Dance of The Flower

Chapter 20


Paviliun permata.

Selir Haruno berteriak-teriak. Seisi istana menontonnya diseret oleh dua orang pengawal menuju istana tempat permaisuri berada.

Tatapan mereka tanpa rasa keterkejutan, seakan sudah terbiasa disuguhi pemandangan seperti ini. Tak ada rasa simpati tak ada rasa Iba.

Diseret seperti itu hanya berarti satu hal, Seseorang yang statusnya lebih tinggi dari selir Haruno tengah murka. Entah kesalahan macam apa yang dibuat, tapi sepertinya tak ada yang menasihati gadis malang itu bagaimana harus bersikap agar bisa berumur panjang.

Jika tak punya taring dan cakar lebih baik diam, karena jika mulut dianggap salah bicara lidah pun bisa terputus.

Tak ayal bagi mereka yang mencari kedamaian, merendah dan membaur dengan latar belakang selayaknya setangkai rumput di tengah-tengah sabana menjadi pilihan.

Belakangan Istana memang terlalu damai dan sekarang mereka senang akan mendapatkan tontonan. Rumor beredar permaisuri tidak suka Selir Haruno melayani kaisar tadi malam. Apa permaisuri akan menyingkirkan semua wanita yang membuatnya cemburu? Permaisuri Ino tak tampak seperti orang yang semena-mena, tetapi ini istana. Semua orang wajib mengenakan satu atau dua topeng untuk menjaga diri.

"Kenapa kalian berani menyentuhku? Aku ini selir Kaisar, " ujar Selir Haruno sembari berusaha melepaskan diri.

Sai dan pengawal tetap berwajah datar, Langkah mereka tak melambat. Tidak ada perintah untuk membuat Selir Haruno nyaman, jadi mereka tak peduli dengan keluhan yang terlontar dari bibir sang selir.

Sakura berjalan terantuk-antuk. Ia hampir jatuh beberapa kali. Lengan kanannya dicekal dengan erat oleh Kasim berkulit pucat yang menyeretnya menuju paviliun permata. Penghinaan ini sudah pasti diprakarsai oleh permaisuri. Kenapa Ino begitu picik? Apa dia berpikir Kaisar hanya boleh menghabiskan waktu dengannya?

Sai yang sudah menunaikan tugasnya melapor, "Yang mulia, Saya telah membawa selir Haruno."

Selir Haruno menjengit karena tubuhnya dihempaskan ke tengah aula oleh sang kasim. Ia Selir, kenapa seorang kasim berani memperlakukannya bak penjahat? Siapa yang memberikan hak untuk itu?

Mata hijaunya bersirobok dengan tatapan permaisuri. Sakura mendadak merinding. ia teringat ancaman Ino di Rumah Teh Nyonya Katsuyu. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Orang-orang yang akan dia hadapi terlihat gusar, hanya Putri Izumi yang memasang wajah netral.

Akibat terlalu lama berdiri dan tertegun, sang kasim pun memaksa Selir Haruno berlutut di depan Kaisar yang duduk diapit oleh kedua istrinya.

Sakura menelan ludah, bersujud dan memberi salam. Ia tak akan kalah seperti ini karena dia punya ibu suri. Benar, Jika permaisuri berani menghukumnya, ibu suri pun akan menghukum Ino. Dia hanya perlu tenang menghadapi perundungan ini.

Kali ini sang permaisuri membuka suara memulai penghakiman, tatapan matanya dingin penuh dendam kesumat. Mungkin ini saatnya dia membalas semua kepedihan yang harus dia alami di kehidupan sebelumnya. Satu sangkakala kemenangan terdengar ditelinganya. Ia tak perlu menabuh genderang perang sebab Sakura menggali lubang untuk dirinya sendiri.

Dalam hati Ino tertawa, Seharusnya Sakura lebih licin dari ini. Gadis itu tak mungkin jadi permaisuri menggantikan dirinya jika ia tak pintar, atau bisa jadi dirinya lah yang terlalu bodoh. Sehingga permainan muslihat yang paling sederhana pun tidak ia pahami.

"Selir Haruno, ini baru hari keduamu menjadi selir dan kau telah berani menentangku."

"Menentang? Kau tak punya alasan jelas untuk memanggilku, untuk apa aku harus menemuimu? Apa karena kau bergelar permaisuri kau berhak menyuruh-nyuruhku dengan sesuka hati. Aku dipilih untuk melayani kaisar bukan melayanimu."

