Dance of The Flower
Chapter 09
"Hati...hati! Letakkan di sebelah sana." Shion memberi perintah pada kasim-kasim yang sibuk mengangkat barang-barang Ino dari kereta. Satu per satu perabotan berharga milik keluarga Yamanaka di bawa ke dalam bangunan yang terbuat dari marmer. Berbeda dari bangunan lainnya, tiang-tiang kayu, jendela dan daun pintu semua berwarna biru safir dan juga turqoise. Konon bangunan ini terinspirasi dari arsitektur dunia jauh. Mungkin Kaisar menghadiahkan tempat ini karena Ino memiliki warna mata yang sama dengan ukiran-ukiran yang menghiasi langit-langitnya.
Paviliun Permata dipenuhi dengan berbagai kesibukan. Pelayan wanita menata guci-guci berharga di rak dan membersihkan perabotan untuk calon anggota kerajaan yang baru. Mereka berniat bekerja dengan giat untuk melayani majikan mereka.
Gadis-gadis ini berasal dari Ibu kota, mereka sudah dilatih untuk melayani wanita-wanita istana. Mereka merasa beruntung karena bisa melayani Nona Ino Yamanaka. Mungkin nona Ino hanya akan menjadi seorang selir, tapi tetap saja dia adalah wanita penting ke tiga di kerajaan ini.
Memiliki majikan dengan status tinggi. Derajat para pelayan juga akan terangkat. Mereka hanya berharap sang Nona tidak memiliki sifat seperti permaisuri. Di luar istana Permaisuri Mikoto tampak lemah lembut, tetapi cukup kejam pada pelayan. Seorang pelayan istana permaisuri dipotong tangannya hanya karena tanpa sengaja memecahkan guci pemerah pipi. Bekerja di istana membanggakan, tapi juga sulit. Bila mereka membuat majikan tak senang, hukuman sudah pasti diterima tanpa memandang adil atau tidak.
Ino menggantung lukisan yang merupakan milik mendiang ibunya di dinding. Mulai hari ini dia akan tinggal di istana. Ia sedih harus berpisah dari ayahnya, tapi mereka masih bisa bertemu. Ia tak menerima larangan untuk keluar dari istana, meski demikian tetap saja ia tak bisa pergi sembarangan.
Shion menepuk tangan dengan puas. "Tempat ini tidak buruk sama sekali, Nona. Di kebun ada pohon sakura yang terlihat tua. Kita bisa menikmati bunganya di musim semi nanti. Hamba senang sekali. Sekarang Nona menjadi seorang putri."
"Ah, Shion. Bukannya kediaman Yamanaka jauh lebih luas dan Indah."
"Nona, Apa kau tak senang? Hamba tahu Nona menyukai pangeran Sasuke, tapi Pangeran Itachi juga tak kalah tampan. Hamba yakin beliau akan menyukai anda."
"Shion, Kenapa aku harus senang? Apa kau tak merasa istana seperti penjara? sekalinya kita menginjakkan kaki, kita tak akan bisa keluar lagi kecuali menjadi mayat."
"Ay..Nona, Ini hari baik. Jangan berkata buruk."
"Kalau sudah selesai dengan pekerjaanmu , gosokan aku tinta. Aku ingin mengundang guru."
"Bukankah anda perlu izin Kaisar untuk mengundang seseorang ke dalam istana? Bagaimana dengan Sai? Mereka tak mengizinkan anda membawa pengawal."
"Karena itu aku butuh bicara dengan putra mahkota."
Dari pintu yang terbuka muncul orang yang Ino sebut namanya. Pangeran Itachi datang sendirian.
"Apa kau memanggil namaku?"
Ino memalingkan wajah ke arah suara itu dan tersenyum. "Kebetulan sekali Anda datang."
"Apa kau menyukai tempat ini?"
"Hadiah dari Kaisar berlebihan."
"Sama sekali tidak, Kau pantas mendapatkannya. Tempat ini juga sangat dekat dengan kediamanku. Apakah kau mau ikut denganku? Ada yang ingin aku tunjukkan padamu."
"Hamba tak punya hati untuk menolak permintaan pangeran." Ino pun melangkah keluar dari rumah barunya ditemani Shion dan Itachi.
Sebuah tandu menanti Ino di depan gerbang. Alis pirangnya tertarik ke atas dengan tanda tanya.
"Apa kita akan keluar istana?"
"Tidak, Aku khawatir kau akan lelah berjalan cukup jauh."
"Hamba jadi penasaran, apa yang ingin pangeran tunjukkan."
"Aku harap kau akan menyukainya."
Ino menaiki tandu dan Pangeran Itachi berkuda dengan pelan. Ino merasa harus menanyakan satu atau dua hal pada sang putra mahkota. Tandu bergoyang dengan pelan. Ino sebenarnya lebih suka bepergian dengan kereta, tapi kereta di dalam areal istana tak diperkenankan.
Akhirnya tandu berhenti dan Ino lega sebab ia merasa kasihan pada empat kasim yang harus memanggul berat tubuhnya. Ia keluar di bantu Shion.
Ia mengingat tempat ini dengan baik, malah sepanjang hidupnya di istana Ino selalu menghabiskan waktunya menyendiri di sini. Sebuah kolam yang sangat luas hampir menyerupai danau. Permukaannya berwarna biru karena dipenuhi oleh bunga teratai dengan warna yang sama. Sungguh indah. Ia melihat sebuah sampan kecil bersandar di tepian dermaga.
"Tempat ini indah bukan?"
Ino mengangguk setuju.
"Tak ada Uchiha yang berani menginjakkan kaki di tempat ini, konon danau ini dibuat oleh Tobirama Senju dan sebelum kematiannya di tempat ini ia mengutuk semua Uchiha yang berani menapakkan kakinya di kolam ini akan menemui ajal di tangan saudara mereka sendiri. Kau sendiri tahu Tobirama yang terdesak memilih mati ditangan sendiri daripada tertusuk pedang Madara."
"Sudah tahu tempat ini dikutuk, Mengapa Anda tetap datang kemari?"
"Aku tak percaya kutukan dan tempat ini terlalu indah untuk dilewatkan. Aku berpikir apa yang terjadi pada klan Uchiha bukanlah pengaruh dari kutukan Tobirama. Itu karena sifat kami yang haus kekuasaan dan ambisius. Aku membawamu ke mari untuk mengajakmu bersampan. Apa kau pernah naik perahu sebelumnya?"
Ino menggeleng "Tidak pernah, Hamba tidak bisa berenang. Pangeran."
Ino mengamati air yang beriak dengan khawatir tatapan nya jatuh pada satu-satunya perahu yang ada di situ "...dan menurut hamba perahunya terlalu kecil."
"Kau akan aman bersamaku." Ia berjalan ke arah dermaga, mengangkat ujung jubah yang ia kenakan agar bisa melompat ke atas sampan dengan mudah. Itachi kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Ino.
Ino ragu melihat sampan itu bergoyang-goyang tidak seimbang. Bagaimana kalau mereka jatuh?
Itachi hanya tersenyum kecil. "Ayolah, Raih tanganku."
Ino menurut saja, Ia mengulurkan tangan dan Itachi menggenggamnya. Merasa lebih aman Ino pun meletakkan satu kaki di sampan yang mulai bergoyang akibat berat tubuhnya.
"Ini menakutkan, perahunya bergoyang-goyang!" protes gadis pirang itu.
"Jangan bergerak sembarangan, Nanti kita bisa jatuh."
Mendengar peringatan Itachi, Ino semakin ciut nyalinya. Kali ini dengan hati-hati menyeret sebelah kaki dan membiarkan berat tubuhnya disangga sang pangeran. Ino praktis memeluk putra mahkota. Begitu merasa seimbang ia cepat-cepat duduk bergelung seperti bola, melipat kaki di kursi yang tersedia.
Itachi tersenyum geli melihat tingkah Ino. Ia melepas tali yang menambatkan perahu itu dan mulai mendayung ke tengah danau.
"Aku pikir kau tak takut pada apa pun."
"Siapa bilang, Hamba takut pada banyak hal. Ular, Serangga dan tenggelam." Ino melihat tepian danau yang semakin jauh. "Pangeran, Apa anda membawa hamba kemari hanya untuk mengagumi bunga teratai?"
"Hm.. tentu saja tidak. Di tengah danau seperti ini tak akan ada yang menguping pembicaraan kita."
"Anda tak mempercayai orang-orang di sekitar anda?"
"Semenjak penyerangan itu, aku jadi lebih hati-hati. Tadi aku mendengar kau berniat meminta bantuanku. Apa yang kau inginkan?"
"Hamba tak diizinkan membawa pengawal hamba ke istana. Mungkin pangeran bisa melakukan sesuatu?"
Itachi berhenti mendayung dan membiarkan perahu mereka terapung-apung. "Lelaki yang membantuku waktu itu?"
Ino mengangguk.
"Istana tak memperkenankan keberadaan lelaki di kediaman putri ataupun selir. Aku bisa membantunya masuk istana asal pengawalmu setuju menjadi kasim."
Mata Ino terbelalak. "Kasim?, Hamba tak ingin Sai dikebiri. Meski Sai adalah pengawal pribadi hamba. Hamba ingin dia hidup dengan normal, dengan tubuh yang utuh."
"Aku tak meminta dia untuk dikebiri. Dia bisa berpura-pura menjadi kasim dan agar permaisuri tak curiga, Aku akan memberitahu dia berasal dari istanaku."
"Pangeran, Siapa yang memilihkan pelayan-pelayan untukku?"
"Tentu saja permaisuri. Semua hal dalam istana adalah wewenang beliau."
"Apa ini berarti para pelayan di paviliun permata setia pada permaisuri?"
"Mengapa kau bertanya hal seperti ini?"
"Hamba khawatir permaisuri akan menggunakan pelayan-pelayan itu untuk memata-matai hamba."
