Disclaimer
ハイスクール DxD - 石踏 一榮 High School DxD
Ishibumi Ichiei
.
.
.
[PROLOGUE]
.
Mata beriris keemasan itu menatap serius pada catatan medis di tangannya. Itu menunjukkan bahwa pasiennya kini kian membaik.
Wanita berambut hitam kelam itu merapikan frame yang bertengger di wajahnya. Setelah meletakkan catatan medis di atas meja, manik sekelam kegelapan bergulir ke depan, menatap penuh kepada seorang pemuda yang berstatus sebagai pasiennya di tempat ini.
"Dalam seminggu ke depan kamu sudah diperbolehkan meninggalkan tempat ini. Kerja bagus."
"Terimakasih, Sensei." (—Dokter)
"Kamu tidak sabar ingin segera keluar?"
Pemuda berambut merah jingga tersebut diam sejenak, kemudian tersenyum kecil, tidak memberikan jawaban pasti.
Dia selalu saja seperti itu.
Sang Dokter wanita yang melihat cahaya redup di mata keemasan sang pemuda pun terdiam dalam renungan.
Sudah tiga tahun berlalu sejak dirinya bekerja disini, sebagai psikiater. Kecuali sang pemuda bermata keemasan, semua pasiennya yang lain disini sangat tidak masuk akal. Dia mengerti dan mewajarkan hal itu, sebab pasien-pasien disini tidak lain adalah manusia-manusia yang memiliki masalah gangguan jiwa.
Mereka hidup namun tidak seperti makhluk hidup. Mereka makhluk hidup namun tidak dapat menjalani kehidupan normal.
Selama tiga tahun bekerja disini dia beberapa kali berhasil membantu pasien-pasiennya agar dapat memasuki kehidupan yang normal dalam jangka waktu yang terbilang cukup singkat.
Tapi ada seorang pasien yang telah membuat dirinya menghabiskan begitu banyak waktu di rumah sakit ini saat menanganinya.
Dia merasa gagal.
Dia sedih, namun ada kalanya dia merasa tidak peduli.
Manusia adalah makhluk lemah yang aneh dan terkadang bisa berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Dia telah melihat banyak contoh manusia yang seperti itu.
Dan, walaupun tidak termasuk dalam kategori yang 'Wah!' tetapi mungkin pemuda berambut merah jingga di depannya juga termasuk kedalam salah satunya——
[Pasien No.373] : [….….….….….….]
[Kasus] : [Depresi Akut] [Bipolar] [Skizofrenia]
"Dunia luar sangat luas. Ada berbagai macam hal luar biasa diluar sana yang tidak bisa kamu temukan disini. Apa kamu merasa gugup untuk meninggalkan tempat ini?"
"Jika Aku pergi dari sini, kupikir semua yang ada disini akan menghilang."
——Karena manusia di depannya, pemuda itu sering berbicara menggunakan kata-kata yang sulit dicerna. Meski memiliki penampilan yang menarik dan cukup menggoda dia mempunyai masalah depresi akut, gangguan bipolar, serta skizofrenia membuatnya menjadi sosok yang, agak disayangkan.
Masa-masa awal menangani pemuda tersebut adalah ketika berurusan dengan depresi akut yang dideritanya, dan itu berlangsung cukup lama.
Saat tingkat depresinya menurun, membaik, si pemuda mulai memiliki gangguan perubahan suasana hati. Dia akan tiba-tiba menangis saat makan, atau yang paling parah adalah berubah senang saat melihat ada salah satu pasien lain meninggal dunia.
Dia rusak.
Ternyata bukan cuma mengidap bipolar, pada akhirnya diketahui kalau pemuda tersebut telah menderita gejala negatif skizofrenia.
Respons emosional yang ganjil, seperti ekspresi wajah dan nada bicara yang tidak berubah alias monoton. Enggan bersosialisasi dan lebih memilih berdiam di tempat-tempat sepi. Kehilangan minat dan motivasi pada berbagai aktivitas. Tidak nyaman berada dekat orang lain dan tidak mau memulai percakapan.
Kesehariannya akan dihabiskan dengan cara yang tidak sehat. Menatap langit sambil berdiri di tengah lapangan. Memandang ke bawah dari atap rumah sakit. Makan, menyendiri, tidur, membersihkan diri, dan memandang ke luar jendela sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, kadang kala menggerak-gerakkan tangan seolah-olah sedang 'menggambarkan' sesuatu.
