Author's Note: Apa kabar para pembaca Mona Lisa sekalian? Senang bertemu kembali! Sebelumnya saya mau memperingatkan bahwa cerita ini resmi dinaikkan ratingnya jadi M—harap maklum karena penulisnya juga sudah tante-tante . Selain itu saya yakin sebagian besar pembaca di sini juga sudah cukup umur, beberapa kali saya lihat di review komentar-komentar dari para pembaca yang ternyata sudah berkeluarga ;)
Baiklah, cukup dulu basa-basinya. Kita lanjutkan nanti ya. Selamat membaca!
xoxo,
shiorinsan
Disclaimer: Karakternya punya Masashi Kishimoto (kecuali Amano Megumi). Ceritanya fiksi dan karangan saya.
Chapter 16
When Ino Finally Crosses the Line
Baiklah, sampai jumpa di perpustakaan.
Sebaris pesan tersebut membuat perutnya bergejolak. Kiba Inuzuka berdiri mematung di sana. Baju-baju kering dan bersih yang sedang dilipatnya terabaikan.
Mungkin sesuatu terjadi?
Setelah beberapa minggu menghindari dan tidak membalas pesannya, Kiba sama sekali tidak berharap Ino akan membalas pesannya sekarang. Entah apa yang mendorongnya siang itu untuk mengetik dan mengirim pesan kepada Yamanaka Ino bahwa ia akan menemuinya di perpustakaan—dia bahkan tidak berencana ke perpustakaan. Ada banyak pekerjaan rumah yang tidak sempat dilakukannya selama berminggu-minggu, dan karena hari itu dia libur kerja sambilan, ia sudah lama berencana bahwa ia akan di rumah seharian dan menyelesaikan semuanya.
Setelah pertemuan mereka di mall, Kiba tidak pernah mengobrol lagi dengan Ino. Di sekolah gadis itu selalu bersama teman-temannya atau Sasuke. Dia juga tidak pernah membalas pesannya. Kiba sudah di tahap ingin menyerah. Apalagi ditambah dengan Ayame yang selalu gigih menyita perhatiannya dengan terus menerus berada di sekelilingnya, ia pun merasa apa yang ada di antaranya dan Ino mungkin hanya sebuah mimpi.
Mimpi yang indah.
Ino Yamanaka akan selalu berada jauh dari jangkauannya.
Hanya saja siang itu, saat ia berjalan menuju tempat ia biasa duduk dengan Ayame untuk makan siang, ia tanpa sengaja melihat Ino yang tertawa lepas, hingga kepalanya menengadah dan menampakkan lehernya yang putih mulus. Melihat hanya ada Naruto dan Sakura bersamanya, tanpa pikir panjang, Kiba pun langsung berjalan menuju meja tersebut dan duduk di seberang pujaan hatinya, tanpa rencana apapun. Ia bahkan tidak tahu apa yang akan dikatakannya.
Namun ia tidak peduli.
Satu-satunya yang Ia inginkan adalah berada di dekat Yamanaka Ino.
Ia kecewa ketika melihat kepanikan di wajah gadis itu saat melihatnya. Ia bahkan berusaha mengabaikannya dengan membaca buku, namun ketika akhirnya ia menurunkan bukunya, dan tersenyum padanya, kelegaan luar biasa menerpanya.
Kali ini ia yakin bahwa ia tak membayangkannya—apa yang ia rasakan juga dirasakan oleh Ino.
Ia bisa melihatnya di dalam kedua mata gadis itu yang sebiru samudera.
Begitu tahu si gadis pirang akan ke perpustakaan, dalam pikirannya Kiba langsung mengosongkan jadwalnya untuk sore itu, dan mengundang dirinya sendiri untuk ikut ke perpustakaan bersamanya.
Sayangnya, sebelum Ino bisa menjawab, Ayame datang.
Itu adalah kali pertama Kiba merasa kesal akan keberadaan Ayame.
Menolak untuk menyerah, Kiba langsung mengirim pesan ke Ino bahwa ia akan menunggunya di perpustakaan nanti. Namun bahkan sampai jam pelajaran terakhir berbunyi, gadis itu tetap tidak membalas pesannya.
Mungkinkah ia terlalu agresif dan menakutinya? Kemungkinan itu baru terpikirkan olehnya. Namun semua hal tersebut buyar ketika ia melihat Ino membalas pesannya.
Ia melirik jam yang tergantung di dinding ruang tamunya. 15h30. Karena Ino bilang "sampai jumpa nanti", artinya dia belum di sana. Kiba tidak tahu dimana gadis itu sekarang, namun ia bisa berada di perpustakaan dalam waktu lima belas menit dan berharap saat itu gadis itu belum sampai agar ia bisa "menyambutnya".
Namun saat Kiba tengah bergegas ke kamar untuk mengganti celana dan mengambil jaketnya yang bagus, ia mendengar bel berbunyi. Mungkin tukang pos? batinnya, karena ia tak menunggu siapapun saat itu. Namun tidak biasanya tukang pos datang sesore itu. Namun Kiba tidak buang-buang waktu untuk berpikir dan cepat-cepat menjawab interkomnya. "Dengan Inuzuka," katanya.
"Hei, ini aku!" Suara Ayame yang familiar terdengar dari interkom dan membuat Kiba mengernyit. Apa Ayame bilang ia akan mampir? Tanpa berpikir lebih jauh, dan tidak ingin temannya menunggu terlalu lama, ia pun berkata, "Hei. Naiklah," lalu memencet tombol untuk membukakan pintu masuk di bawah untuknya.
Ia kemudian membuka pintu apartemennya agar Ayame bisa langsung masuk sementara ia ke kamar untuk mengambil jaket dan memilih buku yang akan dibawanya.
Tak berapa lama ia mendengar seseorang masuk ke apartemen diikuti dengan suara nyaring Ayame. "Halo halo...apakah ada orang di sini?"
"Hei sebentar, aku sedang di kamar," kata Kiba yang tengah mengecek apakah ia membawa dompet dan ponselnya.
Ketika ia keluar dari kamar, ia menemukan Ayame di dapur dengan dua tas belanja di meja makan. Gadis itu berbalik dan kedua matanya berbinar-binar melihat Kiba.
"Ada apa dengan belanjaan itu?" tanya Kiba bingung.
Kegembiraannya memudar sesaat, "Begitukah caramu menyambut teman masa kecilmu?" tanyanya, namun sejurus kemudian ia berkata dengan ceria, "Aku akan memasak makan malam hari ini!"
Kiba menaikkan sebelah alisnya, masih tetap bingung. "Kenapa?"
"Kau bilang kau tidak kerja sambilan hari ini, jadi kupikir kita bisa makan malam bersama." Seolah berada di rumahnya sendiri, Ayame mengeluarkan bahan-bahan yang dibelinya dari tas belanja untuk menyimpannya di dalam kulkas, nampaknya tidak menyadari bahwa Kiba sudah berpakaian dan siap untuk pergi.
"Maksudku kenapa hari ini? Dan kenapa kau tidak meneleponku dulu?"
Ayame tidak menjawab pertanyaan Kiba, dan malah bertanya kembali, "Kenapa tidak? Dan kurasa kita sudah berada di titik hubungan dimana kita bisa saling berkunjung ke rumah satu sama lain tanpa menelepon dulu." Lalu dengan senyum lebar ia menoleh ke arah Kiba, "Kau suka ayam 'kan?"
Kiba mengernyit, "Apa maksudmu dengan 'berada di titik hubungan dimana kita bisa saling berkunjung ke rumah satu sama lain tanpa menelepon dulu'?"
"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja kau tahu maksudku." Kiba tidak tahu sejak kapan Ayame menjadi lihai menjawab pertanyaan tanpa benar-benar menjawabnya. Dengan santai gadis itu mengenakan celemek dan mulai menyiapkan peralatan masak.
Ayame memang beberapa kali sudah berkunjung ke rumahnya dan membantu memasak, sehingga ia cukup familiar dengan letak peralatan di dapur Kiba. Hanya saja, dalam seluruh kunjungan tersebut, mereka tidak pernah berdua saja, setidaknya pasti ada Hinata...atau kakaknya, Hana.