"Ino, Ibuku tak akan mengganggumu selama kau menuruti arahan beliau. Apa kau punya hal yang ingin dirahasiakan dari permaisuri?"
"Pangeran Itachi, Saat ini hamba perlu mendekati adik anda agar mendapat informasi, bagaimana bila permaisuri mendengar hamba bertemu dengan pangeran Sasuke? Bukankah beliau akan curiga? Hamba juga perlu bepergian ke luar istana untuk bertemu seseorang dan hamba akan perlu izin untuk melakukannya."
"Ino, Sejak ayahanda jatuh sakit apa yang terjadi di istana memang berada di bawah kendaliku, tapi aku tak bisa mengeluarkan izin bagimu jika aku masih menjadi putra mahkota. Jika kau ingin keluar kau harus minta izin dari permaisuri."
"Jadi aku harus bagaimana? Orang yang aku temui adalah orang yang sangat penting."
"Siapa?"
"Nyonya Katsuyu. Anda mengenalnya bukan?"
"Mengapa wanita pemilik kedai teh itu penting bagimu?"
"Dia mengumpulkan informasi untukku."
"Ah, Begitu. Apa mustahil untuk melakukan kontak dengan surat rahasia?"
"Bagaimana bila surat-surat hamba jatuh pada orang lain dalam istana? Bukankah itu bisa jadi bencana untuk kita? Hamba lebih memilih bertukar informasi di luar tembok ini."
"Aku akan mencoba merayu ibunda. Ku rasa bila kau pergi menemaniku ibunda tak akan keberatan."
"Baiklah, Itu bukan ide yang buruk, lagi pula pangeran Sasuke menginginkan hamba dekat dengan anda."
"Biar ku tebak, Sasuke ingin menggunakanmu untuk mencari kelemahanku."
"Tentu saja, Coba anda pikir. Bila dia benar-benar mencintai saya. Apakah dia akan rela membiarkan saya mengorbankan tubuh dan harga diri saya untuk lelaki lain? Pangeran Sasuke adalah seorang pembohong."
"Dan kau adalah wanita lugu yang terjebak kata-kata manisnya. Aku sedih untukmu. Kenaifan seseorang tidak untuk dimanfaatkan."
"Anda berpikir begitu karena anda bukan oportunis, tapi anda perlu sedikit dosis kekejian untuk jadi pemimpin."
"Ada satu hal yang cukup lama aku ingin tahu. Kau tak pernah bercerita bagaimana aku mati. Apakah aku mati dalam pertempuran? Apakah Sasuke menebasku dengan pedangnya?"
Ino menggeleng. "Hamba lah yang meracuni anda." Ujar gadis pirang itu dengan pelan. "Apa anda akan membenciku."
Ekspresi wajah sang putra mahkota menjadi serius dan suram. "Sepertinya aku juga mempercayaimu di masa silam dan kau mengkhianatiku?"
"Anda mempercayai semua orang, tapi kali ini segalanya berbeda, Hamba berada dipihak yang benar."
"Aku harap kematianku bukanlah takdir yang tak bisa diubah."
"Dengan cuaca yang begini indah sebaiknya kita tak membahas tentang kematian. Waktu yang berbalik arah untuk hamba bukanya tanpa alasan. Hamba yakin dewa ingin menulis kisah yang lain untuk kita."
"Sepertinya begitu dan kau juga sudah menjelma menjadi dewi penolongku."
Angin yang cukup kencang berembus menimbulkan riak yang cukup kencang dari telaga yang tadinya sangat tenang. Sampan pun mulai sedikit bergoyang lagi.
"Bisakah kita kembali ke tepian? Hamba lebih suka mengamati keindahan ini dari tempat yang aman."
"Kau merasa tak aman bersamaku?" balas Itachi bercanda.
"Jika hamba jatuh, apa anda akan menolong hamba?"
"Aku berhutang nyawa padamu, Ino. Selama aku masih hidup aku akan selalu membantumu. Kau melindungiku dan aku juga akan melindungimu."
Dahi Ino berkerut dalam. Ia teringat Sasuke mengatakan hal yang sama.
"Mengapa kau membuat wajah seperti itu Ino? Sepertinya kau tak menyukai ucapanku."
"Pangeran tak perlu menjanjikan apa pun pada hamba. Lidah tak bertulang, ucapan tak dapat dipegang. Selama Anda tak berusaha merintangi usaha hamba, itu sudah cukup."
Itachi menarik nafas panjang. "Kau juga tak mempercayai siapa pun?"
"Jika hidup Anda penuh kebohongan Anda pun tak akan mudah mempercayai seseorang."
"Selalu hidup dalam kecurigaan akan membuatmu kesepian, apa kau tahu itu? Kita semua membutuhkan seseorang untuk bersandar."
"Hamba lebih memilih menelan pahitnya rasa sepi daripada merasakan sakit hati. Anda tak perlu membebani diri anda dengan memikirkan hamba. Lagi pula untuk apa hamba membuka hati, sebentar lagi hamba akan menjadi pengantin pangeran. Akan jadi masalah bila hamba jatuh cinta."
"Kau terlalu muda untuk merasa pahit."
Ino tertawa, "Hamba hidup dua kali, Secara mental hamba lebih tua dari pangeran."
"Kalau begitu haruskah aku memanggilmu bibi." Ujar Itachi yang berusaha membuat suasana lebih ringan.
Ino tersenyum. "Hamba tak pernah tahu, Pangeran memiliki selera humor."
"Banyak hal yang tak kau belum tahu tentang diriku. Sebenarnya aku mengajakmu bicara empat mata karena aku butuh bantuanmu."
"Bantuan?"
"Danzo tak melakukan pekerjaannya dengan baik. Sampai saat ini pun ia tak menemukan siapa pelaku penyeranganku. Aku ingin menemukan mereka."
"Hamba tak punya informasi tentang siapa orang-orang itu, tapi hamba tahu bantuan pangan yang mereka rampas berakhir di gudang seorang saudagar di kota timur."
"Aku akan memeriksanya. Wilayah timur berbatasan langsung dengan Otogakure dan juga dalam pengawasan klan Otsutsuki. Apa kau pikir mereka merencanakan pembunuhanku untuk membantu Sasuke?"
"Hamba berpendapat seseorang ingin menjadikan klan Otsutsuki sebagai kambing hitam. Jika pelakunya klan Otsutsuki sendiri bukankah bodoh membawa barang bukti ke wilayahnya sendiri? Adik anda menolak dukungan klan Otsutsuki bukan berarti itu adalah kenyataannya. Pangeran Sasuke sadar Toneri Otsutsuki hanya ingin menggunakannya sebagai boneka. Bila Toneri dituduh memberontak dan dihukum apa yang terjadi?"
"Sasuke akan mengambil alih kekuatan Otsutsuki di timur karena dia adalah satu-satunya pewaris Otsutsuki. Pasukan Susano, Apakah itu yang Sasuke inginkan?"
"Benar, Bukankah semua kebetulan ini menguntungkan posisi Pangeran Sasuke? Dia akan menjadi orang yang menguasai kekuatan militer di timur. Pasukan Susano dan Amaterasu akan bertempur di bawah kendalinya."
"Kalau begini bukankah lebih baik aku memperingatkan Toneri? "
Ino menggelengkan kepala. "Klan Otsutsuki adalah musuh anda juga. Anda lebih baik ikuti rencana Sasuke, tapi untuk mengimbangi kekuatan adik anda. Anda harus memastikan Jendral barat mendukung anda."
"Sabaku Gaara? Bagaimana aku bisa membuatnya peduli dengan urusan Kerajaan?"
"Pangeran Itachi, sepenting apa wilayah barat bagi Negeri Konoha? Kita tak mendapatkan wilayah barat karena invasi. Klan Sabaku kala itu membutuhkan bantuan dari Konoha untuk memisahkan diri dari kerajaan Suna sebab itu mereka setuju membayarkan pajak dan upeti pada kerajaan Konoha. Jika Anda bisa menawarkan sesuatu yang menguntungkan klan Sabaku hamba pikir mereka tak akan menolak untuk meminjamkan kekuatannya."
"Maksudmu Aku harus melepaskan wilayah barat dan memberikan mereka kedaulatannya sendiri? Apa ini yang Jendral Gaara inginkan?"
"Hamba tidak tahu pasti, tapi dari ucapan Temari hamba merasa mereka tak puas dengan pengaturan ini."
"Kalau begitu aku akan berbicara dengan jendral Gaara."
"Putra mahkota, sepertinya tak ada hal rahasia yang perlu kita bahas lagi. Bisakah anda mulai mendayung ke tepian?"
"Baiklah, Aku tak ingin membuatmu resah lebih lama."
Kembali ke daratan, Ino tak menduga akan di sambut dengan sebuah meja penuh makanan. Dari bebek panggang, hingga kudapan manis tersedia. Hidangannya terlalu banyak untuk dinikmati oleh dua orang. Makan siang dipinggir danau secara pribadi bersama putra mahkota. Ino tak pernah membayangkannya.
Ketika Ino menjadi permaisuri hari-hari nya begitu sepi. Setelah Sasuke mendapatkan Takhta ia dipinggirkan begitu saja. Tak satu kali pun mereka pernah makan bersama. Lelaki itu hanya muncul sesekali di malam hari untuk melampiaskan nafsunya dan Ino menyambutnya dengan bahagia meski ketika ia terbangun tubuhnya akan dipenuhi lebam dan rasa nyeri.
"Apa ini pangeran?"
"Sambutan dariku. Aku tahu kau memasuki istana bukan karena kemauanmu sendiri dan barangkali tempat ini bukanlah tempat yang kau impikan untuk menjalani hidupmu. Aku berharap sedikit keramahan ini cukup untuk membuatmu senang. Aku akan berusaha membuatmu cukup nyaman berada di sini. Duduklah Ino."
