Disclaimer

ハイスクール DxD - 石踏 一榮 High School DxD

Ishibumi Ichiei


First Impression


.

.

Berita tentang adanya Guru baru di akademi tersebar begitu cepat. Perbandingan siswa Akademi Kuoh adalah 8:2 didominasi perempuan, walau begitu, mendengar Guru barunya adalah seorang wanita cantik dan berasal dari luar negeri, lagi, justru semakin menarik perhatian mereka.

Lumiel yang ditemani oleh Rossweisse untuk berkeliling akademi usai menyapa Guru lain di kantor pendidik kini menjadi pusat perhatian setiap siswa yang melihat di manapun mereka berjalan.

Selain cantik dan tinggi, rambut hitam kemilau Lumiel pun membuat para murid bertanya-tanya tentang pesonanya yang memukau; apa dia aktris?

"Para murid cukup… bersemangat, ya?"

Rossweisse, walaupun sudah mengajar di akademi sejak beberapa bulan lalu tetapi dia masih belum terbiasa menjadi pusat perhatian. Ada begitu banyak orang yang memperhatikan dirinya maupun Lumiel di akademi ini, seolah-olah keduanya adalah superstar.

Padahal di Asgard dulu dia satu-satunya wanita yang kurang menarik, pikirnya. Dia pikir itu hal wajar karena semua Valkyrie disana cantik-cantik apalagi "Kapten" dari skuadnya yang terkenal sebagai Valkyrie paling cantik.

Seolah memahami perasaan Rossweisse, akhirnya Lumiel pun buka suara.

"Kupikir para siswa jadi seperti itu karena pesonamu, Rossweisse-sensei."

"E-Eh, benarkah!?"

Rossweisse tidak siap dengan serangan kejutan itu. Tapi saat melihat senyuman tipis di wajah Lumiel hal itu membuatnya membangun semacam kepercayaan diri di hatinya.

"Kudengar Rossweisse-sensei seorang Magician sebelum diangkat jadi Valkyrie. Benarkah?"

Rossweisse mengangguk malu-malu.

"Umu. Saya belajar di Sekolah Sihir Norse. Itu…. Nilaiku agak sedikit lebih baik dari yang lain. Kupikir keberuntunganku cukup tinggi sehingga diangkat jadi Valkyrie."

"Itu bukan keberuntungan. Kamu pastilah Magician yang bertalenta."

"Ah.. benarkah? Hehehe."

'Aduh, dia gadis 'murni'?' Lumiel berkedip keheranan. Dia tak mengharapkan reaksi Rossweisse akan seperti itu. Tentu saja dia takkan mengatakan itu keras-keras di depan orangnya.

Dan tentu saja, dalam hal ini Lumiel tak asal bicara.

Berkat Penemue, selain berkas, dia juga disediakan beberapa informasi terkait 'penghuni asli' Akademi Kuoh. Karena itu setidaknya dia jadi tahu beberapa hal dasar tentang mereka, dan Rossweisse adalah salah satunya. —Valkyrie yang sebelumnya menjadi pengawal Odin.

Juga…

Akademi Kuoh berada di bawah yurisdiksi Heirs Gremory selanjutnya, Rias. Uniknya, di akademi ini ada orang-orang berasal dari suku lain selain suku Iblis. Di samping itu, tempat ini menjadi titik permulaan dan basis Aliansi Tiga Fraksi.

'Sepertinya upaya pak tua itu berhasil menarik perhatian dunia—'

Ring, Ring, Ring!

Ring, Ring, Ring!

"Umm, Lumiel-sensei. Sepertinya saya harus kembali ke kelas untuk mengajar?"

"...Silakan."

Lumiel mengangguk paham. Mendengar bell sekolah berbunyi beberapa kali, tidak sepantasnya dia menahan Rossweisse di sisinya hanya untuk menemani berkeliling akademi.

Lagipula…

"Aku sangat berterima kasih karena sudah mau menemaniku. Sisanya serahkan saja padaku."

"Kalau begitu, ruangan anda—"

"Tenang saja. Aku cukup hafal seluk-beluk akademi ini."

"...Eeh…?"

"Hmmm?"

"Uh-huh, baiklah. Kalau begitu saya duluan. Sampai ketemu lagi di kantor guru, Lumiel-sensei."

"Yah, sampai nanti."