Setelah terus menerus menjalani pengobatan intensif, sungguh suatu keajaiban, pemuda itu mulai menunjukkan perubahan ke arah yang positif.
Dia mulai bisa diajak bicara nyambung, meski nadanya masih monoton. Dia sudah kembali dan mampu mengekspresikan dirinya dengan tersenyum walaupun hanya seulas senyuman kecil, tipis, atau tidak terlihat sama sekali.
Bahkan sekarang, sorot di mata keemasannya memancarkan cahaya redup yang merindukan kehangatan dalam hidup.
'Sensei' kadang bertanya-tanya—. Sebenarnya apa yang pemuda itu lalui hingga membuatnya jadi semenderita itu?
Pihak rumah sakit dan dirinya telah membuat suatu kerjasama dimana dia akan ditugaskan untuk merawat pemuda itu secara khusus. Tak perlu baginya merawat pasien lainnya. Secara khusus, pihak rumah sakit memberinya uang dengan nominal yang tidak 'masuk akal' untuk merawat pemuda bermata keemasan tersebut.
Uang bukanlah apa-apa baginya.
Tapi,
Alasan pihak rumah sakit yang bersikeras ingin 'menyembuhkan' pemuda itu membuat dirinya penasaran.
Siapa sebenarnya pemuda itu? Kenapa pihak rumah sakit tampaknya sangat peduli sekali padanya?
Latar belakang apa yang dia miliki?
Dan, setelah mencari-cari tahu tentangnya dia tidak bisa tidak merasa takjub. Sudah berapa banyak 'koneksi' miliknya yang dia hubungi untuk mencari latar belakang pemuda itu, dan mereka semua selalu dan selalu saja berakhir dengan membawa informasi yang sama.
Tidak ada latar belakang yang bisa diselidiki.
Tidak ada apa-apa tentangnya.
Dia, eksistensi pemuda itu seolah-olah muncul dari udara hampa.
Karena hal itu rasa penasarannya mulai naik beberapa tingkat.
Karena hal itu dia mulai merasa kalau merawat pemuda itu adalah hal yang sepadan. Dia mulai serius melakukan 'pekerjaan'-nya.
Sesekali akan menceritakan sesuatu yang baru dan bahkan yang bersifat rahasia kepada anak manusia itu.
Cerita yang paling disukai pemuda itu adalah cerita-cerita misteri, fenomenal, supranatural, fantastik, kisah-kisah epik dan kisah legendaris.
Hubungan antara pasien psikoterapi dan sang psikiater pun mulai ambigu. Keduanya menjadi dekat walaupun belum bisa disebut 'berteman' tetapi cukup dekat untuk saling melengkapi dalam tutur kata dan pertukaran pikiran.
Mula-mula 'Sensei' merasa aneh. Mungkin dia sudah menderita gangguan jiwa juga. Tapi sisi positif yang dia dapatkan dari menjadi dekat dengan pasiennya cukup memuaskan.
Lagipula, siapa sangka? Pemikiran orang yang menderita gangguan jiwa sebenarnya cukuplah menarik. Dia tidak mampu membantah hal itu.
Sebenarnya hal itu sangat menarik. Berkat dia merawat pasien gangguan jiwa seperti pemuda itu, dirinya telah mendapatkan cukup banyak ide-ide luar biasa yang tak pernah terpikirkan olehnya.
Berkat ocehan pemuda itu, 'Sensei' semakin dan semakin menjadi lebih baik setiap harinya.
Pada akhirnya dia membuang rasa penasaran yang sempat menghantuinya tentang 'rahasia' pemuda itu. Dia memutuskan koneksi dengan orang yang 'serupa' dengannya hanya untuk bisa menjadi dekat dengan pasien khusus-nya.
Pada akhirnya dia memutuskan mundur satu langkah untuk mengambil langkah yang besar kedepannya. Dia ingin 'memiliki' pemuda itu sendirian.
Dan, waktu yang dimilikinya dengan pemuda tersebut hampir mendekati akhirnya—
"Kamu terlihat senang, Sensei."
—Karena pemuda itu sudah cukup siap untuk kembali ke kehidupan normalnya.