Tentu saja Kiba mengerti maksud gadis itu, ia tidak buta. Sejak Ayame pindah ke Tokyo bersama Hinata, ia sadar bahwa gadis itu sedikit...berubah.
Mereka sudah berteman sejak lama, dan Kiba harus mengakui bahwa ada satu periode dalam hidupnya dimana dia jatuh cinta setengah mati pada Ayame. Namun sayangnya gadis itu hanya menganggapnya sebagai kakak yang sangat ia sayangi. Setelah mengetahui hal tersebut, Kiba tidak berusaha mematikan perasaannya. Tidak, ia berusaha untuk menganalisis perasaannya sendiri. Semakin hari, ia pun sadar bahwa ia tidak menyayangi Ayame sebagai seorang kekasih, namun lebih seperti saudara. Seperti kepada Hinata. Namun karena saat itu ia jauh lebih kekanakan, ia merasa perasaannya adalah suatu perasaan cinta.
Apalagi sekarang setelah ia mengenal Ino Yamanaka.
Apa yang ia rasakan dulu pada Ayame jelas sangat berbeda dengan apa yang ia rasakan pada Ino sekarang.
Dan sekarang di saat Kiba sudah menyadari bagaimana perasaannya pada Ayame, gadis itu lah yang salah memahami perasaannya sendiri.
Ia menghela napas. Dalam hati mengingatkan dirinya bahwa ia perlu bicara dengan Ayame nanti. Namun tidak hari ini.
Hari ini ia ingin bertemu dan menghabiskan waktu bersama Ino. Jika ia beruntung, mungkin ia bisa mengajak Ino makan di luar sehabis dari perpustakaan nanti.
"Ayame, bukankah sekarang masih terlalu dini untuk memulai makan malam?" Ayame berhenti di tempat. "Selain itu, aku mau ke perpustakaan untuk belajar. Bagaimana kalau ki..."
Mendadak ia berbalik dan memberi Kiba senyum sumringah. "Kau benar! Bodohnya aku, ini 'kan masih jam tiga!" Gadis itu melepas celemeknya. "Baiklah, kalau begitu ayo!"
Sekarang Kiba benar-benar dibuat bingung. "Ayo?" Dia tidak mengajak gadis itu ke perpustakaan! Ia mau bilang: Bagaimana kalu kita makan malamnya besok saja?
"Ya, ayo kita ke perpustakaan. Kebetulan lusa ada kuis Kimia dan aku memang berencana untuk belajar bersamamu hari ini."
Tapi…
Saat melihat Ayame yang mengambil tasnya dan berjalan ke pintu, Kiba merasa bahwa dia dikutuk.
Dalam perjalanannya menuju perpustakaan, Ino menyusun puluhan skenario di dalam kepalanya tentang bagaimana ia akan memberitahu Kiba soal hubungannya dengan Sasuke yang baru saja berakhir.
Sakura sudah mendiktekan apa yang ia harus lakukan, dan semuanya terdengar sangat mudah, membuat Ino merasa ia bisa melakukannya.
Namun tentu saja teori tidak semudah praktik.
Ino sangat sadar bagaimana sikapnya selama ini pada Kiba—sama sekali tidak menyenangkan. Semua yang pernah dikatakan pemuda itu benar—ia tidak mencintai Sasuke. Ia hanya menyukai bayangan bersama seseorang yang paling tampan dan populer di sekolah, dan dalam mengejar bayangan tersebut dia sudah menyia-nyiakan orang yang sungguh-sungguh peduli padanya.
Lalu sekarang, begitu ia sadar akan perasaannya ia langsung serta-merta menjatuhkan dirinya ke pelukan Kiba? Bukankah itu agak terlihat oportunis?
Ino tidak ingin lelaki itu salah paham. Ia ingin Kiba benar-benar memahami bahwa keputusannya meninggalkan Sasuke bukan karena ingin langsung berada di dalam pelukannya (walaupun sebenarnya dia tidak akan menolak jika hal itu benar-benar terjadi), namun karena ia sadar bahwa ia sama sekali tidak mencintai Sasuke dan ia ingin berhenti membohongi dirinya sendiri.
Lalu…apa dia mencintai Kiba?
Wajah Ino langsung memanas. Apa yang kau tahu tentang cinta, bodoh! Selama ini kau pikir kau mencintai Sasuke, tapi ternyata tidak!
Sejujurnya Ino tidak tahu bagaimana harus menyebut perasaaan yang ia rasakan pada Kiba ini.
Ketika sampai di perpustakaan, Ino berhenti sejenak memikirkan perasaannya karena ia memerlukan seluruh konsetnerasinya untuk memarkir mobilnya dengan aman. Begitu mobil terparkir, ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya untuk menenangkan diri. Ia juga tidak lupa membetulkan make-upnya sebelum keluar dari mobil dan cepat-cepat masuk ke gedung perpustakaan. Begitu melangkah masuk ke area belajar, kedua matanya sontak mencari rambut cokelat yang familiar tersebut.
Rambut cokelat yang sangat ingin dia genggam dengan kedua tangannya saat ia meleleh dalam ciuman lelaki tersebut.
Berhentilah berpikir jorok, Ino! Belum ada dua jam dari kau putus dengan Sasuke dan kau sudah memikirkan hal-hal seperti itu dengan lelaki lain?
Tapi…ini adalah Kiba Inuzuka!
Kiba Inuzuka yang tampan dan selalu terlihat gagah di lapangan. Kiba Inuzuka yang lembut dan selalu melindunginya. Kiba Inuzuka yang menciumnya dengan gairah yang mampu mengikutinya sampai ke mimpinya yang paling liar. Kiba Inuzuka yang…oh itu dia! Pikiran Ino terhenti saat kedua matanya berhenti pada wajah familiar Kiba yang sedang menunduk penuh konsenterasi pada buku catatan di hadapannya.
Dengan senyum lebar ia berjalan menuju meja tempat Kiba berada, untungnya bangku di hadapan lelaki itu kosong. Bangku yang sempurna, pikir Ino, karena ia bisa duduk di seberang lelaki itu sambil mencuri pandang ke wajahnya yang tampan selama mereka 'belajar'.
"Inuzuka, hai!" sapanya, berhati-hati agar suaranya tidak terlalu keras dan mengganggu pengunjung perpustakaan lain.
Kiba mendongak saat mendengar namanya dipanggil dan memberikan Ino pandangan dan senyum yang membuat sesuatu di bagian bawah perut Ino bergejolak. "Hai, Yamanaka." Ino hampir mengernyit mendengar lelaki itu memanggilnya dengan nama keluarganya, sebelum ia teringat bahwa dia sendiri lah yang melarang lelaki itu memanggil nama depannya.
"Kau sudah menunggu lama?" tanya Ino sambil menarik dan duduk di kursi di seberang lelaki tersebut.
Kiba mengecek arlojinya, "Tidak sama sekali. Hanya sekitar... sepuluh menit?" Wajahnya kemudian berubah serius dan ia terlihat sedikit khawatir, "Yamanaka, uh…sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Ia lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah-olah apa yang hendak dikatakannya bukanlah berita baik.
Tidak, tidak. Ino tidak akan membiarkannya. Ia harus menyampaikan beritanya lebih dulu. Mungkin jika Kiba mendengar beritanya lebih dulu bisa mengubah apapun itu berita buruk yang hendak ia sampaikan.
"Tidak, Inuzuka. Dengarkan aku dulu." Ino meraih tangan Kiba dan menggenggamnya, membuat kedua mata lelaki itu sedikit melebar. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Ini tentang Sasuke…sebenarnya...sebenarnya...aku sudah tidak lagi bersama…"
"Oh, Ino-senpai!"
Hampir secara otomatis, Ino melepas pegangannya pada tangan Kiba. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Apa yang dilakukannya di sini? Mata Ino jatuh pada Kiba sebelum menoleh pada si gadis yang memanggil namanya. Oh, tidak. Kiba mengajaknya ke sini?
