[Waktu, asa]

.

.

.

Pulang di kala lembayung jingga senja menciptakan nostalgia masa kecil. Jalan sepi menuju apartemen terasa begitu menetram hati. Semilir angin menyentuh lembut helaian rambutnya. Hinata mendesah, semua ketenangan itu tidak mampu berselaras dengan benaknya. Kemunculan kembali sang Uchiha sungguh mengusiknya.

"Sasuke-san...?" bisiknya yang tak yakin dengan apa yang tertangkap oleh retinanya.

Pria yang menghantui pikirannya belakangan ini berdiri tegak di depan pintu apartemennya. Hinata sejenak terdiam. Tak ada satu patah kata yang keluar dari bibir mereka. Tatapan mereka saling membaca, namun berakhir dengan beberapa pertanyaan yang tak bersuara.

Selama seminggu mencari keberadaan Hinata, Sasuke tak lama mengembuskan napas lega. Kali ini sang Hyuuga tak menyuruhnya pergi, melainkan mempersilahkannya. Dan begitu masuk, tak banyak perabotan yang didapati. Sesuai info yang didapatkan, Hinata baru menempatinya tiga hari yang lalu.

Wanita itu lantas menyeduhkan segelas teh untuknya. Kini mereka saling duduk berhadapan di ruang tamu. Hingga akhirnya Hinata yang mengakhiri keheningan yang asing ini.

"Menikah itu tak mudah Sasuke-san."

Sasuke terdiam.

"Kalau kau datang hanya untuk mengatakan hal itu lagi... barusan adalah sebagian keberatanku."

"Berarti sebagian yang lain, kau gak keberatan jika menikah denganku kan Hinata?"

Hinata mengatupkan bibirnya.

"Dulu awalnya emang begitu, tapi sekarang..." Hinata sejenak menarik napas, matanya berlari ketempat lain. "Setelah kau pergi, aku jadi menemukan sesuatu..."

Sasuke tergugu, tiba-tiba Hinata tersenyum manis sehingga membuat semua perkataan yang ada dibenaknya lantas menguap

"Sesuatu yang tak pernah kupikirkan selama ini."

Sorot mata itu kemudian berubah, begitu berkilauan sehingga Sasuke tak bisa berpaling padanya. Di luar gapaian jemari, sang Hyuuga seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga di tengah perjalanan hidupnya. Sesuatu yang menjadikan pegangan hidupnya.

"Aku menyebutnya mimpi, Sasuke-san."

Mimpi?

"Ya, walaupun tak sebesar impianmu. Aku seharusnya berterimakasih padamu." kini Hinata duduk dengan tegak, lalu pandangan lugas itu menggoyahkan hati sang Uchiha, "Arigatou, Sasuke-san!"

.

.

.

Hujan turun cukup lebat di penghujung musim panas ini. Dengan setelan yang tipis Sasuke berjalan lunglai di bawah hujan. Dia bahkan tak berniat meneduh. Baginya, hujan ini sesuai dengan suasana hatinya, mendungnya pun menggambarkan pandangannya kini.

Apa ini akhir dunia?

Wanita itu telah membangun tembok tinggi agar dirinya tak bisa menjangkaunya. Tapi, apa dia diperbolehkan untuk menyerah?

Ucapan Hinata seminggu yang lalu masih membekas.

Mimpi...

Sasuke yang menyedihkan ini juga memilikinya. Kebebasan adalah mimpi terbesarnya, dan sekarang ia telah menikmatinya. Bebas dari kekangan keluarganya merupakan pencapaian sukses yang tak pernah ia lupakan.

Namun, apa mimpi Hinata? Sasuke bahkan tak berani menanyakannya. Ia terlalu takut bahwa jika ia mengetahuinya, maka ia tak bisa di sisi wanita itu. Padahal dia sudah jauh-jauh datang dari Amerika, hanya ingin kembali pada Hinata.

"Hei, kau mau dengar ceritaku?" tanya Sasuke pada kucing yang berlindung di bawah kursi halte.

Kini Sasuke tengah meneduh di halte yang ada dirinya, seekor kucing, dan seseorang berjaket hitam yang membelakanginya.

"Aku ditolak lagi." Sasuke tersenyum miris, dia menggendong kucing berwarna oranye itu dan mengelusnya.

"Aku datang jauh-jauh demi dia."