Ino menurut dan memang perutnya terasa lapar. Mereka kembali bercengkerama membahas hal-hal ringan yang tak akan menjadi masalah bila didengar oleh para pelayan yang berada di sekitar mereka. Shion tampak senang melihat Nonanya akrab dengan putra mahkota. Jika putra mahkota jatuh cinta pada nona, bukankah kehidupan Nona Ino di istana akan jadi lebih baik.
.
.
.
Begitu Ino kembali, Putri Izumi telah menunggu di paviliun permata. Ia menyambut Ino dengan seulas senyum ramah.
"Salam putri Izumi." Ino menekuk lutut memberi salam terlebih dahulu karena status Izumi lebih tinggi dari dirinya.
"Aku menunggumu dari tadi, Kata pelayan kau pergi berjalan-jalan."
"Benar, Hamba baru kembali dari telaga biru."
Senyum Izumi luntur begitu melihat Itachi.
"Izumi, Mengapa kau di sini?"
"Permaisuri memintaku untuk membawa Ino menghadiri acara minum teh. Aku terkejut melihatmu masih ada di istana, bukankah kau ada pertemuan dengan kepala Biro penyidikan hari ini?"
"Aku membatalkannya karena ada hal yang lebih penting."
Kalimat Itachi bagaikan sabetan pisau tak terlihat di benak sang putri. Sejak kapan bertemu dengan Ino Yamanaka lebih penting dari urusan negara? Meski begitu air muka Izumi tetap datar menyadari Ia tak berhak mengatur putra mahkota untuk ke mana dan bertemu siapa.
"Kalau begitu apakah kau mau bergabung dengan kami untuk minum teh?" tanya Izumi pada suaminya.
"Maaf, Aku harus pergi mengurus hal lain. Kalian nikmati saja acara minum teh bersama ibunda."
Awalnya Itachi berencana minum teh bersama Ino, lalu pergi untuk menyuruh orangnya melakukan pemeriksaan ke wilayah timur tanpa melibatkan Danzo. Melihat Izumi ada di sini ia pun mengurungkan niatnya.
Ia sengaja pergi dan berharap tanpa kehadirannya ke dua wanita itu bisa akrab. Seharusnya tak akan ada masalah di antara mereka. Izumi wanita yang selalu berkepala dingin dan Ino memiliki etika yang baik. Mereka juga menyukai seni musik. Melihat keduanya saling menyapa dia merasa tak ada rasa canggung antara istri dan calon selirnya. Malah dia sendiri sebagai lelaki yang merasa tak enak hati.
Dalam hati ia selalu berpikir, Jika patriotisme seorang prajurit diukur dari kesetiaannya pada kerajaan dan Budi luhur seorang putra diukur dari kesetiaannya pada orang tua. Mengapa seorang pria diizinkan untuk tidak setia pada istrinya? Jujur saja, ia sendiri merasa tak perlu dilayani oleh puluhan wanita, tapi ia diharapkan untuk menjalani tradisi istana. Barangkali jika ia menjadi Kaisar ia bisa membuat keputusan untuk mengubah kebiasaan ini.
Mungkin ia tak bisa menghapus tradisi poligami sepenuhnya karena memiliki banyak istri berasal dari keinginan para lelaki itu sendiri, tapi ia tak mau dan tak ingin memenuhi istana dengan wanita-wanita yang setiap hari akan meratapi nasib karena ia tak bisa memberikan mereka cinta yang diharapkan dan perhatian.
Izumi sudah menjadi contoh nyata dari ketidakmampuan nya dalam memahami wanita. Meski ia merasa usahanya sudah cukup dan Izumi juga tak pernah mengeluh dia tahu bahwa wanita itu tak sepenuhnya bahagia dan dia bersyukur pernikahannya dengan Ino sebatas formalitas. Gadis itu tak mengharapkan apa pun darinya.
Sebagai seorang lelaki dengan kedudukan tertinggi yang dia bisa tawarkan tak lebih dari status dan kehidupan nyaman tanpa kekurangan di dalam istana. Meminta lebih dari itu ia tak akan pernah sanggup memenuhinya.
.
.
.
Setelah putra mahkota pergi, Ino dan Izumi bergegas menuju istana permaisuri. Mereka berjalan beriringan. Seorang kasim memayungi mereka dari teriknya matahari.
"Apa pangeran Itachi yang membawamu ke telaga biru?"
"Benar, beliau mengajak saya berperahu."
"Aku tak paham mengapa pangeran membawamu ke tempat yang terkutuk."
"Saya rasa karena tempat itu sangat indah. Pangeran berkata tak percaya pada kutukan."
"Ayahku pun tak percaya. Suatu hari ia memutuskan berenang di sana dan tak lama ia mati di tiang gantungan. Pangeran Itachi telah diserang satu kali. Aku jadi mengkhawatirkan beliau."
"Putri Izumi, Jangan khawatir. Putra mahkota akan berumur panjang."
"Aku juga berharap begitu. Aku tak bisa membayangkan hari ku tanpa Itachi. Dia adalah matahariku."
Ino tahu sekali betapa dalam cinta Izumi bagi putra mahkota. Wanita itu langsung memilih bunuh diri ketika suaminya tiada. Ino merasa sangat kejam memperalat Izumi yang menginginkan kebahagiaan untuk suaminya. Memanfaatkan kerinduan dan kegundahan Izumi untuk mendapatkan seorang anak, Ino melabeli racun sebagai obat.
"Putra mahkota adalah pria yang baik, tadi beliau berkunjung untuk menyambut saya hanya karena merasa kasihan pada saya yang harus meninggalkan rumah untuk melayani beliau. Sebenarnya amat sulit bagi saya untuk pindah ke mari. Begitu banyak yang harus saya ubah dan tinggalkan."
"Dia memang begitu baik. Dari kecil dia suka memungut hewan liar di jalan. Meski Kaisar memerintahkan untuk tidak bicara dengan Sasuke, Itachi diam-diam menyelinap menemui adiknya dan aku juga merasa dia menyayangiku hanya karena aku kehilangan segalanya."
"Saya tahu hubungan kalian begitu harmonis."
Izumi menatap Ino seolah memberi peringatan. "Ino, tak ada wanita yang lebih memahami putra mahkota dari pada aku."
Ino hanya tersenyum. "Semoga putri Izumi berkenan mengajar saya tentang bagaimana cara memahami yang mulia, sebab tak lama lagi kita harus membagi tugas untuk melayani beliau."
"Tentu saja Ino, Sebagai selir kau berada di bawah naunganku dan setiap hari wajib memberi salam padaku dan permaisuri."
"Hamba mengerti."
"..dan jaga sikap serta bicaramu di depan permaisuri. Bibi bukan wanita pemaaf dan jika beliau tak suka padamu, bahkan pangeran Itachi pun tak bisa menolong."
"Putri Izumi, Saya tak berniat mencari masalah dengan siapa pun."
"Jika tak ingin diusik, sebaiknya tetap merendah. Begitulah peraturan tak tertulis di istana."
"Merendah tentu tak berlaku bagi Putri Izumi."
"Tentu saja, Bagaimana pun aku adalah wanita yang akan menjadi permaisuri." Izumi menegaskan statusnya kepada Ino dan berharap gadis itu tak berani melakukan hal yang aneh-aneh. Ia mengingatkan pentingnya menghargai hierarki yang telah ada di istana.
"Ino akan selalu menghormati putri Izumi."
Mereka tiba di tempat permaisuri dan Ino seketika merasa tak nyaman. Ia teringat ketika ia menjadi istri Sasuke wanita itu selalu mencoba menghinanya, tapi waktu itu dia lemah dan hanya bisa menundukkan kepala, sementara Sasuke juga tak membela Ino yang disudutkan. Kebencian permaisuri Mikoto pada dirinya tak beralasan, tapi Ino tak pernah sanggup untuk membunuh wanita itu.
Setelah Sasuke naik tahkta, Dia berniat membunuh Mikoto juga. Saat itu Ino yang merasa amat bersalah setelah kematian Izumi dan Itachi berlutut dan memohon agar nyawa Mikoto disisihkan. Akhirnya Sasuke memerintahkan sang Ibu tiri tinggal di kuil menjadi biarawati dan mencabut semua gelar dan statusnya.
Ketika ia menjadi permaisuri Ino akhirnya memahami perilaku Mikoto. Kekejaman diperlukan dalam istana. Dia yang polos hanya menjadi permaisuri boneka yang bahkan dirundung oleh selir macam Sakura dan para pelayan.
Ino bertatap muka dengan permaisuri yang duduk dengan santai dalam balutan jubah satin merah bersulam burung phoneix berekor sembilan.
"Hamba memberi salam pada permaisuri. Semoga permaisuri panjang umur." Ucap Ino dan Izumi dengan kompak.
"Ino duduklah, Izumi tuangkan teh untukku."
"Terima kasih sudah mengundang hamba untuk minum teh permaisuri." Ujar Ino dengan sopan.
"Bagaimana dengan tempat tinggal baru mu?"
"Luar biasa. Hamba menyukainya. Para pelayan sangat cekatan dan juga rajin bekerja."
"Aku memilihkan orang-orang terbaik untukmu. Jika kau tak merasa nyaman, bagaimana kau bisa melayani putraku dengan tenang."
Izumi meletakkan tiga cangkir porselen di atas meja dan menuangkan teh osmanthus.
"Izumi, Kau sebagai istri pertama harus menjelaskan semua peraturan di istana pada Ino." Lanjut permaisuri Mikoto sembari menghirup aroma teh nya.
"Hamba mengerti tugas hamba, Permaisuri."
"Maaf, apa pendeta telah memutuskan kapan upacara pengangkatan selir akan di laksanakan?"