Hanya dalam waktu sepersekian detik, otak Ino merangkai semuanya: Kiba tidak ke perpustakaan untuk bertemu dengannya. Ia memang sudah berencana ke perpustakaan bersama Ayame. Ketika mendengar Ino akan ke perpustakaan juga, Kiba menawarkan diri untuk bergabung, sebagai temannya. Namun dari semua itu, hal yang digarisbawahi Ino adalah Kiba memang sudah berencana ke perpustakaan bersama Ayame.
Kiba bersama Ayame.
Kiba dan Ayame.
Ino merasa sesuatu meremas dadanya dan membuat matanya terasa perih. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum memaksakan senyuman jutaan dolarnya—senyuman yang sempurna. "Hai, Ayame! Aku tidak tahu kau di sini juga."
"Aku tadi ke rak sebentar untuk mencari buku yang kuperlukan." Ia mengambil bangku di samping Kiba. "Aku sebenarnya tidak berencana ke sini, tapi Kiba mengajakku."
Benar, 'kan?
Apa yang Ino harapkan? Kiba menungguinya seperti orang bodoh sementara ia mengabaikannya dan mencium Sasuke? Setelah apa yang semua ia lakukan untuknya? Tentu saja Kiba memilih Ayame. Ia tidak pantas untuk Kiba. Lelaki itu memang seharusnya bersama gadis yang betul-betul menyayanginya.
Bukan dengan gadis dangkal pemuja lelaki brengsek seperti Sasuke yang menyia-nyiakan kebaikannya.
Ino menggertakkan gigi saat mengeluarkan buku Geografinya. Dari balik bulu matanya, ia mengawasi Ayame yang menurut seleranya duduk terlalu dekat dengan Kiba.
Ini akan menjadi sesi belajar yang panjang.
Siapa yang mau ia bohongi? Ino sama sekali tidak bisa fokus pada materi di hadapannya.
Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya saat melihat Ayame bergelayut manja pada Kiba saat lelaki itu membantu menjelaskan suatu reaksi kimia, yang menurut Ino sebenarnya tidak ia perlukan.
"Ayame," lelaki itu mencoba mendorongnya sedikit menjauh, "Kita sedang di perpustakaan."
Dengan pandangan memelas, Ayame menjauh, namun tidak terlalu menjauh. Ia lalu menoleh dan pandangannya bertemu dengan Ino yang memang dari tadi diam-diam mengawasi mereka. Kaget karena ketahuan, Ino langsung buru-buru mengalihkan pandangannya ke langit-langit, berpura-pura sedang berpikir.
"Kau baik-baik saja, Yamanaka?" tanya Kiba dengan pandangan khawatir. "Kalau ada yang bisa kubantu…"
Ino ingin sekali berteriak, Ya! Ya! Duduk di sini di sebelahku dan biarkan aku bersandar padamu! Namun, yang keluar malah "Aku tidak apa-apa…selama bukan matematika aku sebenarnya tidak ada masalah."
Ayame tiba-tiba terkekeh, "Kalian ini lucu sekali." Apa maksud tawanya itu? Pikir Ino yang mendadak kesal. "Kenapa kau masih memanggil Ino-senpai dengan nama belakangnya?" tanyanya pada Kiba. "Bukankah kalian akrab?"
Wajah Ino sontak memerah karena malu. Dia lah yang bertanggung jawab atas hal tersebut. "Eh…itu…" Pandangannya bertemu Kiba saat ia kesulitan merangkai jawabannya.
Kedua mata Kiba melembut saat ia menjawab, "Itu sesuatu yang kami berdua lakukan…aku memanggilnya Yamanaka, dan dia memanggilku Inuzuka."
Hati Ino berbunga mendengar hal tersebut. Sesuatu yang kami berdua lakukan…kalimat itu menggema di kepalanya, seperti sebuah pengakuan diam-diam tentang hubungan yang hanya mereka berdua mengerti.
Kiba menatapnya lebih lama dari yang seharusnya dengan pandangan penuh arti. Ino merasa tubuhnya menjadi lemas di bawah tatapan itu, seakan seluruh udara di ruangan tersebut tersedot keluar.
Ino berusaha keras untuk tetap tenang, meskipun pandangan Kiba terasa seperti menelanjangi pikirannya, menyentuh bagian dirinya yang ingin disembunyikan. Ingin sekali ia memalingkan wajah dan kembali pada buku Geografinya yang membosankan, namun pandangannya tak beralih dari tatapan pemuda itu, seolah-olah ada magnet tak terlihat yang menahannya.
Sementara itu di hadapannya, Kiba tampak tak lagi terganggu oleh kehadiran Ayame yang duduk di dekatnya, seakan gadis itu tak lagi penting.
Orang buta pun pasti bisa merasakan ketertarikan tak tertahankan di antara mereka.
Keduanya tak menyadari ekspresi Ayame yang menjadi muram, "Oh lucu sekali..." komentarnya dengan nada dongkol, seolah-olah ia menyesal telah membawa pembicaraan mereka ke arah tersebut. Namun Kiba dan Ino terlalu terpaut pada satu sama lain untuk memperhatikannya. Sejurus kemudian, ia langsung melempar topik lain. "Bagaimana dengan persiapan Pesta Natal, Ino-senpai? Apa kamu sudah menemukan baju?" tanyanya pada Ino.
Butuh beberapa saat bagi si gadis pirang untuk mengalihkan pandangannya kembali pada Ayame. "Hmmm...maaf?" tanyanya karena jelas sekali ia hanya mendengar namanya dipanggil, namun tidak mendengar pertanyaan gadis itu.
Ayame pun mengulang pertanyaannya sekali lagi.
"Ah…itu…hmm, sejujurnya baju untuk Pesta Natal tidak berada dalam daftar prioritasku sekarang. Aku sangat khawatir dengan semua ujian yang akan datang," jawabnya.
"Oh, benarkah?" Ayame tampak kaget—benar-benar kaget, tidak dibuat-buat. Ia langsung menambahkan, "Tapi kalau kamu sih memakai apa saja pasti akan terlihat cantik," ujarnya dengan senyuman yang tidak mencapai kedua matanya.
Ino tidak mengerti permainan apa yang sebenarnya sedang dimainkan oleh Ayame. Detik pertama ia mencoba memonopoli semua perhatian Kiba dan tidak membiarkan sedetik saja pandangan Kiba padanya, lalu detik berikutnya ia mencoba menjadi teman Ino dengan memujinya.
Seumur-umur, Ino sangat jarang bertemu orang yang tidak menyukainya. Jika memang ada, biasanya orang itu akan langsung mengatakannya di depan mukanya dan tidak pernah repot-repot menyembunyikannya. Misalnya seperti Megumi Amano.
Ini adalah kali pertama Ino menghadapi tipe yang pasif agresif seperti ini.
Ino perlu mendiskusikan hal ini dengan Sakura nanti.
Untuk sementara, Ino tersenyum elegan lalu menjawab, "Kau sangat baik, Ayame. Bagaimana denganmu sendiri?"
Gadis itu mengangkat bahu, "Entahlah, aku bahkan belum tahu akan pergi dengan siapa. Maksudku, percuma kalau kita sudah punya baju tapi tidak ada pasangan ke sebuah pesta dansa, kan? Tidak seperti kamu yang sudah pasti pergi dengan Uchiha-senpai." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Ino. "Makanya aku langsung bertanya tentang bajumu."
Ino merasa ini adalah kesempatannya. "Sebenarnya…tidak. Aku tidak akan pergi dengan Sasuke."
"Apa?" Di hadapannya, kedua mata Kiba melebar, seolah-olah tidak memercayai apa yang barusan ia dengar.
Pandangan Ino kembali pada Kiba, senyumnya melebar. "Aku sudah tidak lagi bersamanya."
