[Masa itu.]

.

.

.

Tiga bulan yang lalu...

"Apa maumu, Sasuke-san?"

Sasuke yang terus membuntuti Hinata sampai tempat parkir pun akhirnya bertemu mata dengannya. Mereka hanya sendirian di tempat ini. Dan perasaan penasaran itu pun masih bergetar di hati.

"Aku ingin bicara denganmu, ayo kita ke sesuatu tempat!"

Hinata lantas mendesah, ia kemudian bersedekap dada dengan berat hati.

"Bicara aja langsung di sini. Aku lelah Sasuke-san."

Padahal Hinata hanya sejam saja berada di pesta itu, namun melihat Sasuke berada di tempat yang sama membuatnya sesak. Ingatan tentang Sasuke yang lari dari pernikahan mereka lantas terbuka bak membaca buku harian, rasa-rasanya kejadian itu baru kemarin ia alami.

Sasuke tampak terdiam sejenak, ia seperti menimbang sesuatu. Hinata sontak merasakan firasat buruk, harusnya ia pura-pura tak tahu kehadiran mantan tunangannya itu.

"Ayo kita menikah!" ujar Sasuke begitu tenangnya.

Bak mendengar petir di sebuah badai, Hinata lantas menjauhi Sasuke. Ia sungguh terkejut dengan apa yang keluar dari mulut pria itu. Tapi apalah daya, dengan gaun pesta yang dikenakannya ia tak dapat berjalan cepat, hingga seperti yang ditebak Sasuke dapat meraih pergelangan tangannya dengan mudah.

'Kenapa?'

Hinata tak dapat membendung kesedihan masa lalunya.

'Kenapa kau baru datang sekarang?'

Sasuke tampak terdiam sejenak, sepertinya ia sedikit terkejut dengan apa yang diucapkannya barisan. Sementara Hinata belum keluar dari rasa keterkejutannya, hanya mendesah heran.

"Menikah? Apa aku gak salah dengar, Sasuke-san?!"

Akan tetapi raut wajah Sasuke berubah datar lagi, "Hn."

"Kau sudah gila?!" Matanya mungkin berair, namun sorot kemarahan itu tak terbendung,

"Hn, aku gila tanpamu." Dan itu faktanya.

Hinata menarik pegangan tangannya, ia sungguh tak percaya. Setelah apa yang telah Sasuke lakukan, hidupnya menjadi berantakan. Kepercayaan dirinya hancur. Di usir dari mansion Hyuuga, mendapat surat ancaman dari fans Sasuke, semua kartu dan tabunganya dibekukan oleh ayahnya, dia bahkan tak bisa keluar rumah selama setengah tahun demi menghindari media.

"Jangan bermimpi, hubungan kita gak sedalam itu!"

Setelah mengatakan hal itu, Sasuke tak mengejar Hinata yang pergi darinya. Dia memandangi punggung Hinata yang penuh kemarahan itu, lalu menimbang apa yang harus nantinya.

Dua hari setelahnya, hal tak terduga oleh Hinata hadir di depannya. Kala ingin berangkat kerja, Hinata malah memdapati Sasuke berdiri di depan pagar gedung apartemen tempatnya tinggal. Ia lantas pura-pura tak mengenalnya dan bermaksud melenggang pergi, namun Sasuke justru menghalangi jalan.

"Apa yang kau lakukan? Minggir!" Hinata bahkan tak segan-segan bersikap sedikit kasar.

"Kita harus bicara!"

"Aku sibuk!"

"Hanya sebentar... 5 menit... 3 menit atau satu menit saja!"

Hinata lantas mendesah.

"Aku ingin mempertegas satu hal, Sasuke-san." sejenak Hinata menarik napas, "Jika tujuanmu hanya memperbaiki kesalahan di masa lalu... Kau gak perlu melakukannya. Tak ada gunanya. Aku sudah memaafkanmu."

"Tapi, Hinata—"

"Aku mohon Sasuke-san. Enyahlah dari hidupku! Itu cara terbaik memperbaiki kesalahanmu."

Hinata pun lantas pergi meninggalkan Sasuke yang membatu oleh ucapan terakhirnya. Seumur hidup Sasuke, tak pernah ditolak kasar oleh seseorang. Karena selama ini ia terlalu banyak menerima perkataan manis. Ia lantas menatap punggung Hinata yang kemudian menghilang di persimpangan lalu menatap kepalan tangannya. Jantungnya berdetak cepat, namun ia tak bisa menyerah di sini. Meskipun nantinya Hinata terus menolak, Sasuke tak bisa berhenti sampai kemarahannya pada masa itu mereda.

.

.

.

Harusnya Hinata tahu kalau watak Sasuke sekeras batu. Walaupun Hinata mengusirnya dengan kasar, Sasuke masih tetap berdiri di tempat kemarin. Namun, pagi ini sedikit berbeda, Sasuke tak mencoba menghalanginya seperti kemarin. Sasuke hanya terdiam menatapnya yang berangkat kerja dengan menghiraukan keberadaannya.