Dahi putri Izumi mengernyit akibat mendengar keangkuhan yang melumuri kalimat selir bermata hijau itu. Rasa simpatinya pada Selir Haruno menguap seketika. Ia hendak membela Sakura, mungkin saja ia tak tahu peraturan istana karena latar belakangnya yang biasa saja, tapi sepertinya wanita ini bukannya tidak tahu dan memang sengaja membuat permaisuri tersinggung. Izumi yang ikut merasa terusik pun turut bicara.

"Selir Haruno, Aku tahu kau belum lama di istana dan latar belakangmu juga tidak luar biasa, tapi sebodoh apa pun seseorang dia tetap harus sadar akan status dan kedudukannya. Kita yang tinggal di istana memiliki protokol dan menjalankan tata krama. Dari apa yang aku lihat selir Haruno, Kau tidak berusaha untuk menghormati aturan itu dengan sengaja mengabaikan perintah permaisuri. Kau tidak bisa bertindak seenaknya seperti itu. Istana bukanlah rumahmu."

Mata hijau Sakura membelalak. Bukankah hubungan Ino dan putri Izumi cukup buruk? Kenapa dia malah membela Ino, bukan dirinya yang juga sama-sama didukung Ibu suri.

"Putri Izumi, Jika permaisuri memanggil anda tanpa alasan apakah anda akan langsung menghadap seperti pelayan? Padahal anda adalah istri pertama." Sakura mencoba memanas-manasi Izumi. "Apakah anda akan mengikuti semua perintah Ino Yamanaka hanya karena beliau memegang mahkota phonix yang seharusnya milik anda?"

"Selir Haruno, Hati-hati dalam berbicara. Hanya karena kau dipilih oleh ibu suri bukan berarti kau penting bagi beliau dan tak berusaha menjaga mulutmu. Kalau kau menganggap tak perlu menghormati perintah permaisuri, aku berasumsi kau juga tak akan menghormatiku."

"Saya tidak bermaksud menyinggung anda Putri. Hanya memaparkan keadaan anda."

"Selir Haruno, Akulah yang memilih Ino sebagai permaisuri, Apa kau secara implisit menilai pilihanku buruk? Apa kau sedang menghinaku?," tanya Itachi dengan nada kalem.

Sakura bersujud. "Hamba tak berani yang mulia."

"Tapi mulutmu berani menghina permaisuri dan putri Izumi di hadapanku."

"Apakah keluarga kerajaan tak boleh dikritik? Permaisuri Ino juga tak luput dari kesalahan," tanya sang selir berusaha mengiring topik.

"Kita memanggilmu kemari untuk membicarakan kesalahanmu, bukan mencari-cari kesalahan permaisuri." Balas Itachi tegas. "Akui kesalahanmu di depan permaisuri, Selir Haruno!"

Sakura tak berani membantah Kaisar yang terlihat gusar. Dia pun membungkuk. "Maafkan aku Ino karena mengabaikan perintahmu."

Itachi dan Izumi merasa tidak nyaman mendengar gaya bicara Selir Haruno yang begitu informal saat menghadapi permaisuri. Benar mereka adalah sahabat, tapi dalam situasi seperti ini bukankah Selir Haruno terdengar tidak sopan.

Ino tak bergeming oleh permintaan maaf yang tak tulus itu. Ia sudah cukup baik selama ini. Jika Sakura membuat hidup Ino susah, hingga dia harus di asingkan di istana dingin bukankah adil jika ia berbuat hal yang sama. Sekarang Ino punya alasan untuk membuat Sakura merasakan apa yang dia rasakan.

"Selir Haruno. Di hadapanku kau berani menggunakan kata aku dan memanggil namaku? Apa kau berpikir kedudukanmu sebagai selir tingkat ke tujuh sejajar dengan gelarku sebagai permaisuri?"

"Ah, Ino...Maksud saya Permaisuri bukankah kita ini sahabat? Apa karena anda menjadi permaisuri sekarang anda lupa siapa yang selalu menemani anda ketika anda terkucilkan. Apa permaisuri tidak diajarkan perihal balas budi?"

Permaisuri pun berdecih. Lucu sekali Sakura berpikir selama ini telah memberikan Ino pertolongan, padahal dia hanya memanfaatkan.

"Bukankah karena embel-embel persahabatan itu Ibu suri membawamu ke istana, tanpa korelasimu dengan klan Yamanaka kau buka apa-apa Sakura Haruno. Kenapa kau berani menyombong di depanku? Lagi pula sejak beberapa waktu yang lalu aku tak lagi menganggapmu sebagai teman. Kau telah kehilangan hak untuk menyapaku dengan akrab. "

"Permaisuri, Kemarahan anda pada saya sepertinya keterlaluan. Apa anda kesal karena saya semalam berada di Istana Naga? Kaisar tidak hanya milik anda seorang. Apakah itu alasan anda memanggil saya pagi-pagi, untuk melampiaskan kecemburuan?," balas Sakura.