Ino melihat tangan Kiba yang hendak meraih tangannya, namun langsung berhenti ketika ia mendengar Ayame berbicara. "Oh, sayang sekali…" kata Ayame. "Kuharap kau baik-baik saja, senpai?" tanyanya dengan nada simpatik yang sungguh-sungguh, membuat Ino tersenyum padanya.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Ayame. Kami memang sudah tidak cocok lagi, jadi…yah begitulah." Sasuke memang brengsek, namun Ino tidak akan menjelek-jelekkannya di depan orang lain.
"Jadi, apakah kau akan tetap datang ke Pesta Natal?" Ayame bertanya lagi.
Selama sesaat Ino merenung, ia belum begitu memikirkannya karena ia baru saja putus dengan Sasuke hari ini. "Hmm, aku memang harus datang sebagai anggota panitia..." katanya sambil mengedikkan sebelah bahunya. Namun apakah akan dengan pasangan? Mungkin, hanya jika Inuzuka mau….
Rasanya Ayame bisa membaca pikiran Ino, karena sebelum si pirang bisa berkata apapun, gadis itu mendadak bertanya pada Kiba, "Oh, bagaimana denganmu, Kiba? Apa kau akan pergi ke Pesta Natal nanti?"
Sayang bagi Ayame karena pandangan Kiba tidak beralih dari Ino saat ia menjawab, "Entahlah. Aku tidak yakin apa aku akan pergi. Aku tidak tahu cara berdansa."
Dalam pandangan Ino adegan selanjutnya nampak seperti slow-motion, Ayame membuka mulutnya perlahan-lahan untuk mengucapkan sesuatu yang tak ingin ia dengar.
"Bagaimana kalau kita pergi sama-sama? Aku akan mengajarimu cara berdansa dan aku janji hanya akan membuat lelucon tentangmu dua kali," katanya sambil nyengir lebar.
Oh, tidak!
Seluruh sel di dalam tubuh Ino menjerit untuk melakukan intervensi sekarang. Katakan sesuatu, Ino Yamanaka! Jeritnya dalam hati. Tapi apa yang harus ia katakan?
Selama sesaat Ino merasa lega karena di hadapannya Kiba menggeleng, "Tidak, Ayame. Aku hanya akan mempermalukanmu." Lalu seperti ingin mengakhiri pembicaraan tersebut, perhatian Kiba kembali pada buku di hadapannya.
"Oh, ayolah. Aku janji kau akan menyukai pestanya dan kau tidak akan mempermalukanku!"
Nampaknya tidak ada apapun yang dapat mengubah opini Kiba, "Well, aku tetap tidak mau," jawabnya singkat.
Rasakan itu! pikir Ino lalu berpura-pura kembali ke bukunya.
Meskipun demikian, Ino tetap harus waspada. Ia tahu mereka berdua teman masa kecil. Mungkin Ayame punya trik-trik lain untuk membuat Kiba mengikuti keinginannya.
Jantung Ino mencelos ketika Ayame mendadak bertanya, "Bagaimana menurutmu, Ino-senpai?"
Secara otomatis, Ino mengangkat pandangannya dan menemukan gadis itu menatapnya dengan puas.
Shit. Shit. SHIT! Dia sengaja melakukan ini! maki Ino dalam hati.
Sebagai panitia Pesta Natal, Ino tidak akan bisa bilang pada Kiba untuk tidak datang. Satu-satunya pilihan Ino hanyalah mengatakan pada Kiba bahwa ia harus ke pesta tersebut. Dan karena Ayame baru saja mengajak pemuda itu, artinya ia terjebak dalam posisi dimana ia harus menyuruh Kiba untuk pergi dengan Ayame.
Aku benci sekali dengan gadis ini! pikir Ino marah.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah Kiba, mencari pertolongan, hanya untuk menemukan bahwa pemuda itu menatapnya lurus-lurus.
Tidak, kau tidak boleh ke Pesta Natal bersamanya, Inuzuka, kata Ino dalam hati, berharap Kiba bisa mendengarnya.
Namun saat itulah ia sadar betapa selama ini ia sudah bersikap begitu egois di sekeliling Kiba. Dari hari pertama hingga sekarang. Ketika Kiba menolongnya saat kakinya terkilir, saat ia nyaris terluka tertimpa palu, dan malam dimana Kiba menolongnya yang mabuk dan tersesat sendirian. Ino tidak pernah memikirkan perasaan lelaki itu. Ia membiarkan Kiba berada di sekelilingnya untuk memuaskan egonya. Ia menikmati perhatian yang Kiba berikan padanya, perhatian yang tidak akan pernah bisa Sasuke atau lelaki manapun bisa berikan padanya. Bahkan keputusannya untuk datang ke perpustakaan hari itu. Ia tidak datang karena Kiba. Ia datang karena ia ingin memuaskan egonya sendiri…
…menjadi gadis yang dipuja oleh Kiba Inuzuka.
Betapa jahatnya dia, tidak ingin Kiba bersama Ayame, namun juga tidak pernah membalas perasaan lelaki itu padanya.
Dia tidak pantas untuk Kiba. Dengan memasang topeng bahagia, Ino menjawab, "Kau harus pergi, Inuzuka. Aku yakin kau pasti akan bersenang-senang!"
Selama sesaat Kiba hanya diam dan menatapnya, sampai akhirnya ia menghela napas. "Baiklah kalau menurutmu begitu." Lalu pandangannya kembali pada Ayame, "Kurasa bukan ide yang buruk juga."
Ino mengangkat tangannya di udara, siap mengetuk pintu di hadapannya. Namun ketika matanya jatuh pada arloji di tangan kanannya, gerakannya berhenti.
Saat itu sudah pukul sebelas malam.
Dan dia berada di depan pintu apartemen Kiba Inuzuka!
Apa aku sudah gila?
Enam jam sebelumnya, Ino berdiri dari bangkunya di perpustakaan dan mengatakan pada Kiba dan Ayame bahwa ibunya menunggunya di rumah untuk menyiapkan makan malam. Tanpa banyak basa-basi, Ino meninggalkan pasangan tersebut.
Tentu saja hal tersebut tidak benar. Ibunya tidak menunggunya di rumah. Hari itu ayah dan ibunya melakukan kencan makan malam, jadi mereka akan pulang sangat larut.
Ino hanya muak mendengar Ayame yang tidak berhenti mengoceh bagaimana persiapannya akan pesta natal nanti. Persiapan mana yang akan melibatkan Kiba Inuzuka.
Setelah meninggalkan perpustakaan, si gadis pirang pergi ke bioskop dan memilih film horror yang baru keluar dua minggu lalu. Ia ingat Karin dan Tenten yang bercerita bahwa mereka menonton film ini dan harus tidur dengan lampu menyala beberapa hari berikutnya.
Ino berharap film itu bisa menakutinya sampai ia bisa melupakan kegundahan yang ia rasakan saat mengingat wajah Kiba dan Ayame.
Sayangnya, sepanjang film tersebut, pikiran Ino justru melayang dan memutar kembali semua momen yang ada di antara dia dan Kiba—membuatnya semakin menyesal karena selama ini sudah dengan tololnya mengejar-ngejar Sasuke.
Begitu film selesai, Ino tidak merasa lebih baik, jadi dia meninggalkan mobilnya di parkiran bioskop dan berjalan-jalan di taman di pusat kota, berharap udara malam yang dingin dan segar bisa mendinginkan kepalanya.
Saat itu masih sekitar pukul delapan, belum terlalu larut, namun entah mengapa di taman tersebut hanya ada pasangan-pasangan mesra yang mencoba menikmati atmosfir mesra yang diciptakan oleh kesunyian serta lampu-lampu taman yang temaram.
Meskipun sedang tenggelam dalam pikirannya, saat berjalan Ino melihat seorang pria dan wanita yang berjalan ke arahnya, dan tanpa sengaja matanya bertemu dengan si wanita. Namun Ino langsung mengalihkan pandangannya.
Saat mereka hampir berselisih jalan, si wanita mendadak berhenti dan menyapanya, "Hei, aku pernah bertemu denganmu, 'kan?" ia menyapa dengan riang.