Rossweisse melemparkan senyum ramah yang dibalas senyuman profesional oleh Lumiel, lalu sang Valkyrie berbalik arah dan berjalan kemudian.

Lumiel mempertahankan senyumannya sambil memandangi punggung mungil Rossweisse yang kian menjauh, sampai ketika ia berbalik ekspresi ramahnya telah berlalu.

Dia berjalan menuju ke tempat dimana dirinya akan bersemayam…?

Sekitar dua menit kemudian akhirnya dia sampai juga di tempat yang dituju.

[Bimbingan dan Konseling]—

Adalah papan nama yang terpampang di atas pintu tersebut.

.

.

.

.

.

.

[POV—]

Di dalam ruangan BK, Lumiel kita sedang bersandar di kursi sambil memutar-mutar sebuah pena diantara jari jemarinya. Di depannya ada sebuah meja, dan di seberang meja ada sebuah kursi yang diperuntukkan bagi pengunjung——.

——Aku Lumiel.

Yup!

Mulai hari ini, di tempat ini, akan jadi titik permulaan dimana Aku akan menghabiskan waktu selama bekerja di akademi.

Ngomong-ngomong, status utamaku di akademi ini sebagai Guru BK, pada saat yang sama diriku juga diharapkan untuk membina OSIS.

"Lucu sekali!"

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mencibir. Maksudku, belum apa-apa sudah mendapatkan dua peran sekaligus, ini sangat berlebihan, bukan?

Kalau pekerjaanku sebagai pembimbing dan konselor, hal ini hampir sama seperti ketika Aku bekerja di Decimus Hospital. Apa yang membedakan kali ini adalah, disini, Aku harus bekerja di bawah naungan "Aliansi" melalui Azazel-sama.

"Sepertinya wanita tua itu ikut andil dalam hal ini."

—Penemue-sama. Kau melakukan hal yang tidak perlu, sigh.

Mengingat percakapan kami pagi tadi, aku tebak kalau dia telah menemukan sesuatu. Yeah, tentang pekerjaanku sebagai Psikiater di Decimus Hospital.

Dengan kata lain, informasi yang dia dapatkan mengenai situasiku mungkin saja telah dia serahkan kepada Azazel-sama.

Mungkin itu jugalah yang menjadi alasan mengapa Aku ditempatkan di posisi ini.

"Dia bertindak cukup cepat."

Yah, apa boleh buat. Karena ini sudah terjadi, kupikir Aku hanya perlu melakukannya untuk beberapa waktu kedepan. Lagipula "harga" yang disepakati juga cukup memuaskan, fufu.

Namun, karena ini hari pertamaku bekerja, tentu saja belum ada satu orang pun yang datang berkunjung atau sekadar melakukan sesi konseling.

Masalahnya, apa peran konselor benar-benar diperlukan di sekolah menengah?

Hmmm…

Sejak 'perintah' turun dari pusat, dimana Aku diharapkan untuk 'menemani' Azazel-sama sekalian berpartisipasi di dalam lingkungan sekolah, Aku sudah melakukan banyak riset dalam beberapa hari ini.

Aku selalu penasaran dan tertarik akan hal baru. Tentu saja, meski berkata 'Tak tertarik jadi pengajar', sebenarnya Aku punya cukup pengalaman dalam bidang ini.

Jika kau mencari namaku di internet, dan kalau beruntung, kau mungkin akan bisa menemukan nama Lumiel Kleinsterns tercantum sebagai Asisten Profesor atau Lektor di suatu kampus-kampus tertentu di negara-negara tertentu. —Bahkan Profesor itu sendiri.

"Ini seharusnya tidak terlalu sulit. Mungkin."

Yah, aku sendiri tidak yakin tentang hal itu.

Hanya saja, karena, kudengar, kehidupan remaja sekolah menengah terlalu membingungkan! Apalagi anak SMA!

Masa SMA adalah fase mengerikan dimana masa depan anak muda dipertaruhkan, katanya.

Hmm. Yah, kupikir rentang hidup manusia benar-benar singkat. Itulah yang ku maksud. Terlahir, tumbuh, berkembang lalu mati. Jadi selain relatif, bagi manusia, waktu adalah uang dan esensi yang tak boleh disia-siakan atau kelak akan disesali.

Ya, itu! Itu benar!

Nah! Itulah tugasku disini, di SMA, sebagai Guru BK! Membimbing mereka yang jatuh dalam kebingungan, dan juga memberikan pedoman kepada mereka yang dilanda kesulitan menentukan jalan!