"Kondisi kesehatan Kaisar mulai memburuk, tabib berkata ia tak akan bertahan melewati dua purnama. Agar tak menjadi masalah kelak, pengangkatanmu sebagai selir akan diadakan tujuh hari lagi dan aku sudah meminta Izumi mengurus persiapannya dan karena kau tak punya ibu aku yang akan mengajarkanmu apa yang perlu dilakukan setelah upacara berakhir."
"Bolehkah hamba membantu putri Izumi? Ini upacara yang diperuntukkan untuk hamba, rasanya tidak baik jika hamba berdiam diri."
"Kau bantu lah Izumi. Mungkin aku berlebihan, tapi aku berharap kalian berdua bisa memperlakukan satu sama lain seperti saudari. Tak ada kecemburuan, tak perlu ada drama lakukan tugas dan tanggung jawab kalian masing-masing. Hormati status dan wewenang kalian dan tak perlu saling melangkahi."
"Terima kasih nasihatnya permaisuri."
Pertemuan itu berlangsung cepat dan di sore hari Ino bertemu dengan penjahit istana. Izumi memilah-milah kain yang tersedia.
"Apa ada yang kau sukai?" tanya Izumi.
"Saya suka kain dengan pola bunga peony."
"Ah, Bunga peony melambangkan kebaikan hati dan keberuntungan. Sangat sesuai untukmu."
"Apa anda tidak kesal diminta mempersiapkan upacara pengangkatan ini?"
"Kesal? Ini sudah menjadi tugasku sebagai istri pertama. Bagaimana bisa aku menolak. Lagi pula mengapa aku harus marah mengurus pekerjaan kecil seperti ini."
"Seperti kata orang, Putri Izumi memang wanita yang penuh tanggung jawab dan lapang dada."
Wanita berambut hitam itu menyerahkan gulungan kain ke tangan Ino. ". Aku yakin sebanyak apa pun wanita yang akan Itachi nikahi, tak satu pun dari mereka yang akan memiliki hubungan seperti kami."
"Saya mengerti. Kalian tumbuh bersama dari kecil hingga dewasa. Menjadi teman, saudara dan suami istri. Hubungan yang begitu lama dan dalam tentunya tak akan mudah goyah. Bila putra mahkota memprioritaskan anda itu hal yang wajar."
Ino tak terdengar iri sedikit pun. Mengapa juga ia harus iri? Hubungannya dengan Itachi hanya bersifat transaksi. Ia melindungi Itachi dari Sasuke dan Itachi dengan kekuasaannya melindungi klan Yamanaka akan tetapi Ino sedikit merasa kesal. Dari tadi ia merasa putri Izumi berniat menekannya. "Putri Izumi, Anda tak perlu sering mengingatkan siapa anda dan siapa saya. Apakah anda merasa terancam akan kehadiran saya di istana ini? Atau anda khawatir saya sebagai orang baru akan memonopoli perhatian pangeran Itachi?"
Izumi meletakkan kain yang dia bawa di pangkuan Ino, "Aku sedang berusaha menjelaskan hierarki padamu. Kau harus tahu siapa yang mesti kau turuti dan dengarkan. Aku tidak sedang menakutimu, tapi di tempat ini kepala sering putus dari lehernya hanya karena sebuah rumor. Aku rasa kau sudah mengerti situasinya sebelum memasuki gerbang istana."
"Selama saya tinggal di sini saya akan berusaha untuk tidak menyinggung orang lain. Apalagi orang yang memiliki status lebih tinggi dari saya."
"Sudah ku duga kau gadis yang cerdas, Bicaralah pada tukang jahit istana. Kau putuskan sendiri apa yang kau ingin kenakan di hari pengantinmu. Aku akan pergi mengurus hal lain."
"Terima kasih sudah membantuku putri."
Setelah menyelesaikan proses pengukuran pakaian, Ino lanjut makan malam sendirian. Belum apa-apa dia merindukan ayahnya. Istana adalah tempat yang tak asing baginya, tempat yang penuh dengan memori buruk. Beruntung Paviliun permata terletak jauh dari istana dingin tempat ia mengakhiri hidupnya. Ketika ia pertama kali masuk istana sebagai istri Sasuke, Izumi menyambutnya dengan hangat. Ia akan merangkul Ino seperti saudari dan bercengkerama siang dan malam saat suami-suami mereka sibuk dengan pekerjaan. Kali ini Izumi menyambutnya dengan rasa berat hati dan sedikit permusuhan. Jika Ino menjelaskan permasalahannya dengan jujur, Mungkin kah putri Izumi akan mengerti kalau dia datang hanya untuk meminjam suami dan gelar permaisuri untuk sementara?
"Nona, Kenapa kau termenung begitu? Apa masakannya kurang enak?"
"Shion, Duduklah dan temani aku makan."
"Itu melanggar peraturan, Nona. Hamba tidak berani. Ini istana bukan kediaman Yamanaka. Hamba tak ingin dituduh bersikap lancang."
"Ayolah, Shion. Jangan bantah perintahku."
"Baik jika Nona memaksa, tapi hamba berharap perlakukan spesial anda tak akan membuat pelayan-pelayan di istana membenci hamba."
"Shion, Kau adalah pelayan pribadiku. Jika ada yang berani mengganggumu, katakan saja padaku. Aku berhak untuk menghukum orang yang bekerja di paviliun permata."
"...tapi, Mereka adalah orang-orang permaisuri."
"Shion, Permaisuri tak peduli pada pelayan. Aku majikan mereka. Bila mereka berbuat salah aku yang akan tercoreng namanya sebab itu aku punya hak untuk mendisiplinkan orang-orang yang bekerja melayaniku. Jika bisa cobalah berteman dengan mereka dan beritahu aku jika ada pelayan yang bersikap mencurigakan."
"Hamba memgerti."
"Sekarang makanlah bebek ini karena aku tak mau menghabiskannya. Aku tak ingin terlihat gendut saat upacara pengangkatanku nanti."
"Nona ini, Anda harus makan lagi. Sekarang anda terlihat seperti batang bambu ketimbang pohon wilow." Shion meletakkan lauk di mangkuk Ino. "Apa anda ingin menunjukkan tubuh yang hanya berbalut kulit dan tulang pada Pangeran Itachi? Kata ibuku malam pertama itu sangat penting. Jadi Nona harus mempersiapkannya baik-baik."
Mata Ino berkedip mendengar kalimat pelayannya. Ino menggebrak meja seakan dia baru sadar akan sesuatu yang tadi ia lewatkan.
"Shion, Aku lupa mendiskusikan sesuatu yang penting dengan putra mahkota."
.
.
.
Nyala obor menerangi ruangan penjara. Berbagai alat siksa berjejer di dinding siap digunakan untuk memaksa tawanan membuka mulutnya. Ruangan bawah tanah yang terintegrasi dalam benteng barat beraroma lembap dan darah.
Prajurit berseragam coklat kemerahan dengan tombak dan baju zirah berdiri di depan jeruji-jeruji besi yang terisi oleh kaum perusuh yang mengaku berasal dari kerajaan Suna. Tatapan ketakutan mereka terpaku pada apa yang terjadi di luar sel mereka.
Teriakan-teriakan yang mereka dengar sepanjang malam akan selamanya menghantui mereka. Begitu juga apa yang mereka lihat. Mereka menyadari betapa bodohnya mereka mencari masalah dengan klan Sabaku. Uang yang mereka terima tak sesuai dengan kenyataan mungkin sebentar lagi mereka akan meregang nyawa, tersiksa seperti pimpinan mereka.
Sosok lelaki berambut panjang terikat di kursi bersimbah darah. Tubuhnya lunglai dengan lebam, luka bakar dan jari-jari tangan serta kaki yang terpotong. Jika dilihat sesaat lelaki itu terlihat seperti mati, tapi sayup-sayup masih terdengar suara nafas.
"Lepaskan a...ku." Suara itu terdengar hanya karena di sekelilingnya begitu sunyi.
"Apa hanya itu yang kau tahu? Pejabat dari ibukota memberimu uang untuk membuat keributan dan membawa-bawa nama kerajaan Suna? Beri aku sebuah nama."
"Aku tak tahu siapa nama pejabat itu, tapi dia mengirim orang yang dijuluki ular putih. Tolong lepaskan aku tuan."
"Bagaimana aku bisa mengontak si ular putih?"
"Toko obat terbesar di Ibu kota, terkadang dia muncul di sana. Bermata gelap dan berambut putih. Aku sudah memberitahumu semua informasinya. Sekarang lepaskan aku."
Gaara masih terlihat tidak puas, tapi lega setidaknya dia menemukan petunjuk yang lebih jelas.
"Terima kasih sudah mau bicara." Ujarnya dengan sopan.
Jendral Sabaku Gaara menarik pedang dari sarungnya memenggal kepala tawanan yang sudah tidak berdaya. Kepala lelaki itu menggelinding di lantai.
Lelaki yang dia tangkap adalah pemimpin tertinggi dari kelompok separatis yang menginginkan reunifikasi wilayah barat dengan Kerajaan Suna. Mereka berkali-kali menyerang tentaranya, membuat beragam kericuhan dan menyebar propaganda anti Uchiha. Mereka benar-benar terdengar seperti kelompok yang membawa kepentingan kerajaan tetangga walau sebenarnya bukan, bahkan setelah dia selidiki lebih dalam. Orang-orang ini bukan penduduk asli wilayahnya dan tak berasal dari Suna.
Memang benar, Penduduk wilayah barat tidak peduli dengan keberadaan Klan Uchiha dan Kaisar di Ibukota. Wilayah yang terbentang dari perbukitan kapur hingga gurun pasir ini menganggap Sabaku Gaara sebagai pemimpin mereka yang sebenarnya. Seharusnya Wilayah ini menjadi Kerajaan tersendiri. Kerajaan Sunagakure Utara sebab wilayah ini memang bagian dari Kerajaan Suna di masa lalu. Sayang sekali untuk membebaskan wilayah ini dan memenangkan perang saudara mereka memerlukan campur tangan klan Uchiha Sebagai akibatnya, Wilayah ini terserap menjadi bagian dari mereka.