"Aku senang karena akhirnya ini berakhir baik. Apa kamu tidak senang?"
"Yah…. Aku tidak begitu paham. Tapi baiklah."
Dia tersenyum manis. Dia benar-benar merasa senang, bukan candaan, saat melihat senyum penuh arti di wajah pemuda tersebut.
"….…. Kamu ingin menanyakan sesuatu?"
Sang pemuda menyentuh permukaan pipinya dan bergumam 'Ahh?' lalu tersenyum simpul. Intensitas cahaya di matanya meningkat saat ia berkata dengan sorot mata antusias,
"Aku belum mendengar akhirnya, akhir dari kisah [Great War] yang Sensei ceritakan. Apa Yondai Maou dan 'Kami' berakhir di akhir peperangan?"
Dok-un!
.
Itu, tidak masuk akal.
Bagaimana bisa….….
Apa karena pemuda itu tidak lain adalah calon 'mantan' pasien, sehingga dia mampu dengan santainya menanyakan hal tersebut?
"Jika itu akhir dari ceritanya, itu akan menjadi akhir cerita yang sangat menarik."
….…Bukankah kata-katanya sedikit kelewatan?
Dia tak tega untuk menegur pemuda itu seperti yang biasa dia lakukan. Melihat antusiasme di wajah sang pemuda membuatnya merasakan dilema.
'Sensei' tersenyum,
"Aku akan menceritakannya lagi, tentu setelah kamu meninggalkan rumah sakit ini. Kita bisa bertemu lebih bebas di luar jam kerja-ku."
Pada akhirnya dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak. Dia tidak ingin mengatakan lebih jauh lagi. Dia hanya memberikan sebuah janji palsu untuk menutupi rasa pahit di dalam hatinya.
"Begitu, ya. Aku harap itu tidak akan terlalu lama."
"Hahaha, kamu sudah tidak sabar ingin pergi dari sini, huh. Baiklah, baiklah. Untuk sesi kali ini kita sudahi saja."
"….….…Permisi Sensei."
"Humm."
'Sensei' memandang punggung sang pemuda dalam diam. Punggung seorang pria memang lebih besar, tetapi punggung lebar pemuda itu tampak begitu rapuh di matanya.
Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada pemuda itu setelah menyelesaikan perawatan di rumah sakit ini. Apa yang akan laki-laki itu lakukan diluar sana nanti.
Apa dia akan baik-baik saja?
.
#—#—#—#
.
[H-5 menuju kebebasan]
.
Direktur rumah sakit tersenyum sumringah atas kinerjanya menangani pasien no.373, dan 'Sensei' mengangguk kecil.
[Pasien No.373] : [.….….….….….….]
Dinyatakan [Sembuh]!
"Kamu sangat berdedikasi. Terimakasih atas kerja kerasmu, Sensei."
"Itu sudah jadi tugasku, Pak Direktur."
'Sensei' senang atas hasil kerjanya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa dirinya merasa senang, meski begitu dia tidak butuh rasa terima kasih.
Mungkin dia hanya merasa senang karena bisa membantu orang lain. Tapi sejak kapan dirinya menjadi pribadi yang begitu lurus?
"Pak."
"Iya?"
Nah, ada satu hal yang ingin dia pastikan yaitu,
"Siapa sebenarnya Pasien No.373?"
Itu sudah menjadi perhatiannya selama tiga tahun bekerja disini.
"Saya tidak tahu. Saya kira, akan bagus kalau Pasien No.373 bisa menjalani hidup normal. Itu saja."
Itu, aneh.
Bagaimanapun… ada sekitar tiga puluh pasien psikoterapi lebih yang dirawat di rumah sakit ini. Tidak ada yang salah dengan itu. Tenaga medis serta teknologi di rumah sakit ini sangat cukup dan mumpuni. Termasuk dirinya, ada psikiater lain yang bolak-balik bekerja disini, ada juga beberapa konselor dan psikolog.
Semua berjalan cukup normal.
Satu-satunya yang aneh adalah, alasan di balik pihak rumah sakit ini yang menegaskan bahwa pasien no.373 'harus' sembuh.
Sepertinya sudah ada beberapa dokter lain yang pernah menangani kasus pasien no.373, akan tetapi kebanyakan dari mereka menyerah sesudah dimulai beberapa waktu.