Sang selir tak tahu kalau Ino muncul di istana naga setelah dia diusir dari sana. Tak seorang pun berbicara dengannya. bahkan pelayannya sendiri tak memberitahu. Padahal gosip sangat mudah tersebar di Istana.

Itachi berdeham mengingatkan wanita-wanita itu jika dia juga ada di sana. "Sakura Haruno, Aku tak pernah memintamu untuk datang melayaniku. Bukankah aku mengusirmu? Mengunjungi ruang tidurku tanpa perintah dariku sama saja dengan melakukan tindakan penyusupan. Kau tahu apa hukumannya menyusup dalam istana Kaisar?"

"Tapi, Yang mulia. Ibu suri lah yang menyuruh hamba untuk menunggu di sana. Kasim dan pengawal membiarkan saya lewat karena perintah Ibu suri. Jika menurut anda hamba bersalah hukum juga para pengawal dan kasim di istana anda yang telah melakulan pembiaran dan apakah anda akan menyalahkan ibu suri juga? Hamba ini hanya selir rendah yang menerima perintah. Jika yang mulia tersinggung bukankah tidak adil semua itu ditujukan pada hamba?, " sergah Selir Haruno dengan cepat.

"Apa beliau juga yang menyuruhmu membakar rumpun afrodisiak itu?," tanya Itachi. Ia tahu barang seperti itu tidak mudah ditemukan di istana. Seseorang pasti memberikannya pada Selir Sakura.

Sakura merunduk, "Yang mulia sudah tahu jawabannya. Hamba merasa tidak bersalah sebab hamba melakukan semua ini berdasarkan niatan yang baik."

"Niat baikmu tidak aku butuhkah. Aku tak peduli jika Ibunda yang merekomendasikanmu, tapi Nona Haruno tak ada tempat bagimu di istanaku. Satu hal yang penting bagiku adalah kejujuran dan kerendahan hati. Kau sepertinya tidak memiliki semua itu dan lagi sepertinya permaisuriku tak menyukaimu."

"Yang mulia, jika anda ingin kejujuran, saya akan mengungkapkannya. Permaisuri tak menyukai saya karena saya tahu rahasia busuknya. Sebenarnya saya dibawa ke istana oleh ibu suri untuk membuka mata anda." Sakura pun mengaku. Saat ini persetan dengan rencana. Kaisa terlihat jelas tak menyukainya sudah pasti nasibnya sekarang di ujung tanduk. Jika dia harus jatuh dia akan mencoba membawa Ino bersamanya.

"Apa keburukan Ino yang ingin kau ungkap?" Itachi bertanya dengan hati-hati.

Ino menatap Sakura, Menanti-nanti alasan macam apa yang berani dia kemukakan.

"Yang mulia, Permaisuri dan pangeran Sasuke dulu pernah menjalin hubungan. Mereka saling mencintai dan anda telah tertipu. Apa anda tidak khawatir permaisuri dan pangeran ke dua melakukan sesuatu di balik punggung anda?"

Itachi tertawa, oh tentu dia tahu semuanya. Sepertinya Ibunda ingin menyingkirkan Ino dengan dalil permaisuri tidak setia karena itu ia menarik Sakura Haruno ke istana.

Itachi terkekeh sepertinya Ibunda kehabisan strategi untuk menjegal Ino, "Permaisuri, tuduhan itu terdengar bak lelucon bukan? Apa kau pikir aku harus mempercayai Selir Haruno?"

Ino pura-pura merasa terpukul oleh tuduhan Sakura. Ia pun mengambil sikap layaknya korban fitnah, "orang bisa membuat rumor sesuka hati, tapi aku agak sedih. Ternyata orang yang mengaku-aku sebagai sahabat selalu berusaha menjatuhkanku. Yang mulia tahu sendiri perasaan saya pada yang mulia begitu kuat bagaimana mungkin saya akan mengkhianati anda."

Putri Izumi menggelengkan kepala. bersimpati pada Ino yang memiliki sahabat macam ini. "Wanita ini sungguh tak punya adab, Mencemarkan nama Pangeran Sasuke dan permaisuri dengan membuat rumor seperti ini. Apa kau punya bukti selir Haruno?"

