Dance of The Flower

Chapter 7

Suara hiruk pikuk memenuhi setiap sudut bangunan. Meja-meja terisi penuh oleh pelanggan. Dalam waktu tiga bulan Kedai Teh Nyonya Katsuyu menjadi begitu populer di ibu kota. Tempat ini telah menjadi arena berkumpul bagi kalangan bangsawan, pedagang dan orang-orang kaya. Pemiliknya seorang janda kaya berparas cantik dan berambut pirang yang latar belakangnya begitu misterius.

Meski di sebut sebagai kedai teh. Tempat yang didekorasi dengan mewah dan didominasi dengan ornamen berwarna merah ini juga menyediakan hiburan untuk memenuhi kebutuhan hedonis pelanggannya. Musik, arak, wanita cantik, makanan enak dan hiburan vulgar lainnya selalu ada. Apa pun yang orang minta, Nyonya Katsuyu akan menyediakannya.

Tsunade berdiri mengawasi bisnisnya. Dia melemparkan senyum ramah pada pengunjung dan akan melayani sendiri tamu-tamu berdompet tebal. Pendidikannya sebagai seorang putri klan Senju dan pengalaman puluhan tahun di jalan membuatnya dengan mudah mengambil hati orang-orang, Ia sengaja memberi perhatian lebih pada tamu-tamu bangsawan dan sarjana yang terlibat dalam urusan pemerintahan agar mendapatkan bocoran informasi. Di kedai ini dia bisa mendengar banyak rumor yang tentunya berguna bagi penyidikannya.

"Aku tak menyangka akan melihatmu lagi, Hime." Seorang pria tua berambut putih muncul di belakang wanita pirang itu.

"Aku tahu kau akan muncul, dijuluki petapa genit aku yakin kau tak akan melewatkan berkunjung ke tempat seperti ini. Benar kan Jiraiya?"

Pria tua itu tertawa dan ikut bergabung di meja bersama Tsunade. " Aku lah yang harus berterima kasih karena kau menyiapkan panggung untuk dramaku. Apa yang membawamu kembali ke sini? Sudah puluhan tahun berlalu. Aku pikir kau masih sibuk mengembara."

Tsunade menuangkan arak untuk dirinya dan juga rekan bicara nya. "Aku menghabiskan waktu menjadi tabib keliling. Ada hal menarik yang membawaku kembali ke Ibu kota. Apa kau ingat eksperimen yang lakukan oleh orochimaru?"

"Tentu saja, proyek modifikasi manusia. Kita sudah menghancurkan semuanya tanpa sisa."

"Apa kau yakin? Aku ingat dia masih punya tempat penelitian rahasia yang tak berhasil kita temukan." Tanya Tsunade dengan serius

"Mengapa kau menanyakan prihal Orochimaru? Lelaki itu sudah lama mati. Tubuhnya jatuh ke jurang, tak mungkin dia selamat dan tempat rahasia itu sudah pasti terkubur bersamanya."

"Beberapa waktu yang lalu aku mengobati pemuda dengan racun yang sama persis seperti yang digunakan oleh ular itu. Aku menjadi curiga."

"Curiga seseorang membangkitkan eksperimen yang tak manusiawi itu?"

Tsunade mengangguk."Tiap hari ada kasus orang hilang dan pegawai biro keamanan bersikap masa bodoh. Investigasi dilakuan asal-asalan dan pemuda-pemuda itu tak pernah ditemukan. Aku merasa penculikan, racun penghancur ingatan dan pemerintah memiliki keterkaitan."

"Jika ada orang yang berminat untuk membuat sepasukan prajurit tanpa emosi dan rasa takut. Aku yakin orangnya tak jauh-jauh dari bangsawan yang berkepentingan dan punya uang. Biro keamanan tidak bergerak sudah jelas untuk melindungi kepentingan di atasnya. Dari dulu aku curiga klan Uchiha berkolusi dengan Orochimaru, tapi kita tak punya bukti."

"Aku juga merasa begitu, tapi aku tak punya orang yang bisa memata-matai istana." Tsunade medesah. Dengan dieksekusinya orang-orang yang setia pada klan Senju. Ia tak lagi memiliki tangan dan kaki di dalam istana yang bisa dimanfaatkan.

Jiraiya menyeringai. "Aku jadi ingat bocah itu. Mungkin dia bisa membantu."

"Bocah?"

"Aku membesarkan bocah yatim piatu yang dikucilan oleh penduduk desa. Mereka percaya bocah itu dikutuk dan memiliki nasib buruk karena ketika dia lahir ayahnya meninggal dimangsa serigala dan Ibu juga meninggal sesaat setelah melahirkannya. Aku mengajarkannya bela diri dan bocah itu berbakat. Berkat rekomendasi keluarga Sarutobi saat ini dia bekerja di kediaman pangeran ke dua."

"Bisakah kita memanfaatkan anak itu?" Tanya Tsunade.

"Aku rasa Naruto tak akan keberatan aku menyuruhnya mencari tahu ini-itu." Jiraiya menegak sake nya. "…tapi, ia hanya bekerja sebagai pesuruh. Pastinya sulit untuk mengorek informasi rahasia."

"Kau bisa menyuruhnya menyelinap dan memata-matai orang yang aku targetkan. Jika dia muridmu, aku yakin kemampuan bela dirinya cukup baik."

"Permintaanmu terlalu berbahaya dan Naruto bukanlah orang yang bisa mengerjakan sesuatu dengan senyap. Aku hanya bisa menyuruhnya melaporkan rumor di istana."

"Hah…tidak akan ada informasi penting yang bisa kita dapatkan kalau begini."

"Bagaimana kalau kau saja yang masuk ke istana? Orang-orang yang mengenalmu sudah mati semua."

"Kecuali Danzo, Jika pak tua itu melihatku dia akan segera tahu."

"Pak tua Danzo, entah kapan bangkot tua itu mati. Mengapa kau peduli dengan urusan negeri ini? Klan senju sudah terlupakan dan apa yang terjadi bukan urusanmu lagi."

"Katakan padaku apa kau akan diam mengetahui ribuan pemuda akan diculik, diracuni dan menjalani hal-hal tidak manusiawi lainnya? Kau dan aku melihat sendiri apa yang dilakukan Orochimaru. Hal itu tak boleh terulang." Tsunade meletakkan gelasnya. "Lagi pula aku sudah berjanji untuk membantu seseorang untuk memperbaiki takdirnya dan negeri ini."

Jiraya mengaruk kepalanya. "itu sebabnya kau berada di ibukota? Aku pikir kau kembali untuk balas dendam."