….….Mungkin?

"Ahh, sial."

Klien yang akan kuhadapi nanti adalah murid SMA. Di usia itu, kaum muda cenderung tak mau mendengarkan nasihat orang-orang di sekitarnya. Itu disebut "Masa Memberontak". Mereka berpikir bahwa mereka yang paling benar, yang paling dewasa, yang paling tahu arti kehidupan.

Hal itu cukup mengkhawatirkan.

Sebab, jika tanpa bimbingan yang baik dan benar, kaum muda sering kali tersesat dalam prosesnya menaiki tangga kedewasaan.

Kaum muda saat ini diejek karena sesuatu seperti mabuk rasa kepahlawanan yang samar-samar. Kenyataannya, perkembangan tragis seperti itu hampir tidak pernah terjadi. Namun, ada benarnya kalau hampir 200 siswa SMA setiap tahun memilih untuk bunuh diri. Orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkaitan akan mempertanyakan alasan kenapa mereka bunuh diri, tapi bagi orangnya sendiri, ada alasan yang cukup kuat sampai membuat mereka menyerah pada kehidupan.

Ini 'hanya' 200 dari tiga jutaan anak SMA di seluruh penjuru Jepang. Hanya sebagian kecil dari total yang begitu banyak. Tapi jika angka sebanyak itu menjadi jumlah tetap setiap tahunnya, kupikir penyebab semua itu terjadilah yang justru betul-betul perlu dan harus dipertanyakan.

Aku serius!

—Inilah salah satu hasil riset yang kudapatkan mengenai kaum muda SMA di Jepang.

Mengetahui semua informasi itu, maksudku, keberadaan Konselor di dalam akademi bisa jadi benar-benar dibutuhkan.

Haish, bajingan!

"Mendadak jadi terasa sulit."

Ini pastinya takkan semudah yang aku duga pada awalnya. Aku hanya bisa bilang, sialan kalian orang-orang tua Grigori-san!

Aku mengambil notebook dari saku jasku dan mulai menuliskan sesuatu—

[Dear Otoritas Grigori. Kuharap kalian mau mengembalikan institut-ku secepat mungkin…

—Dari Lumiel yang nangis di pojokan—]

Begitu saja.

Kau mungkin mengharapkanku terlibat dalam pertemuan mengesankan seperti yang terjadi pada karakter-karakter utama di dalam novel, tapi sayangnya ini adalah diriku, seorang yang biasa saja.

Jadi…

Aku mengakhiri hari pertamaku di akademi Kuoh dengan cara yang paling nggak jelas.

.

.

.

Setelah semua kelas berakhir, matahari sudah mulai terbenam dan aku kini tengah berjalan-jalan menyusuri koridor akademi yang mulai sepi.

Murid yang masih tinggal adalah mereka yang mengikuti kegiatan klub sekolah dan sepertinya kurang dari seperempat murid yang memilih melakukan hal itu. Sejauh ini, Aku baru melihat beberapa murid saja yang masih tinggal di sekolah.

Dengan berkelok dan berkilah menghindar dari atensi publik yang tak perlu, setelah beberapa menit, jika situasinya tetap seperti ini mungkin Aku akan mencapai ke tujuanku lebih cepat—

"Lumiel-sensei…!"

—Ahh.

"Hanakai-kun. Otsukaresama Deshita."

"O-Otsukaresama Deshita."

Kebetulan sekali… atau mungkin ini yang disebut takdir. Aku bertemu dengan gadis berambut putih abu-abu—Hanakai Momo; Iblis bertajuk [Bishop] di kebangsawanan Sona Sitri.

Ekspresi kagetnya cukup bisa dipahami. Mungkin dia belum terbiasa mendapati kehadiranku dalam lingkupnya.

"Aku datang, tentu saja, untuk beberapa hal yang perlu dikonfirmasi dengan Ketua OSIS. Mungkin?"

"Ehh, kalau Sensei sendiri bingung, Aku tak tahu apa yang harus kukatakan."

"Hmm, terdengar seperti anak muda. Aku jadi agak iri." —dia gadis yang lumayan cerdas, ya sepertinya. Tapi menilai seseorang dalam satu dua kali pandang bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan, bahkan menurutku.

"Apa Sensei bilang sesuatu?"

"Tidak. …Bagaimana kalau sama-sama ke tujuan?"