Sebelum 'Sensei' datang, pasien no.373 telah dibiarkan tanpa penanganan selama beberapa waktu. Dan semenjak kedatangannya di rumah sakit ini, mula-mula ia ditugaskan menangani beberapa kasus; 7 kasus berhasil, 2 kasus tidak berhasil dan/ belum berhasil ditangani.
Dari 2 kasus yang tidak berhasil dan/ belum berhasil ditangani, karena salah satunya yakni, [Pasien No.616] telah meninggal dunia. Sedangkan satunya lagi adalah pasien no.373.
Dia adalah kasus khusus.
Dibandingkan yang lain, pasien no.373 adalah pasien yang paling lama menjadi penghuni di rumah sakit ini. Orang-orang dari generasinya sudah 'bebas' dan mungkin sedang menikmati hidup normal yang bahagia.
Oleh sebab itu, 'Sensei' pun menjadi bertekad untuk menangani kasus pasien no.373 secara berkala. Dia mengintensifkan penanganannya kepada pasien no.373 dan berharap kalau dia akan mampu membuatnya 'kembali' ke jalan yang benar.
Berbagai macam cara pun dia telah lakukan.
Dia tidak mengerti alasannya melakukan hal tersebut.
Mungkin saja dia merasa tergerak oleh pihak rumah sakit yang memintanya secara khusus untuk menangani kasus tersebut.
Atau mungkin tidak?
"….…Kalau begitu, saya permisi."
"Ya. Silakan."
Karena tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, pada akhirnya 'Sensei' memutuskan untuk pulang ke 'rumah'-nya.
..
#—#—#—#
.
H-3 menuju kebebasan.
.
Kacamata bertengger manis menyembunyikan iris kuning keemasan seindah permata, rambut hitam kelamnya diikat ponytail.
Jas putihnya berkibar pelan ditiup angin nakal.
Dia membuka pintu, masuk. Ternyata sudah ada seseorang yang menunggunya di dalam kantornya, seperti biasanya.
Nah, ada pemandangan baru. Orang yang telah menunggunya adalah seorang pemuda tampan berambut merah jingga. Pemuda tersebut sedang menatap lamat-lamat papan nama di atas meja, iris keemasannya memancarkan sinar redup, jari-jemarinya menyentuh lembut ukiran kayu tersebut.
Mungkin menyadari kehadirannya, pemuda itu segera berdiri dan berbalik. Dengan senyuman kosong di wajahnya ia pun menyapa,
"Selamat siang, Sensei."
"Selamat siang juga, Minami-kun."
Dia berjalan ke tempat duduknya, meletakkan lembaran kertas berisi catatan medis pemuda tersebut ke atas meja.
Melepaskan frame kontak dan menggantung ke saku jas—, menatap langsung dari mata ke mata.
"Bagaimana kabarmu?"
"Aku merasa hebat."
Jawaban yang tidak disangka-sangka lolos dari mulut pemuda tersebut. Sang psikiater pun tak mampu menahan senyum geli mendengarnya.
"Sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan hari ini, huh?"
"Bagaimana kalau Sensei menceritakan cerita keren lainnya?"
"Hmmm, misalnya?"
"Sesuatu yang lain. Apakah ada cerita tentang makhluk yang berasal dari dunia lain datang ke dunia kita?"
'Sensei' tersenyum miring. Lagi-lagi pola pikir pemuda itu membuatnya merasa tertarik. Akan tetapi atas pertanyaan itu dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku tidak punya cerita sekeren itu. Tapi…."
Sesuatu seperti itu tidak ada di dunia ini.
"….Kamu bisa menemukannya di novel-novel yang beredar di luar. Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk membacanya?"
"Hee? Membaca menghabiskan terlalu banyak waktu."
"Bukankah sebagian waktumu juga dihabiskan untuk membaca buku?"
"Itu berbeda."
Meski nadanya monoton, cahaya redup di mata keemasan itu menunjukkan ketidakpuasan tak kentara.
"Memang apa bedanya dengan mendengarkan Aku bercerita? Sama-sama membuang waktu juga, kan?"
"Membaca buku, dan mendengarkan Sensei bercerita, itu berbeda. Aku bisa mendengar suara Sensei. Disini."
