The dance of The Flower
Part 26
Benteng Tepi Barat, Suna selatan.
Nyala obor di dinding menerangi salah satu bilik di dalam benteng. Prajurit-prajurit berdiri di posisi masing-masing menjaga setiap lorong dan pintu. Beberapa terlihat sibuk membereskan tumpukan senjata dan mencatat jumlah perlengkapan yang dibutuhkan.
Itachi sedari tadi duduk memeriksa semua surat dan membakarnya. Obito, yang entah berada dimana, sesekali mengabarinya tentang pergerakan kerajaan-kerajaan di perbatasan. Otogakure masih bertindak misterius. Ia pun meminta Obito untuk mencari tahu koneksi Orochimaru di kerajaan itu.
Dari kepingan informasi yang diberikan tuan Jiraiya dan Nona Tsunade, selepas kejatuhan klan senju. Lelaki itu sepertinya bersembunyi di Otogakure sebelum kembali ke Konoha dan memasuki istana sebagai Shaman. Anehnya, Kenapa tak seorang pun selain Danzo yang mengingat lelaki itu. Ayahnya sendiri tak pernah mengulik asal usul Sang Shaman, percaya begitu saja seakan-akan telah dicuci otaknya.
Obito mengawasi orochimaru dari dekat dan mengkonfirmasi obsesi lelaki itu pada tubuh manusia dan rahasia dewa, meski ditambah dengan keterangan yang dia dapat dari kelompok hebi ia masih tak bisa membuat deduksi apa yang diinginkan oleh orochimaru.
Jika orang seberbahaya seperti itu menjadi tutor Sasuke, Mungkin wajar bila adiknya menjadi begitu kejam. Adiknya selama ini dikelilingi orang-orang buruk yang sengaja menunjukan jalan sesat dan bisa jadi sejak awal Sasuke tak lebih dari bidak dari suatu rencana yang lebih sinis.
Masih menjadi misteri mengapa Orochimaru, menyelipkan diri dalam keluarga kerajaan, apa keuntunggan yang dia harapkan dari Sasuke? Apa yang dia cari di istana, mendekatkan diri dengan Kaisar tapi tak berniat berkuasa?
Dari beberapa lembar buku catatan lama yang diambil dari ruang kerja Kabuto, Itachi menemukan beberapa nama anggota klannya yang diduga menghilang. Ternyata mereka menjadi subjek penelitian. Tak hanya klan Uchiha, ia juga menemukan beberapa nama anggota klan Otsutsuki dan keluarga-keluarga yang menurut cerita merupakan sisa dari garis keturunan khusus.
Itachi secara pribadi tak percaya hal yang berhubungan dengan hal -hal gaib, tapi legenda yang beredar secara turun temurun menyebutkan beberapa keluarga yang mendiami benua ini adalah keturunan dewa yang memiliki karunia, klan Uchiha adalah salah satunya. Leluhur mereka diceritakan sebagai keturunan dewa matahari yang bisa menaklukan naga, tapi seiring waktu dan abad yang berlalu membuat karunia untuk menguasai api melemah hingga tak tersisa satupun selain keungulan fisik di atas rata-rata yang menyebabkan rasa superioritas dan kesombongan. Mungkin itu juga alasan klan Uchiha memusnahkan klan Senju, mereka merasa lebih pantas menjadi pemimpin.
Menyelesaikan tugas korespondensinya, Itachi merasa tak bisa lagi mengulur waktu, semakin lama dia menunggu semakin buruk kondisi di ibu kota.
"Berapa lama lagi persiapan akan selesai?", tanya Itachi pada Kankuro.
"Sekitar sebulan, Gaara akan bergabung dengan kita di dataran tengah."
"Kita tak bisa menunggu selama itu. Aku dengar Sasuke mendesak menteri ritual untuk mempercepat acara penobatan." Itachi mengetuk-ngetukan jari, sembari menghitung usia kehamilan Ino. Seharusnya wanita yang sedang hamil tidak boleh melaksanakan upacara pernikahan. Perdana menteri pasti menggunakan alasan itu dan masa berkabung untuk mengulur waktu.
"Apa bedanya kita menyerang sebelum dan sesudah dia naik tahkta, Yang mulia?"