"Aku tidak melupakan apa yang mereka lakukan, tapi lebih penting memikirkan masa depan negeri ini. Menurutku Kaisar Fugaku telah gagal sebagai pemimpin. Kau yang berkelana tentunya melihat apa yang terjadi."

"Selama klan Uchiha berada di atas aku tak yakin ada yang bisa kita rubah. Baik kerajaan dan kaum bangsawan hanya peduli untuk mengeksploitasi rakyat kecil."

"Seorang gadis memberiku harapan, Ia bahkan berkata sejarah Klan senju akan diluruskan."

"Aneh, Sejak kapan kau percaya bualan peramal."

"Dia tidak membual. Jiraiya, Jika kau bertemu dengannya dan melihat auranya kau akan merasakan dia berbeda. Dia mungkin terlihat muda, tapi pancaran mata nya seperti telah banyak melewati penderitaan dan dia berkata telah melihat masa depan."

"Siapa Nona itu?"

"Satu-satu nya keturunan klan Yamanaka." Jawab Tsunade.

"Jadi kali ini seorang Yamanaka sedang berusaha menjatuhkan Uchiha? Ini menarik."

"Ia tak bilang ingin menghancurkan klan Uchiha. Ia hanya berniat mengagalkan ambisi seseorang."

.

.

Ino mengigil dalam kereta, Hujan membuat tubuhnya basah. Entah berapa lama ia menunggu tanpa payung dan akhir dari perjalanannya sia-sia.

Tiba di rumahnya, Shion lantas menyiapkan bak penuh air hangat. Dia pergi dengan menyelinap dan kembali dengan membawa jubah pria bersulam naga tersampir di bahunya.

Shion menatap curiga. Nona meminjam pakaian nya dan pergi sendirian. Siapa yang nona nya diam-diam temui bukan urusannya, tapi Shion tetap merasa khawatir sebab sulaman naga hanya diperuntukkan bagi kaisar dan putra mahkota. Bukankah Nona-nya terus bertukar surat dengan pangeran Sasuke, tapi mengapa menemui putra mahkota dengan sembunyi-sembunyi. Shion menepis prasangka. Nona nya bukan gadis yang seperti itu, tapi tetap saja ia harus menasehati majikannya.

"Nona anda tak bisa terus-menerus pergi diam-diam seperti ini. Lama-lama tuan besar akan menemukan kebohongan kita. Bagaimana bila anda jatuh sakit?"

"Aku tak selemah itu Shion. Cepat siapkan kertas dan pena. Aku akan mandi dengan cepat."

Ino berendam hingga tubuhnya terasa hangat. Ia sudah menduga putra mahkota tak akan mendengar ucapannya yang tak berdasar, tapi ia tetap harus mencoba. Kalau sudah begini situasinya iya harus memanggil Sai lebih cepat dan membuat persiapan.

Nona Muda Yamanaka bangkit dari bak mandi yang dipenuhi kelopak mawar. Ia menyeka tubuhnya dan berpakaian. Dengan terburu-buru dia menulis secarik surat. Semoga saja dia tepat waktu.

Ino tak mengkhawatirkan bantuan yang dia kirim. Dia mencuri stempel ayahnya untuk membuat surat perintah palsu dan mempercayakan semuanya pada saudagar Lim, orang yang direkomendasikan oleh Gaara. Dengan perintah dari perdana menteri, pejabat daerah tak akan berani mengabaikan saudagar Lim apa lagi jika mereka tahu saudagar itu terkait dengan keluarga Sabaku. Ino merasa agak bersalah pada Gaara karena membawa-bawa nama lelaki yang sudah jelas tak mau ikut campur.

Setelah menguraikan rencananya di atas kertas, ia meminta Shion memanggil orang untuk mengirimkan surat tersebut ke perguruan Serigala putih. Lalu gadis itu buru-buru berkemas. Tiga hari lagi putra mahkota akan memulai ekspedisi dan Ino harus lebih dulu tiba di sana, tapi dia tak bisa pergi begitu saja. Ia musti membujuk sang ayah untuk mendapat izin.

Inoichi Yamanaka pulang dengan terkejut menemukan putrinya berlutut di altar budha, membaca doa. Pelayan memberitahunya Ino sudah berada di sana sejak dua jam yang lalu.

"Putriku, Apa yang kau lakukan?"

Ino masih tetap bersimpuh. "Mendoakanmu ayah. Aku mendapatakan firasat buruk. Semalam aku bermimpi keluarga kita akan mengalami kemalangan."

"Itu hanya mimpi, Anakku. Tak usah kau khawatirkan. Ayahmu ini perdana mentri, tak ada masalah yang tak bisa aku selesaikan."

"…,tapi aku tetap merasa tidak enak. Ayah izinkan aku untuk pergi ke kuil untuk berdoa dan menyalin sutra."

"Hah…Kau ini semakin aneh saja. Aku tak paham kenapa kau jadi seperti ini Ino. Meminta mas kawin, belajar pengobatan, sekarang malah mau ke kuil. Ada apa dengan putriku. Semakin hari aku semakin tak mengerti dirimu."

"Apa salah aku ingin ke kuil untuk mendoakan kesehatanmu? Permaisuri saja setiap tiga purnama menghabiskan tujuh hari untuk berdoa dan berpuasa demi yang mulia dan negeri ini. Apa aku tak boleh mencontoh beliau?" Ino berkilah.

"Ah…Salahku memanjakanmu. Sudah-sudah. Berdiri lah! Kau boleh pergi ke kuil tapi bawa pengawal."

"Kalau begitu aku akan kembali dalam empat belas hari."

"Itu terlalu lama."

Mata Ino berkaca-kaca, ia tahu ayahnya mudah terenyuh dengan air mata. "Ayah, Izinkan putrimu ini untuk jadi lebih berguna. Anda aku seorang lelaki, Aku pasti akan lebih berguna bagimu."

"Sudah, sudah…Jangan menangis putriku. Tujuh hari atau empat belas hari terserah padamu. Asal kau tetap mengabariku."

Kaki Ino sudah kesemutan. Dia meringis saat Shion membantunya berdiri. "Terima kasih. Ayah."

Berita kepergian Ino tentu tak luput dari telinga Sakura dan gadis itu segera memberitahu Pangeran Sasuke.

Sakura seperti biasa menyerahkan suratnya pada pelayan di kedai mie.

"Hey kau, apa kau bekerja untuk pangeran Sasuke?"

"He..he..Orang seperti aku mana mungkin mengenal pangeran." Ucapnya sambil cengengesan.

"Ah…Tentu saja, Mengapa bisa-bisa nya aku berpikir begitu."

"Nona. Apa surat-surat ini untuk pangeran Sasuke."