Pemuda berambut merah jingga tersebut menyentuh pelipisnya dengan jari telunjuknya. Meski kata-kata pemuda itu cukup sederhana tetapi makna di baliknya bisa jadi sangat luas.
'Sensei' tersenyum tipis,
"Begitu, ya?"
Sungguh, manusia yang menarik.
.
#—#—#—#
.
H-1 kebebasan.
.
"Tidakkah kamu berpikir akan membantu orang yang sebangsa denganmu dan bukannya malah keluyuran nggak jelas?"
Terdiam dalam kesunyian, dan perasaan sepi mulai menggerogoti hatinya. Dia tidak mampu menahan sensasi dingin yang menjalar di tulang punggungnya.
Dia tidak bisa membalas saat seorang wanita berambut ungu panjang serta memiliki sorot mata yang kuat menceramahinya.
"Ada krisis global di depan mata kita. Teroris yang menyebut dirinya [Khaos Brigade] mulai bermunculan dimana-mana seperti ngengat. Kamu tahu 'kan, identitasmu cukup spesial? Orang-orang yang masih menyimpan hal yang belum terselesaikan dengan Ayahmu bisa jadi akan memanfaatkan situasi ini. Kamu haruslah tetap berhati-hati saat bermain di luar."
"….…. Baiklah…."
Dia hanya mampu menjawab setelah terdiam cukup lama. Bagaimanapun, meski terkadang bersikap tegas tetapi sebenarnya atasannya itu wanita yang lembut dan baik hati. Sedikit aneh juga.
"Kamu bisa memanggilku Penemue 'Oneesan' juga."
"Mustahil aku melakukan itu."
Wanita berambut ungu membolak-balik kertas di mejanya saat tertawa 'fufufu' mencurigakan tanpa mengurangi penjagaannya.
"Apa yang bisa kubantu, Penemue-sama?"
Bagaimanapun wanita itu salah satu Petinggi Grigori yang masih bertahan sampai sekarang.
"Kamu tidak imut sama sekali."
Wanita itu mengerang, lalu meluruskan atensi ke depan dan berkata,
"Meski terdengar berlebihan tetapi para Petinggi lainnya mengkhawatirkan pemimpin kita yang berada di garis depan. Bagaimanapun. Karena minimnya kekuatan yang kita miliki membuat kami berada diposisi yang sedikit sulit untuk mengirimkan personil tambahan."
Ah—Dia mulai mengerti arah pembicaraan ini.
Karena Gubernur Jenderal-sama sangat sibuk, waktunya dihabiskan untuk bolak-balik keluar masuk Grigori mengurusi banyak hal….….
"Karena [Agen] atau [Murid] tidak bisa dijadikan sebagai perwakilan resmi dari pihak kita, maka tak ada salahnya kalau meminta bakat terbaik yang kita miliki untuk berpartisipasi, kan?"
….…. Itu berarti,
"Bagaimana kalau kamu pergi ke garis depan untuk membantu Azazel?"
Dia menutup matanya, menghela nafas pelan, lalu kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Itu hanya buang-buang waktu. Azazel-sama tidak akan senang mengetahuinya."
"….Sigh! Kamu selalu begitu. Itu sebabnya—. Seandainya kamu tidak pergi, Ayahmu pasti tidak akan berani melakukan hal bodoh karena kamulah satu-satunya yang bisa mengendalikan maniak itu."
"Tolong berhenti membicarakan orang tua itu, dia sudah tenang di alam sana. Pak Tua, Aku akan terus hidup dengan baik walaupun tanpa adanya dirimu. Amin."
"…. (ꏿ﹏ꏿ;). Dia belum mati, tahu."
Dia menggeleng saat melihat wanita berambut ungu—atasannya tersebut berusaha menahan tawanya.
"Sama saja. Dipenjara entah sampai kapan tidak ada bedanya dengan sudah mati. Jika seandainya nanti dia dibebaskan pun, Aku sendiri yang akan membunuh pak tua itu. Mungkin."
"Hahaha. Kamu kejam seperti biasanya. Kalau laki-laki itu mendengarnya dia pastilah akan menangis dengan wajah menyedihkan."
Pada akhirnya wanita itu tertawa juga!
Melihatnya tertawa sedemikian rupa dia pun tersenyum kecil. Akan tetapi, hatinya bagaikan sedang ditusuk-tusuk jarum tak kasat mata.
