. Ibuku ngefans banget sama dia."

"Tapi, kalo dilihat wajahnya sih emang gak asing..."

"Ya, kan~ Ibuku pasti senang."

"Tapi, kenapa seorang artis bintang pakai seragam petugas kebersihan kita? Emangnya gedung ini lagi dijadiin lokasi syuting ya?"

"Enggak kok, dia sudah lama gak muncul di tv."

"Mungkin kebetulan mirip." kali ini Hinata juga ikut campur dengan pembicaraan mereka sambil merapihkan hasil fotokopinya yang telah selesai, "Kalo dia artis, satu gedung pasti sudah ramai kan?"

"Tapi, aku baru melihatnya pagi ini, Bu. Dan aku menghapal semua pria berwajah ganteng dalam gedung ini."

"Itu benar! Aku sudah mengenal Aoi sejak lama. Dulu di sekolah dia terkenal sebagai pemburu pria ganteng. Makanya dia sering gonta-ganti pacar."

"Kok, malah buka aib sih!"

"Lha, emang kenyataannya."

"Tapi sekarang kan aku sudah tobat."

Mendengar perbincangan kedua bawahannya yang magang itu Hinata hanya bisa speechless. Ia tak percaya ada manusia sejenis itu di dunia ini. Sudah tahu begini jadinya, sejak awal Hinata tak seharusnya bercampur baur.

"Sudah, sudah... Kalian berdua, di sini kantor." lerai Hinata.

"Maaf Bu Manager..." ujar mereka bersamaan, namun perbincangan mereka sepertinya masih berlanjut.

"Tapi siapa sih namanya?"

"Aku lupa. Nama panggungnya pakai nama bahasa asing."

"Mungkin kalo artis bintang lama Bu Manager tau."

"Nah, benar! Kebetulan Bu Manajer hampir seumuran deh. Tahun ini umurnya sudah 33 tahun"

"Aku? Benarkah?" Hinata sendiri takjub darimana mereka tahu umurnya, "Aku gak tau banyak artis."

Itu karena Hinata muda hanya mengidolakan suaminya seorang dulu.

"Nih, coba lihat ini dulu Bu! Bu Manajer pasti mengenalnya, orang dia terkenal banget."

Dan kala gadis bernama Aoi itu menunjukkan foto di ponselnya, saat ini Hinata tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Sasuke...?"