Menyadari kemungkinan pemuda itu hanya perantara yang tak tahu apa-apa. Sakura segera mengelak, " Bukan urusanmu.

Naruto menyampaikan pada Jiraiya soal surat-surat Sakura dan info tersebut sampai ke telinga Tsunade.

"Hm…Pangeran Sasuke sepertinya akrab dengan sahabat Ino." Komentar wanita pirang itu.

"Apa yang salah kalau anak muda surat-suaratan. Mungkin saja mereka punya hubungan khusus." Balas Jiraiya.

"Jiraiya, Apa wajar seseorang punya hubungan khusus dengan sahabat calon istrinya sendiri?"

"Apa? Tentu saja salah. Aku tak tahu Nona Yamanaka akan dinikahkan dengan Pangeran Sasuke. Kalau begini sepertinya mereka berdua punya niat busuk."

Tsunade mengangguk. "Ino sepertinya sudah tahu dia hendak dipermainkan."

.

.

Butuh waktu bagi informasi untuk sampai di perbatasan timur. Begitu berita sampai di telinga Sasuke, Ino sudah menempuh separuh perjalanan menuju selatan. Mereka telah sampai di desa yang tak jauh dari tempat terjadinya penyerangan. Dari dalam kereta yang berguncang Ino mendengar guntur menggelegar.

'Apakah semuanya akan baik-baik saja?' Ia meremas kipas yang terlipat dalam gengamannya dengan erat. Cuaca yang buruk membuat hatinya semakin resah.

Sementara itu jauh di tengah hutan telah terjadi pertempuran.

"Selamatkan dirimu pangeran."

Tubuh dari komandan pasukan kerajaan rubuh. Pria itu menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng untuk melindungi putra mahkota. Itachi hampir tak percaya dengan situasi di sekelilingnya. Mereka telah di serang dan pasukan kerajaan terdesak. Satu per satu ia melihat prajuritnya tumbang.

Hujan yang turun membuat jalan tanah menjadi berlumpur. Medan yang berat untuk bertempur. Apa lagi di bawah baju zirah yang dikenakan pasukannya. Roda-roda kereta yang membawa bantuan pangan terjebak dan kuda-kuda terlihat mulai panik. Gerombolan berpakaian hitam yang mengepung mereka bukan perampok biasa. Kemampuan bela diri mereka setara pendekar yang berlatih sangat lama di perguruan. Pasukan bayaran hanya itu yang terbesit di benaknya. Ada yang menginginkan dia gagal, tapi siapa? Itachi merasa tak pernah punya musuh.

Kemampuan pedang Itachi mungkin bukan yang terhebat di Negeri Konoha, tapi dia juga termasuk kelompok elit dan sekarang ia kewalahan menghadapi serang dari segala penjuru. Satu ia rubuhkan yang lainnya datang menyerang bak gelombang. Kematian di sekitarnya membuatnya mual. Apakah pemandangan seperti ini yang selalu di lihat adiknya di medan perang? Dia sendiri tak pernah maju ke garis depan. Selama ini ia hanya diserahi urusan administrasi dan diplomasi. Hal-hal yang berisiko selalu diserahkan pada Sasuke.

Hujan kian deras. Sembari meliukkan tubuhnya menghindari pedang lawan. Itachi teringat peristiwa beberapa hari yang lalu. Saat itu hujan juga deras seperti ini. Sosok berpakaian gadis jelata menghadang laju keretanya. Kusir yang terpaksa berhenti membuat Itachi turun dari kereta untuk memeriksa apa yang menghalangi mereka dan keterkejutan nya tak bisa ia sembunyikan saat menyadari gadis yang begitu nekad itu adalah Ino Yamanaka. Dia mengambil risiko mati tertabrak kereta hanya untuk bisa diam-diam bicara padanya dan kata yang terlontar dari bibir mungil itu membuat rasa herannya semakin menjadi-jadi.

"Tolong rubah rute ekspedisi anda, Yang Mulia." Gadis pirang itu memohon dengan wajah pucat dan tubuh basah. Entah berapa lama ia menunggu di sana.

"Sudah diputuskan kami akan memgambil jalur tercercepat. Tak ada alsasan bagiku untuk mendengarkanmu."

"Saya mengerti permintaan ini tidak beralasan, tapi saya tahu sesuatu yang buruk akan menanti anda."

Itachi menatap Ino dengan sekeptis,"Apa sekarang kau juga seorang cenayang?"

"Pangeran, apa menurut anda hamba ini gadis gila. Menyelinap dari kediamanku dan menunggu anda di tengah hujan begini hanya untuk bicara omong kosong? Hamba menghawatirkan keselamatan pangeran." Ino bicara sambil mengigil.

Merasa terenyuh, Itachi melepaskan jubahnya dan menyampirkannya di bahu Ino. "Pulanglah, Kalaupun aku menemui kesulitan. Aku bisa menyelesaikannya."

"Tolong jangan abaikan peringatan hamba."

" Nona Ino, Tidak masuk akal kau mengetahui informasi yang bahkan biro intelegen kerajaan tidak pernah dengar. Apa informasi yang selama ini aku dapatkan tentangmu salah, atau perdana menteri tidak mengenal putrinya sendiri? Aku tak ingin berburuk sangka kau menungguku di sini hanya untuk mendapatkan perhatianku."

Ino terlihat tersinggung, "Yang mulia putra mahkota, Motivasi hamba tidak serendah itu. Hamba tahu perhatian anda hanya untuk putri Izumi dan sepertinya pangeran Sasuke menyukai hamba."

Kali ini raut wajah Itachi yang menekuk, "Apa kau juga menyukai adikku?"

Ino memilih untuk tidak menjawab.

Percakapan mereka membuat Itachi juga menjadi basah kuyup."Nona, Semakin lama kau berdiri dalam hujan yang deras ini kemungkinan kau akan sakit menjadi lebih besar. Aku sudah mendengarkanmu jadi pulanglah. Gerbang istana sudah dekat. Kau bisa menggunakan keretaku."

"…dan membuat pangeran berjalan kaki menuju kediaman anda? Hamba tak berani bersikap merepotkan. Yang Mulia. Hamba mohon diri." Ino pun pergi, menggunakan jubah yang diberikan Itachi untuk melindungi kepalanya.

Itachi pulang ke istana tanpa memikirkan atau menginvestigasi peringatan Ino. Dia tentu lebih percaya laporan biro intelegen yang memastikan tak ada sesuatu yang aneh di rute yang akan dia lewati. Kalau hanya bandit, bukan masalah bagi pasukan kerajaan yang dia bawa. Dia pribadi tak punya musuh, lalu siapa yang akan membuat masalah baginya? Nona Ino bersikap tak masuk akal.