"Gaara sudah keluar dari istana, selain Azuma yang sibuk memilah tentara kerajaan kita tak punya kontak lagi. Meminta informasi pada perdana menteri juga mejadi sangat riskan, tak mungkin Sasuke tidak mengawasi keluarga Yamanaka. Semakin lama menunggu semakin aku mengkhawatirkan kondisi Permaisuri dan bayinya. Aku tak mau mereka tinggal di bawah bayangan ancaman kekejaman Sasuke lebih lama. "
"Sepertinya dia juga mengirimkan mata-mata untuk mengawasi Gaara. Kewaspadaan Sasuke semakin meningkat menyadari kakakku tak langsung pulang ke barat, tapi malah mendirikan kemah di dataran tengah. Tuan Jiraiya juga mengabarkan pasukan Sasuke yang berada di kota timur pelan-pelan ditarik ke ke ibu kota. Hal ini membuat para bangsawan resah melihat terlalu banyak pasukan militer siaga."
"Sekarang, hal yang bisa kita lakukan adalah menyembunyikan kekuatan. Sebarkan informasi palsu tentang jumlah prajurit dan persenjataan kita. Buat seakan-akan kita sedang kekurangan sumber daya. Karena kita akan langsung menyerang istana, pertempuran dalam ibu kota tidak bisa kita hindari. Utakata, Apa ada berita dari Azuma?", tanya Itachi pada ajudannya.
"Lapor Yang mulia, Azuma Sarutobi secara diam-diam membentuk faksi pro-kaisar dalam pasukan kerajaan Beliau juga berpesan gerbang utara dan barat daya bisa kita gunakan untuk menginfiltrasi Ibu kota."
Itachi mengamati peta di meja. "Kankuro, kau dan kelompokmu memutar di area ini menuju ke timur." Dia menujukkan gambar sebuah jalan di peta. "Akses ibu kota dan wilayah timur harus ditutup, Jangan biarkan sisa pasukan Susanoo bergabung di ibu kota. Aku akan masuk melalui gerbang utara dan Gaara melalui gerbang barat daya. Hindari pertempuran di areal penukiman, kita akan langsung menuju istana."
"Hamba mengerti!,"
.
.
Ino merasa benar-benar suntuk di istana. Ia ingin keluar walau hanya sekejap saja, menikmati pasar maupun padang rumput di luar gerbang kota. Ia merindukan kebebasan, ia ingin melarikan diri sejenak dari perdebatannya dengan Sasuke.
"Shion, Sudah berapa lama kita tidak keluar istana?"
"Sudah lama sekali permaisuri."
"Panggil Sai, Aku ingin pergi berkuda ke padang rumput."
"…tapi," Shion menunjuk perut Ino yang membuncit dangan ekspresi tidak setuju.
"Aku perlu mengubah suasana hatiku, Baiklah tidak perlu berkuda kita berkereta saja. Siapkan pakaian dayang untukku."
"Baik permaisuri."
Tanpa diketahui seorang dayang senior sedang menguping dari balik pintu. Berlagak tidak mendengar apa-apa, dia berjalan keluar dari paviliun permata untuk menemui seorang kasim dan membisikan sesuatu. Sang kasim menyerahkan beberapa keping koin dan pergi entah ke mana.
Ino dan Shion menyamar sebagai pegawai dapur istana sedangkan Sai meminjam seragam prajurit. Dia mengendarai kudanya nya sendiri mengawal kereta kayu sederhana yang kerap digunakan pelayan untuk berbelanja kebutuhan dapur. Ino juga memalsukan surat izin untuk mengelabui penjaga gerbang.
Awalnya mereka berniat menemui Nyonya Tsunade, tapi dia tak menemukan siapa pun di kedai teh. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke pinggir kota menikmati suasana alam tanpa merasa terbebani.
Shion membuka jendela kereta, tersenyum sumringah melihat hiruk pikuk jalan. Sebuah kereta kuda lain berpapasan dengan mereka. Sai tak menyadari kusir kereta itu melemparkan jarum ke arah kuda-kuda kereta permaisuri. Selama kurang lebih setengah jam mereka pun akhirnya melewati gerbang Ibu kota. Jalanan tak lagi mulus, hanya tanah padat yang berbatu. Entah kenapa tiba-tiba kuda melaju dengan kencang.
Ino dan Shion terguncang-guncang nyaris terjungkal dari duduknya, mereka berpegangan kuat pada bangku agar tidak terpental.
Kusir begitu panik, ia tidak bisa mengendalikan kuda-kuda yang bergerak semakin liar seperti kesurupan. Sai memacu kudanya menyamakan kecepatan.
"Apa yang terjadi?", teriak Sai sembari mengontrol kudanya yang berlari.