Ino mencoba mengingat-ingat dimana dia bertemu wanita mungil berambut cokelat tersebut.
Kedua mata wanita itu berbinar ketika ia akhirnya ingat dimana mereka bertemu, "Oh, kita ketemu di apartemennya Kiba!"
Mendengar hal tersebut, pandangan Ino langsung berubah kaget. Kakaknya Kiba! "Halo, Inuzuka-san!" Dari sekian banyak orang yang bisa ia jumpai malam itu di taman, kenapa ia harus bertemu wanita ini?
"Kau baik-baik saja? Dimana Kiba? Oh, perkenalkan ini Jiro pacarku." Ino mengangguk ke arah pria tinggi berkacamata dan berambut pirang di sampingnya.
"Salam kenal. Namaku Ino Yamanaka," Ino mencoba terlihat dan terdengar senormal mungkin. Namun siapa yang mau ia bohongi? Bahkan di telinganya saja ia terdengar sangat muram.
"Ah, ini gadis yang tempo hari kamu bilang pacarnya Kiba?" ujar Jiro ke Hana.
Komentar tersebut membuat Ino terbelalak. "A-apa?"
Hana tertawa canggung, "Oh sayang, kau tahu 'kan aku suka asal bicara..." Namun ketika pandangannya kembali pada Ino, ia langsung tampak panik. "OH! Maafkan kami..."
Saat Ino menatap keduanya dengan bingung, ia bisa merasakan sesuatu yang basah dan hangat bergulir di pipinya. Tunggu...aku sedang menangis?! Oh, sialan! Aku benar-benar menangis! "M-maafkan aku...aku tidak tahu kenapa aku seperti ini..." kata Ino berusaha tertawa sambil menghapus air matanya. Air mata bodoh! Cepat berhenti! Memalukan sekali! Ia memaki pada dirinya sendiri.
Hana secara otomatis memeluk Ino lalu menuntunnya untuk duduk di bangku taman.
"Uhh..Jiro apakah kau bisa tolong belikan sebotol air untuk nona ini?"
Ino ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tak perlu air. Mereka bisa meninggalkannya di sana, dan ia tidak ingin merusak malam kencan orang lain.
Namun saat itu Ino sangat perlu sentuhan tangan yang hangat di punggungnya tersebut. Ia pun menyurukkan kepalanya ke bahu Hana Inuzuka dan tidak melawan instingnya untuk menangis.
Setelah apa yang rasanya berabad-abad, Ino bisa merasakan merasa emosinya mereda. Ia pun menegakkan tubuhnya kembali dan menggumamkan permintaan maaf karena sudah membasahi baju Hana dengan air matanya.
"Aku tidak keberatan sama sekali!" Ia mengeluarkan tisu dari tas tangannya dan mengulurkannya pada Ino. Si gadis pirang menerimanya dengan penuh terima kasih lalu mengelap wajahnya yang memerah.
"Aku sama sekali tidak ada maksud usil...namun sepertinya hal yang membuatmu menangis barusan adalah komentar dari Jiro...jadi kupikir ini pasti ada hubungannya dengan adikku."
Ino hanya mengangguk.
"Apa kau mau cerita?"
Ino menoleh ke arah Hana dan menggeleng. Meskipun wajahnya tidak mirip dengan Kiba, namun dari jarak sedekat itu Ino bisa melihat bahwa mereka memiliki mata yang sama.
Hana tersenyum lembut ke arahnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan Ayame, 'kan?"
Ino langsung memalingkan wajahnya, tanpa sengaja mengkonfirmasi dugaan Hana.
"Aku sudah mengenal mereka berdua lama sekali. Ayame anak yang sangat baik...dia cantik, cerdas, pekerja keras...Ibuku bahkan tidak menolak ide untuk menjodohkan mereka berdua."
Bagi Ino, kata-kata tersebut terasa seperti garam yang dioleskan pada luka.
"Namun semua orang bisa melihat bahwa Ayame tidak membuat Kiba menunjukkan yang terbaik dari dirinya." Hana menghela napas. "Aku juga tidak mengerti mengapa...namun Kiba merupakan orang yang berbeda saat ia bersama Ayame. Berbeda di sini bukan dalam artian yang baik."
Ino tertegun mendengarnya.
Orang yang berbeda?
"Aku bisa bilang padamu kalau aku juga tidak membuatnya menunjukkan sisi yang terbaik dari dirinya..." katanya muram.
Hana terkekeh, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku hanya membuatnya menderita. Ia berusaha melakukan segalanya untukku... namun aku... aku malah dengan bodohnya memilih orang lain." Ino membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. "Aku adalah makhluk paling egois," kata Ino dengan penuh rasa jijik.
Hana menghela napas, lalu merangkul bahu Ino, membuat si gadis pirang kembali bersandar padanya. "Aku memang tidak lagi tinggal bersamanya, tapi sebagai salah satu orang yang paling lama mengenalnya di dunia ini, aku tahu dia berubah banyak sejak dia mulai... umh... bagaimana aku menyebutnya... sejak dia menaruh perhatian padamu." Hana melanjutkan dengan suara lembut. "Kau tahu, saat masih kecil dia bukanlah orang yang paling percaya diri. Jangankan mendekati, melihat gadis populer sepertimu saja dia pasti tidak akan berani."
Ino terkesiap. "Aku bukan..."
Hana tertawa sambil meremas bahu Ino. "Oh, sudahlah tidak usah malu-malu! Sekali lihat aku sudah tahu. Aku dulu sepertimu saat sekolah!" katanya lalu terkikik. "Ayame adalah pilihan yang aman bagi Kiba. Mereka selalu berteman. Tidak ada risiko ditolak atau terluka. Tapi di situlah masalahnya, Kiba jadi terlalu bergantung padanya. Dengan Ayame, Kiba tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Selama ia melakukan sesuatu yang membuat Ayame senang, Kiba tahu dia tidak akan pernah terluka, akibatnya dia tak pernah benar-benar memikirkan apa yang dia inginkan."
Ino mendengarkan lebih seksama.
"Tapi denganmu, Kiba mulai membuat pilihannya sendiri. Dia menyukaimu, tapi dia juga tahu kebahagiaannya tidak tergantung pada apa yang kau lakukan. Itulah kenapa dia tetap menyukaimu, bahkan saat kau memilih orang lain. Kurasa itu semua karena dia ingin menjadi orang yang lebih baik... untuk dirinya sendiri, dan mungkin, untukmu juga."
Ino tertegun. "B-benarkah?"
Hana tersenyum hangat. "Well, setidaknya itu adalah pengamatanku. Aku melihat adikku belajar untuk bertanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri. Menurutku, itu hal yang paling sulit dalam hubungan percintaan, kau tahu? Kau bertanggung jawab atas perasaanmu sendiri. Jadi, aku tidak yakin ketika kau bilang bahwa kau membuatnya menderita. Karena yang paling tahu perasaan Kiba... sebenarnya adalah Kiba sendiri." Hana menatap Ino dengan penuh arti. "Dan yang tahu perasaanmu...adalah kamu sendiri."
Ino menghirup napas dalam-dalam, sebelum membuangnya perlahan. Hana benar. Yang tahu perasaan Kiba yang sebenarnya adalah Kiba, dan yang tahu perasaan Ino adalah Ino sendiri.
Jadi ia harus dengar dari mulut Kiba sendiri bagaimana perasaannya!
Dengan hati yang mantap, Ino menegakkan tubuh lalu menggenggam tangan Hana. "Terima kasih banyak, Inuzuka-san!" Ia lalu memeluk Hana dengan erat. "Aku sangat beruntung bertemu dengamu di sini!" Ino lalu berdiri dan membungkuk berulang kali, "Maaf aku jadi mengganggu kencanmu."
Hana hanya tertawa, "Ah sudah sudah. Itulah peranku sebagai kakak. Aku senang kamu tidak muram lagi."
Ino mengangguk dengan penuh tekad. "Sekali lagi terima kasih banyak. Sampai jumpa lagi, Inuzuka-san!" Dengan itu Ino pun meninggalkan taman untuk kembali ke mobilnya.