Meski menyandang status Otonomi. Gaara dan rakyat barat setuju mereka tak seharusnya tunduk pada perintah klan Uchiha. Pikiran untuk memerdekakan diri selalu ada, tapi bagi sang Jenderal perang melawan Uchiha hanya akan menyia-nyiakan waktu dan sumber daya yang mereka punya, Gaara tak menginginkan wilayah Konoha. Dia hanya ingin keluarga kerajaan tidak merugikan mereka lebih jauh. Klan Uchiha lama-lama berasa seperti parasit di bahu mereka.
Seminggu yang lalu ia menerima surat yang isinya cukup menarik dari putra mahkota dan juga satu surat lagi dari perdana menteri Inoichi Yamanaka. Kunjungannya ke ibukota beberapa waktu lalu tak membuahkan banyak hasil, tapi sekarang ia punya petunjuk seekor ular putih dan Ino juga secara implisit mengatakan transisi kepemimpinan Kerajaan Konoha tak akan berlangsung dengan mulus. Mungkin Konoha akan menyaksikan kembali perang Saudara. Ia tahu Sasuke sebagai Jendral timur membangun pasukan yang terkenal mematikan. Amaterasu. Sekelompok prajurit pemberani yang selalu meninggalkan abu dan nyala api di tempat pertarungannya. Prajurit yang bermula dari Kaguya Otsutsuki.
Gaara melangkah keluar dari ruang penjara. Kemudian membersihkan tangan dan pedangnya yang ternoda oleh darah. Kankuro datang menemuinya.
"Bagaimana dengan interogasinya?"
"Hanya ada satu petunjuk, Menemukan orang dengan alias ular putih. Dia lah yang menjadi penghubung antara pejabat Ibu kota dan pemberontak."
"Apa kau sudah menerima kabar Kaisar berniat menaikkan pajak lagi untuk mengisi kekosongan kas negara. Rakyat barat merasa terbebani, Mereka tak mau terus menerus membayarkan sejumlah uang pada Klan Uchiha yang bahkan tidak dihabiskan untuk kepentingan kita. Kau pasti paham mengapa kelompok separatis ini berkembang pesat. Bertahun-tahun kita membayarkan pajak dan upeti, tapi pembangunan di daerah barat tak bersumber dari kas kerajaan. Kita sebenarnya dijajah secara halus oleh klan Uchiha karena kesepakatan yang ditandatangani Madara dan leluhur kita."
"Kankuro, Aku mengerti mengapa. Rakyat barat bukannya ingin bersatu dengan kerajaan Suna lagi, tapi mereka muak. Wilayah kita yang sekarang makmur dipaksa menalangi kesalahan pengelolaan wilayah lain di Konoha. Selama ini kita selalu diam dan bersikap netral, tapi sekarang kita dalam posisi yang dirugikan. Seseorang sengaja merusak kestabilan wilayah barat. Berniat memprovokasi kita untuk berperang lagi dengan Suna yang mau tak mau akan menyeret dan melemahkan kita. Apa kau tahu, Perdana Menteri mengirimi aku surat."
"Apa yang Perdana menteri inginkan?"
"Untuk keluarga kita mengambil posisi di senat. Kenaikan pajak kali ini merupakan ide pejabat Danzo Shimura. Perdana menteri tidak dapat berbuat apa-apa karena mayoritas bangsawan setuju dan kaisar juga setuju. Perdana menteri beralasan wilayah barat adalah wilayah Konoha juga karena itu kita wajib punya seseorang yang dapat mewakili kepentingan penduduk barat."
"Apa itu berarti klan Yamanaka meminta kita berpihak pada mereka?"
"Tidak juga, Persekutuan dengan klan Yamanaka tidak mengikat. Perdana Menteri memerlukan pemain baru untuk menyeimbangkan posisi nya dengan Danzo. Kita hanya menyetujui hal-hal yang tak merugikan wilayah kita. Kankuro, Kerajaan Konoha akan menyambut era baru. Kau pasti juga tahu bagaimana kondisi Kaisar Fugaku. Aku pikir kali ini kita tidak bisa diam dan menonton saja."
"Apa kau sudah membuat keputusan? Siapa yang akan kau delegasikan untuk tinggal di Ibukota? Kita tak bisa mengandalkan Temari lagi sebab dia sudah bermarga Nara dan seorang wanita tak akan digubris di sana."
"Aku lah yang akan pergi, tapi hanya untuk sementara. Putra Mahkota secara kebetulan juga mengundangku untuk menghadiri pembicaraan pribadi. Jadi aku akan pergi secepatnya ke Ibukota. Aku penasaran, apa yang dia ingin bicarakan denganku."
"Aku pikir putra mahkota menginginkan keberpihakan kita."
"Hm.. Aku rasa begitu. Kankuro, Kau gantikan posisiku untuk sementara. Kelompok separatis telah dihancurkan seharusnya insiden akan mereda."
"Kapan kau akan berangkat? "
"Besok. Aku hanya membawa enam orang pasukan elite." Gaara menyerahkan tanda komando pasukan angin ke tangan saudaranya. "Dengan ini kau menjadi pemimpin pasukan angin. Kalau ada hal yang mencurigakan kabari aku secepatnya."
"Baiklah Gaara. Aku akan menjaga benteng ini dengan baik selama kau pergi."
"Aku percayakan wilayah barat padamu Kankuro."
.
.
.
Danzo Shimura berlutut di depan putra mahkota yang terlihat gusar. Tubuh tuanya gemetar bukan karena rasa takut tapi kemarahan. Di hadapannya pangeran Itachi membanting gulungan kebijakan yang telah dibubuhi stempel oleh kaisar.
"Mengapa para pejabat dengan berani membuat keputusan tanpa memberitahuku?"
"Pangeran, Kaisar telah menyetujuinya. Keuangan kerajaan dalam posisi genting. Jika kita tak bertindak secepatnya untuk mengisi kas negara. Semuanya akan kacau."
"Danzo, Ayahanda sedang sakit dan tidak dalam posisi membuat keputusan. Seharusnya kau mendiskusikan ini denganku dan stempel ini? Apa kau sendiri yang membubuhkannya? Saat ini ayahanda bahkan tak bisa bangkit dari ranjangnya. Apa kau ingin menggantikan kaisar dan mengabaikan posisiku?"
"Hamba tak berani pangeran Itachi, Hamba menyentuh stempel karena Yang mulia meminta."
"Danzo, Selama ini tak ada yang berani mengkritisi pekerjaanmu, bahkan perdana menteri juga tak banyak berkomentar. Kinerjamu sangat buruk. Aku mendengar dari rakyat sendiri pengaduan mereka tak pernah digubris oleh anggota keamanan. Anggota biromu melakukan pungutan liar dan menggunakan jabatan mereka untuk melakukan pemerasan dan yang lebih mengecewakan jaringan informasimu tak bisa mengungkap mobilitas pendekar-pendekar bayaran yang berkeliaran di wilayah kita. Saat ini sebagai putra mahkota aku tak bisa mencabut gelarmu, tapi lain waktu aku akan melakukannya."
"Maafkan hamba pangeran, Biro keamanan dan inteligen memiliki jumlah anggota yang banyak. Hamba sendiri tak bisa mengawasinya. Beberapa oknum berbuat curang, tidak kompeten bukan berarti secara keseluruhan departemen ini berjalan buruk."
"Jika anak buahmu berlaku buruk dan tidak kompeten bukankah itu tetap menjadi kesalahanmu Danzo? Karena kau adalah pemimpinnya. Aku menugaskanmu untuk mencari jejak orang-orang yang menyerangku dan kau tidak bisa menemukan mereka karena kurang petunjuk dan ketika aku mengerahkan sendiri orang-orang kepercayaanku, tiba-tiba aku menemukan titik terang."
"Maafkan hamba pangeran." Danzo berlutut menempelkan keningnya ke lantai. Dalam hati ia kesal mengapa ia harus membungkukkan badan.
Biasanya putra mahkota tak berani mengkritik keputusan kaisar, tapi hari ini dia berbeda. Mendadak pangeran menjadi begitu kritis dan menyelidiki masalah sendiri. Apa pangeran Itachi sudah tak mempercayainya atau mencium niat buruknya?
Rasanya tidak mungkin. Dia sudah melenyapkan jejak dan mengatur semuanya melalui pihak lain. Tak ada koneksi antara dia dan orang-orang Orochimaru yang sibuk membuat kekacauan di sana-sini.
Mungkin putra mahkota menjadi lebih sensitif gara-gara hampir kehilangan nyawa. Semua ini gara-gara Wanita klan Yamanaka itu. Kalau dia tak muncul mungkin rencana Danzo akan berjalan mulus.
Menelan harga dirinya Danzo tetap bersujud
"Hamba akan mereformasi biro inteligen dan keamanan untuk memperbaiki kinerja. Pegawai yang korup dan tak memenuhi target akan dipecat."
"Kau tahu ada laporan aneh yang aku terima dari orangku di timur. Mereka bilang pejabat keamanan kota dengan sengaja mempersulit penyidikan. Aku pun berpikir apa kau ada hubungannya dengan penyeranganku?"
"Putra mahkota, Meski setiap pejabat keamanan kota dilantik dan dipilih oleh hamba, bukan berarti mereka semua bergerak karena perintah hamba. Mereka juga dipengaruhi oleh bangsawan yang berkuasa di wilayah itu. Barangkali ini ulah klan Otsutsuki yang memang tak menyukai putra mahkota. Hamba selalu setia pada klan Uchiha, tidak mungkin hamba mencoba mencelakai pangeran."