Sekarang Itachi sadar betapa salahnya dia. Hal yang terjadi sekarang bukan sekedar perampokan, mereka sedang mencoba membunuhnya. Bagaimana Ino bisa tahu dia akan mendapatkan malapetaka? Apakah orang yang dekat dengan Ino merencanakan ini? Mungkinkah perdana mentri?

"Pangeran, pergilah! Kami akan menahan mereka di sini." Ucap Salah satu prajurit yang Itachi bahkan tak tahu namanya.

"Aku…" Sang pangeran bimbang. Ia tak bisa kabur seperti seorang pengecut.

"Anda putra Mahkota. Nyawa anda lebih penting dari kami. Kita tak punya kesempatan untuk menang." Tambah prajurit itu lagi.

"Aku tak bisa meninggalkan kalian di sini." Ia dan para parajurit bertempur bersisian. Ia diberikan tugas untuk mengirimkan bantuan. Jika ia gagal, berapa ribu orang yang akan mati kelaparan. Nyawa mereka adalah tanggung jawabnya. Sibuk menghadapi serangan dari depan. Itachi membiarkan pertahanan sisi kanan nya terbuka. Musuh memanfaatkan celah, tapi pedang mereka menghujam tubuh prajurit yang tiba-tiba saja merangsek ke arahnya.

Satu tikaman tepat mengenai jantung. Darah prajurit itu mengotori pakaian sang pangeran.

"Jangan sia-siakan nyawa kami." Ucap sang prajurit dengan nafas terakhirnya.

Hanya puluhan prajurit kerajaan yang masih berdiri. Gerobak-gerobak berisi bantuan terbengkalai dan penyerang berpakaian hitam memiliki jumlah tiga kali lipat dari mereka.

Sehebat apa pun dia, dia tak akan bisa menang. Sambil berlari dan menebas dengan membabi buta. Sang pangeran menaiki kuda yang terlihat panik. Ia memegang tali kekang dan memaksa binatang itu berlari dengan kencang melewati jalan berlumpur dan tentu saja mereka mengejarnya.

Menghindari meninggalkan jejak. Itachi berkuda masuk ke dalam hutan. Dia berharap rimbunnya pepohonan akan membuat pengejar kesulitan. Pedang ia ayunkan untuk mengenyahkan ranting-ranting yang mengganggu pelarianya. Ketika barisan pohon dan semak semakin lebat, sang putra mahkota meninggalkan kudanya dan memutuskan untuk berjalan.

"Itu dia di sana!"

Itachi mempercepat langkahnya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh ia menapak batang pohon besar dan melompat dari dahan ke dahan. Anak panah melesat ke arahnya dan ia sukses menangkis serangan jarak jauh itu dengan pedang.

Berlari sambil menghawatirkan anak panah membuat ia bergerak lebih lamban. Jalannya kembali terhadang oleh lelaki yang membawa golok.

Dahan yang dia pijak terasa bergoyang. "Sial." Itachi tahu musuh lain juga datang berdiri tepat di belakangnya.

Itachi terjepit dan pemanah yang tidak ia lihat di mana posisinya pasti juga bersiap membidik. Ke mana dia harus menghindar? Lawan mengambil inisiatif untuk menyerang lebih dulu. Golok beradu dengan pedang. Gerakan lawan terkunci tapi dari balik punggungnya pedang dao ganda siap menebas. Itachi berputar untuk berkelit dan menyarangkan tendangan di punggung penyerang.

Sibuk berduel dengan dua orang di atas dahan pohon yang besar ia tak sadar panah kembali ditembakkan dan menancap di bahunya. Serangan itu membuat Itachi nyaris limbung, tapi ia tak kehilangan pijakkan.

Meski terluka sang pangeran mengangkat pedang kembali, ia tak punya banyak pilihan.

"Siapa yang mengirim kalian?" tanya Itachi.

"Tugas utama kami bukan untuk membunuhmu, tapi siapa menduga putra mahkota begini lemah."

Itachi mengeretakkan gigi mendengar hinaan mereka. Ia mematahkan anak panah yang menancap di bahu, tak berani mencabut mata panah yang terbenam di ototnya. Warna merah darah mengotori jubah hitam yang dia kenakan.

"Ini bukan duel yang adil. Mana harga diri kalian sebagai pendekar?"

"Kami tak pernah punya harga diri." Ujar salah satu dari mereka.

Itachi pun melompat turun. Kembali memijak tanah dan kedua orang itu menyusulnya.

"Kau tak bisa ke mana-mana. Hutan ini di kepung."

Tak ada hal lain yang bisa Itachi lakulan selain kembali bertempur. Bahu kanan nya yang terluka membuat gerakan tangannya terbatas. Beruntung dia cukup ahli untuk berkelit dan membaca serangan mereka. Sesungguhnya Itachi merasa sedikit aneh, Jumlah musuhnya sangat banyak, tapi dari tadi hanya tiga orang saja yang berada di sekitar sini.

Lagi-lagi anak panah melesat. Bagaimana dia menghindar dari sepasang pedang Dao, sebilah golok dan anak panah? Inikah akhir hidupnya? Tidak, ia tak boleh mati. Keanehan terjadi, anak panah itu ternyata tak ditujukan pada dirinya. Pria yang bersenjatakan golok terkapar di tanah. Rekannya tampak terkejut dan kelengahan ini dimanfaatkan Itachi untuk melayangkan serangan vital. Ujung pedang sang putra mahkota menembus perut lawan.

Itachi tak serta merta merasa lega. Ia mengernyit menahan sakit bahu nya, tapi tetap tak menurunkan kewaspadaan ketika mendengar suara langkah kaki mendekat.

"Siapa kau? Lawan atau kawan?"

Dari balik semak muncul seorang pemuda berwajah pucat membawa busur dan anak panah. Dia tak berpakaian seperti orang-orang yang menyerangnya meski sama-sama memakai warna hitam.

"Tuanku meminta hamba untuk mengawal pangeran keluar dari hutan ini."

"Siapa tuanmu itu?"

"Seseorang yang anda dapat percayai."

Itachi tentu tak mau percaya begitu saja. Sangat mungkin ini sebuah jebakan lain.

Sai dengan mudah melihat kecurigaan sang pangeran. Nona-nya sudah memberitahu bagaimana pun caranya ia harus membawa pangeran keluar dari hutan ini dengan selamat.

"Pangeran Itachi, Kita harus segera keluar dari hutan ini. Apa anda tak merasakan puluhan langkah mendekat. Jebakan yang hamba siapkan hanya bisa menghambat mereka. Jika kita tidak kabur sekarang maka akan terlambat. Anda tidak dalam posisi untuk menolak bantuan saya."