"Hamba punya bukti. Permaisuri menyimpan hadiah-hadiah yang diberikan oleh pangeran Sasuke, sebuah kalung dengan ornamen kerjaan Jaha yang pangeran Sasuke dapatkan saat perang. Jika anda menggeledah tempat ini anda akan menemukannya."

"Yang mulia, Yakinlah, Saya tak menyimpan cinderamata dari siapapun tanpa sepengetahuan anda. Jika anda tak percaya silakan geledah istana ini," ujar sang permaisuri.

"Tak perlu, Aku mempercayaimu, Permaisuri." Itachi kembali memberondong Selir Haruno dengan pertanyaan. "Bagaimana kau bisa tahu ada barang itu ada di sini? Apa kau memeriksa semua benda yang Ino bawa dari rumah keluarga Yamanaka? Benda yang dibawa permaisuri dari rumahnya dan semua barang-barang berharga yang dia terima selalu diperiksa dan diinventaris oleh seketaris istana. Jadi jika barang yang kau katakan itu ada, sudah pasti bukan Ino sendiri yang membawanya ke istana."

"Kalau begitu periksalah istana ini," desak Sang selir. Ia sudah susah payah mendapatkan benda itu dari rumah keluarga Yamanaka dan meletakkannya di sini dan yang mulia bahkan tidak mau mencarinya.

Itachi terlihat marah, Waktunya sudah banyak tersita untuk drama tak penting ini. ia pun menggebrak lengan kursi untuk mengekspresikan rasa kesalnya. "Cukup sudah Selir Haruno. Kau pikir kata-katamu akan mengubah pemikiranku tentang permaisuri? Aku lebih mempercayai Ino ketimbang dirimu yang terbukti picik. Aku menarik kembali gelar selir yang diberikan ibu suri padamu. Bawa dia ke penjara untuk menanti hukuman," ujarnyab pada pengawal yang berada di sana.

Mendengar titah kaisar, Sakura lantas bersungkur. "Yang mulia, maafkan saya. Saya juga tak mau berada di istana, tapi saya diculik dan dibawa ke hadapan Ibu suri. Apakah anda mengerti kalau saya tak berdaya? Jika saya menolak bekerja sama saya tahu saya akan mati. Yang mulia kaisar, tolong tunjukan welas asihmu." Sakura memelas, Wajahnya pias oleh rasa takut. Kenapa Ibu suri tak datang untuk membelanya. Ini semua kan rencana Ibu suri.

Kaisar berdiri. Ia sudah menghabiskan waktu terlalu lama di sini. "Kau seharusnya memohon pada permaisuri. Hukumanmu akan aku serahkan padanya. Permaisuri, tolong berikan Nona Haruno hukuman yang pantas. Aku harus kembali bekerja."

"Jangan pusingkan diri anda dengan hal remeh seperti ini Yang mulia, Saya akan mengatur semuanya."

Sakura semakin pias sementara mata Ino semakin berbinar. Merasakan kengerian, Sakura bersujud merangkul kaki Ino.

"Ino, Aku tak berniat melakulan ini. Kau juga tahu aku tak punya pilihan. Kenapa kau tak bisa memakluminya?," ratap Sakura berurai air mata.

Ino menedangnya, wanita berambut merah jambu itu terguling. "Aku sudah memperingatkanmu satu kali dan kau masih mencoba menggangguku. Kesempatanmu telah habis, Haruno," ujar permaisuri dengan dingin.


Malam itu lonceng kebakaran terdengar di ibu kota. Rumah keluarga Haruno habis di lalap api. Tak satu pun anggota keluarga itu terlihat menyelamatkan diri dari bangunan yang terbakar.

Warga di sekitar sibuk membawa ember untuk memadamkan api yang telah melahap habis bangunan utama. Angin bertiup kencang dan warga menjadi panik, takut apinya menyebar dan merembet ke bangunan lainnya.

Jugo dan Suigetsu menatap rumah yang baru saja mereka bakar setelah menghabisi semua penghuninya.

Pekerjaan ini sangat mudah, tak ada prajurit. Hanya para wanita dan lelaki tua yang tak bisa membela diri. Suigetsu juga sempat-sempatnya mengantongi barang berharga yang mereka temukan meski tidak banyak.

"Satu tugas sudah selesai." Jugo terlihat puas melihat asap pekat membumbung di langit malam.

"Belum, Kita belum menemukan Sakura Haruno. Sasuke bilang kita harus melenyapkannya."

"Aku dengar wanita itu di bawa ke penjara. Aku tak berniat menerobos penjara istana kemudian tertangkap. Lebih baik kita langsung mencari target berikutnya."