Dan di sinilah ia sekarang, berada di depan pintu apartemen Kiba Inuzuka, dengan sweater burgundy favoritnya dan rok mini abu-abu. Rambutnya tertata rapi dan make-upnya sempurna. Di tangannya, ia menggenggam setoples cookies.
Setelah tanpa sengaja bertemu kakaknya Kiba tadi, Ino kembali ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Sebelum mandi, ia cepat-cepat membuat adonan cookies dan memanggangnya saat ia mandi dan berdandan. Begitu selesai, ia mengemas cookiesnya di salah satu toples paling cantik milik Ibunya dan menelepon taksi.
Bagaimana kalau ada Ayame di dalam?
Ino menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian dan mengusir keragu-raguannya.
Persetan, aku tidak peduli!
Dan dia pun mengetuk pintu tersebut.
Kiba berdesah lega saat tubuhnya terhempas ke atas kasur, seakan semua ketegangan hari itu lenyap dalam sekejap. Aroma sabun segar masih melekat di kulitnya yang hangat dari uap mandi. Rambutnya yang basah sedikit menyentuh bantal, tetapi ia tidak peduli—rasa penat yang melanda seolah lebih kuat daripada apapun. Tanpa pikir panjang, ia menyelinap ke bawah selimut, membiarkan kelembutan sprei membungkus tubuhnya yang telanjang, memberikan rasa nyaman yang ia rindukan sepanjang hari.
Setelah Ino meninggalkan mereka di perpustakaan, Ayame bersikeras agar mereka kembali ke apartemen dan memasak makan malam bersama. Setelah makan, mereka mencuci piring, dan Kiba mulai mencari alasan agar Ayame pulang. Dengan alasan ingin mengajak Akamaru jalan-jalan, ia berharap Ayame mengerti. Namun bukannya pulang, Ayame malah memilih menonton Godzilla yang sedang diputar di televisi. Ketika Kiba kembali, ia menemukan Ayame sudah setengah tertidur di sofa, lalu dengan santai berkata bahwa ia ingin menginap.
Kiba tidak bisa membiarkannya.
Melalui SMS, Kiba pun memohon pada Hinata agar mengirim supirnya untuk menjemput Ayame. Sudah cukup ia menghadapinya seharian ini. Ia tidak yakin punya energi tersisa untuk menghadapi Ayame malam ini—apalagi besok pagi.
Terutama setelah apa yang terjadi di perpustakaan.
Bagaimana bisa Ayame memojokkannya di depan Ino dan mengajaknya ke pesta Natal?
Yang lebih bodoh, tentu saja, adalah Kiba sendiri—karena ia mengiyakan ajakan itu!
Setelah mendengar bahwa Ino sudah meninggalkan Sasuke, Kiba hampir tak bisa menahan kegembiraannya. Ia yakin itu adalah kesempatannya! Ino meninggalkan Sasuke dan datang menemuinya di perpustakaan… semua petunjuk itu hanya bisa berarti satu hal:
Ino siap menjawab pernyataan cintanya.
Namun entah mengapa, Ayame harus berada di sana.
Kiba ingin meninju dirinya sendiri saat melihat ekspresi Ino yang setuju dengan ajakan Ayame ke pesta Natal.
"Kenapa kau begitu tolol, Kiba Inuzuka?" gumamnya sambil membenamkan wajah ke bantal.
Meskipun Ino sendiri bilang ia akan bersenang-senang di pesta itu nanti, ia harusnya lebih tegas dan menolak ajakan gadis itu!
Dalam benaknya, ia mulai merencanakan bagaimana menjelaskan pada Ino bahwa ia hanya akan pergi ke pesta Natal dengan Ayame sebagai teman... tidak lebih. Tapi semua alasan yang terpikirkan terasa lemah dan dibuat-buat. Mungkin ia akan memikirkannya besok...
TOK TOK.
Kiba sudah setengah tertidur saat suara ketukan itu terdengar. Awalnya ia pikir itu hanya khayalannya. Namun, selang beberapa saat, suara itu terdengar lagi.
TOK TOK.
Dengan enggan, Kiba beringsut dari tempat tidur sambil mengernyit. Jangan-jangan Ayame kembali? Haruskah ia pura-pura tidur saja?
Ia mengecek jam di ponselnya. Jam 11h15. Mungkin ada yang ketinggalan?
Sambil menggerutu, Kiba mengambil celana jeansnya yang tergeletak di kursi di pojok kamarnya dan cepat-cepat mengenakannya.
"Ya, ya, sebentar..." gerutunya sambil menarik ritsleting celananya dan bergegas ke pintu depan, lalu membukanya dengan wajah kesal.
Kiba tertegun ketika mendapati Ino Yamanaka berdiri di luar pintu apartemennya—terlihat luar biasa cantik dengan sweater merah gelap dan rok abu-abunya, rambut pirangnya tergerai sempurna.
"H-Hai, Inuzuka!" wajahnya memerah, dan dia tampak gugup.
"Yamanaka? Apa yang kau lakukan di sini?"
Selama sesaat, gadis hanya berdiri di sana tertegun menatapnya.
"Yamanaka?" panggil Kiba lagi.
Seperti baru tersadar, gadis itu cepat-cepat berkata, "Oh, maaf! A-aku mau memberikan ini untukmu," katanya sambil menyerahkan setoples kue di tangannya.
Saat Kiba menerima toples yang cukup berat tersebut, ia sadar bahwa mereka masih berdiri di pintu depan. "Oh, maafkan aku. Masuklah..." Ia melangkah ke belakang dan membuka pintunya lebih lebar untuk membiarkan Ino masuk. Saat gadis itu melewatinya, Kiba menangkap aroma aprikot musim panas dari rambutnya, dan harus mengerahkan seluruh kendali dirinya untuk tidak merengkuh gadis itu di pelukannya.
Begitu Ino berada di dalam, ia hanya berdiri di sana, melihat-lihat sekeliling apartemennya, seolah-olah itu adalah pertama kalinya ia berada di sana. Apa dia gugup? pikir Kiba. Ketika mata mereka kembali bertemu, wajah Ino memerah, dan ia berkata, "Maaf kalau aku membangunkanmu."
"Aku sudah di tempat tidur tadi, tapi kau tidak membangunkanku," katanya berbohong. Kiba berjalan ke arahnya, "Terima kasih untuk ini. Tapi aku tidak mengerti...ini untuk apa?" tanyanya ketika berdiri persis di depan Ino.
Gadis itu menghindari matanya saat menjawab, "Itu adalah permintaan maafku...karena sudah mengganggumu jam segini."
Dia benar-benar terlihat sangat manis. "Kau tidak akan pernah menggangguku, Yamanaka," katanya. "Apa kau ada masalah? Ada yang bisa kubantu?" Kiba meletakkan toples cookiesnya di meja ruang tamu.
Tanpa basa-basi Ino langsung bertanya, "Kenapa kau mengiyakan ajakan Ayame ke Pesta Natal?"
Selama sesaat Kiba hanya tertegun di sana, sedikit banyak ia sudah menduga bahwa mereka akan membahas hal tersebut. Namun mempertimbangkan jam berapa saat itu, Kiba setengah berpikir bahwa mungkin Ino ke tempatnya karena ingin...entahlah...mengungkapkan perasaannya?
Di dalam pikirannya, Kiba menendang dirinya sendiri karena pemikiran arogannya.
Well, sebelum membahas itu, tentunya dia pasti bertanya-tanya kenapa aku mengiyakan Ayame.
Sayangnya, Kiba tidak punya energi untuk memenuhi harapan Ino saat itu. Waktu sudah sangat larut, dan ia takut akan mengatakan sesuatu yang tak ia maksud.
"Yamanaka, aku ingin sekali membahas hal ini...tapi ini sudah larut. Kita ada kelas besok. Bagaimana kalau aku antar kau pulang?" Ya, itu adalah solusi terbaik untuk mereka berdua.
