Bumble Trouble 01

by

acyanokouji


Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?

"Hi, boleh kenalan?"

"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"

"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"

.

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Warning: OOC, typo(s), crack couple, plot hole(s)!

.

.

.

Bruk. Hinata merebahkan dirinya di atas kasur. Sambil terlentang, ia memejamkan mata dengan napas naik-turun. Lelah sekali, batinnya. Setelah sekitar tiga menit tak berbuat apa-apa, Hinata mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Menarik tas selempangnya yang tergeletak, Hinata merogoh untuk mengambil gawainya. Membuka kunci layar, jarinya menekan aplikasi berwarna kuning.

"Hm... Terlalu norak." Tangannya menggeser ke kiri setelah melihat foto dari aplikasi. "Ck. Kalau salah umur, ya dibenarkan dong, Dik." Foto lain muncul untuk kembali hilang setelah digeser ke kiri. "Oh," tangan Hinata terhenti saat melihat foto baru. "Menarik." Tangannya bergulir ke bawah sebentar sebelum menggeser ke kanan.

Tring

"Oh, kami match?" tangan Hinata yang lain mengetuk-ngetuk, berpikir. "Halo." Hinata mengetikkan apa yang ia ucap setelah berpikir beberapa saat. Setelah pesan terkirim, Hinata meletakkan gawainya dan bangkit berdiri.

Sembari bersenandung, ia mulai melepas pakaiannya. Menggantungnya pada lemari baju dan menggantinya dengan kaos dan celana santai. Melirik gawainya sedikit, Hinata kembali melanjutkan aktivitasnya untuk bersih-bersih. Usai menghapus makeup-nya, Hinata masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi.

Ting. Sebuah pesan masuk tiba tepat saat Hinata baru keluar dari kamar mandi. Merasa excited, Hinata segera menuju gawainya. Melihat sebuah pemberitahuan pesan dari seseorang bernama 'Sasuke'.

"Hi, boleh berkenalan?" Hinata mengangkat sebelah alisnya sebentar saat membaca pesan. "Tentu saja boleh. Jika tidak, kita tidak mungkin match begini, kan?" Hinata kembali menulis dan mengirimkan perkataannya.

'Kau bisa saja'

'Hinata?'

Hampir Hinata membalas pesan lain masuk lebih dulu. 'Itu benar namamu, kan?' Hinata mengedikkan bahunya sebelum kembali membalas 'ya.'

'Baiklah, kuanggap semua informasi yang kau tayangkan itu benar'

"Siapa juga yang berbohong?" Hinata menaruh gawainya tanpa membalas. Wajahnya yang sudah agak kering mulai ia berikan perawatan harian. Toner, serum, pelembab. Hinata sudah siap kembali ke atas tempat tidur. Sambil mencari posisi yang nyaman untuk bersandar, Hinata membawa gawainya untuk membalas 'Sasuke'.

"Tentu"

'Apa kau tinggal di dekat sini? Jaraknya hanya tiga kilo dari tempatku'

"Cepat sekali membalasnya." Gumam Hinata. "Ya, aku tinggal tak jauh dari Shibuya." Balas Hinata pada 'Sasuke'.

'Baguslah'

Ting. Gawai kembali berbunyi cukup cepat.

'Aku sebenarnya kurang suka berkenalan online'

'Jadi, apa kau tertarik untuk bertemu?'

"Tentu. Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Aku belum tahu apapun soal dirimu." Hinata menunggu sekitar dua menit sebelum gawainya kembali berbunyi.

'Namaku Sasuke. Kau bisa melihat dataku kan?'

"Umurmu benar 32?"

'Ya'

'Kenapa?'

'Kau keberatan dengan lelaki yang lebih tua darimu?'

"Tidak juga"

'Kalau begitu kita bertemu besok malam?'

"Tidak bisa kalau besok"

'Oke, minggu malam?'

"Bagaimana kalau selasa malam?"

"Aku masih ada pekerjaan"

'Baiklah'

'Sampai jumpa selasa malam, Hinata?'

"Iya"

'Selamat malam, Hinata'

Bersamaan dengan pesan terakhir dari 'Sasuke', Hinata terlelap dalam tidurnya tanpa membalas pesan dari 'Sasuke' atau pesan-pesan lain yang ia dapatkan malam itu.

.

.