"Kuda-kuda ini tak bisa dikendalikan." Kusir menjerit panik. Dia memegang tali kekang dengan erat, tapi kekuatan satu laki-laki tua tidak sepadan dengan dua ekor tenaga kuda. Kereta pun keluar dari jalur melintasi turunan. Shion dan Ino di dalam sana berusaha menjaga keseimbangan. Beberapa kali kepala mereka membentur dinding kayu.
Sai dengan ilmu meringankan tubuhnya melompat dari kuda yang berpacu menuju kereta yang meluncur dengan kencang, mereka berada di lereng bukit.
Ketika salah satu roda kereta terantuk batu, sang kusir pun terpental dari kereta dan terguling di tanah.
Sai dengan cekatan meraih tali kemudi, mengerahkan semua tenaganya menarik tali, tetapi kuda-kudanya tidak merspon pada perintah. Binatang itu sudah gila. Ia tidak bisa membiarkan permaisuri dalam posisi berbahaya. Sai meraih pisau yang terselip di pingangang. Berusaha melepaskan tali penghubung kuda-kuda itu pada kereta. Membutuhkan banyak waktu untuk memotong seutas tali yang tebal. Sementara itu kereta tak berhenti meluncur dengan kecepatan tinggi. Roda-roda kayu mulai berderak, longar dari as nya.
Sai mendengar jeritan Shion, ia dengan susah payah memotong tali kuda yang tersisa. Sialnya ini lereng bukit, kereta tidak akan berhenti meluncur sampai menabrak sesuatu. Sai dengan cekatan naik ke atap kereta dan masuk melalui jendela.
Ada Shion dan Ino yang masih berusaha duduk ditengah guncangan kereta yang makin tidak stabil. "Aku sudah melepas kuda-kuda itu, tapi kereta ini akan terus meluncur atau terguling. Permaisuri, Shion. Kalian harus melompat dari kereta."
Sai menendang pintu. Shion pucat melihat pepohonan yang terus bergerak. Kemudian mengangguk pada rekannya. "Melompatlah dengan Permaisuri."
Sai yang tak pernah menyentuh majikannya tanpa ragu meraih tangan Ino, Ia melompat dan memeluk wanita itu dengan erat. Menjadikan tubuhnya sendiri sebagai alas agar Ino tak jatuh dengan mengalami benturan keras. Sai meringis, tubuhnya menghantam tanah dan berguling beberapa kali. Ino bersyukur tangan besar Sai di kepalanya membuat proses jatuh tak begitu sakit.
Shion panik sendiri, ia takut untuk melompat tapi sadar kereta ini melaju ke arah sebuah pohon besar. Satu roda terlepas. Kereta pun terguling.
"Shion!!!", Ino berteriak dengan lantang melihat kejadian itu.
Dayang itu terjengkang, tubuhnya terempas membentur langit-langit kereta. Saat kereta terhenti Shion sudah tak sadarkan diri, darah mengalir dari luka di kepala.
Ino berlari menuju kereta yang hancur. Sai menyusul dan mengeluarkan tubuh Shion dengan hati-hati. Dengan cermat dia membaringkan sang dayang yang pingsan di permukaan tanah yang datar dan memeriksa luka-lukanya.
Ino tanpa pikir panjang, mengeluarkan saputangan sutranya mencoba menutup luka di pelipis gadis itu. "Kita harus kembali ke istana, Shion butuh pertolongan."
Ino melihat ke sekeliling, Kuda membawa mereka jauh dari jalur jalan utama. Hanya ada kuda Sai dan kereta rusak, tak mungkin kembali ke ibu kota seperti ini.
"Sai, Cepat cari bantuan!"
"…,tapi siapa yang akan menjaga anda di sini? Kuda-kuda itu diracuni orang. Ada yang berusaha mencelakai anda Permaisuri."
"Aku tahu, tapi aku tak bisa membiarkan Shion mati. Sai aku mohon! Cari bantuan secepatnya."
Sai bimbang, tapi ia tak punya pilihan. "Tunggulah saya di sini."
Lelaki itu bersiul memanggil kudanya, dengan tangkas ia melompat ke pelana dan memacu kuda itu agar berlari cepat.
Naruto melintasi bukit, akhirnya dia kembali ke Ibu kota, Berita kematian kaisar mengejutkannya. Sekarang pada siapa dia harus melaporkan peristiwa yang terjadi di benteng timur. Dia harus menemukan gurunya.
Sosok tubuh terkapar di rumput mengejutkannya, turun dari kuda. Ia membalikkan tubuh yang tak bergerak itu. Tak ada nafas, pak tua yang malang ini sudah meninggal. Naruto mengecek kembali tanda-tanda kekerasan di tubuh mayat itu, tapi tidak menemukan satu pun kecuali leher yang patah. Tak ada bekas cekikan. Apa mungkin kakek ini mengalami kecelakaan, tapi di mana kudanya?.