Tidak mempercayai orang asing ini dia akan celaka dan mempercayainya juga akan celaka. Dia memang tak punya pilihan. "Kau tahu jalan keluar tercepat?"

Sai menangguk. Setelah menerima surat dari Nona nya, dia langsung pamit dan meninggalkan perguruan langsung menuju hutan ini. Sebagai seorang abdi, dia tak mempertanyakan perintah nona Ino dan mengerjakan apa yang disuruh, tapi melihat apa yang disampaikan di surat begitu persis dengan yang terjadi hari ini. Sai hanya bisa menduga Nona Ino telah melihat masa depan.

"Apa anda butuh bantuan Yang mulia?" Sai bertanya pada lelaki yang lebih tua. Mereka berlari dengan cepat, mungkin terlalu cepat bagi seseorang yang terluka. Putra mahkota terlihat kesulitan, dengan wajah pucat dan nafas terengah ia tetap mengikuti Sai tanpa melambatkan langkah kakinya. Sebelah tangan menahan luka di bahu. Sai sadar yang mulia kehilangan cukup banyak darah.

Hujan deras telah menjadi rintik kecil. Keluar dari hutan mereka tiba di sebuah desa kecil. Sebuah kereta kuda sederhana berukuran cukup besar menunggu di tepi jalan berbatu. Itachi yang kelelahan melihat seorang kusir, seorang pelayan dan pemuda berpakaian mahal yang berjalan mondar-mandir dengan payungnya.

Ino melihat mereka dari kejauhan dan putra mahkota terlihat berjalan terseok-seok. Sepengetahuannya Itachi kembali ke istana tanpa terluka dan kemudian pejabat-pejabat yang diam-diam mendukung Sasuke mencoba mengecilkan masalah, memfitnah putra mahkota dan menganggapnya tidak kompeten.

"Tuan, Aku kembali membawa pangeran."

Itachi yang lelah dengan pandangan yang buram dan kepala pening akibat kehilangan cukup banyak darah tak memperhatikan sosok dihadapannya. Ia harus menutup luka ini segera sebelum ia mati karena kehabisan darah

"Luka anda sangat serius."

Aneh suara pemuda itu sangat feminim seperti wanita. Butuh waktu lima detik bagi Itachi untuk menyadari orang yang berdiri di depannya adalah seseorang yang dia kenal.

"Nona Yamanaka, Mengapa?"

"Pangeran, Naiklah ke dalam kereta. Lukamu harus di obati."

Itachi semakin heran, Nona muda Yamanaka seorang calon menantu kaisar berada di tempat terpencil begini dan berpakaian seperti pria.

Mereka duduk berdua di dalam. Ino meraih kotak obat yang dia simpan di bawah kursi.

"Mata panahnya masih tertinggal di dalam." Ujar Itachi. Dia tahu seharusnya ia mencabut benda itu dari tadi, tapi ia khawatir jika lukanya terlalu dalam hanya akan membuat dirinya lebih cepat kehilangan darah dan ia masih harus bertarung.

"Aku melihatnya, Lepaskan pakaian anda. Hamba akan mencoba mengeluarkannya."

"Kau selalu membuatku takjub, Nona Yamanaka. Aku tak membayangkan dirimu sebagai wanita yang seperti ini. Menyamar menjadi lelaki, berpergian hingga ke tempat terpencil hanya untuk menyelamatkanku." Itachi tak bisa melepaskan sabuk dan ikatan jubahnya dengan satu tangan. Tangan kanannya sulit digerakkan. "Sepertinya aku perlu bantuan."

Ino dengan tangan yang sedikit ragu membantu Itachi melepaskan pakaiannya. Ia lantas menyeka lengan yang dipenuhi darah. Kali ini lukanya terlihat jelas.

"Menurutku ini buruk." Ino tak tahu apa-apa soal merawat luka.

"Apa kau pernah mengobati orang sebelumnya?"

"Tidak, aku hanya pernah membaca buku. Sepertinya akan sakit." Ino menggengam sisa anak panah yang patah dan menariknya dengan sekuat tenaga.

"Aarrgh.." Itachi mengerang.

Ino mengambil kain dan menggunakan untuk menutup luka berharap darah akan segera berhenti mengalir. Perjalanan ke kota selatan masih harus ditempuh dua hari lagi.

"Apa anda baik-baik saja?"

"Aku tak apa-apa. Lanjutkan saja."

Ino membubuhkan obat dan membalut luka pangeran Itachi sambil berharap dia tak akan terkena infeksi.

"Katakan padaku bagaimana kau bisa mengetahui semua ini?"

"Jika hamba berkata hamba memiliki jaringan informasi yang lebih hebat dari biro Intelegent kerajaan apakah anda akan percaya?"

Itachi tertawa, "Tak mungkin, Aku tak ingin percaya Nona muda yang bahkan tak pernah melangkah ke luar dari pekarangan rumahnya bisa tahu hal-hal bahkan kerajaan tidak tahu. Apakah penyerangan ini ulah perdana menteri dan kau menyamatkan aku agar bisa mendapat pengampunan?"

"Yang mulia, Anda salah. Apa yang ayah hamba dapatkan dengan mengagalkan misi anda?"

"Lalu bagaimana kau bisa tahu segalanya dengan tepat. Kau tahu kapan dan di mana aku diserang bahkan mengirimkan orang untuk membantuku."

Bibir Ino menyatu menjadi sebuah garis lurus. Gadis itu menimbang untuk berkata jujur. Putra mahkota tak akan percaya begitu saja bila ia berkata ia melihat semua ini dalam mimpi.

"Pangeran, Bisakah anda menerima penjelasan yang tidak logis?"

"Maksudmu?"

"Mengapa hamba bisa menebak apa yang akan terjadi? Itu semua karena hamba sudah mengalaminya. Hamba mati di masa depan dan kembali ke masa lalu."

"Mustahil, Aku tak bisa percaya." Itachi teringat dengan ucapan Kaisar. Masih belum ada yang tahu informasi tentang dengan siapa Ino akan menikah. Jika memang benar ia tahu masa depan pastinya Ino akan memberikan jawaban yang benar. "Jika kau tahu masa depan, katakan padaku siapa yang dipilih Kaisar untuk menjadi suamimu?"

"Pangeran Sasuke." Jawab Ino lugas.

"Kau salah, tapi jawabanmu memberikan aku harapan kalau titah kaisar masih bisa berubah. Kaisar berniat menjadikanmu istri kedua ku dan aku berniat dengan segala cara untuk menolaknya."