"Yep, tiga orang Jenderal itu tak akan mudah untuk dibunuh dengan senyap. Saat-saat seperti ini aku merindukan Karin." Lelaki berambut putih itu berjongkok di atas genteng, tak peduli pada ketinggian.

"Gadis itu pintar menyusup dan mengintai. Membuat pekerjaan kita jadi lebih mudah dengan tipu daya nya. Apa kau yakin Karin sudah mati?" tanya rekannya.

"Penjara yang digunakan Toneri untuk menyekap Karin terbakar. Apa kau pikir Karin yang tengah terkurung bisa lari?, Sasuke sudah memperhitungkannya."

"Sasuke memang gila, Dia memata-matai sekutunya. Kemudian mengeksekusi mereka sekaan tak ada artinya. Apakah akan tiba giliran kita nantinya?"

"Jugo, Apa kau pernah berpikir untuk mengkhianati Sasuke?," tanya Suigetsu

Lelaki itu menatap rekannya. Mereka menganggap Sasuke sebagai pimpinan, tapi sepertinya bagi lelaki itu tak ada yang layak dipertahankan meski selama ini mereka menunjukkan kesetiaan. Karin bahkan mencintai Sasuke.

"Berkhianat?" Seluas senyum kecil mewarnai wajah Jugo yang terlihat polos, Ide melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan Sasuke terasa bodoh. "Kita ini makhluk terbuang, Jika kita tak bersama guru ke mana lagi kita bisa pergi? Lagi pula Suigetsu. Kita mengikuti Sasuke karena kita menikmati pertarungan, menebar teror dan menumpahkan darah. Kau tidak berpikir kita bertempur dan membunuh demi alasan yang luhur bukan?"

Suigetsu tergelak, "Yah, Kita tak akan bisa berbaur dengan manusia normal."

"Benar, Monster seperti kita hanya berguna di medan perang. Mati di tangan musuh atau di tangan rekan sendiri sama saja. Aku tak khawatir dengan kematianku."

"Begitu juga diriku, Siapa target kita selanjutnya."

"Gai."

Seringai kejam Suigetsu memamerkan deretan giginya yang tajam. Dia akan menikmati pertarungannya karena dia hanya hidup untuk itu.


Berita Selir Haruno di hukum oleh kaisar tersiar dengan cepat hingga di istana utara. Ibu suri yang tengah bicara dengan Danzo terlihat gusar.

"Aku sudah tak bisa menasihati Itachi lagi, Dengan memenjarakan selir yang aku pilih dia sudah menunjukkan ketidakpeduliannya padaku. Aku semakin takut wanita Yamanaka itu kian meracuni otak putraku," keluh Ibu Suri Mikoto.

"Tidak ada jalan lain kalau begitu, Kita harus membunuh Permaisuri," anjur Danzo yang baru saja tahu ia diberhentikan dari pekerjaannya. Lelaki tua itu marah karena perdana menteri selalu bisa mematahkan manuvernya, bahkan beberapa orang yang sebelumnya selalu berupaya menjilat kakinya kini menjaga jarak.

Ibu suri mendengus, selama ini ia bisa mengatur putranya, tapi semenjak Ino masuk Itachi tak peduli lagi dengan saran darinya. "Atur secepatnya Danzo, Perdana menteri dengan strategis menggantikan semua orang-orangmu. Semakin lama kau menunggu semakin lemah pengaruhmu. Apalagi Putraku telah mencabut jabatanmu juga."

"Hamba jadi khawatir, Saat permaisuri melahirkan putra mahkota. Klan Yamanaka akan menyingkirkan yang mulia, dengan begitu Ino akan menjadi pemegang kekuasaan."

"Aku juga berpikir begitu. Sebab itu lakukan sesuatu segera, tapi jangan sampai orang-orang curiga padaku. Singkirkan dia dengan bersih."

"Hamba mengerti ibu suri." Danzo membungkuk menerima perintah. ia sudah tahu siapa yang akan dia kirim.


Malam itu Sakura meringkuk di dalam penjara. Mengapa rencananya tak pernah berjalan lancar. Dulu ia bisa memanipulasi Ino untuk melakukan sesuatu untuknya, ia mendapatkan pakaian, perhiasan dan uang, tapi sekarang Ino cepat tanggap dan curiga. Ini memang aneh kenapa Ino berubah menjadi seseorang yang skeptis dalam semalam. Dia yang terbaring di atas jerami segera berdiri melihat seseorang mendekat.

Wanita berpakaian pelayan muncul membawa keranjang berisi makanan. Dia berbicara sebentar pada pengawal dan menunjukkan sesuatu.

Sang pengawal membukakan pintu penjara membiarkan pelayan itu masuk.