TOK TOK TOK

"Oy, Hinata! Bangunlah!" suara decakan terdengar dari luar pintu flat Hinata. Sesosok pria itu menggerutu kecil. Tepat sebelum ia kembali mengetuk pintu flat Hinata, pintu terbuka dengan Hinata yang keluar dari dalamnya.

"Iya, iya. Aku sudah siap, Toneri." Hinata keluar dengan kemeja biru dan rok spannya."Kau ini tidak sabaran sekali sebagai teman." Kata Hinata sembari memakai sepatu hitamnya.

"Aku?" Toneri, pria yang menunggu Hinata, menunjuk dirinya sendiri. "Aku kurang sabar apa?" dimulai dengan kalimat itu, Hinata sudah yakin akan kembali diomeli. "Aku selalu mengantar dan menjemputmu pergi bekerja. Membantumu saat ada kebutuhan di flat. Oh, dan jangan lupakan bukan sebulan dua bulan. Enam tahun. Enam tahun aku menemanimu di Tokyo."

Hinata menggulirkan bola matanya. "Iya, Toneri. Sudah, cepatlah, hampir jam sembilan." Hinata menarik singkat tangan Toneri agar segera berjalan mengikutinya. "Lagi pula aku hanya minta antar atau jemput beberapa kali saat jam kerja kita sama, 'kan?" Hinata berbalik sebentar untuk mengoreksi ucapan Toneri.

Dengan Toneri yang kembali membalas ucapan Hinata, mereka terlibat perbincangan kecil menuju sepeda motor Toneri. Bahkan selama perjalanan, mereka kembali ribut karena Hinata yang selalu menjawab pertanyaan Toneri dengan pertanyaan balik berupa kata 'Hah?'.

Tuk. Toneri menghentikan sepeda motornya di depan sebuah mall besar. Hinata segera turun dan melepaskan helm-nya. "Ingin kujemput nanti sore?" tanya Toneri sembari mengambil helm yang Hinata lepas. "Tidak perlu, aku akan pulang sendiri." Hinata tersenyum agak lebar. "Jangan bilang–"

"Oh, Toneri." Hinata memotong ucapan Toneri lebih dulu. "Jangan menceramahiku apa-apa. Sudahlah, pergi sana. Nanti kau telat." Usirnya. Karena ingin menjaga suasana hatinya, Hinata berjalan menjauh lebih dulu. Segera memasuki gedung mall dan menuju salah satu toko pakaian yang sudah mulai akan dibuka.

"Hinata, sudah tiba?" seorang perempuan dengan rambut pirang memanggil Hinata. "Tumben mengambil shift pagi. Kau mau kencan malam minggu ini, ya?" godanya.

Pipi Hinata memerah sedikit dengan godaan dari rekan kerjanya. "Ah, tidak, Ino. Aku sedang ingin saja." Hinata menutup pembicaraan dengan berpura-pura sibuk merapikan etalase toko. Beruntungnya, toko tempatnya bekerja ramai dikunjungi sehingga tidak ada celah untuk Ino menggodanya lagi sepanjang hari.

Begitu masuk pergantian jaga, Hinata dengan terburu pamit pada manajer toko yang sayangnya itu adalah Ino. "Terburu-buru sekali. Sudah pasti kencan, 'kan?" Ino kembali menggodanya saat toko ditangani oleh pegawai. "Oh, ayolah, Ino. Aku akan terlambat kalau kau bertanya sebelum kumulai." Wajah cemberut Hinata membuat Ino tertawa agak heboh yang menyebabkan mereka menjadi pusat perhatian sebentar.

"Selamat bersenang-senang, Hinata!" kerlingan Ino mengiringi kepergian Hinata yang agak terburu keluar gedung. Memesan ojek online pukul lima lewat delapan menit, Hinata pergi ke arah utara. Menuju sebuah rumah makan bergaya Jepang yang menjadi tempat janjiannya dengan seseorang.

.

.

Syurrr. Hinata membasuh wajahnya di toilet restoran setelah memastikan orang yang ditunggunya belum tiba. Usai mengeringkan wajah dengan tisu, Hinata mulai kembali memakai riasan wajahnya. Selesai mengaplikasikan lipstick tipis, Hinata mengeluarkan kemejanya dari dalam rok. Merapikannya sedikit.