"Mengapa menolak? Apa anda ingin di cap pembangkang?"

"Itu karena Sasuke meminta bantuanku agar kau menjadi istrinya. Sepertinya dia benar-benar menyukaimu."

Ino terkejut. "Apa Pangeran tahu hubungan kami?" Dia dan Sasuke hanya bertukar hadiah dan surat, tapi dalam budaya mereka itu berarti sebuah hal yang serius. Ino juga mengirimkan pangeran Sasuke sebuah kantong yang dia sulam sendiri. Ia ingin membuat pangeran Sasuke percaya kalau dia dimabuk asmara.

"Dia tak pernah menutupinya dariku dan aku tak berniat merebut kebahagiaan adikku. Dia juga berhak mendapatkan apa yang dia inginkan."

"Apakah anda sepenuhnya yakin hamba menyukai pangeran Sasuke?"

"Kalau tidak menyukainya kenapa kau menerima hadiahnya. Sasuke dalam suratnya juga bercerita kau mengirimkan hadiah ke timur untuknya."

"Hamba tak ingin membuat pangeran Sasuke tersinggung."

"Tunggu, Apa itu berarti kau lebih memilih menjadi selir? Aku bukan pria yang kau butuhkan Nona Yamanaka. Hidupmu akan menderita menjadi selir ke sekian dari wanita-wanita yang akan memenuhi istana nantinya. Aku sendiri ingin kau menghindari nasib buruk ini. Jika kau tak bisa menghindari nasib menikah tanpa cinta setidaknya kau harus memilih bersama dengan pria yang bisa memperlakukanmu dengan lebih baik. Kau lebih beruntung karena masih punya pilihan. Gadis lain hanya bisa menerima jodohnya."

"Beruntung? Keinginan pribadi hamba selalu terbaikan dan hamba hanya bisa berjalan di jalan yang ditunjukan oleh para lelaki. Apa anda juga merasa berhak mengatur perasaan dan emosi hamba. Terkadang hamba merasa marah dengan keadaan, mengapa hamba terlahir sebagai wanita yang ujung-ujungnya diberikan pada lelaki yang dianggap membawa keuntungan."

"Itu tak benar. Apa ayahmu menjualmu pada istana? Tidak. Dia berusaha melindungimu sebisanya dan kau tahu itu. Sebagai bangsawan kita tak selalu bisa mengikuti setiap kata hati. Menikah denganku tak akan membuatmu bahagia karena aku tak akan mau berusaha membahagiakan selir yang bahkan tidak aku butuhkan, tapi Sasuke akan berusaha untukmu karena dia menyukaimu."

"Bagaimana bila hamba sendiri memilih menjadi selir anda dan menanggung semua konsekuensinya?"

"Maaf, Aku tetap tak bisa. Aku tak akan pernah melakukan hal yang menyakiti perasaan Sasuke."

"Anda sepertinya begitu menyayangi pangeran Sasuke dan rela mengalah untuknya. Anda bahkan mengabaikan keinginan hamba demi adik anda."

"Nona Yamanaka, di istana tak ada yang menyayangi Sasuke. Tidak pula Yang mulia. Semua usaha dan pencapaiannya tak pernah diakui. Apa aku salah menginginkan adikku bahagia. Lagipula pernikahanku dan dirimu tak akan menghasilkan apa-apa selain mengikat klan Yamanaka sebagai anggota keluarga Uchiha."

"Anda terlalu memikirkan orang lain."

"Aku terlahir dalam keberuntungan dan aku tak boleh serakah."

"Dengar, Jika pangeran Sasuke menginginkah Tahkta apa anda juga akan menyerahkannya?"

Itachi terdiam. Dari kecil dia diberitahu dia akan menjadi kaisar. Hal tersebut telah menjadi tujuan hidupnya, tapi ia tak bisa membayangkan jika suatu hari Sasuke menginginkan posisi itu dan mereka harus saling membunuh untuk mendapatkannya. Dia tak punya hati untuk menyakiti adiknya, tapi Itachi juga yakin Sasuke tak akan melakukan hal yang bisa melukainya sebab rasa persaudaraan mereka begitu tinggi.

"Kenapa kau berkata begitu? Apa kau ingin mengadu domba kami? Jika memang Sasuke ingin menjadi Kaisar aku akan menyerahkan posisiku, tapi ia tak akan pernah melakukannya."

Lelaki ini begitu mempercayai adiknya. Ino tak bisa menyalahkan Itachi karena dia sendiri juga jatuh dalam tipu daya. Sungguh menyedihkan mengetahuinya. Putra mahkota rela melepaskan kekuasaan demi adiknya, tapi sang adik berpikir tak masalah membunuh kakaknya demi kekuasaan. Sifat Sasuke membuatnya menjelma menjadi tiran yang terbiasa menyingkirkan orang-orang yang tak sejalan dengannya. Dia tak pernah memikirkan orang lain.

"Aku harus kembali ke Ibu kota untuk melaporkan hal ini dan mengejar pelakunya."

Ino menggelengkan kepala. "Tidak, Kereta ini akan pergi ke selatan. Anda harus menyelesaikan misi anda."

"Untuk apa? Aku tak membawa apa-apa untuk mereka." Ujar Itachi dengan lelah. "Aku tak tahu solusi apa lagi yang bisa aku pikirkan. Sudah tak ada lagi persediaan pangan di lumbung istana. Mungkin pejabat istana bisa memberikan ide untuk mengatasi krisis ini."

"Pangeran. Aku sudah mengurus semuanya. Rakyat kota selatan tak akan kelaparan. Mungkin anda tidak sadar, tapi anda memiliki musuh dalam istana. Pejabat-pejabat itu akan menggunakan kesempatan ini untuk mencedrai reputasi anda."

"Musuh di dalam istana? Maksudmu Klan Otsutsuki? Untuk apa mereka mencoba menjatuhkanku ketika Sasuke tak mau menjadi boneka mereka."

"Jika yang mulia dianggap tidak kompeten, mereka bisa menuntut pada kaisar untuk melakukan kembali seleksi putra mahkota dan mempertimbangkan pangeran Sasuke."

"Nona Yamanaka, adikku tak akan berpatisipasi untuk menjatuhkanku."

"Kalau begitu anda tak mengenal saudara anda dengan baik."

"Kau berbicara seakan mengenal Sasuke lebih baik dariku."

"Putra mahkota, di kehidupanku sebelumnya aku hidup sebagai Istri Sasuke. Apa anda tak ingin tahu kenapa aku mati? Adikmulah yang membunuhku, setelah merampas segalanya dariku dan apa anda berpikir aku ingin mengulang kehidupan yang seperti itu? Anda boleh tak percaya, tapi alasan hamba bertindak sejauh ini hanya untuk melindungi pangeran karena hamba tahu anda juga akan disingkirkan."