"Siapa kau, Apa kau datang untuk menolongku?"

"Aku datang untuk membawakanmu makanan." Setelah meletakkan barang bawaannya di lantai dia berbisik di telinga Sakura. "Rumahmu telah dibakar dan keluargamu sudah dihabisi. Amarah permaisuri tak bisa kau hindari."

Wajah Sakura memucat.

"Beliau memutuskan hukuman pancung sebagai peringatan bagi yang mencoba mengusiknya dan tubuhmu akan dipamerkan di alun-alun istana sebagai contoh bagi orang-orang yang berani menentangnya," tambah pelayan itu lagi.

Dari balik lengan bajunya sang pelayan misterius itu memberikan botol porselen kecil dan menyelipkannya ditangan Selir Haruno. "Kau punya pilihan."

Sakura gemetar, Ino berniat memancungnya pasti karena gadis itu dendam. Apa kesalahannya begitu buruk? Ibu suri tak jua muncul untuk membelanya. Apa dia sudah tak punya harapan?

Ia bahkan belum sempat menikmati kemewahan di istana dan sekarang harus mati untuk sesuatu yang dia lakukan karena perintah orang lain. Sakura tak sanggup membayangkan kengerian saat golok menebas lehernya, Ia tak mau jadi tontonan. Tanpa berpikir panjang gadis malang itu pun meminum racun yang diberikan. Sakura merasa sangat menyesal. Yang dia inginkan hanya status dan uang, tapi dia malah menjadi tumbal permainan ini.

"Terkutuklah kau Ino Yamanaka!" Desis wanita itu sambil memegangi tenggorokannya yang terasa terbakar.


Shion berjalan dengan terburu-buru. Ia mencari permaisuri yang masih sibuk menulis.

"Permaisuri, Ada kabar buruk?

"Ada apa Shion?"

"Selir Haruno mati di penjara."

"Apa?" Ino sontak terkejut. Proses pengadilan belum dilakukan hukuman belum diputuskan dan Sakura sudah mati.

"Dan hamba juga mendengar rumah keluarga Haruno terbakar dan mereka semua mati."

"Siapa yang melakukan ini?, Shion di mana Yang mulia?"

"Saya dengar beliau masih di ruang kebijakan."

Ino segera ke sana. Begitu tiba ia disambut oleh wajah kalut sang Kaisar. Tampak beberapa lembar surat tergelak di atas meja.

Ino menduga sesuatu yang lebih buruk terjadi.

"Yang mulia, Apakah saya datang di saat yang tidak tepat?," tanya Ino pada lelaki yang duduk di kursi. Kedua tangan Itachi terlipat di meja.

"Baru saja aku menerima kabar. Benteng timur telah jatuh dan Sasuke terluka." Itachi menyandarkan punggungnya. Rasa cemas membuat tubuhnya terasa berat.

"Bagaimana mungkin, Bukankah pasukan Otogakure telah dipukul mundur?"

"Menurut keterangan Sasuke, pengawas benteng berkhianat dan meracuni sumur. Sekarang dia dan sisa pasukan mundur ke kota timur sambil menanti bantuan. Kalau sudah seperti ini perang tak terelakkan lagi. Aku tak bisa membiarkan pasukan Otogakure terus maju dan berhasil menginvasi kota timur. Apa yang membawa permaisuri ke mari?"

"Anda belum menerima laporannya? Selir Haruno bunuh diri dalam penjara."

"Apa? Itu tidak mungkin."

"Bisa saja seseorang memaksanya bunuh diri."

"Begitu banyak hal yang terjadi hari ini." Sang kaisar memijat keningnya. "Siapa yang menurutmu menginginkan Selir Haruno mati?"

"Mungkin Sasuke? Sakura tahu hubungan kami dan barangkali Sasuke takut terekspos."

"Sasuke pergi ke timur jauh sebelum ibunda membawa gadis itu ke istana. Bagaimana mungkin dia tahu soal Sakura Haruno menjadi selir. Apa mungkin ibunda sendiri yang menyingkirkannya?, tapi aku tidak melihat apa manfaat yang didapatkan ibu suri dengan membunuh selir Haruno?"

"Mungkin Ibu suri tak ingin ketahuan memfasilitasi salah seorang selir untuk memperdaya anda."

"Aku pikir memindahkan ibunda ke istana utara akan menyadarkannya untuk tidak ikut campur, tapi ternyata ibunda masih seperti ini. Apakah kematian selir Haruno akan merugikanmu?"

"Tidak, Saya cuma merasa sedikit sayang karena tak bisa melihatnya tersiksa lebih lama."