"Danzo, Aku memberikanmu peringatan. Jika masalah internal departemen yang kau bawahi tak kunjung selesai. Aku akan merekomendasikan orang lain untuk memegang jabatanmu."
"Kali ini hamba tak akan mengecewakan putra mahkota."
Itachi menghembuskan nafas, "Masalah kenaikan pajak bisa ditunda. Meski ayahanda menyetujuinya kita tak bisa serta merta menuntut dan memaksa rakyat untuk membayarkan lebih banyak uang pada kerajaan."
"Pangeran, Dekrit telah diumumkan ke penjuru Konoha. Berdasarkan instruksi Kaisar pajak harus ditarik secepatnya dan bagi warga yang menolak untuk membayar akan dihukum."
"Ini tolol! Mana perdana menteri? Bukankah urusan seperti ini menjadi tanggung jawabnya. Mengapa kau yang mengurus soal keuangan Danzo? Kau tak punya wewenang."
"Keputusan ini diambil secara demokratis pangeran. Mayoritas pejabat setuju cara tercepat untuk mengisi kas negara adalah dengan menarik pajak lebih banyak. Kita sedang dihadapkan dalam krisis, wilayah selatan belum dibenahi dan Otogakure masih mencoba menembus pertahanan kita. Apa pangeran punya solusi yang lebih baik?"
"Berikan aku waktu untuk berpikir dan untuk sementara tunda kenaikan pajak. Sekarang pergilah."
Bahu Itachi merosot, percakapan dengan Danzo membuatnya merasa lelah. Ia pun meraih poci teh yang telah mendingin. Menuangkannya ke dalam cawan meski ia tahu rasa teh itu akan terlalu pahit untuk lidahnya.
Pintu ruang kerjanya berderit dan terbuka. Izumi datang diiringi oleh pelayan yang membawa nampan.
"Itachi, sudah lewat tengah hari dan kau belum disuguhi makan siang. Pelayanmu harus dihukum untuk ini."
"Izumi, Aku tidak merasa lapar."
"Tidak boleh begitu. Aku mengerti pangeran sibuk, tapi kau tak boleh melewatkan waktu makanmu. Aku membuatkanmu sup lotus. Aku harap kau bersedia menyantapnya."
Sang putri meletakkan mangkuk yang isinya masih mengepul di atas meja.
"Terima kasih Izumi. Aku dengar kau sibuk mempersiapkan upacara pengangkatan Ino. Apa kau menemui kesulitan?"
"Tidak pangeran, Upacara pengangkatan selir lebih sederhana dari pada acara pernikahan. Semuanya lancar-lancar saja. Secara mengejutkan permaisuri meniadakan jamuan dan pesta bagi Nona Yamanaka."
"Mengapa Ibunda berkata begitu?"
"Beliau mengkhawatirkan situasi keuangan istana. Jadi beliau ingin berhemat. Lagi pula Nona Ino telah mendapatkan pestanya saat diberi gelar kehormatan tak perlu ada pesta lainnya."
"Memalukan, Ino adalah putri perdana menteri dan kerajaan tak bisa membiayai jamuan pernikahan untuknya? Mengapa Ibu berbuat seperti itu. Seharusnya ibunda memotong jatah pengadaan pakaian, kosmetik dan perhiasan bagi dirinya, para selir dan putri. Aku tak setuju."
"...tapi, Ino telah setuju dan aku yakin perdana menteri juga maklum."
"Aku perlu menemukan solusi untuk masalah keuangan ini."
"Bukankah sudah diputuskan Kerajaan akan membebankan pajak lebih tinggi kepada rakyat."
"Apa menurutmu itu langkah yang tepat Izumi?"
"Tentu saja, Jika negara dalam kesulitan bukankah rakyat juga wajib membantu. Kita para bangsawan bekerja keras mengusahakan kemakmuran mereka. Bagaimana kita bisa bekerja kalau dana tidak ada?"
Kerja keras, Itachi ingin tertawa. Apa yang dikerjakan para selir selain bersolek dan berbelanja? Apa yang dilakukan bangsawan selain memakai pakaian indah dan makan hidangan enak yang harganya sanggup membiayai hidup satu keluarga selama setahun. Hanya sedikit dari sekian banyak bangsawan yang juga menduduki senat benar-benar memikirkan kepentingan rakyat jelata dan sisanya sibuk menggendutkan perut sendiri. Bangsawan bahkan bukan subjek pajak, padahal harta kekayaan dan penghasilan mereka begitu besar. Dia sakit kepala bila harus memikirkan ke depannya ia akan bekerja bersama orang-orang seperti ini.
Itachi tak menyalahkan Izumi berpikir selayaknya bangsawan yang tak merasa mereka terlahir dengan hak istimewa. Dia pun kalau tak pernah diam-diam turun ke jalanan menelusuri perkampungan tak akan pernah tahu apa-apa dan dengan mudahnya mempercayai semua laporan baik yang dari keluar dari mulut para penjilat.
"Izumi, Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tak perlu menungguku nanti malam dan sesuai aturan, setelah prosesi pengangkatan Ino aku akan tinggal di istana Kaisar."
"Aku paham, Kau tak bisa menghabiskan tiap malam bersamaku lagi karena telah memiliki selir."
"Ini demi keadilan, Bila aku setiap hari tinggal bersamamu itu akan menyakiti para selir. Aku ingin memperlakukan setiap wanita yang terikat padaku tanpa perbedaan."
"Apa kau akan tetap mengunjungiku?"
"Kekaisaran ini belum memiliki penerus. Aku akan tetap menjalankan kewajibanku."
Izumi merasa terpuruk. Jadi bagi Itachi menghabiskan malam bersamanya adalah kewajiban. Bukankah mereka saling mencintai atau paling tidak saling menyayangi.
"Aku tak akan menyita waktumu lagi, Minumlah sup nya sebelum dingin."
Itachi tersenyum lemah. "Baiklah."
.
.
.
Satu hari lagi terlewati dalam istana. Ino masih tak bertemu putra mahkota. Ia memetik dawai Zither dengan cepat dan kuat. Memainkan sebuah balada epik yang mengisahkan pertempuran. Ketika ia mencapai deretan nada tinggi. Dawai yang memang sudah lapuk mendadak putus akibat tekanan jarinya. Gadis pirang itu kemudian tertegun saat matanya melihat bayangan hitam melompati tembok kediamannya. Saat ini ia sendirian di taman. Shion dan pelayan lainnya sibuk menyiapkan ritual mandi majikannya.
Langit gelap tanpa bulan, cahaya dari lentera tak cukup untuk menerangi seluruh bagian kebun, tapi Ino tak merasa takut. Dia tahu sosok itu tak datang untuk melakukan hal yang buruk padanya.
"Apa anda perlu menggunakan cara ekstrem untuk menemui hamba, Pangeran Sasuke? Anda bisa datang melewati pintu dan menjadi tamu."
Sosok pria berambut gelap dan berpakaian kelabu melipat tangan di dada. Mata hitamnya tampak menelisik tampilan Ino.
"Malam-malam datang sendirian ke tempat tinggal wanita yang akan menjadi selir kakakku? Para pelayan dan prajurit akan berspekulasi. Apa kau sadar semua pelayan di sini adalah kaki tangan permaisuri?"
"Tentu saja."
"Permaisuri tidak menyukaiku, Jika aku terlihat sering mengunjungimu kau sendiri yang akan kesulitan."
"Hamba terenyuh pangeran Sasuke memikirkan hamba."
"Oh, Aku selalu memikirkanmu. Sebisa mungkin jangan membuat musuh yang tak perlu di istana terutama permaisuri."
"Hamba mengerti. Apa pangeran datang kemari karena merindukan hamba?"
"Sejak kau masuk istana aku belum menyapamu. Apa kau sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan ini?"
"Sebenarnya hamba lebih menyukai tinggal di rumah, tapi begini juga tidak buruk. Hamba bisa melihat pangeran setiap hari."
"Hanya bisa menatap dan saling merindu."
"Hamba yakin hal ini tak akan berlangsung lama."
"Apa kau tahu apa yang Itachi sedang lakukan? Sudah berhari-hari aku tak bisa menemuinya."
"Putra mahkota sedang mencoba mencari pelaku penyerangannya dan beliau mendapatkan petunjuk, tapi tak cukup bukti untuk menuduh dan menghukum seseorang."
"Petunjuk apa yang Itachi temukan? Apa dia memberitahumu?"
"Beras yang berasal dari lumbung istana ternyata diperjual belikan di wilayah timur dan pedagang yang menjualnya memiliki afiliasi dengan klan Otsutsuki. Secara naluriah putra mahkota mempercayai klan Otsutsuki terlibat. Bukankah ini waktu yang tepat untuk menunjukkan kesetiaan anda pada Pangeran Itachi?"
"Kau benar, Klan Otsutsuki adalah keluarga Ibuku. Bila aku membantu Itachi mencari keadilan dan melenyapkan pihak yang dari dulu berniat menjadikan aku kaisar, Maka tak seorang pun akan ragu pada kesetiaanku."
Ino mendekati Sasuke dan meraih lengan baju pria itu. "Untuk keluar dari bayangan kakakmu, Anda harus mengumpulkan kekuatan lebih dari ini."
"Aku tahu dan aku tak sendirian." Sasuke menggenggam telapak tangan Ino.
"Bantuan hamba tak akan cukup."
"Bukankah kau juga bisa mempengaruhi ayahmu untuk membantuku?"
"Hamba akan jadi selir, Bagaimana mungkin meminta ayah mengambil sikap menentang Putra mahkota. Anda bisa mencoba mendekati pejabat lainnya terlebih dahulu."