Namun Ino spontan menggeleng. Ia menyilangkan tangan dan menanamkan kakinya di lantai, seolah-olah ia tidak akan pergi ke manapun. "Kupikir ini waktu yang tepat untuk membicarakannya."
Kiba harus memuji dirinya karena berhasil menahan diri untuk tidak berseru, Kau tidak lihat jam berapa sekarang? Sebagai gantinya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan.
Karena ia masih tidak merespon, Ino melanjutkan, "Kenapa kau mengiyakan ajakan Ayame? Kupikir kau tidak suka padanya? Bagaimana dengan semua hal yang kau katakan tempo hari itu padaku? Kau tidak ingat kalau kau bilang Ayame itu bukan aku? Lalu sekarang lihat siapa yang pergi Pesta Natal sama-sama?"
Kiba sadar bahwa sikap diamnya lah yang mungkin membuat Ino terbawa emosi dan mencecarnya dengan pertanyaan. Kau harus segera mengatakan sesuatu! perintah Kiba pada dirinya sendiri. "Yamanaka, kau perlu istirahat. Bagaimana kalau kau duduk sebentar?" Dengan hati-hati ia mendekati Ino lalu dengan lembut berusaha memandu gadis itu menuju sofa. Namun Ino menepis tangannya dan mundur menjauhinya.
"Kenapa kau tidak mau bicara padaku?" Kedua mata birunya memelas dan bibirnya yang indah melengkung ke bawah, membuat Kiba ingin sekali menciumnya.
Namun ia tahu Ino pasti akan menamparnya jika ia menciumnya sekarang tanpa memberikan penjelasan mengenai Ayame.
"Ini sudah lewat jam sebelas, Yamanaka. Hal yang mau kau bicarakan itu...kurasa lebih baik kita bicarakan besok, mungkin saat jam makan siang?" Ia mengusulkan.
Kiba merasa terhenyak ketika Ino mendadak balik bertanya, "Apa kau sudah menciumnya?"
Apa dia gila? Aku mencium Ayame? Apa yang bisa membuatnya berpikir begitu?
"Yamanaka, ayolah…"
"Jawab aku, Inuzuka. Apa kau menciumnya seperti kau menciumku?" tanyanya tegas.
Kiba mengamati wajah mulusnya. Gabungan aroma aprikot, rasa kantuk, serta pertanyaan-pertanyaan Ino yang bertubi-tubi membuat pikirannya berkabut. Namun di tengah semua itu, Kiba sebenarnya merasa jengkel. Ya, dia sangat menyukai Ino, dan siap melakukan apa saja untuk gadis itu. Tapi mengapa semua hal harus berjalan sesuai maunya?
Selama ini, Kiba dengan sabar menunggu Ino yang tertawa di sekeliling Sasuke dan mengabaikannya. Dia tidak pernah protes, karena ada sesuatu dalam dirinya yang yakin bahwa cepat atau lambat, Ino akan sadar bahwa Sasuke bukanlah orang yang tepat untuknya.
Sekarang saat dia akan pergi ke pesta natal bersama Ayame, Ino harus mendapat kejelasan mengenai status hubungan mereka. Dan gilanya ia harus mendapatkan jawabannya saat itu juga.
Meskipun sudah lewat jam sebelas malam!
Selain itu kalau dipikir-pikir, Ino sendiri seperti memberi "restunya" pada Kiba dan Ayame di perpustakaan tadi. Sedikit banyak, ini salahnya juga, pikir Kiba jengkel.
Kiba merasa bahwa jika ia mau mengikuti permainan Ino, maka ia harus membuat aturannya sendiri. Ia menolak menjadi pecundang. "Baiklah, memangnya kenapa kalau aku sudah mencium Ayame?"
Gadis itu tampak terkejut dan tak siap dengan jawaban Kiba yang menantangnya. "K-Kau bisa mencium siapa saja yang kau mau! Tapi kenapa harus dia? Kau bilang padaku kalau kau tidak suka padanya!"
Kiba tahu bahwa Ino tahu bahwa itu adalah argumen yang konyol. Namun Kiba tetap merespon, "Lalu kenapa aku harus mendengarkanmu, Yamanaka? Kenapa itu menjadi urusanmu jika aku mencium Ayame?" katanya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
Gadis itu tampak tersudut sekarang. "T-tentu saja itu urusanku!"
Dengan tenang Kiba menjawab, "Bagaimana bisa itu jadi urusanmu? Kita bahkan tidak pacaran. Setidaknya jika aku memang mencium Ayame, aku tidak melakukannya saat aku sedang pacaran dengan orang lain."
Hal itu sepertinya memicu emosi si gadis pirang. "Bagaimana denganmu sendiri? Kau tahu aku sedang pacaran dengan orang lain, namun itu tidak menghentikanmu untuk menciumku!"
Sialan, dia benar. "Kalau kau lupa, kau juga balas menciumku, Yamanaka." Ia menggertakkan giginya, "Dan bagaimana bisa setelah itu kau masih tetap membiarkan Sasuke melumat bibirmu dan berpura-pura bahwa aku tidak ada? Tidak ada satupun chatku yang kau balas sampai hari ini."
"Aku tidak berpura-pura kau tidak ada! Situasi dengan Sasuke…lebih rumit," Ino menunduk pada kalimat terakhir.
Respon tersebut membuat Kiba tertawa dengan sarkastis. "Bagian mana yang menurutmu rumit? Lihat sekarang, ketika temanku mengajakku ke pesta, kau datang ke sini tengah malam dan marah-marah karena kau tidak suka. Aku bukan peliharaanmu yang cuman kau beri perhatian saat kau membutuhkanku!"
Kiba tahu bahwa ia barusan meninggikan suaranya, dan gadis itu menatapnya dengan pandangan terluka.
Ia sudah siap meminta maaf, namun Ino memotongnya, "Kalau begitu kenapa kau tidak melakukannya?"
"Melakukan apa?"
Ino mendekatinya, wajahnya kembali serius. "Kenapa kau tidak datang marah-marah ke rumahku dan menuntut supaya aku berhenti mencium Sasuke?"
Kiba menatapnya seolah-olah kepalanya baru saja menjadi dua. "Kau gila, ya?"
Gadis itu memberinya pandangan menantang, lalu mengangguk. "Ya, aku sudah gila. Kau membuatku gila, Inuzuka. Lihat saja yang kulakukan sekarang! Memanggang cookies dan datang ke rumahmu tengah malam. Aku harus melihatmu sekarang. Aku harus bicara denganmu sekarang. Tidak ada orang yang pernah membuatku jadi seperti ini."
Kedua mata Kiba melebar saat Ino menutup jarak di antara mereka, meraih wajahnya dengan kedua tangannya, berjinjit, lalu menciumnya. Saat Kiba terkesiap, si gadis pirang menggunakan kesempatan tersebut untuk menjilat dan memagut bibir bawahnya.
Ino melepaskan ciumannya, namun tidak menjauhkan diri. "Aku menjadikannya urusanku dengan siapa kau berciuman…karena aku menyukaimu, Inuzuka."
Dia...ingat?
Karena Kiba hanya tertegun di sana, Ino pun melanjutkan. "Kau selalu benar, Inuzuka. Aku memang tidak pernah menyukai Sasuke. Aku hanya menyukai pikiran bahwa aku bersama cowok paling populer di sekolah. Tapi denganmu…denganmu berbeda. Aku menyukaimu, aku selalu tidak sabar untuk melihatmu di sekolah…aku selalu ingin dekat denganmu…aku bahkan memimpikanmu! Dan aku…aku benar-benar…benar-benar…benci melihatmu bersama…"
Sebelum Ino bisa menyelesaikan pidatonya, Kiba dengan cepat menangkap bibir Ino dengan bibirnya, melumatnya dengan seluruh gairah yang selama ini ia pendam. Tangan Kiba menyelusup ke rambutnya, memeluknya erat-erat, dan Ino merespon dengan penuh semangat, tangannya menjelajahi dada Kiba yang telanjang.
Mendadak, Kiba menjauhkan bibirnya, napasnya terengah-engah, wajahnya penuh gairah. "Katakan lagi."