"Kalau begitu biarkan saja kasus ini berlalu, kematian selir Haruno tidak penting."

"Tapi anda tetap harus menyelidikinya." Tuntut Ino.

"Baiklah, akan tetapi hal ini tak menjadi prioritasku. Masalah dengan Otogakure jauh lebih genting. Aku akan pergi ke timur bersama pasukan kerajaan."

"Tidak boleh, Anda harus tetap di ibukota. Ketimbang mengangkat senjata, bukankah lebih baik anda menempuh jalur diplomasi. Jangan lupa kondisi keuangan kerajaan tidak cukup sehat untuk menanggung perang."

"Shikaku Nara saat ini telah mengusahakan perundingan, tapi permaisuri jika kita yang bentengnya telah jatuh dan perbatasannya diserang membuka keran negosiasi dan menuruti permintaan mereka bukankah secara tidak langsung aku mengumumkan kita telah menyerah? Kerajaan sebesar Konoha tidak bisa membiarkan dirinya didikte begitu saja. Jika aku menuruti permintaan Otogakure, itu akan memberi kepercayaan pada kerajaan-kerajaan lainnya untuk melakukan hal yang sama."

"Saya memahami itu, tapi anda tak perlu meninggalkan ibu kota dan memimpin pasukan bantuan sendiri. Masih banyak panglima yang punya keahlian. Anda harus memastikan jika ini bukan jebakan yang dipersiapkan oleh pangeran Sasuke."

"Aku sedang menanti konfirmasi dari Shikaku Nara. Rasanya mustahil jika Sasuke punya pengaruh yang begitu besar, sampai-sampai mampu menggerakkan tentara kerajaan tetangga."

"Bisa terjadi jika dia menjual Konoha pada mereka." Ino bersikeras untuk mencegah Itachi pergi.

"Ino, Adikku berambisi ingin naik takhta. Bukankah aneh jika dia menjual negeri yang ingin dia pimpin?"

"Kita tak tahu sejauh mana Sasuke mampu berbuat demi ambisinya menjungkalkan anda. Jangan pernah turunkan kewaspadaan anda, Yang mulia."

"Aku akan mengadakan rapat dengan perdana menteri dan para jendral untuk membahas masalah ini. Kau bisa tinggal jika kau mau."

"Terima kasih Yang mulia, tapi alangkah baiknya jika anda mengizinkan hamba untuk ke luar istana."

Itachi tampak menimbang. "Baiklah, bawa Sai bersamamu."

"Terima kasih yang mulia." Ino memutuskan untuk menemui Nyonya Tsunade.

Setelah permaisuri pergi, Kaisar memerintahkan pengawal bayangannya untuk menjaga dan mengawasi Ino.

Perang dengan Otogakure sepertinya tak terhindarkan. Dia tak paham apa yang sebenarnya Otogakure inginkan dengan menyerang Konoha? Jelas-jelas mereka menanggung banyak kerugian karena telah dikalahkan berkali-kali oleh Sasuke, tapi kenapa mereka terus mencoba? Apakah kerajaan Otogakure tahu sesuatu yang dia sendiri tak tahu tentang wilayah timur?


Shikamaru menguap, Ia menatap jalanan yang kosong dari jendela kereta. Tak banyak yang bisa dilihat. Sepanjang mata memandang hanya ada hamparan tanah beku dengan rerumputan yang nyaris mati. Pemandangan ini kontras dengan padang pasir yang menjadi rumahnya selama nyaris setahun.

Wanita memang menyusahkan. Satu surat dari ibunya membuat mereka semua langsung naik kereta menuju Ibu kota. Ayahnya masih di timur menjalankan tugas kaisar. Entah kenapa sampai sekarang Kaisar membiarkan wilayah timur tanpa pemimpin. Padahal tidak susah menunjuk keluarga dengan pengaruh besar untuk menggantikan klan Otsutsuki dengan begitu ayahnya bisa pulang dan menjaga ibunya yang sedang sakit. Shikamaru curiga ada sesuatu yang sinis tenggah digodok di wilayah timur. Ayahnya berkata, bangsawan di tempat itu tak bisa dipercaya.

Di sebelahnya sang istri duduk sambil menimang-nimang bayi mungil dengan rambut hitam yang dibalut dengan selimut bulu tebal. Sang bayi tampak tertidur dengan tenang.

"Dia lucu sekali." Ujar Temari sambil menepuk-nepuk pantat si bayi yang baru berusia tiga bulan.

"Temari, Hati-hati jangan sampai membangunkannya."