Bagaimanapun….….
Semaniak apapun pak tua itu, seburuk apapun sikapnya pada orang lain, orang yang dijadikan bahan tertawaan wanita itu —masihlah orang tuanya.
Pak tua mungkin individu yang busuk sampai ke akarnya tetapi sebagai orang tua, dia adalah sosok Ayah yang cukup baik.
Tidak mungkin dia tidak sakit hati mengetahui kalau dirinya tidak akan bisa bertukar kata lagi dengan orang tuanya.
….….Dia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, lagi pula itu murni tindakan sembrono pak tua itu sendiri yang menyebabkan dirinya berakhir dikurung dalam Penjara Abadi.
"Pikirkanlah baik-baik, oke?"
"Akan kupikirkan."
Lalu dia berdiri dan melenggang.
Dia tidak terlalu peduli dengan urusan bangsa atau apapun itu. Biarkan saja orang-orang tua yang bekerja keras.
Hari ini adalah hari yang berarti baginya. Ada orang yang mungkin sedang menunggunya di suatu tempat—seperti biasa.
Hari ini akan menjadi hari perpisahan diantara mereka berdua dan tempat itu.
Yap, dia memutuskan akan berhenti bekerja di tempat itu setelah penyelesaian akhir.
Ngomong-ngomong dia menjadi sedikit tidak sabar untuk segera mendatangi tempat itu….….
.
#—#—#—#
.
Sementara itu—
Pemuda berambut merah jingga itu berbaring di ranjangnya. Ekspresinya tenang sedangkan matanya tampak kosong menatap langit-langit kamar.
Sudut mulutnya tertarik mendengar suara-suara misterius mulai terdengar di dalam kepalanya.
«Hei. Kenapa kau berusaha begitu keras kalau pada akhirnya tidak bisa mengatasi apa yang disebut 'kerapuhan' manusia?»
Aku tidak tahu.
Aku lelah. Tubuhku mungkin saja sudah menjadi sesuatu yang tidak masuk akal, namun kesadaran dan akal sehatku terus menerus memudar seiring berjalannya waktu.
"Setidaknya Aku ingin meninggalkan peninggalan milikku sendiri."
Walaupun dunia takkan mengetahui siapa Aku, tetap saja, Aku masih berharap keinginan terakhir ‹yang bersemayam› di dalam diriku akan terwujud ke dunia ini.
"Kita selalu bersama. Jika Aku pergi begitu saja, bukankah ‹kamu› akan bersedih?"
«Heh, heh. Kau pikir siapa ‹Aku›? ‹Aku› adalah Sang Penghancur!»
"Khukuku. Menurutku itu lucu."
«A-pa?»
"Penghancur yang terkekang di dalam suatu 'hal' berani sekali bicara omong kosong? Kekekeke."
«.….….»
Entah dimulai sejak kapan, Aku menjadi sering berbicara sendirian. Bicara pada diriku sendiri dan menjawab kata-kata yang berbeda dalam pikiranku.
Dulu, awalnya terasa sulit.
Namun….
Pada akhirnya Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tumpang tindih dengan kesadaranku——.
"Sudah puluhan tahun kita bersama. Setidaknya biarkan Aku mewariskan semua yang kumiliki kepada ‹kamu›."
Semoga apa yang kumiliki kelak akan bermanfaat bagi ‹Itu› yang terkekang oleh waktu dan terikat dengan diriku.
«Deon Decimus!»
….?
«Namaku "Deon Decimus". Kau harus merasa terhormat diizinkan mengetahui namaku!»
"Begitukah?"
Untuk pertama kalinya ada sesuatu membuatku bisa tersenyum puas. Bahagia rasanya akhirnya bisa mengetahui ‹Itu› membuka dirinya kepadaku.
…..…..…Di akhir hayatku.
"Terimakasih, temanku."
«Hei…. Minami. Minami Deon—»
Senyumku kian mengembang.
«Kau sudah berusaha sepanjang hidupmu tanpa mau melihat ke belakang.»
"Suara" yang berisi kekhawatiran samar itu terlalu jelas bagiku.
«Kau sudah jauh melampaui apa yang disebut sebagai 'Manusia'. ….…Berapa banyak evolusi yang telah kamu berikan padaku. Meskipun tindakanmu selalu seperti pengecut, bukan berarti Aku tidak menyukainya. Hanya….….….»