Ino tampak bingung karena Kiba mendadak menghentikan ciumannya, butuh beberapa saat baginya untuk memahami apa yang Kiba maksud. Gadis itu berusaha menangkap bibirnya kembali, namun Kiba menggeleng.
"Katakan sekali lagi."
Mendengar suaranya yang penuh nafsu, Ino mengerti. Dengan kedua tangannya ia membuat kepala Kiba menunduk supaya ia bisa menyandarkan dahinya pada Kiba hingga ujung hidung mereka bersentuhan. "Aku menyukaimu, Inuzuka."
Tanpa membuang waktu, Kiba kembali melumat bibir Ino. Gadis itu membalas ciumannya dengan gairah yang sama.
Tangan Ino terjerat di rambut Kiba, menariknya lebih dekat ke arahnya. Jantungnya berdentum keras di telinganya. Belum pernah ia merasakan hal ini sebelumnya, perasaan yang membuncah di dada yang membuatnya dapat melayang.
Ino bisa merasakan ketika Kiba mendadak mengangkatnya hingga membuat kedua kakinya melingkar di sekeliling pinggangnya. Di tengah-tengah ciuman mereka, Ino membuka sebelah matanya dan menyadari Kiba membawanya ke kamarnya.
Kiba menghentikan ciumannya sesaat untuk menjatuhkan Ino di tempat tidurnya, sebelum naik ke atas tubuh gadis itu. Keduanya terengah-engah saat menatap satu sama lain. Ino bisa melihat gairah di mata lelaki itu dan tidak butuh seorang jenius untuk menebak benda keras yang menusuk perutnya tersebut.
"Kau tidak tahu sudah berapa lama aku memimpikan ini, Yamanaka." bisiknya.
Ino tersenyum padanya. Ia merasa tubuhnya terbakar oleh gairah. Ia ingin Kiba melakukannya sekarang. "Sentuh aku, Inuzuka."
Kiba mengerang lalu kembali mencium Ino. Ketika Ino menggesekkan bagian bawah tubuhnya pada Kiba, lelaki itu menggigit bibirnya, seakan menahan napas sebelum akhirnya menyerah pada hasrat yang telah terpendam lama. Ciuman mereka semakin dalam, semakin liar, seakan seluruh dunia lenyap, hanya menyisakan mereka berdua di tengah keheningan malam. Ketika mereka berhenti untuk mengambil napas, Kiba membantu Ino melepas pakaiannya.
Napasnya tercekat saat melihat Ino tanpa busana di bawahnya. Ia menelan ludah saat tangannya menangkup payudara Ino dan ibu jarinya memainkan putingnya. Desahan dan erangan gadis itu merupakan musik di telinganya. "Oh, Inuzuka…"
Kiba menggeram, lalu mencondongkan tubuhnya di atas Ino dan berbisik, "Panggil namaku."
"K-Kiba..." Mendengar nama depannya didesahkan dari bibir yang indah tersebut membuat sentuhan jari Kiba semakin berani, pelan namun pasti, sebelum akhirnya ia mengganti ibu jarinya dengan mulutnya. "Kiba!"" teriak Ino saat merasakan pemuda itu menjilat dan mengulum putingnya. Ia bisa merasakan tangan lelaki itu turun dan menyusuri pinggangnya, hingga menemukan bagian di antara selangkangannya.
Desahan Ino semakin kuat saat ia merasakan jari-jari Kiba memainkan klitorisnya. Mereka tak lagi menahan diri, tak ada lagi kata-kata, hanya bahasa tubuh yang saling berbicara, saling merespons.
Ino dapat merasakan detak jantung Kiba yang sama cepatnya dengan miliknya—semua gairah yang selama ini tersembunyi di balik tatapan dan pertemuan singkat di sekolah kini memuncak. Tangan lembutnya menyusuri dada Kiba yang berotot, merasakan kekuatan di bawah kulitnya yang hangat. "Oh, Kiba…" bisiknya lirih penuh gairah. "Kuharap ini bukan mimpi…"
Kiba mengangkat tubuhnya untuk melihat wajah Ino yang kini dipenuhi hasrat dan gairah. "Kalau ini mimpi, aku tidak pernah ingin bangun."
Ino menarik Kiba lebih dekat, tangannya menelusuri punggung Kiba yang berotot, seakan ingin memastikan bahwa ini nyata, bahwa ia benar-benar di sini bersamanya. Mereka bergerak dalam irama yang selaras, seperti alunan musik yang perlahan membesar, semakin intens. Setiap gesekan kulit, setiap ciuman yang semakin dalam membawa mereka lebih jauh ke dalam perasaan yang tak terungkap selama ini.
Suara napas mereka yang terengah-engah memenuhi kamar yang remang-remang. Kiba, yang tak lagi bisa menahan dirinya, memenuhi permintaan Ino. Saat mereka bersatu, kehangatan melingkupi tubuh keduanya, membawa mereka pada momen yang telah lama mereka inginkan. Detik-detik berlalu seolah tanpa makna, hanya ada perasaan mendalam yang menuntun gerakan mereka.
Ketika keduanya mencapai klimaks, Ino merasakan ledakan perasaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Gairah dan emosi bercampur, membuatnya tak mampu memikirkan apapun selain pemuda di atasnya. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, tubuh mereka menempel satu sama lain, saat perasaan mereka melebur menjadi satu.
Dalam keheningan setelahnya, mereka berbaring, saling mendekap, napas mereka perlahan kembali normal. Ino menyentuh wajah Kiba, menatap kedua mata cokelatnya yang selalu dipenuhi dengan kehangatan.
"Aku menyukaimu, Kiba," bisiknya.
Kiba tersenyum lalu menciumnya. "Aku juga, Ino."
Author's Note (tidak wajib, tapi disarankan untuk baca): Terus terang, sebelum menulis Chapter 16 ini saya beberapa kali membaca ulang Mona Lisa dan merasa kesal sama Ino (padahal saya yang nulis karakternya sendiri ya). Saya kesal sama Ino karena dia egois dan bodoh. Tapi waktu diingat-ingat lagi, cerita ini terinspirasi dari seseorang yang memang benar-benar ada, dan orang tersebut memang egois dan bodoh. Mungkin karena saat itu usia saya 14 tahun lebih muda dari sekarang, saya tidak bisa melihat hal itu. Seperti biasa...let me know ya bagaimana menurut kalian perkembangan karakter dan hubungan Kiba dan Ino di sini!
Selanjutnya, mohon maaf kalau saya (masih) belum bisa membalas satu-satu review dari para pembaca sekalian. Saya sangat menghargai apa yang kalian tulis, semua dukungan kalian, dan kalau saya lagi sedih saya suka baca-baca review dari para pembaca sekalian supaya jadi semangat lagi! Beberapa orang di sini benar-benar luar biasa baik...to the point I sometimes think: what did I do to deserve these kindness . Kalo ada waktu, saya penasaran sekarang para pembaca Mona Lisa sudah umur berapa...bagaimana perjalanan hidup kalian...you guys got kids yet? How's work/school/etc?
Kalau saya sendiri...saya baru merayakan ulang tahun saya yang ke-31 (benar-benar sudah tante-tante). Belum punya anak T-T. Tapi masih keranjingan dengan anime dan sejenisnya. Beberapa bulan belakangan ini saya langganan Crunchyroll dan ngikutin beberapa anime-anime baru, seperti: Demon Slayer, Spy x Family, Hell's Paradise, One Punch Man (OMG this is my ABSOLUTE FAV now)...The other day saya nonton My Love Story with Yamada-kun at Lv. 999 (SOOO interesting! Kalau belum nonton HARUS NONTON kalau suka shoujo!) dan sekarang sedang nonton Noragami (anybody knows this? It's mainly shonen, but super cute with hints of romance). Let me know ya kalian sedang nonton anime apa! Maybe I'll check it out Fyi, saya mainly nontonnya shonen
Segitu dulu dari saya...sampai jumpa di chapter berikutnya!
xoxo,
shiorinsan