"Umu! Itu kedengaran oke."

Dengan anggukan simpel dia menyetujui tawaranku. Saat kami berjalan beriringan Hanakai-kun berkata lagi.

"Tapi Kaichou sepertinya akan agak terlambat. Dia memiliki beberapa urusan yang harus dilakukan di divisi SMP."

Akademi Kuoh adalah tempat yang cukup luas, yakni sebuah akademi swasta yang menyelenggarakan pendidikan terpadu mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas.

"Ya ampun, dia benar-benar menjalani masa SMA-nya dengan serius, ya."

"Y-ya, begitulah."

Aku tahu kalau itu tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang guru—.

Sona Sitri—klien yang harus diperhatikan secara seksama olehku atas perintah dari pusat. —Dia siswi dengan peringkat tertinggi di seantero akademi selama dua tahun terakhir, dan kemungkinan akan tetap begitu juga pada tahun ketiganya di akademi ini.

Sona Sitri sungguh siswi teladan yang tak terkalahkan! Pekerja keras!

"Kamu, Hanakai-kun, sebagai rekan-nya, mungkin harus sedikit memukul kepalanya sampai tidak sadarkan diri."

"U, uu…! Walaupun Aku agak mengerti maksudmu, Sensei. Menurutku, jika cuma 'sedikit', tidak mungkin akan membuat Kaichou pingsan. Lagian memukul Kaichou itu bukan hal yang benar!"

"Fufufu, dengan kata lain, kamu punya metodemu sendiri?"

"….Tidak."

Hanakai-kun memalingkan wajahnya yang tersipu. Yah, kupikir dia memang punya caranya sendiri tapi tidak cukup memiliki keberanian.

Seperti katanya. Memukul majikanmu sendiri adalah tindakan yang tidak benar. Kecuali…. Yah, lupakan saja deh. Aku tak berhak dan tak harus mencampuri urusan orang lain juga lagian.

"Memiliki impian memang bagus, ya."

"….…!?"

Setelah itu kami terus mengobrol di perjalanan. Tidak banyak informasi menarik yang bisa diperoleh, dan mungkin itulah yang telah ditetapkan Hanakai-kun. Dia hanya membicarakan situasi terkini yang kebanyakan sudah ku ketahui. Terkadang hal-hal membosankan lebih sering terjadi dibandingkan sesuatu yang mampu menggetarkan hati.

"Sensei, boleh tidak Aku tanya sesuatu?"

"Hmmm?"

Aku tak tahu mengapa tetapi Hanakai-kun mendadak terlihat serius. Ia bukan orang yang kukenal, kami baru bertemu mulai pagi tadi.

"Tidak boleh?"

"Bukan begitu." Aku hanya merasa kalau apa yang ingin ditanyakan sepertinya akan merepotkan untuk ku jawab. Tapi.

"Baiklah. Silakan."

Tidak setiap pertanyaan harus dijawab, atau mendapatkan jawabannya.

"Yay! Keren! Kalau begitu." Hanakai-kun terlihat senang, lalu dengan suara pelan Ia mengajukan pertanyaannya. "Sensei. Berapa usiamu sekarang?"

"Ahh…?"

Aku—yakin ekspresiku tidak berubah, dan tidak ada tanda-tanda perubahan aneh di tubuhku juga. Meskipun, jujur, Aku agak terkejut. Dari semua hal yang ada di dunia, mendengar pertanyaan tak terduga Hanakai-kun sungguh aneh rasanya.

"Coba kuingat-ingat dulu. Hmmm."

Usiaku, huh.

Aku sudah melalui era perang, era damai, era perang, era damai dan era perang lagi terakhir kali. Dan Aku masih hidup sampai saat ini. Hanya saja aku tidak ingat kapan tepatnya Aku—usiaku dihitung untuk yang pertama kalinya.

"Jika mengingat momen besar yang telah terjadi di dunia manusia, kurasa …hmm, Hanakai-kun."

"Y-ya? Ya Sensei!?"

"Coba cari tahu *Kleinstaaterei. Kurasa keberadaanku dimulai sekitar atau sebelum waktu itu."

".….….….Ba-Baik, Sensei."

Seperti itu. Kami mengakhiri percakapan dengan langkah Hanakai-kun yang sedikit tertinggal di belakangku. Aku tidak yakin bagaimana reaksinya, mungkin dia akan mencari tahu hal yang kukatakan jika dia memang sepenasaran itu.