Di hari berikutnya pun demikian. Akan tetapi, Sasuke masih tetap memakai baju kemarin. Bahkan saat ia pulang pun, Sasuke pun masih berdiri di tempat yang dan dengan setelan yang sama; kaos abu dengan outer hitam serta celana putih lusuh; dan tak lupa topi berwarna hitamnya, ia juga menyanduh tas merahnya yang kelihatannya tak banyak barang. Tak lupa pria itu menutupi wajahnya dengan masker sehingga tak ada yang tahu bahwa ia adalah selebriti di sepuluh tahun yang lalu.

Dan keesokan harinya Sasuke masih sama. Hanya saja setelan baju Sasuke yang berganti kali ini cukup menarik perhatiannya. Akan tetapi, Hinata tetap tak akan goyah. Jika pria itu ingin berduel siapa yang paling keras kepala maka Hinata tak segan meladeninya. Sang Hyuuga itu sengaja membiarkan Sasuke yang bertingkah demikian, karena ia yakin pada akhirnya Sasuke akan menyerah.

'Sampai kapan kau akan bertahan Sasuke-san? Tapi, yang jelas... Aku gak akan luluh karena hal ini. Aku sudah berubah... Aku bukan Hinata lembut yang seperti kau kenal dulu.'

"Kau lihat pemuda yang selalu berdiri di samping gerbang..."

"Oh... Pemuda itu. Aku sudah lihat wajahnya."

Hinata yang lagi memilih cemilannya lantas membesarkan telinganya kala mendengar kata pemuda di gerbang. Kini dia lagi di minimarket sebelum pulang ke apartemennya. Lalu pelan-pelan ia mengintip dua orang yang tengah membicarakan Sasuke. Mereka dua orang ibu rumah tangga penghuni nomor apartemen tak jauh dari miliknya.

"Benarkah?"

"Dia sangat tampan seperti seorang bintang. Entah kenapa dia mirip dengan bintang terkenal, siapa ya namanya..."

"Ah, masa' sih?! Mana ada gelandangan yang mirip bintang terkenal."

'Gelandangan?' Rasa penasaran pun menyentuh Hinata.

"Aku serius. Tapi serem juga ya.."

"Iya.. Waktu itu kan dia pernah diusir sama pemilik gedung karena tidur di depan gerbang, kan?"

"Tapi suamiku beberapa kali melihatnya tidur di bangku taman, kadang bahkan di samping toilet umum."

'Eh?' Hinata membisu. Karena penasaran ia lantas mendekati kedua wanita paruh baya itu.

"Bukannya pemilik gedung lagi bikin laporan ke kantor polisi karena kehadirannya mencurigakan?"

Hinata membeku.

"Dia bahkan sudah di kantor polisi!"

'Ya, Tuhan...'

"Astaga."

Hinata telah melakukan kesalahan besar.

"Putraku melihatnya sore ini."

"Pantas aku gak melihatnya sore ini. Syukurlah..."

Setelah Hinata mendengar berita buruk itu, ia lantas bergegas ke kantor polisi terdekat. Sesuai dugaanya, ruang kantor polisi yang besarnya tak seberapa itu, ia dapat melihat Sasuke yang duduk di sudut ruangan dengan polisi yang tengah mengintrogasi. Tak lama manik indigonya bertemu manik obsidian Sasuke. Hinata menahan napas sejenak seraya memegang jantungnya yang berdegup kencang. Sedangkan Sasuke penasaran tak lupa merasa malu mengetahui kondisinya saat oni. Lalu disadari, seorang polisi di balik meja pelayanan menegur Hinata yang tak bergerak dari tempatnya.

"Ada yang bisa kami bantu Nona?"

Hinata yang terperanjat sontak menghampiri meja pelayan.

"Anoo..." sejenak Hinata kembali menengok Sasuke yang kemudian disadari oleh petugas.

"Apa anda kenal pria itu?"

Tas Hinata sanduh kini memjadi lampisan kecemasan. Untuk sesaat ia menarik napas sebelum akhirnya menganggung —mengiyakan.

"Dia mantanku, Pak!"

Ya, Sasuke memanglah mantannya; mantan tunangan.

"Aku datang untuk menebusnya."

Sasuke yang tak menyangka Hinata datang untuknya pun terbangun —terperanjat- dari tempatnya.

.

.

.

"Kau sudah kehilangan akal, Sasuke-san!" ujar Hinata yang tak dapat menyembunyikan kekesalannya.

Sasuke hanya terdiam. Pria Uchiha itu terus mengekori Hinata sampai di sebuah taman. Sewaktu di kantor polisi, Hinata memberikan alasan Sasuke yang ternyata membuat tak nyaman warga lingkungan apartemen itu karena, Sasuke adalah mantannya yang merajuk ingin balikan. Sasuke melakukan aksi bodoh itu hanya untuk menarik simpati. Alasan itu benar ada, namun Sasuke juga mempunyai alasan lain yang nantinya hanya ia bagi dengan Hinata seorang.