"Aku sudah pintar menjaga bayi, Aku merasa ingin punya satu."

Shikamaru menoleh memberikan istrinya tatapan mengejek. "Kau tak berharap anak dariku kan?"

Temari mendengus, "Jangan bermimpi."

"Sayang sekali aku suamimu, jika kau ingin anak mau tak mau kau harus menerima benihku. Kecuali kau berniat bercerai dan membuat hidupku lebih mudah."

"Kau memang menyebalkan, Entah bagaimana aku bisa tetap waras tinggal satu atap bersamamu."

"Aku sendiri terkejut sampai sekarang tak satu tulangku pun patah." Shikamaru menyindir.

"Haish, Kau membuatku terdengar seperti istri barbar."

"Kau memang barbar dan menyebalkan."

Temari balas menatap tajam, tapi lelaki itu memalingkan wajah menyembunyikan senyumnya. Dia belakangan sadar kalau dia menyukai istrinya. Ia tak menyesal membiarkan wanita itu secara harfiah menyeretnya ke pelaminan dan berterima kasih sudah mengatur segalanya karena jujur saja ia terlalu malas melakukannya sendiri. Lelaki seperti dirinya butuh motivasi yang bernama paksaan.

Di kereta itu masih ada satu penumpang lagi, tapi dia lebih banyak membisu. Rambut merahnya pendek sebahu dengan wajah yang seharusnya indah andai saja separuhnya bebas dari luka bakar.

"Yura, Apa kau baik-baik saja?" Temari bertanya pada gadis itu. Dia dan Shikamaru menemukan Yura yang tengah hamil besar hampir dihajar massa karena mencuri makanan. Saat itu ia dan Shikamaru baru saja kembali dari kota timur untuk mengunjungi Ayah mertua. Temari yang merasa kasihan membawa gadis itu ke barat dan menjadikannya pelayan.

"Hamba baik-baik saja nyonya, Bukankah lebih baik bila hamba dan bayi hamba menumpang di kereta barang agar tidak mengganggu kalian?" ujar sang gadis berambut merah.

"Tidak boleh, lebih nyaman jika kau dan Kazuto berada di kereta ini. Aku tak paham mengapa kau bersikeras ikut ke ibu kota, padahal kau baru saja melahirkan."

"Nyonya, Hamba berharap bertemu keluarga hamba di Ibukota dan menyerahkan bayi ini pada seseorang."

Temari mendekap sang bayi yang sejak lahir tak begitu dipedulikan oleh wanita yang melahirkannya. Yura tetap menyusui bayi itu, tapi tidak tampak keeratan dan kasih sayang yang biasanya tumbuh secara alami dari seorang ibu.

Shikamaru punya teori kemungkinan Yura tak menginginkan kehamilan itu. Mudah membayangkan gadis yang sebatang kara menjadi korban pemerkosaan, mungkin dia juga disiksa karena menurut tabib luka bakar yang diderita Yura bukan luka lama. Jika ia membenci bayinya hal itu wajar saja. Temari merasa sedih, melihat nasib gadis itu. Yura tak banyak bicara tentang dirinya. Dia hanya bercerita dia sudah menjadi yatim piatu sejak kecil dan melakukan pekerjaan ini itu dengan kedua orang temannya.

Yura melihat bayi itu dengan tatapan tak tertarik. Ia membenci anak itu. Andai saja dia terlihat seperti dirinya mungkin dia bisa menyayangi anak itu. Bahkan jika anak itu mirip Toneri Otsutuski ia masih bisa menerimanya, Tetapi kenapa Kazuto terlihat persis seperti lelaki itu.

Sungguh ini lelucon yang buruk. Di lain waktu ia memang pernah bermimpi untuk memiliki anak darinya, tapi sekarang yang tersisa hanya rasa dendam.

Yura membuang muka, Api yang membakar kulitnya seakan masih terasa. Dia tak keberatan mati demi tuannya menjalankan misi, tapi yang membuat dia merasa sakit tuannya tega ikut berpartisipasi menyiksanya demi mematahkan kecurigaan. Tidakkah dia punya sedikit niat untuk menolong.

Tawa Toneri terngiang-ngiang di telinga. Ia mengatakan Tuannya menganggap dia tak lebih berharga dari seekor anjing. Ia ingin menyangkal, ia berharap tuannya akan peduli, akan menyelamatkannya. Hati, tubuh dan jiwanya telah hancur.

Ia ikut bersama Temari Nara ke ibu kota dengan harapan untuk bisa melihat tuannya sekali lagi dan memberitahu dunia betapa busuknya Sasuke Uchiha.


Bersambung.