"Tolong jangan memfitnah Sasuke. Kau mungkin penyelamatku dan putri perdana menteri, tapi kau tak boleh bicara sembarangan."

Ino menyudahi percakapan itu, pangeran Itachi tak akan berubah pikiran hanya dengan kata-kata. Ia perlu membawa bukti yang bisa membuka kedok Sasuke, tapi Ino tak tahu siapa saja yang membantu Sasuke untuk melancarkan rencananya. Lelaki itu sangat rahasia. Ia tak pernah mengungkap siapa sekutu-sekutunya pada Ino. Setelah dipikir-pikir Sasuke tak sedikit pun mempercayainya, mungkin karena dia hanya sebuah pion yang bisa dibuang setelah digunakan.

Ino memerintahkan kusir untuk berjalan. Shion kembali duduk bersamanya. Sang pelayan merasa segan duduk bersama putra mahkota yang tampak sedang banyak pikiran. Perjalanan panjang di tempuh dalam dua hari dan Ino berusaha merawat Itachi semaksimal mungkin, sang pangeran sempat mengalami demam beruntung demamnya cepat reda. Ia tak lagi membicarakan Sasuke karena pangeran Itachi tak punya dasar untuk mempercayainya. Mungkin hal yang ia bisa lakukan adalah membuat sebuah permohonan.

Keadaan di kota selatan sungguh buruk. Ino sebelumnya telah meminta mendirikan tenda. Untuk sementara ia akan tinggal di sana. Ino senang melihat dapur-dapur umum telah berdiri. Rakyat berbaris rapi menanti jatah makanan mereka, terlihat pula prajurit dan rakyat sipil membenahi bangunan. Ino juga membawa tabib.

Setelah mendapatkan perawatan tabib, Itachi berbicara dengan pejabat kota wilayah selatan. Masih banyak yang harus dibenahi. Rumah-rumah sepanjang tepian sungai tak lagi bisa ditinggali. Sawah-sawah rusak dan hewan ternak mati. Kerajaan berusaha untuk memberikan bantuan agar kehidupan dapat kembali normal, tapi keterbatasan anggaran dan kas kerajaan yang minim membuat upaya perbaikan wilayah selatan sulit terealisasi. Apa kaisar menyadari kesulitan yang dialami negeri ini? Sejak ayahnya naik tahkta uang kerajaan banyak dihabiskan untuk anggaran pertahanan. Kekuatan militer Konoha sangat besar dengan jumlah prajurit begitu banyak seakan ayahnya menyiapkan diri untuk melakukan invasi, tapi di sisi lain pembangunan terbengkalai dan ekonomi merosot. Jumlah pajak yang ditarik jumlahnya tiap tahun makin turun dan Itachi curiga telah terjadi korupsi di daerah karena hampir semua bangsawan dan pejabat hidup dengan sangat mewah.

Dahi Itachi mengerut dan merasa bersalah. Anggaran belanja tahunan keluarga kerajaan jumlahnya sama besar dengan nilai bantuan yang diberikan pada rakyat kota selatan. Ia sebagai bangsawan terlalu terbiasa dengan kemewahan dan ini sungguh memalukan. Ketika rakyat hampir tidak bisa makan, para bangsawan tetap bisa berpesta. Mungkinkah ia bisa meminta pada kaisar untuk mengurangi belanja domestik istana untuk membantu perbaikan kota selatan?

ia tak bisa membayangkan apa jadinya bila Yamanaka Ino tidak membantu, tapi ia tak bisa mempercayai gadis itu begitu saja. Penjelasan yang diutarakan begitu absurd dan di luar nalar. Pikiran Itachi tak bisa mencerna. Apa lagi Ino berkata adiknya akan akan menjadi sumber malapetaka. Ia tak pernah percaya ramalan.

Ia menemukan Ino membantu membagikan makanan. Itachi tersenyum melihatnya. Nona-nona keluarga bangsawan lain pasti enggan untuk berkutat di tempat seperti ini, tapi Ino tak merasa janggal, jijik atau risih. Menyamarkan dirinya sebagai kerabat jauh keluarga Yamanaka ia mengawasi pembagian logistik dengan baik.

"Apa kau tak akan kembali ke Ibu kota? Ayahmu mungkin sangat resah." Itachi bertanya pada Ino.

"Hamba berkata akan menghabiskan dua minggu untuk berdoa di kuil, jadi besok hamba akan pergi."

"Ayahmu tak tahu kau melakukan semua ini?"

Ino menggelengkan kepala.

"Lalu darimana kau mendapatkan uang?"

"Hamba menggunakan mas kawin yang seharusnya hamba bawa saat menikah."

"Bagaimana aku bisa menggantinya. Kas kerajaan sedang kosong."

"Tolong kabulkanlah permintaan hamba."

"Apa yang kau inginkan?"

"Pertama, Jangan sampai keterlibatan hamba diketahui."

"Lupakan saja. Aku tak mungkin merahasiakan hal ini, setiba di istana aku harus melaporkan apa yang terjadi dan melakulan investigasi. Pikirkan baik-baik Ino, aku akan meminta ayahanda memberikan hadiah atas jasamu."

Ino mengigit bibirnya, Ayahnya pasti akan marah jika beliau tahu dan Sasuke akan curiga. Bagaimana reaksi Sasuke bila ia tahu yang menggagalkan rencananya adalah Ino? Dia tentu tak bisa berpura-pura bodoh.

"Baiklah, Hamba tahu hal seperti ini tidak bisa disembunyikan."

"Ada lagi yang kau inginkan?"

Ino menatap sang pangeran dengan serius. "Jika keputusan resmi tentang pernikahan hamba telah turun, Hamba mohon pada pangeran untuk tidak mencoba menolaknya."

"Mengapa Ino? Kau tahu perasaan Sasuke padamu."

"Jika pangeran Sasuke memang mendukung anda. Beliau pasti tak keberatan dengan keputusan Kaisar. Apa dia akan menuntut anda untuk bersitegang dengan Baginda demi kepentingannya?"

"Ino. Apa kau sedang mempermainkan Sasuke padahal dia benar-benar mengharapkanmu?"

"Pangeran Itachi, Ketertarikan bahkan ucapan cinta bisa dipalsukan. Mengapa anda berpikir perasaan pangeran Sasuke padaku tulus? Ayah hamba seorang perdana mentri yang memegang posisi penting, tentu posisi pangeran Sasuke akan semakin kuat dengan sokongan Yamanaka. Andaikata hamba menikah dengannya dan pangeran Sasuke memutuskan memberontak hamba tentu harus mendukung suami hamba. Keputusan kaisar untuk menikahkan hamba dengan putra mahkota sudah benar."