Kucing yang diajak bicara itu pun menatapnya seolah memahami bahasa manusia. Sementara itu, Sasuke tak peduli di anggap gila oleh manusia selain dirinya di halte itu karena bicara dengan seekor kucing. Raut sedih yang tersirat di wajah Sasuke tercermin di bola mata kucing yang berwarna hijau itu.

"Dia adalah alasanku tetap hidup sampai sekarang."

Deg.

Sasuke sejenak melirik seseorang yang menutupi wajahnya dengan tudung. Meskipun ia berbicara pun, orang yang jaraknya tiga langkah lebar darinya itu tak akan mendengar suaranya. Selain suaranya terendam oleh suara hujan deras, orang itu sepertinya mendengar musik bila melihat kabel headset yang dikenakannya.

Sang Uchiha pun mulai menceritakan apa yang terjadi di Amerika. Awalnya dia kira hidupnya akan mulus. Karin adalah seseorang yang tiga tahun lebih tua darinya. Dia bukanlah kekasih gelap yang digosipkan selama Sasuke meninggalkan Jepang. Itu hanya kebohongan, namun begitu Sasuke memang menyukainya sebagai wanita. Sementara itu bayi yang dikandungnya pun juga bukan miliknya. Itu adalah bayi sahabatnya, Suigetsu.

Kehamilan itu hanyalah kecelakaan, akan tetapi Suigetsu telah ke Amerika. Dan hal kehamilan ini membuat Karin stres. Lalu saat pernikahan Sasuke dan Hinata segera berlangsung, siang itu Karin menelponnya. Sia-sia wanita itu menyusul Suigetsu. Pasalnya, sehari sebelumnya pria itu telah meninggal akibat kecelakaan.

Mendengar Karin yang meraung sedih membuat Sasuke kalang kabut. Ia juga memintanya untuk segera datang pada hari itu. Karena begitu paniknya, Sasuke tanpa berpikir panjang segera pergi menyusul. Ia bahkan tak peduli perasaan Hinata yang telah ditinggalkannya, dan pernikahan yang jadi rusak. Dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Kehidupannya di Amerika pun tak begitu mulus. Semua akses keuangannya dibekukan oleh ayahnya. Mencari kerja pun susah, ujung2nya Sasuke hanya bisa menjadi pekerja kasar. Uang mahar yang diambilmya pun habis begitu saja demi biaya hidup yang serba mahal. Sementara kesehatan mental Karin semakin memburuk semenjak hamil. Hubungan mereka berdua pun tidak baik-baik saja, selalu saja ada pertengkaran di setiap harinya. Meskipun hidupnya berat ia masih punya Karin di sisinya, walaupun cintanya hanya sepihak, setidaknya ia bukanlah pria memaksa cintanya.

Hingga suatu siang yang begitu terik, Sasuke yang menjinjing makanan yang diidamkan Karin malam sebelumnya pulang dengan hati yang begitu riang. Hari itu dia baru menerima gajian hasil dari kerja yang sebagai pengangkut sampah. Namun, begitu dia membuka pintu apartemennya, pria Uchiha itu menyaksikan sesuatu yang membuatnya trauma.

Karin telah mengakhiri hidupnya sendiri.

Setelah kejadian itu, hidupnya pun menggelap. Minuman serta obat-obat terlarang adalah pelarian terburuknya, lalu masuk penjara selama beberapa tahun. Tak ada satu pun keluarganya menolong.

Lalu begitu keluar, ia menjadi tunawisma selama dua tahun. Ia rela meminta-minta serta tak malu mencari sisa makanan di tempat sampah demi menghindari untuk melakukan kriminal lagi.

Sasuke benar-benar telah bebas seperti halnya anak yatim piatu. Di sela-sela kehidupannya yang berubah drastis, bayang-bayang tubuh Karin yang bergelantungan itu masih menghantuinya.

Rasanya ia ingin mengakhiri hidupnya juga. Dunia terlalu dingin baginya kini. Ia jadi hilang arah. Baru kali inilah dia merasa begitu menyedihkan dan kesepian. Apa ini karma dari hidupnya yang telah menyakiti banyak orang?

Maka malam itu Sasuke langsung pergi ke dermaga. Ia berniat terjun dari jembatan besar di sana. Tapi begitu di sana, usahanya digagalkan oleh orang-orang. Ia pun kembali masuk ke kantor polisi karena mencoba bunuh diri. Bahkan peristiwa bunuh dirinya sepintas masuk ke dalam koran.

Sasuke kemudian tersenyum getir, ceritanya lantas berhenti. Kalau diingat-ingat hari itu, entah kenapa ia merasa begitu bodoh. Menyia-nyiakan hidupnya seperti itu hanya karena seorang wanita yang tak membalas cintanya.

