Robin tiba tiba teringat sesuatu. Dia bergerak cepat menggenggam tangan Takius yang menarik tangan kanannya tadi sambil langsung menekuk turun kedua kakinya untuk berlutut, berusaha agar wajah mereka bisa sejajar.

"Sebentar, aku harus memastikan satu hal dulu. Apakah ini pengalaman pertamamu? Kalau iya, anggap saja semua yang tadi tidak pernah terjadi dan kembalilah ke kamarmu sekarang juga. Aku akan sangat bersalah jika membuatmu melalui pengalaman pertama dengan rasa terpaksa"

Wanita arkeolog itu berusaha bicara selembut mungkin sambil kedua tangannya menggenggam tangan Takius. Dia bisa merasakan tangan itu bergetar pelan dalam genggamannya, membuatnya semakin merasa bersalah karena lupa bahwa umur mereka yang terpaut jauh jelas membuat perbedaan besar dalam jam terbang menghadapi situasi seperti ini.

Mage itu masih menunduk sambil menggigit bibir, tenggelam dalam lautan rasa malu dengan satu tangannya lagi menggenggam erat lengan kursi.

"Look at me, look at me even though you can't see me. Lihat aku dan jawablah pertanyaanku"

Robin mencium pelan punggung tangan gadis penyihir itu. Dia menatap lurus ke mata abu abu yang tersembunyi di balik kain hitam itu meskipun tidak bisa melihatnya secara langsung.

".. Bukan.. Bukan yang pertama…" rasanya Takius bahkan tidak bisa mendengar suaranya sendiri.

Diam diam Robin bernafas lega, jawaban itu mengurangi sedikit rasa bersalahnya. Akal sehat yang sempat berkabut karena alkohol tadi mulai kembali.

"Maafkan aku, alkohol itu benar benar terlalu keras. Sekarang juga, kembalilah ke kamarmu sebelum aku lepas kendali lagi"

Di luar prediksi, Takius justru langsung berdiri sambil kedua tangannya berpindah mencengkeram erat kerah baju Robin, membuat tubuh wanita arkeolog itu ikut tertarik naik berdiri ke atas juga.

"Kau ini maunya apa? Seharian ini aku sudah hampir gila karenamu dan sekarang kau malah menyuruhku kembali ke kamar setelah aku hampir mati saking malunya tadi. Kalau mau meniduriku, maka lakukan yang benar!"

Alkohol racikan gurunya Chopper ternyata sukses membuat gadis mage itu meledak marah.

"Ah..? Takius, kau mabuk…" Robin ternganga melihat bagaimana Takius menggerung marah, menumpahkan emosinya.

"Mabuk gara gara alkoholmu!"

Takius berjalan masuk ke kamar sambil kedua tangannya masih di kerah baju Robin, setengah menyeret wanita itu. Yang diseret tidak bisa melawan, hanya bisa pasrah mengikuti sambil sempoyongan efek alkohol.

Arkeolog itu terkejut saat dia dihempaskan dengan kasar hingga punggungnya membentur dinding batu yang keras. Dia belum pulih dari rasa terkejut ketika kedua tangan itu merengkuh lehernya, memaksanya untuk menunduk sedikit agar mage itu bisa menciumnya lagi.

Berbeda dengan yang tadi, ciuman kali ini terasa sangat barbar karena Takius sungguh menumpahkan semua kemarahannya.

Robin gelagapan dengan situasi yang aneh itu. Kejadian seperti ini tidak pernah ada dalam sejarah petualangan malamnya.

Terpaksa dia menggunakan Hana Hana no Mi untuk menyelesaikan keributan itu. Cepat dia melambai, memunculkan banyak tangan yang langsung menarik pergi Takius dan mengunci tangannya agar tidak bisa melawan.

"Curang kau! Beraninya memakai kekuatan Devil Fruit! Berikan tongkatku dan aku akan bertarung melawanmu!" teriak Takius sambil meronta marah, merasakan setidaknya ada enam tangan yang mengunci dan melipat tubuhnya seperti udang.