.

.

.

Akhirnya…

Setelah menunggu beberapa waktu, Sona Sitri kembali ke kantor OSIS.

Kami membicarakan beberapa hal, seperti jadwal pertemuan, ketentuan umum dan khusus, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak di antara kami. Bagaimanapun, Aku bukan budaknya dan Sona Sitri bukan tuanku atau semacamnya. Kami adalah rekan kerja. Ada batas-batasan tertentu yang/dan tidak boleh dilanggar. Ini yang disebut kesetaraan dalam kerjasama.

"Haruskah kita menulis "Kontrak" juga?" ujar Sona, sambil menusuk kacamatanya.

Kontrak yang dimaksud adalah, Magician dan Iblis yang saling berhubungan, saling bertukar informasi, dan berbagi hasil satu sama lain.

"Tidak perlu."

Bagiku, membuat kontrak dengan Sona Sitri—Iblis muda yang belum punya cukup pengalaman akan sedikit canggung. Maka, menepisnya akan lebih baik bagi kami berdua.

"Aku bekerjasama karena perintah dari Grigori; sebagai Agent, didasarkan pada permintaan Maou Leviathan. Lagipula, kamu tidak harus memaksakan diri."

"….Aku berterima kasih atas pengertian darimu, Sensei."

Daripada mempertanyakan alasanku menolak, Ia justru menerimanya dengan lapang dada.

"Sebenarnya Aku berpikir ingin mencoba mengajukan penawaran padamu untuk menarikmu ke sisiku. Kurasa, sekarang tidak diperlukan lagi."

Sepertinya Aku bisa menebak apa yang gadis ini inginkan dariku.

"Jika yang kamu maksud itu adalah 'Itu', kuberi tahu, itu takkan berhasil."

"Oh? Siapa yang tahu kalau belum dicoba, bukan begitu, Sensei?" ujar Sona dengan seringai tipis di wajahnya. Percuma saja kamu sembunyikan, Aku bisa melihatnya tau.

"Hmph. Aku cukup percaya diri dengan nilai yang kumiliki. Kalau kamu memang sepenasaran itu, let's do it!"

Mari kita lihat, apakah yang tadi hanya godaan atau kesungguhan darinya. Siapa yang tahu? Mungkin saja ini akan sedikit menarik untuk kucoba, hmm—?

".….…."

—Sayang sekali, huh.

"Sampai ketemu lagi." Aku berdiri seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku jasku.

"Tunggu, Lumiel-sensei."

"Kupikir kamu cuma menggoda?"

"A-Aku berubah pikiran!"

Begitu, ya? Sebelumnya, Sona Sitri diam dalam keragu-raguan, kurasa. Sekarang dia juga ikut berdiri. Saat ini dia sedang mendorong dirinya dan ingin mencoba, huh.

Baiklah…

Dengan anggukan dariku, lingkaran sihir dengan "Sigil" [Klan Sitri] muncul di atas permukaan meja. —Sebuah papan catur muncul, dengan beberapa bidak catur—; [3 Pawn] [1 Rook] dan [1 Knight].

Lalu, kami pun mulai melakukan sebuah ritual tertentu yang mana sudah dapat kuketahui hasil akhirnya—.

.

.

.

.

.

.

[Akademi Kuoh]

Akademi swasta yang menyelenggarakan pendidikan terpadu mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas. Sebenarnya, itu dikelola oleh Keluarga Gremory, Iblis; Divisi SMP dan SD mempunyai gedung sekolah yang terletak di lahan yang sama. Ada siswa dengan kemampuan supernatural atau ras non-manusia yang terdaftar.

[Tiga Kekuatan Besar]

Itu melambangkan tiga kekuatan—[Iblis, yang menerima bayarannya dengan memenuhi keinginan manusia; [Malaikat, yang menaati Tuhan dalam Alkitab; [Malaikat Jatuh, yang jatuh dari Surga. Suatu ketika, mereka berperang besar, dan perjuangan mereka terus berlanjut hingga saat ini, namun karena suatu kejadian mereka menjadi perantara perdamaian, kecuali cabang radikal mereka.

[Sacred Gear]

Kekuatan supernatural yang memberikan kemampuan khusus kepada pemiliknya. Kemampuan mereka sangat bervariasi. Kekuatan yang diwujudkan oleh mereka bergantung pada emosi dan keinginan pengguna, sehingga memungkinkan untuk membangkitkan kekuatan baru. Di antara mereka, ada yang disebut [Longinus, yang bahkan bisa menghancurkan dewa. Dan di akademi Kuoh ini ada cukup banyak pemilik Sacred Gear.