"Apa kau pikir aku belum melakukannya? Tunggu saja sampai ayahanda meninggal. Itachi akan didera oleh badai. Kakakku mungkin akan menjadi pemimpin yang baik, tetapi banyak bangsawan yang ketakutan pada idealisme yang disandang oleh olehnya. Mereka tak punya opsi lain selain berpaling padaku. Penghalang terbesarku adalah ayahmu Ino. Dia terlalu menjunjung prinsipnya."
"Pangeran, Jika anda dalam posisi unggul. Ayah hamba juga pasti akan berdiam diri. Saat ini kekuatan anda baik secara militer dan politik tampak kasat mata. Saya yakin para bangsawan yang berkata akan mendukung anda akan menjilat ludahnya sendiri manakala melihat anda terdesak. Orang-orang ini hanya memihak pada keuntungan tanpa memiliki loyalitas."
"Jangan terlalu khawatir Ino, Aku bisa menang tanpa pertempuran. Asalkan kau bersedia membantuku. Jika aku menjadi kaisar, kau akan menjadi permaisuriku."
Ino membiarkan dirinya dirangkul oleh Sasuke. Sembari menyandarkan pipinya ke dada bidang pria itu Ino berpikir bagaimana caranya mengenyahkan para pejabat bermuka dua. Mencabut akar-akar pemberontakan sebelum sempat berkembang. Sebagai wanita yang hanya akan menyandang status selir Ino tak bisa menginjakkan kakinya di aula kebijakan dan ia tak bisa minta bantuan ayahnya, sebab tak mungkin pejabat-pejabat itu mengungkapkan niat busuk mereka di depan perdana menteri yang dihormati oleh putra mahkota.
Selama ini Nona Tsunade telah mengumpulkan bukti pelanggaran dan kejahatan beberapa orang penting. Dari Pengawas harta istana, Bendahara, kepala biro perdagangan dan pertanian. Bahkan hakim agung. Ia bisa saja memberikan semua bukti-bukti kepada putra mahkota, tapi hal tersebut akan membuat pangeran Sasuke mencurigainya. Operasi yang akan Ino lakukan harus sesenyap mungkin. Ia akan meminta Nona Tsunade untuk satu per satu mengancam mereka untuk mengubah pikiran.
"Seseorang datang. Aku akan menemuimu lagi."
Seperti halnya ketika ia datang. Pangeran Sasuke pergi dengan menyelinap. Shion menemukan Nona nya duduk sambil termenung. Menatap dawai yang putus.
'Apakah semudah ini?' Ino membatin pada dirinya sendiri. Sulit dipercaya berkali-kali ia dalam pelukan Sasuke tapi jantungnya tak lagi berdegup. Mungkin perasaan itu benar-benar sudah mati menghilang bersama tubuhnya yang dulu lunglai meregang nyawa.
"Air mandi Nona sudah siap."
Ino merasa mandi akan menyegarkan pikiran dan mengenyahkan aroma Sasuke yang melekat di tubuhnya.
.
.
.
Dalam beberapa hari pasukan Amaterasu mundur dari perbatasan benteng timur menuju kota. Wajah-wajah prajurit tampak tak senang. Seribu serdadu siap perang menunggu di gerbang kota dan Sang jenderal menunggangi kuda hitam nya berada di ujung formasi. Pangeran Sasuke datang ke mari untuk satu hal, tapi pemimpin kota ini tampaknya tak mengetahui maksud dari kunjungannya.
Toneri Otsutsuki, Lelaki berambut putih dan tubuh ramping berjalan ke luar menyambut Sasuke dengan senyum dingin. Dia adalah kepala keluarga Otsutsuki dan juga sepupu dari Sasuke.
"Pangeran Sasuke, Senang melihatmu di sini. Aku dengar kau menarik pasukanmu kembali ke Ibukota."
"Pasukan Otogakure yang mengancam perbatasan sudah terusir. Itachi memutuskan aku tak perlu lagi berada di garis depan."
"Kau pasti lelah, Bagaimana bila kau beristirahat di kota timur sejenak sebelum melanjutkan kembali perjalananmu."
"Niatku memang begitu, lagi pula ada yang ingin ku bahas denganmu."
"Apa sekarang kau akan menyambut uluran tanganku? Aku dengar kesehatan kaisar memburuk."
"Lebih enak membahasnya sambil minum sake."
"Setuju. Lebih baik kita bicarakan di rumah."
Sasuke meninggalkan pasukannya di luar tembok kota dan mengikuti Toneri. Dia hanya membawa satu lusin prajurit elite. Bagi mayoritas prajurit Sasuke, Kota timur adalah kampung halaman. Mereka sejatinya adalah prajurit yang dipimpin oleh Putri Kaguya dan di bawa ke Ibukota untuk menambah kekuatan klan Uchiha. Setelah Putri Kaguya meninggal, Mereka nyaris dibubarkan dan dihabisi, tapi perdana menteri Yamanaka berhasil meyakinkan Kaisar untuk membiarkan mereka dengan syarat membuang klan Otsutsuki dan setia pada kerajaan.
Mereka semua membenci Fugaku Uchiha. Mereka melihat sendiri bagaimana pangeran Sasuke diperlakukan. Ketika pangeran berusia hanya lima belas tahun. Ia dipaksa memimpin mereka dalam misi bunuh diri. Berkat nasib baik dan kegigihan, mereka memenangkan pertempuran demi pertempuran dan pangeran Sasuke pun mendapatkan gelar jendral nya. Pasukan yang dinamai Amaterasu bersumpah untuk setia pada pangeran Sasuke, Putra dari Putri Kaguya yang seharusnya mereka lindungi.
Baru kali ini mereka merasa berat hati melangkahkan kaki mengikuti pemimpin mereka. Pangeran Sasuke memutuskan untuk membawa keadilan bagi putra mahkota. Entah tuduhan apa yang dilayangkan pihak Uchiha, Mereka juga tidak paham. Hanya saja jenderal mereka dengan tegas berkata klan Otsutsuki harus dihancurkan.
Sake dituang, Makanan disantap. Sasuke dan Toneri melanjutkan percakapan mereka.
"Aku dengar putra mahkota gagal terbunuh dan diselamatkan oleh putri perdana menteri."
"Mungkin dia hanya beruntung. Keberuntungan seseorang akan ada habisnya."
"Beberapa saat yang lalu, Kami mendapatkan gangguan di sini. Mendadak ada inspeksi dari Kaisar dan aku tak bisa menolak. Posisi Klan Otsutsuki makin lama makin terdesak. Kau satu-satunya harapan kami. Sasuke kau harus naik takhta demi kelangsungan klan ini. "
"Toneri, Terima kasih sudah melakukan hal yang aku minta." Diam-diam Sasuke memberi isyarat pada pengawal-pengawalnya. "..., tapi aku datang untuk mengakhiri hidupmu." Sasuke menghunus pedang dan kekacauan pun terjadi.
Di luar gerbang pasukan Sasuke menerobos masuk, dibantu oleh pasukan keamanan kota mereka mengalahkan prajurit Otsutsuki yang berpatroli dan berjaga. Penyerangan ini tidak terduga karena di mata Klan Otsutsuki. Pangeran Sasuke adalah sekutu.
Toneri dan sepupunya beradu pedang.
"Aku membantumu mengapa kau menyerangku?"
Kedua pedang mereka saling terkait dalam posisi impas. Sama-sama saling menekan. Sasuke tak dapat menebas dan Toneri tak bisa melanjutkan serangannya. Mereka sedang mengadu kekuatan.
"Kau terbukti memberontak, Toneri. Kakakku menemukan fakta kau bekerja sama dengan pihak Otogakure. Sengaja melemahkan perbatasan timur dan membiarkan pendekar bayaran masuk. Kau juga memperjual belikan pangan yang harusnya menjadi bantuan ke wilayah selatan."
"Kau bercanda, Itu semua idemu."
"..., Itachi lebih percaya padaku daripada kata-kata mu Toneri."
Sasuke berhasil mendorong lelaki itu dan fokus pada duel mereka. Sementara prajuritnya mengatasi gempuran orang-orang yang datang.
"Kau jahanam, Apa kau lupa siapa yang membunuh Ibumu? Siapa yang memperlakukanmu lebih buruk dari pelayan. Kami satu- satunya yang peduli padamu!", teriak Toneri geram. Tangannya menggenggam pedang lebih erat. Pertarungan ini bukan hal yang dia menangkan.
"Kau hanya ingin menjadikan aku pionmu bukan. Kau lebih berambisi dariku, Toneri. Kau pikir aku tak bisa melihat rencanamu?" serangan lawan dia tepis dengan mudah.
Dengan segudang pengalaman bertempur di medan perang. Sasuke melukai dan memojokkan Toneri. Pertarungan lain di sekitar mereka tampaknya akan berakhir. Cukup banyak mayat bergelimpang di lantai, tapi tak satu pun dari mereka adalah pasukan Sasuke. Perbedaan kekuatan sangat jelas antara mereka yang terus menerus bertempur mempertaruhkan nyawa dengan prajurit yang hanya berkesan ornamental.
Luka yang diberikan Sasuke membuat gerakan Toneri melamban. Satu tendangan mengenai perut membuat pemuda berambut putih itu terjengkang.
"Tangkap dia!" Perintah Sasuke pada anak buahnya. Mereka pun mengikat dan menyeret kepala klan Otsutsuki dari kediamannya.
Di jalanan kota pertempuran dari kedua pihak tak terelakkan. Rakyat biasa mengunci pintu dan jendela rapat-rapat. Merasa ketakutan berlindung di balik dinding-dinding yang rapuh. Konflik di antara para bangsawan, selalu berimbas pada mereka yang tak tahu apa-apa.
Pertempuran mereda saat prajurit Susano menyadari Toneri telah ditangkap. Beberapa orang berupaya menolongnya, tapi usaha itu digagalkan oleh pasukan elite yang mengelilingi Sasuke.
Bendera putih dikibarkan dan Toneri di bawa ke atas benteng agar semua orang bisa melihatnya. Pemuda yang telah diberikan label pemberontak oleh istana.