"Hentikan! Kalau sampai Tuan Hyuga mendengar keributan ini, kita berdua bisa dilempar keluar dari jendela menara sihir!" Robin sebenarnya lebih yakin bahwa pak tua itu justru akan tertawa terbahak bahak jika mengetahui apa penyebab keributan mereka. Tapi lebih baik menyebut nama Hyuga dulu agar Takius ingat mereka sedang berada di mana sekarang.

Mendengar nama Hyuga disebut memang berhasil membuat gadis penyihir itu berhenti meronta meskipun masih menggeram marah. Bagaimanapun juga dia tidak mau mengulang insiden Armando bersaudara.

"Aku lepaskan hanya jika kau berjanji tidak akan menyerangku" Robin berjalan mendekatinya sambil masih siaga.

Takius berdecak kesal, dia memang tidak bisa apa apa karena tubuhnya terkunci dalam posisi yang menyulitkan. Sudah bagus dia ditekan ke kasur yang empuk, bukan ke lantai batu yang keras "Ck… Baiklah, aku janji tidak akan menyerangmu. Sekarang lepaskan aku"

Terdengar kurang serius, jadi Robin memutuskan untuk melepaskannya tapi masih menyisakan satu tangan yang tetap mengunci kedua tangan gadis itu.

"Hei! Katanya mau melepasku? Kau masih mengunci tanganku!" Takius mulai menggonggong marah lagi. Alkohol itu benar benar membuat emosinya meledak ledak.

"Tidak akan kulepas semua sampai aku yakin kau sudah tenang" Robin memakai Hana Hana no Mi lagi untuk menegakkan tubuh gadis itu agar setidaknya bisa duduk dengan benar di tepi ranjang.

Gadis mage itu menggeram kesal lagi. Dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kesal karena aroma bunga segar itu masih terhirup, membuat pikirannya masih berkabut meskipun tidak separah tadi.

Sambil berjalan mendekat, tangan Robin menyambar kursi kayu dan meletakkannya di hadapan Takius lalu duduk bersandar menyilangkan kaki tanpa bicara, sengaja memberi waktu agar dia lebih tenang. Robin menarik nafas dalam dalam sambil memijat kepalanya sendiri yang terasa berdenyut. Entah sakit kepala karena alkohol atau karena situasi yang ajaib ini.

Tidak ada penerangan di kamar itu, namun cahaya bulan purnama yang masuk dari jendela besar di belakang Robin membantu menerangi bagian dalam kamar. Dia bisa melihat cahaya keperakan dari bulan menerangi wajah gusar Takius.

Tangan kanan Robin naik bergerak merapikan rambut hitam gadis itu yang berantakan saat dia meronta marah tadi. Tidak ada reaksi penolakan, kelihatannya dia sudah jauh lebih tenang meskipun masih marah.

"Wah wah wah… Aku kaget sekali. Kucing kecil yang tadinya manis itu bisa berubah menjadi harimau yang galak begini" Robin malah menggoda dengan sengaja untuk mengecek reaksinya. Jari tangan yang awalnya merapikan rambut hitam panjang itu sekarang turun menelusuri pelan bagian wajah kiri yang tadi dia obati.

Takius naik darah lagi, dia sengaja menolehkan wajahnya ke kiri agar bisa menggigit pelan salah satu jari wanita arkeolog itu. Tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk membuat Robin tercekat menahan nafas dan merasakan aliran darahnya terhenti sesaat. Situasi di antara mereka sudah cukup panas hanya dalam waktu kurang dari satu jam dan gigitan pelan itu nyaris memicu ledakan.

Sambil melepaskan gigitannya, Takius masih sempat menjilat ujung jari tersebut sebelum bicara dengan galak.

"Kau pilih saja sendiri, lebih suka dicakar harimau atau digigit harimau"

Robin menelan ludah, pemandangan di depannya benar benar sangat menggoda. Beberapa jam yang lalu, mage itu tidak mungkin berperilaku begini. Rasanya dia bisa membayangkan seperti apa tatapan mata di balik kain hitam yang menutupinya itu.

Dengan tenang, dia bergerak mendekatkan wajahnya ke telinga Takius dan berbicara pelan sambil tersenyum "Kalau aku, lebih suka menunggangi harimau" sambil melepaskan tangan terakhir yang mengunci gadis itu.

Malam itu, Sanji tidak tahu kalau kakinya berhasil selamat dari ancaman patah tulang.