Singkatnya seperti itu.

Akademi ini cukup bagus karena banyak sekali hal menarik yang bisa ditemukan di tempat ini.

Misalnya—

Aku—Lumiel, melihat seorang siswi yang bicara sendiri, emm, maksudku dia bicara kepada oppai-nya sendiri. Siswi itu berdiri di dekat gerbang akademi seperti sedang menunggu seseorang.

Dilihat dari usianya juga dari rompi seragam yang dikenakannya, mungkin, dia bukan siswi SMA melainkan dari divisi junior SMP.

Maka, itu hal yang wajar.

Di usia itu, seseorang cenderung berpikir bahwa di dalam dirinya mempunyai semacam kekuatan luar biasa. Dalam kasus ini, itu dinamai sindrom kelas delapan alias chuunibyou.

Ya sudahlah.

Dengan demikian aku melewati gerbang, dan melewati siswi SMP terseb—Tunggu!

Bukan ke oppai!

Bukankah sindrom kelas delapan biasanya akan "berbicara ke tangan kirinya sendiri" atau sejenisnya.

Saat aku menoleh, siswi berambut hitam campur merah muda tua juga melihatku. Sorot matanya tampak kuat, namun tidak dapat dipungkiri kalau aku dapat melihat getaran samar pada tubuhnya.

"Kamu anggota 'Klub Langsung Pulang ke Rumah'?"

Klub Langsung Pulang ke Rumah—artinya tidak bergabung ke dalam klub manapun. Aku menanyakan omong kosong itu, tepat sekali.

"….….!?"

Yup, siswi itu diam saja. Sudah jelas dia akan merasa tidak nyaman kalau tiba-tiba diajak bicara oleh orang tak dikenal. Dan, dilihat dari sikap hati-hatinya padaku…

"Aku pengajar baru di divisi SMA. Kamu harus bekerja keras jika ingin mencapai divisi itu. Oke?"

"...Hah!?"

Wajah galak dan suaranya yang terdengar kaget agak tidak sinkron. Dia gadis yang cukup imut.

"S-Sensei dari divisi SMA!? ….Ah! Umm. M-Miyamoto Zekka-desu! Siswi SMP Tahun Kedua Akademi Kuoh! Selamat sore, Sensei!"

"….Begitu. Kamu dari divisi SMP, ya."

Oh, shi…! Dia benar-benar Kelas delapan? Jadi tebakanku benar, huh. Apakah aku seorang jenius atau semacamnya?

"Selamat sore, Miyamoto-kun. Kalau begitu, hati-hati, ya. Saat pulang nanti ambil jalan yang agak ramai agar aman."

"…? Hai, Sensei!"

Setelah bertukar kata begitu, langkahku yang sempat tertunda pun kulanjutkan. Aku mengambil notebook dan pena dari saku jasku. Mereka ini sudah menemaniku selama bertahun-tahun.

Sambil berjalan aku menuliskan beberapa kata ke lembaran notebook. Ini sudah jadi kebiasaanku sejak lama.

[Subjek No.23736 : Miyamoto Zekka]

[—-—-—-—-—]

.

.

.

Selepas pergi dari akademi, Aku—Lumiel, sehabis berkeliling kota Kuoh, kini duduk di sebuah restoran makanan ala Italia bergaya Jepang.

Berkat rekomendasi pelayanan restoran, Aku akhirnya memesan semacam pasta yang ditaburi saus yang terbuat dari tomat dan daging giling di atasnya di daftar menu. Lalu ada mentahan kuning telur juga. Ini versi plus dari versi biasa dan ini terlihat lezat! Hmmmm, namanya Bolognese Poached Egg, ya.

Meskipun pelayan merekomendasikan Red Wine sebagai match pasta ini, aku dengan percaya diri menolaknya. Aku tidak begitu menyukainya, khususnya hal-hal yang bisa mengganggu kejernihan pikiranku. Kadar alkohol di dalam Red Wine bisa dibilang cukup rendah, tapi sayangnya toleransiku terhadap alkohol juga cukup buruk.

"Ganti dengan sesuatu yang berhubungan dengan teh saja."

"...Kalau begitu, saya merekomendasikan Earl Grey?"