"Sulit bagiku untuk percaya kau melakukan ini, kau lelaki yang tak tahu rasa terima kasih."
"Toneri, Sebelum kau mengkhianatiku. Lebih baik aku yang melakukannya lebih dulu. Klan Otsutsuki hanya lah bidak yang bisa aku korbankan kapan saja demi kepentinganku."
"Kau tak akan berakhir baik." Ucap lelaki yang menyadari kematiannya sudah dekat.
Sasuke membacakan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan Itachi pada pihak Otsutsuki. Semua bukti telah diserahkan dan diperiksa oleh para hakim agung istana. Mengabaikan asas praduga tak bersalah. Mereka merasa tak perlu mendengarkan penjelasan Toneri. Lenyapnya klan Otsutsuki memang ditunggu banyak pihak yang selama ini tak senang Toneri menjadi oposisi dalam pemerintahan.
Dalam hati Sasuke tertawa, karena semua terjadi sesuai dengan rencananya. Dia yang menarik tali dan semua orang tanpa diduga bergerak sesuai keinginannya. Hanya saja Itachi menemukan bantuan yang dicuri terlalu cepat dan itu membuat posisi Danzo tak bagus, padahal Sasuke mengandalkan kakek tua itu untuk merekrut lebih banyak kekuatan di senat.
Eksekusi Toneri dia lakukan sendiri. Nafas prajurit dan rakyat timur tertahan melihat kepala pimpinan mereka menggelinding begitu saja.
"Penduduk Timur, Toneri Otsutsuki telah mencoba melakukan tindakan makar pada istana. Jika kalian tidak menerima eksekusi ini silakan lanjutkan pertempuran. Aku tidak datang sendiri. Dua kilometer dari dinding kota pasukan kerajaan telah menunggu dan aku tak akan segan menghabisi kalian yang mendukung pemberontak."
Prajurit Klan Otsutsuki berbisik-bisik. Hukuman bagi orang yang terbukti makar seluruh keluarganya akan dihabisi dan mereka tak ingin keluarga mereka mati hanya karena loyalitas pada klan Otsutsuki. Satu per satu mereka menjatuhkan senjata pertanda menyerah.
Sasuke puas melihat itu. Lalu ia melanjutkan pidatonya. "Prajurit Susano. Aku mendengar kegigihan kalian dalam setiap pertempuran. Sebagai putra dari Kaguya Otsutsuki aku ingin kalian bertempur untukku. Bukan untuk klan Uchiha tapi hanya untukku seorang. Yang kini menjadi satu-satunya orang yang berhak mengambil alih kota ini."
Mereka semua terkejut, Prajurit-prajurit yang bersumpah untuk selalu setia pada klan Otsutsuki kebingungan.
"Kalau memang dia benar putra dari Nona Kaguya-Sama. Mengapa dia mengeksekusi Tuan besar?"
Prajurit Sasuke yang mendengarkan kebimbangan mereka menyela. "Hei, Apa kalian lupa siapa kami?"
"Kalian para pengecut yang memilih Uchiha ketimbang kehilangan nyawa kalian. Kalian prajurit yang gagal melindungi putri Kaguya. Di mata kami kalian adalah pengkhianat!" balas salah seorang panglima prajurit Susano.
"Kami tak pernah berkhianat, Kalian harus tahu apa yang di alami pangeran Sasuke, kami tak pernah berniat untuk setia pada klan Uchiha yang membunuh putri Kaguya dan menghina putranya. Kematian Toneri Otsutsuki adalah sebuah pengorbanan yang dibutuhkan untuk bisa menghancurkan mereka."
Hati para prajurit masih dihantui dilema, tapi saat ini mereka tak punya lagi pemimpin dan satu-satunya orang berdarah berdarah Otsutsuki berdiri di atas benteng menanti jawaban mereka. Tuan Toneri selama ini berusaha untuk membuat pangeran Sasuke menjadi Kaisar dan saat ini mereka sadar pangeran Sasuke memang berniat untuk merengkuh taktha. Pasukan Susano tak akan pernah mau bertempur untuk klan Uchiha, tapi bila klan Uchiha adalah musuhnya maka mereka bisa menerima pangeran Sasuke.
Para panglima dan prajurit Susano berlutut menerima pemimpin baru mereka. "Pangeran Sasuke kami bersedia untuk membantu anda, asal anda membalaskan dendam kami pada Uchiha."
Sasuke tersenyum puas "Mulai hari ini aku akan menjadi jendral kalian. Jangan sia-sia kan pengorbanan yang telah dilakukan Toneri untuk klan Otsutsuki. Toneri ingin aku bertahkta maka aku akan mencoba memenangkannya."
"Hidup pangeran Sasuke!" teriak para prajurit serempak. prajurit kerajaan sengaja tidak ia sertakan lantaran mayoritas dari mereka berpihak pada kaisar dan putra mahkota dan apa yang terjadi di sini tak boleh ada yang tahu. Rakyat timur akan membungkam mulutnya, sebab kematian putri Kaguya yang mereka cintai menyimpan luka yang dalam.
Meski datang sebagai utusan kaisar, Sasuke tak mengibarkan panji-panji klan Uchiha dia melakukannya untuk mendapatkan simpati dari pendukung klan Otsutsuki. Sebenarnya Kedua nama itu tak penting bagi Sasuke karena dia akan membakar segalanya dan membuat kekaisarannya sendiri.
.
.
.
Upacara pengangkatan selir berlangsung singkat. Ino tak keberatan sama sekali dengan acara sederhana yang diputuskan oleh permaisuri untuk menunjukkan kalau dia tak memfavoritkan putri perdana menteri.
Tak masalah bagi Ino bila ia sedikit mendapat dukungan di dalam istana sebab reputasinya di luar sana melambung tinggi, terima kasih untuk ayahnya yang membiarkan Ino memanfaatkan harta kekayaan klan Yamanaka untuk dibagi-bagikan pada orang miskin. Uang bisa digunakan untuk menggalang massa dan Ino tak merasa bersalah memanfaatkan situasi penduduk yang kekurangan untuk mencari nama.
Duduk di ranjang dengan tenang, Ino tak melihat apa-apa. Pandangannya terhalang oleh secarik kain merah yang menutupi wajah. Dari tadi ia mendengar langkah kaki pangeran Itachi yang bolak-balik mengelilingi kamar tidur Ino.
"Apakah anda tidak berniat menanggalkan tundung yang berat ini dari kepala hamba?"
"Ah, Maafkan aku. Aku sedang banyak pikiran."
Melanggar tradisi Ino membuka kerudungnya sendiri. Lega rasanya untuk melihat sekeliling lantaran dari tadi yang bisa ia lihat hanya lantai dan sepatu beludrunya.
"Apa pangeran memikirkan pangeran Sasuke?"
Itachi akhirnya duduk di bangku panjang menuangkan sake untuk dirinya sendiri.
"Aku merasa tidak bijak memberikannya lebih banyak senjata untuk melukaiku."
"Bukankah anda telah mendapatkan perisai yang lebih kuat."
"Cepat sekali berita sampai di telingamu. Sebentar lagi kita akan punya perbatasan baru. Sabaku Gaara setuju dengan proposalku."
Itachi menoleh karena mendengar suara kain terjatuh. Ia menatap Ino dengan pandangan tak percaya. "Apa yang kau lakukan?"
"Bukankah ini malam pertama hamba untuk melayani pangeran. Apa pangeran akan diam saja."
Gadis pirang itu telah menanggalkan jubah merah bersulam peony yang membungkus tubuhnya.
Melihat Ino seperti itu Itachi jadi kebingungan. Mendadak ia merasa malu karena tak pernah berpikir Ino akan melakukan sesuatu yang berani. Pernikahan ini memang hanya status semata, tapi bila mereka tak melakukannya pernikahan ini sama saja tidak legal dan jika ada yang tahu dia tak menyentuh Ino, statusnya sebagai selir tak akan dianggap serius.
Ino yang hanya mengenakan pakaian dalam secarik jubah tipis berwarna putih mendekati Itachi.
"Kita harus melalukan sesuatu." Bisik Ino dengan lirih di telinga Itachi.
"Kau benar, Aku lupa mereka berjaga di pintu dan akan melaporkan semuanya pada permaisuri."
"Pangeran Itachi jangan membuatku malu dengan rumor putra mahkota tak menyentuh selir barunya. Itu akan membuat orang berspekulasi kalau anda tak menyukai hamba. Reputasi hamba di istana sudah tercoreng lantaran ibu suri menolak membuat jamuan mewah untuk hamba."
Itachi menutup mata. Meletakkan cawan di meja lebih keras dari yang seharusnya.
"Baiklah, Kita akan melakukannya. Ini akan sedikit konyol tapi sudahlah tak ada waktu untuk berdiskusi."
Itachi meraih Ino dan mendudukkan gadis itu di meja. Ino tak terkejut, tapi sinar matanya terlihat jahil. "Kita akan memulainya di sini?"
Wajah Itachi yang tadinya penuh kekhawatiran menyunggingkan seulas senyum. "Ya, kita akan memulainya di sini."
Piring dan cawan yang tadinya di atas meja, pecah dan berserakan di lantai.
Di luar kamar tidur Ino Seorang kasim dan pelayan senior dengan antusias menempelkan telinganya di pintu.
Bersambung...
Satu lagi bab panjang dariku. Biasanya tak lebih dari 2ribu kata, tapi kali ini banyak supaya kalian gak bosan koq satu bab cuma ita-ino, sasu koq gak nonggol. Kasihan kalau baca satu bab isinya Cuma kakek danzo ngomel2.
Makasih untuk yg udah review gak terasa ini cerita udah 8 bulan gak kelar. Maafkan aku yang update nya suka-suka.
Semoga terhibur ya..