Tak tega meninggalkan mayat itu begitu saja, Naruto menggali lubang dangkal dan mendoakannya. Setiap kematian menyisakan cerita, mungkin saja di suatu tempat ada orang-orang yang menanti kepulangan pria tua ini. Seperti halnya para prajurit yang kehilangan nyawa sia-sia akibat kebusukan pemimpin mereka. Naruto kembali menlanjutkan perjalanan. Jika Sasuke tahu dia masih hidup, ia pasti akan segera diburu.
Sai melihat seorang melintas. Ia pun mendekati penunggang kuda berambut pirang itu.
"Tuan, Tolong berhentilah sebentar. Nyonyaku butuh bantuan. Kereta kami rusak dan seorang pelayan terluka."
"Aku baru saja mengguburkan seorang lelaki tua."
"Itu kusir kami, kuda-kuda mendadak gila dan ia terjatuh dari kereta."
Naruto merasa pernah melihat wajah lelaki berkulit pucat yang tampak tegang itu, tapi dia lupa pernah melihatnya dimana. Merasa orang asing itu bukan penjahat Naruto setuju untuk membantu.
"Aku akan membantu, dimana nyonyamu."
"Terima kasih, saudara pengelana. Ikuti saya."
Ino lega melihat Sai kembali dengan seseorang. Ino telah merobek lengan bajunya untuk menghentikan pendarahan. Luka itu perlu dibersihkan dan dijahit. Shion masih bernafas tetapi ia masih pingsan.
Naruto langsung mengenali wanita itu. Ia turun dari kuda dan berjalan mendekat.
"Permaisuri Ino? Apa yang anda lakukan di luar Istana?"
Sosok bermata biru itu membuatnya terkejut "Kau, Bukankah kau ajudan pangeran Sasuke? Aku dengar dari Jiraiya kau telah tewas."
"Panjang ceritanya, tapi seseorang menyelamatkan saya. Saya turut berduka atas meninggalnya Kaisar Itachi." Naruto mengamati sekelilingnya."Apakah kecelakaan ini disengaja?"
"Seseorang ingin membunuh permaisuri."
Naruto menatap Sai, "Mungkinkah pangeran Sasuke? Saya kembali ke ibu kota untuk mengumbar kejahatannya, tapi sepertinya saya terlambat."
"Belum terlambat, jika kau ingin mereka yang tewas mendapatkan keadilan bergabunglah dengan kami, tapi sekarang aku harus membawa pelayanku ke tabib."
Naruto pun membopong Shion, "Biar saya yang membawa gadis ini. Anda bisa berkuda bersama pengawal anda."
Di tengah-tengah jalanan yang ramai, seorang gadis berambut merah dengan luka bakar di wajahnya berjalan dengan tergesa-gesa menuju kediaman keluarga Nara. Dia harus melakukan sesuatu untuk bisa masuk ke istana. Mungkinkah ia bisa meminta Nona Temari merekomendasikannya untuk bekerja di istana?, tapi Nona Temari pasti akan bertanya mengapa dan wajah ini. Istana tidak memperkerjakan orang cacat.
Tanpa sadar Karin menyentuh pipinya yang menebal dan bertekstur. Ia harus membalas dendam pada lelaki itu. Dia harus mencari orang lain yang bisa membantunya.
"Karin…Karin…"
Seseorang memanggilnya dari tengah kerumunan. Dia pun mencari-cari sumber suara itu. Di ibukota tak ada satu orang pun yang mengenalnya.
Karin menemukan sosok pria tinggi besar menyebut namanya. "Jugo" Dia ingin memeluknya.
"Karin, Pangeran Sasuke bilang kau sudah mati."
"Aku di sini, Saudaraku. Hidup dan bernafas."
"Apa yang terjadi padamu saat menjalankan misi di kota timur?" Jugo meraih wajah Karin dan mengerenyit melihat bekas lukanya.
"Apa Suigetsu bersamamu?"
Jugo mengangguk. "Aku ingin mendengar kisahmu."
Karin memegang tangan Jugo dengan memohon. "Kalian berada di sini karena perintah Sasuke bukan? Tolong jangan pernah memberitahu dia kalau kalian melihatku."
"Kenapa Karin? Bukankah dia adalah Tuan kita?"