"Hmm, itu terdengar sangat Italia. Pilih itu."

"Baik, Nyonya."

Si pelayan pergi guna memuat pesananku dengan wajah lurus. Hei, serius!? Apa ada masalah dengan kombinasi pasta dan teh? Huuuu, Aku tahu itu terdengar aneh, tapi sudah kubilang kalau toleransiku terhadap alkohol tidak bagus.

By the way, kota ini cukup sempit, ya?

"Mau afternoon tea? Kamu pikir ini sudah jam berapa?"

Seseorang yang duduk di seberang meja berkomentar seperti itu, ekspresinya agak kelihatan kusut.

"Apa masalahnya, hmph. Asal kamu tau. Sebagian besar waktuku telah dihabiskan di daratan Eropa. Ya! White Supremacy!"

"Ini sudah Pukul 10, geblek! Aku sudah duduk tiga jam nunggu kamu disini! Dan ini nggak ada hubungannya dengan rasial juga!"

"Nggak denger~."

"What!? Hei Lumiel—"

Aku menutup kedua telinga berpura-pura tak mendengar, dan tersenyum mengejek melihat wajah meleleh perempuan yang duduk di depanku. Ahh, meskipun wanita berambut ungu ini aslinya seorang wanita tua, dia masih tetap imut layaknya gadis di akhir masa remajanya.

Tapi, kuharap, siapapun orangnya, jangan sampai kalian tertipu oleh penampilan luarnya. Penemue-sama adalah "Seorang Grigori". Dia cabul! Tolong ingat-ingatlah itu.

Saat langkah orang lain terdengar, baik Aku maupun Penemue-sama sama-sama diam. Kami bertingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Nah, ternyata, itu adalah pelayan yang tadi. Dia membawa nampan berisi cangkir yang kemungkinan besar adalah teh. Dia lalu meletakkan cangkir teh itu di atas tatakan, di atas meja, tepat di depanku. Dan juga, toples dengan tulisan "Gula"?

Setelah Aku berterima kasih singkat, lagi, si pelayan melenggang pergi dengan raut mukanya yang—sialan!

"Orang itu tidak ramah."

"Mau ngajuin komplain~?"

"Nggak kepikiran." —Jadi, tidak. Terima kasih. Aku tak mau mendengarkan saran dari seseorang yang tersenyum mesum padaku. Dalam hal ini, Penemue-sama lah orangnya.

"Aku makan dulu, oke?"

"Hmm hmmm~."

Penemue-sama terlihat mencurigakan, dia terlihat sangat mencurigakan! Senyum di wajahnya juga mencurigakan!

"….Mati saja kau, mesum."

Mulai makan pasta setelah mengutuk orang lain, rasanya memang mantap! Dan kemudian—

Shutter Shutter Shutter Shutter Shutter!

Aku bisa tahu hanya dari mendengarkan suaranya saja, jadi Aku pun melayangkan tatapan setajam mungkin yang kubisa ke Penemue-sama.

"Mmmh. Hei. Aku sedang makan, tolong jangan ngiler di depanku."

Sangat jelas. Dia sedang memotret ku berkali-kali menggunakan smartphonenya dengan tampang mesum. Meskipun agak jijik, tapi bagiku hal semacam ini sudah jadi hal biasa.

"Inilah Lumi-ku tersayang! Wajah Lumiel yang galak sangat imuuuuutt!!! Cemberut saat memakan pasta juga imut! Karena itulah kamu adalah Lumi-ku!"

Shutter Shutter Shutter Shutter Shutter!

….Sial!

Dia tidak mendengarkan kata-kataku dan justru mengambil potretku lebih banyak lagi. Seakan tiada hari esok.

Kalau sudah begini, Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika aku menghentikan Penemue-sama sekarang, pasti ponselnya itu telah terhubung dengan sesuatu yang dimilikinya di suatu tempat. Dia pastilah sudah membuat salinan selagi mengambil fotoku saat ini. Jadi, memikirkan untuk menghentikan kemudian menghancurkan ponselnya juga akan sia-sia.

Kecuali…. Yah, lupakan.

Pada akhirnya, Aku memakan pasta ku dengan perasaan jengkel sambil berpikir 'Haruskah kubunuh dia.', dan 'Harusnya aku bunuh saja dia.' berkali-kali.

Jadi, sampai jumpa di chapter berikutnya—

.

.

.

TBC