"Aku sungguh bodoh." bisik Sasuke yang memeluk erat kucing itu.

Tak lama hujan pun mulai sedikit reda, namun langitnya masih betah untuk menggelap.

"Aku harus balik sebelum hujannya kembali." ujarnya pada kucing itu, "Nanti aku lanjut cerita, aku janji."

Sasuke lantas meninggal halte itu dengan berlari kecil. Pria Uchiha itu bahkan tak menyadari orang yang meneduh bersamanya ternyata menyimaknya dengan lekat. Orang itu hanya bisa tercengang sepanjang mendengar cerita singkat Sasuke.

Lalu kucing yang menyapa Sasuke kini menyapanya. Kucing itu pun mengelus kakinya seolah minta perhatian. Terperanjat, ia lantas menyampirkan helaian surai indigonya ke belalkang telinga. Sambil tersenyum simpul, ia pun lantas mengeluarkan sebungkus snack kucing dari tas kecilnya.

"Kau pasti lapar, ini snack untukmu!" ujarnya yang berjongkok.

Sambil memberi makan kucing itu, ia pun mengingat kembali cerita Sasuke. Rasa tak percaya masih menguasainya. Hujan pun turun lagi. Seraya melihat langit kelabu dengan murung, tiba-tiba setitik rasa iba tersirat di hatinya.

.

.

.

"...suke-san, bangun!"

"..."

"Sasuke-san, bangun!"

Sasuke mengerjapkan matanya, lampu taman dan sesosok wanita berambut panjang langsung menyapa retina.

"Kenapa kau tidur di sini?"

"...Hi-nata?"

"Iya ini aku. Bangunlah! ngapain kau tidur di sini?"

Sasuke lantas beranjak bangun dengan kebingungan yang masih terlukis jelas di wajahnya. Perasaan ia hanya berniat merebahkan badan sejenak di bangku taman setelah lelah mencari lowongan pekerjaan, namun nyatanya malam telah mendahului kesadarannya.

"Jangan bilang kau berniat menginap di taman seperti waktu itu!"

"Hn, aku ketiduran..." sahutnya yang tiba-tiba jadi grogi.

Hinata menghela napas berat. Wanita itu kemudian duduk di samping Sasuke sambil meregangkan bahunya yang sedikit kaku.

"Kau baru pulang kerja?" tanya Sasuke yang tiba-tiba saja mencairkan keheningan.

Sejenak Hinata melirik koran yang digenggam Sasuke, lalu mengangguk pelan. Melihat lamannya, Sasuke sepertinya tengah mencari pekerjaan.

"Apa kau sudah makan?" tanya Hinata yang mengeluarkan onigiri serta ocha dari bawaan belanjanya, dan menyerahkannya pada Sasuke, "Ini untukmu."

"Hn, arigatou."

Lalu kesunyian pun kembali mengundang. Taman kota semakin malam semakin sedikit pengunjung, sehingga suara kendaraan terdengar semakin nyaring di telinga. Mereka memang dalam keadaan hening, akan tetapi pikiran mereka begitu berisik. Banyak sekali pertanyaan yang mereka simpan. Sasuke yang berkutat pada mimpi Hinata, dan Hinata yang masih penasaran dengan cerita masa lalu Sasuke di Amerika.

"Hinata!" "Sasuke-san!" ujar mereka bersamaan seraya kaget.

"Kau saja dulu."

"Nggak, kau saja dulu."

Untuk sejenak Hinata tertunduk diam, ia tengah berpikir bagaimana caranya merangkai kata yang tepat. Ia tak mungkin langsung bertanya tentang lanjutannya, pria itu pasti curiga padanya.

"Kalo boleh jujur, sebenarnya aku masih penasaran..."

"Apanya?"

Kedua mata mereka saling bertemu, lalu Hinata menundukkan kepalanya, dan menggigit bibirnya.

"Soal lamaranmu... Setelah sekian lama gak bertemu, begitu ketemu kau langsung melamarku... Kau pikir itu gak aneh?"

Sasuke menjawabnya hening.

"Kau tau, aku bahkan harus menanggung malu besar akibat ulahmu dulu."

Ya, betapa malunya Hinata saat itu. Begitu mereka berdua berdiri di depan altar, Sasuke tanpa sebab tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Semua orang yang menyaksikan hal itu tak kalah bingungnya dari Hinata. Padahal saat itu mereka tinggal mengucapkan akad pernikahan, namun nyatanya Sasuke melakukan hal yang mempermalukan mereka di depan umum. Karena peristiwa itulah, banyak media nasional yang mewartakan beritanya.