"Jugo, Apa kau masih ingin mengorbankan nyawamu untuk orang itu? Orang yang mengangap kita bidak tak berharga?"
"Apa maksudmu?", tanya Jugo meminta penjelasan.
"Kau tahu siapa yang menyiksaku di kota timur? Lelaki sialan itu. Dia mengirimku untuk memata-matai Toneri dan membunuhku agar aku tak bicara. Luka ini, Dia membakarku hidup-hidup setelah semua yang aku lakulan. Jugo, Sasuke tak akan memberi kalian apa-apa. Kalian tak akan mendapatkan apa-apa darinya."
"Lebih baik kita bicara di tempat lain." Lelaki besar itu menarik tangan Karin dan membawanya ke suatu tempat.
Dalam kuil tua yang terbengkalai, Suigetsu berbaring di atas tumpukan jerami. Mereka telah melakukan sema hal yang diperintahkan Sasuke dan sampai saat ini belum ada perintah lain yang muncul. Tangannya sudah gatal ingin membunuh. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki.
"Jugo, Apa kau mendapatkan arak yang aku minta?"
"Aku membawa hal yang lebih baik."
Karin melewati pintu dan akhirnya setelah sekian lama mereka bisa berkumpul kembali. Dia, Jugo dan Suigetsu. Tiga anak yatim yang dipunggut oleh Orochimaru.
.
.
Ino kembali ke Istana, Begitu dayang membuka pintu ia disambut oleh Sasuke yang duduk dengan santai di kursinya. Sang permaisuri menegakkan pungung bersiap menghadapi lelaki tampan yang memberikan senyum liciknya.
"Apa karena Kaisar sudah tidak ada anda bersikap seakan tiap jengkal istana adalah milik anda? Sungguh tidak sopan mengunjungi istana permaisuri malam-malam begini."
Sasuke tidak berdiri untuk memberi salam atau meminta maaf. Tak peduli gelar permaisuri lebih tinggi dari gelar pamgeran ke dua.
"Lalu bagaimana dengan permaisuri yang menyelinap keluar istana dan kembali malam-malam? Beginikah sikap ibu negara dan janda kaisar? Sungguh tak bermartabat."
Tangan Ino mengepal, "Apa yang anda inginkan?"
"Apa rencanamu Yamanaka? Kau mau memanfaatkan anjingmu untuk menggigitku? Kau butuh lebih dari sekedar anjing."
"Aku tak punya niat menjatuhkanmu. Klan Yamanaka siap bekerja sama denganmu."
"Begitukah? Ayahmu terus mengulur-ulur hari penobatanku." Sasuke berdiri dan mendekati Ino. Lelaki itu berdiri di samping permaisuri dengan sorot mata tajam. "Gaara tidak kembali ke wilayahnya."
"Aku tak tahu apa yang dilakukan Jenderal Gaara."
Sasuke meraih beberapa helai rambut Ino yang menjuntai di pipi dan membelainya. "Jangan khawatir, Jika dia berani datang aku akan menghadiahkan kepalanya padamu, seperti halnya aku menghadiahkan peti mati Itachi padamu."
"Aku sungguh membencimu."
Disaksikan oleh kasim dan dayang-dayang, Tanpa rasa hormat Pangeran Sasuke mencium permaisuri.
"Segala hal yang menjadi milik Itachi akan menjadi milikku. Jika kau ingin hidup tenang terima saja kenyataan dan tunduk padaku. Mungkin aku akan mengkasihanimu." Setelah menebar ancaman Sasuke pun meninggalkan paviliun permata.
Ino duduk di meja tulisnya. Apa Gaara akan memberontak? Kenapa? Untuk apa dia mempertaruhkan masa depan wilayahnya? Sang permaisuri mulai menulis surat.
"Sai, beritahu ayahku untuk mengumpulkan tentara bayaran, putus pasokan senjata untuk pasukan kerajaan. Persiapkan semua kekuatan yang dimiliki klan Yamanaka. Kirim orang untuk merusak gudang penyimpanan."
"Anda yakin soal ini?"
"Kita tak bisa pasif, lakukan semua hal yang bisa melemahkan kerajaan ini. Aku tak berniat meninggalkan hal bagus untuk kaisar yang baru."
Sasuke memberinya dua pilihan. Tunduk dan menjadi bonekanya atau mati. Sasuke sudah menunjukan kalau ia bisa membunuh Ino kapam saja. Jika takdir kematian dan keruntuhan klannya tidak bisa dia hindari, maka ia memilih mati dengan perlawanan. Yamanaka Ino tidak akan takut lagi.