"Akhirnya kau melihatku, Hinata."

Hinata melengos membalikkan badannya. Ia bukan hanya kesal aksi Sasuke, nyata ia lebih kesal karena membiarkan itu sejak awal.

"Aku tak mau kau melakukan kebodohan itu lagi."

Belum sempat Sasuke membuka suaranya, perutnya yang belum makan malam itu lantas berbunyi. Dan suaranya sukses menari di telinga Hinata. Sasuke menutup wajahnya karena malu sementara Hinata juga memegang perutnya yang ikut keroncongan.

"Kita bicara saja di kedai ramen. Aku yang traktir."

Sesampainya di kedai ramen, mereka langsung memesan makanan yang laris di sana. Hinata lantas menatap Sasuke yang tampak kelaparan seperti orang yang tak pernah makan. Melihat wajahnya lebih tirus dari Sasuke yang kenal dulu, dalam hatinnya lantas membatin. Kehidupan macam apa yang dilalui pria itu selama di Amerika.

Lalu apa yang terjadi dengan kekasihnya?

Sasuke tak mungkin melamarnya lagi sementara ia masih punya kekasih, apalagi waktu itu dia lagi hamil dan mungkin anak mereka sudah besar mengingat Hinata tak lama bersua dengan pria itu.

"Bagaimana kabar Karin?"

Sasuke yang tengah menyeruput minumnya terhenti. Pria itu menggosok lehernya tampak canggung. Ketika Hinata menyebut nama wanita yang pernah menggetarkan hatinya, Sasuke tak dapat berkata-kata. Masa lalu yang terbilang kelam itu lantas mengalir jelas bak kepingan film dilayar kaca.

"Mereka telah tiada." Karin dan bayi di dalam perut.

Hinata sontak membatu. Ia membuang wajahnya.

Jadi, itulah mengapa Sasuke kembali padanya.

Tapi, kenapa?

Kenapa Sasuke tak mencari kehidupan baru saja?

Kenapa juga Sasuke harus kembali ke masa lalu?

Dan menarik Hinata yang sudah keluar dari masa itu.

"Aku turut berduka cita."

"Hn."

"Tapi, Sasuke-san... Tetap saja kita tak bisa kembali seperti dulu. Gara-gara hari itu, hubungan keluarga kita menjadi gak baik."

Mereka terdiam diruih keramaian kedai. Ramen yang mereka santap telah habis.

Perusahaan Hyuuga yang dulu hampir pailit membaik karena usaha keras Neji. Tujuan utama kedua keluarga saling menjalin tali adalah untuk memperkuat perusahaan, yakni dengan pernikahan antara Sasuke dan Hinata. Namun semua itu kandas karena aksi bodoh Sasuke.

Padahal dulu Hinata sudah ikhlas merelakan sisa hidupnya bersama Sasuke. Ia bahkan tak menolak saat tahu dirinya dijodohkan dengan Sasuke. Pada awalnya dia memang menyukai Sasuke karena ia mengidola sosok raven. Baginya cinta tak masalah selama Sasuke bisa mendayung rumah tangga mereka dengan baikp.

Tapi nyatanya, saling cinta memanglah bumbu penting dalam pernikahan.

"Sulit kita kembali ke masa itu. Menyerahlah... Carilah kehidupanmu yang baru."

Sasuke tak dapat berkata. Bibirnya seakan terkunci rapat, semua ucapan yang dirangkai seakan mengambang di udara. Hinata sudah mengangkat tangannya, dan mengeluarkan dompet untuk siap membayar tagihan.

"Malam ini aku akan menyewakan hotel untukmu tidur, jangan tidur dijalanan!" ujar Hinata yang melihat ponselnya. Ia tengah mencari hotel terdekat yang masih memiliki ruang.

Sasuke lantas mengepalkan tangannya. Rasanya ingin berteriak kalau ia tak bisa berhenti di sini saja. Alasan dia balik ke Jepang untuk menemui Hinata bukan hanya itu saja.

"Besok pagi datanglah ke apartemen. Kita harus minta maaf pada semuanya." lanjut Hinata setelah menemukan hotel.

Keesokan harinya, seuai rencana mereka melakukan permintaan maaf dari pintu ke pintu. Untung saja gedung apartemen tersebut tak begitu besar sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu seharian. Setelahnya, sesuai perjanjian, Sasuke tak mengusik Hinata pada hari itu. Ia berjanji tak akan melakukan hal itu lagi asal Hinata tak berlari jika Sasuke ingin bertemu. Wanita itu pergi ke suatu tempat seusai urusan mereka selesai. Sedangkan Sasuke pergi menemui Naruto.

Dan dua hari kemudian, Sasuke kembali pergi menemui Hinata. Namun saat apartemennya disambangi, Hinata sudah tidak tinggal di sana. Wanita itu telah pindah sehari yang lalu begitu kata pemilik gedung.

"Naruto, aku butuh bantuanmu." ujar Sasuke yang mengakhiri teleponnya yang singkat.

'Kemana kau pergi, Hinata?'