"Kenapa ‹kamu› jadi sentimen—"
«Kenapa kamu menyerah begitu saja?»
"﹏﹏"
Itu bukan mauku. Benar. Aku memang menyerah. Perjalananku kini sudah mendekati akhirnya. Tapi itulah keinginan terakhirku.
Hei. Aku sudah memutuskannya sejak lama.
«Benar. Tidak ada yang lebih tahu selain ‹Aku› seberapa keras kepalanya dirimu.»
"Itulah sebabnya ‹kamu› harus memanfaatkanku sampai kebosanan membunuh ‹kamu›. Temanku."
Ahh, ini semakin dan semakin buruk saja setiap detiknya.
Aku tidak bisa memimpikan kehidupan bahagia dan penuh suka cita. Justru, Aku tidak tahu sama sekali, seperti apa itu "mimpi"—.
Aku tidak pernah bermimpi sepanjang hidupku. Aku tidak memiliki impian dan terus menerus memikirkannya sepanjang hidupku. Bertanya, apa yang salah denganku?
"Temanku, ‹Deon "Minami" Decimus› yang sangat keren~."
«Hentikan. Itu menjijikan.»
Kenapa Aku tidak diperbolehkan "mimpi"? Bukan. Tidak begitu.
Kurasa….
"Hei, temanku. Apa mataku salah lihat? Banyak sekali. Mereka terlihat sangat indah. Apa yang kulihat ini?"
«….…Bicaralah yang jelas, bodoh.»
"Hahahaha, begitukah? Begitu. Begitu, ya….…."
Sepertinya, Aku, harus pergi.
Apakah ini akhirku? Kalau begitu, kuharap ‹Itu› akan bersenang-senang mulai dari sekarang.
Entah kenapa, Aku….….…….…takut.
Pada akhirnya, mata beriris kuning keemasan itu kehilangan cahayanya.
Tubuh berbalut pakaian pasien rumah sakit itu terkulai di atas ranjang [Decimus Psychiatric Hospital].
[Pasien no.373] : [Minami Deon]
—Telah 'pergi' meninggalkan dunia ini.
Pada malam itu [Decimus Psychiatric Hospital] serta seisinya menghilang bagai fatamorgana. Tanpa jejak pasti, tanpa bekas secuil pun debu.
Hilang bak ditelan bumi.
Di sana hanya ada hamparan tanah kosong seluas beberapa hektar di suatu daerah paling timur di sebuah negara….….….….…..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
[H-1 …..…..….]
.
….…Tidak ada.
'Sensei' memandang ke depan dengan tatapan hampa.
Jas putihnya bergoyang pelan terhempas angin lembut.
Hatinya berdenyut.
Ekspresinya kosong. Tatapan iris keemasan itu sulit diartikan. Dunianya terasa hampa. Tangannya yang memegang secarik kertas bergetar lemah.
Kenapa, atau bagaimana bisa? Pikirannya telah dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang serupa.
[Decimus Psychiatric Hospital]—,
Tempatnya bekerja sekaligus tempat dimana ia jadikan untuk menghabiskan waktu, —lenyap tanpa jejak, hilang tak berbekas.
Di depannya hanya ada sebidang tanah kosong melompong dan mencekung sedalam beberapa meter bagai kawah mengerikan… seperti bekas terjadinya sebuah ledakan besar.
Police Line sudah dipasangi di berbagai sisi.
Pihak berwajib; polisi, pemadam kebakaran, mobil ambulans beserta tenaga medisnya bisa dilihat berkeliaran dimana-mana.
Ia tahu walaupun tidak ingin mempercayainya, tetapi apa yang saat ini dia saksikan dengan kedua mata kepalanya bukanlah candaan.
Ini nyata.
Tidak ada satupun yang selamat.
Tempat dimana dia sering mengobrol dengan pemuda itu musnah bak dihantam meteor. Itu omong kosong!
Itu disebabkan oleh fenomena tetapi bukanlah fenomena alam. Dia sadar itu bukanlah insiden atau kecelakaan fungsional, atau terjadi karena sebuah ledakan yang disebabkan oleh manusia dengan senjata buatan mereka.
Itu pasti, Fenomena Supernatural.