"Kau, Ayahku,Para pejabat semua berpikiran sama selalu menyudutkan Sasuke padahal ia tak pernah melakukan hal berpotensi melemahkan negara ini. Dia telah bekerja keras."

"dan apakah anda berpikir pria yang telah berjuang dan bekerja dengan demikian keras rela selamanya menjadi bayangan anda?"

"Aku tak pernah berpikir kalau aku lebih baik dari Sasuke dan ketika aku menjadi kaisar aku akan memberikan penghargaan yang pantas."

"Anda naif bila berpikir hal seperti itu akan membuat adik anda puas. Jika anda merasa tidak lebih baik dari pangeran Sasuke, Apa artinya anda setuju Sasuke akan menjadi Kaisar yang lebih baik. Kalau memang demikan anda bisa mundur dari posisi putra mahkota, tapi jangan harap pangeran Sasuke akan membiarkan anda hidup dengan damai."

"Jadi apa yang harus aku lakukan? Kau ingin aku mencurigai Sasuke atas hal yang belum dia lakukan? Belum tentu apa yang telah kau alami terulang lagi. Aku tak bisa menaruh prasangka pada adikku sendiri."

"Anda tak percaya kata-kata hamba, sepertinya anda lupa kalau sejarah Uchiha dipenuhi darah dan pertikaian. Bukankah kakek anda membunuh saudaranya? Bukankah ayah anda menghukum mati saudaranya, Mengapa anda berpikir jalan hidup anda akan berbeda? Takdir tak mengizinkan keberadaan dua Uchiha. Untuk menjadi lebih kuat satu harus mengalahkan yang lainnya."

"Aku tidak lupa, karena itu aku ingin merubah tradisi ini. Aku tak akan menumpahkan darah adikku."

"Hal itu hanya bisa terjadi jika anda dan pangeran Sasuke punya pandangan yang sama. Hamba paham jika pangeran tak ingin percaya, tapi dengarkan saran hamba. ujilah kesetiaan pangeran Sasuke."

"Dengan cara apa?"

"Anda hanya perlu pura-pura tidak tahu dengan apa yang saya ucapkan dan biarkan hamba melakukan permainan hamba."

"Apa tujuanmu yang sebenarnya, Nona Yamanaka?"

"Menghindari kehidupan yang mengenaskan, sebab itu hamba butuh kerja sama pangeran. Jika pengeran Itachi mati maka nasibku juga akan sama saja. Jadi biarkan hamba untuk sementara di sisi anda dan jika anda masih percaya pangeran Sasuke tak akan berkhianat anda sebagai kaisar anda bisa menyerahkan hamba padanya."

"Baiklah aku setuju. Jika dalam lima tahun pemerintahanku tak ada bukti Sasuke akan memberontak maka aku akan menyerahkanmu padanya." Menurut Itachi hal ini masuk akal, Dia tak perlu menentang ayahnya dan ia juga tak perlu merasa bersalah pada Sasuke. Hubungannya dengan Ino Yamanaka hanya sementara.

"…tapi berjanjilah pada hamba, Pangeran tak akan memberitahu siapa-siapa tentang kesepakatan ini. Apalagi pangeran Sasuke."

"Permintaanmu sungguh memberatkan, Bagaimana jika adikku salah paham dan berprasangka buruk padaku?"

"Itu artinya pangeran Sasuke tak menghormati anda dan tak mengerti anda juga telah berbuat banyak untuknya."

.

.

Di dalam tenda Sasuke membakar surat -suratnya setelah semuanya ia baca. Ia tidak sendirian, seorang pria bertopeng dan berbaju hitam yang membawakannya informasi itu masih berdiri menanti perintah. Sakura dalam suratnya memberitahu kalau Ino pergi ke kuil, tapi mata-mata nya berkata Ino tak ada di sana. Berita lainnya menyebut misi Itachi berhasil digagalkan tetapi warga selatan tetap mendapatkan bantuan. Ia mendengar saudagar dari Suna dan perdana menteri memberikan donasi. Kalau seperti ini tak ada yang bisa menghujat Itachi apalagi tersiar kabar meski terluka dia tetap mengunjungi kota selatan, menunjukkan perhatiannya pada warga.

Yang membuat Sasuke resah adalah fakta saudagar Suna dan Klan Yamanaka membuat donasi. Apa ini berarti Klan Sabaku dan Yamanaka berkualisi? Apa yang diinginkan klan Sabaku ikut campur tanggan? Apa rencananya bocor? Kalau memang ada yang tahu, seharusnya Itachi membuat persiapan lebih baik, tapi kenyataannya dia terluka cukup parah.

"Apa lagi yang harus hamba lakukan pangeran? Kita gagal membunuh pangeran Itachi."

"Aku tak pernah memerintahkan untuk membunuh Itachi. Kau bertindak sendirian."

"…tapi, "

"Kau menyulitkan aku." Dari kursinya Sasuke melemparkan belati dengan cepat dan tepat tertancap di jantung. Lelaki yang selama ini menjadi sumber informasi dan menjalankan perintahnya mengerang lalu rubuh. Mengabaikan fakta pria itu mengabdi cukup lama padanya. Menurut Sasuke, Dia yang tahu terlalu banyak harus dilenyapkan sebelum menjelma menjadi masalah.

Mendengar ada suara dari tenda pimpinan mereka dua orang prajurit yang berjaga segera masuk ke dalam. Mereka menemukan tubuh asing tergeletak.

Sasuke dengan santai berkata. "Aku baru saja membunuh penyusup. Tolong singkirkan mayatnya."

"Baik jenderal." Ucap prajurit itu dengan patuh kemudian menyeret mayatnya ke luar.

Membunuh adalah perkara mudah. Dia harus menghapus jejak keterlibatannya dari kelompok yang didirikan Danzo agar tidak terdeteksi dan sekarang sepertinya dia harus kembali ke Ibu kota karena ia merasa janggal dengan sikap Ino Yamanaka. Mengapa diam-diam Ino menemui Itachi ketika gadis itu berkata menyukainya. Bukankah seharusnya gadis itu terlalu polos untuk mempermainkan orang lain.

Oh, Kali ini dia harus menghasut Izumi. Meski kakak iparnya itu terkenal kalem dan pendiam, Wanita mana yang bisa selamanya berdiam diri ketika suaminya mengalihkan perhatian pada wanita lain. Dia tak berniat membuat hidup Itachi tenang.