"Bukanlah lebih tepat kau harusnya minta maaf?!"

Sejenak Sasuke menarik napas panjang. Ia hampir lupa hal paling penting apa yang harus ia lakukan ketika bertemu Hinata nantinya. Meskipun wanita itu sudah bilang memaafkannya, tetap saja ia perlu meminta maaf dengan benar.

"Kau benar... Aku salah besar."

Kini mereka berdua saling bertatapan. Dari sorot mata Sasuke, ia bisa melihat raut terluka Hinata yang terukir jelas. Pria itu sontak beranjak dari tempatnya dan berlutut tegak di atas tanah. Hinata yang aksi ini pun hanya bisa terperanjat kaget. Dia berniat menghentikan Sasuke, akan tetapi pergerakan tubuhnya tiba-tiba membeku, dan raut wajah Sasuke yang serius terlalu sayang untuk dilewatkan.

"Aku tau rasa penyesalanku gak berguna lagi sekarang... Kau juga bilang telah memaafkan diriku. Tapi rasanya masih ada yang kurang..."

Sasuke sejenak menarik napas panjang.

"Ini mungkin sangat telat... Jadi, aku hanya ingin minta maaf yang sedalam-dalamnya atas apa kulakukan dulu, khususnya untukmu Hinata."

Setelah mengatakan hal tersebut, salah satu beban Sasuke langsung turun satu. Ia pun sontak terdiam saat tahu wajah Hinata yang masih terlihat murung. Wanita itu tampaknya tenggelam oleh ingatan masa lalu.

"Dan bukan hanya itu saja Hinata..."

Kini Sasuke berhasil menarik atensi Hinata.

"Aku harus membayar uang mahar yang pernah kucuri. Yah, meskipun tak bisa sekaligus membayarnya, aku akan mencicilnya."

"Karena pernikahan itu gak terjadi, itu bukan uang maharku lagi. Dan kau gak perlu membayarnya, lagipula itu uangmu sendiri, kan?"

Sasuke terdiam.

"Sudahlah Sasuke-san, sampai kapan kau akan duduk di sana? Semua yang berlalu biarlah berlalu, jadi jangan seret aku lagi ke masa itu."

Kali ini Sasuke terpaku oleh senyuman simpul Hinata. Pria itu kembali beranjak duduk di samping Hinata.

"Jadi katakan alasanmu sebenarnya, kenapa kau tiba-tiba mengajakku menikah lagi?"

Tiba-tiba tatapan pria itu seperti menerawang ke sesuatu tempat.

Sasuke tak mungkin mengajaknya nikah karena rasa cinta. Hinata tahu pasti sejak awal pernikahan mereka dulu, Sasuke tak pernah mencintainya. Dia sudah tergila-gila dengan Karin sejak kuliah, dan Hinata tahu itu. Alasan kenapa dulu Sasuke menerima pernikahan ini adalah karena paksaan ayahnya, dan lagi pria itu bilang pada Hinata bahwa telah menyerah terhadap cintanya. Sasuke juga bilang kalau menikahinya tidak buruk mengingat mereka berdua bukanlah orang asing. Ia bahkan berjanji akan memperlakukannya dengan baik saat setelah menikah.

Awalnya memang begitu sehingga saat itu Hinata dengan mantap menerima pernikahan itu. Namun nyatanya, pria itu membuatnya sedikit kecewa. Saat itu Hinata merasa seperti dipermalukan, dan Sasuke secara halus mengkhianati.

"Aku gak punya alasan yang logis..."

Kini Sasuke melirik dengan tatapan yang lugas.

"Aku memilih mati jika aku gak bisa di sisimu."

Hinata hanya bisa terdiam -tercengang. Itu tetap saja jawaban yang sama seperti sebelumnya. Sungguh pemaksaan yang menggelikan.

"Kalo begitu aku menarik semua rasa penasaranku, lupakan saja perbincangan ini!"

Wanita itu segera berdiri dengan amarah di hatinya, ia bahkan tak segan memasang wajah kesal, "Selamat malam!"

Dan rasa iba yang pernah singgah di hati tempo hari kini terisi lagi dengan kebencian atas ketidakmampuannya. Hinata lantas meninggalkan Sasuke yang terpaku atas perkataannya sendiri.

"Aku memang sudah gila."