Iris kuning keemasan itu berkilat dingin, tak berselang lama kemudian berubah sedih ketika menatap catatan medis di tangannya….….….
.
[Pasien No.373] : [Minami Deon]
[Laki-laki] [25 Tahun]
[Kasus] : [Depresi Akut] [Bipolar] [Skizofrenia]
Note: pasien dinyatakan sembuh setelah tiga tahun menjalani perawatan, pengobatan dan terapi serta dilakukannya pemeriksaan intensif.
[Penanggung jawab]
—[Dr. Lumiel Kleinsterns]
.
Telinganya berubah sedikit lancip.
Rambutnya yang hitam kelam mula-mula mulai memutih dari akarnya hingga ke ujung, matanya dipenuhi kilauan bagai taburan bintang yang indah namun mematikan bercampur kesedihan.
"Minami-kun…."
Suatu saat nanti, masih mungkinkah kita akan dipertemukan sekali lagi bahkan setelah maut memisahkan kita?
.
.
.
.
Meanwhile….
.
Di sebuah bukit kecil, pemuda berambut merah jingga itu berkacak pinggang dengan senyuman tak berdaya. Dia baru saja selesai menumpuk bongkahan batu di depan matanya.
Meski hari sudah malam tetapi tidak membuatnya merasa kedinginan meskipun ia hanya memakai selembar pakaian, pakaian pasien rumah sakit yang tipis. Ia berdiri di sana tanpa alas kaki.
Identitas pemuda tersebut adalah;
[Pasien no.373] : [Minami Deon]
Benar.
Dia adalah seseorang yang sama dengan pemuda yang sebelumnya. Matanya yang berwarna kuning keemasan bersinar cerah di kegelapan malam saat ia terkekeh pelan lalu bergumam,
"Mulai sekarang namaku adalah, Deon Decimus."
Itu juga, benar.
Dia adalah Minami Deon, namun pada saat yang sama adalah Deon Decimus. Mulai dari sekarang dia adalah seseorang yang sama namun pada saat yang sama juga berbeda.
Singkatnya, dia adalah: Pasien Rumah Sakit Jiwa, yang 'melarikan diri'.
—[Deon ‹Minami› Decimus]
"Kawan. Aku akan memanfaatkan 'warisan' yang kau tinggalkan untukku sebaik mungkin."
Ia mengangkat kedua tangannya dan memandangi keduanya dengan penuh kerinduan. Tatapannya kemudian bergeser melihat tubuhnya sendiri dan, ia pun menyeringai bodoh.
"Perpisahan yang kau berikan sangat buruk!"
Dia 'pergi' begitu saja setelah mengatakan omong kosong tidak berarti.
Lalu, tatapannya mengarah ke 'siluet' di langit yang terbang melesat dengan kecepatan super kilat.
Siluet berambut putih keemasan yang terbang menggunakan kedua belas sayap hitam legam di punggungnya itu hilang dalam sekejap mata, menembus bahkan ruang hampa yang dilaluinya.
'Si bodoh itu bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan kepada wanita itu.'
Padahal wanita itu sudah merawatnya dengan sedemikian rupa, dan dengan antusias menunggu hari yang dinantikan seharusnya tiba.
Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah dibuat menjadi duka.
"Hmhm….…."
Pemuda berambut merah jingga tersebut, yang masih memakai baju pasien rumah sakit, dan berdiri di atas bukit memandangi langit mendung dengan seulas senyuman tipis penuh misteri.
"Tidak lama lagi. Kita pasti akan berjumpa lagi, Sensei."
.
.
TBC—
.
.
O-Characters:
[Deon ‹Minami› Decimus]
[Lumiel ‹——› Kleinsterns]
#Deon Decimus adalah 'awalnya' Minami Deon. Walaupun penampilannya terlihat muda, serta dengan adanya data kecil yang tertera di catatan medis yang dipegang oleh Sensei, usia sebenarnya lebih dari itu.
Untuk Appearance-nya, lihat image cover.
#Lumiel Kleinsterns sang Psikiater adalah—Yup, benar! Kalian telah menebaknya dengan baik!
.
Cerita baru yang gak mungkin menarik. Biasanya cuma dikerjakan kalau lagi kena WB pas nulis Specter of Death (SoD) x DxD-Verse!