"Tidak buruk." Ujarnya usai mencium badan sendiri. Merogoh tas selempangnya, Hinata menyemprotkan parfum di sekitar badannya. Sekali lagi merapikan rambut panjangnya yang tergerai, Hinata tersenyum dan bersiap kembali ke meja yang sudah dipesan.

Duduk gusar di atas tatami, Hinata menerka-nerka. Kira-kira, seperti apa orang yang beberapa hari ini bertukar pesan dengannya? Apakah mereka akan cocok di dunia nyata? Ataukah hanya akan berakhir seperti pertemuan sebelum-sebelumnya?

Srettt. "Hinata?" namanya dipanggil. Dengan jantung sedikit berdebar, Hinata menoleh ke arah pintu yang digeser. "Kau benar Hinata, 'kan?" suara lembut dari pria berambut hitam yang juga tersenyum lembut padanya semakin membuat Hinata berdebar.

"Ya," Hinata bicara sedikit cepat. "Kau... Sai?" laki-laki itu kembali tersenyum sebelum menutup pintu dan berjalan ke seberang Hinata. "Ya, Sai. Sai Shimura." Ucap pria itu sembari mendudukkan diri di hadapan Hinata.

"Akhirnya kita bisa bertemu." Sai kembali memulai pembicaraan. Senyuman yang selalu menyertainya membuat Hinata lebih santai. "Apa kau sudah menunggu lama?"

Hinata menggeleng pelan. "Aku juga baru tiba." Sai mengangguk-angguk mengerti. "Bagaimana dengan pesanannya? Kau tidak masalah dengan menu yang sudah kupesan, 'kan?" tanyanya.

"Tidak papa. Aku tidak punya alergi khusus." Jawab Hinata. Sai kembali mengangguk tanpa memutus pandangannya pada Hinata.

"Jadi, seperti yang sudah aku bicarakan di bumble, aku Sai Shimura. Umurku dua puluh delapan tahun dan aku seorang pegawai BUMN. Salam kenal, Hinata." Sai sedikit memiringkan kepalanya dengan senyuman yang kian melebar.

Sedikit canggung, Hinata balas tersenyum sebelum balik memperkenalkan dirinya. "Aku Hinata Hyuuga. Umurku hampir dua puluh empat tahun ini. Mahasiswa dan bekerja sambilan?"

Tak ada balasan dari Sai. Pria itu hanya terus menatap wajahnya hingga tanpa sadar jarang berkedip. Waktu yang terus berlalu membuat Hinata merasa gusar, khawatir salah bicara. "Kau tahu, Hinata?" ucapan Sai menyadarkan Hinata kembali. "Kau punya bola mata yang indah."

Eh? Pujian yang tiba-tiba membuat Hinata sedikit terkejut. "Sedari tadi aku perhatikan. Kukira kau memakai lensa mata. Tapi sepertinya asli, ya?" tanya Sai retoris. "Matamu sangat cantik."

"Terima kasih. Kau juga..." otak Hinata berpikir. "Punya senyuman yang manis."

"Benarkah?" Sai sedikit memundurkan tubuhnya. "Aku memang sering mendengarnya. Yah, kau tahulah. Bekerja di dunia perbankan memang memaksa kita untuk bersikap ramah." Kekehan kecil terdengar dari Sai yang menenggelamkan matanya dalam senyuman.

Tak lama, pintu shouji dibuka. Pelayan datang dan meletakkan pesanan di atas meja. Fokus memerhatikan piring-piring yang ditata, Hinata tak sadar mata Sai yang sudah kembali memandangnya.

"Aku suka penampilanmu. Cukup formal, menambahkan kesan dewasa padamu." Entah pujian atau apa, tapi ucapan Sai benar-benar di luar prediksi. Bahkan Hinata yakin melihat tangan pelayan sedikit terhenti karena ucapan Sai. "Kau membuatku semakin penasaran. Foto-fotomu di aplikasi lebih santai dan sekarang aku seperti melihat versi lain darimu."

"Maaf, aku baru kembali dari tempat kerja." Meskipun sudah yakin hubungannya sedikit banyak diketahui pelayan, Hinata sangat berterima kasih karena pelayan akhirnya pergi.

"Oh, tidak. Aku malah suka. Kau terlihat lebih keibuan dengan pakaian begitu." Tak bisa memberikan reaksi selain tersenyum dan mengucap terima kasih, Hinata mulai merapikan alat makan sebagai kode. "Baiklah, mari kita makan, Hinata."

Baru saja menyuap dan merasa tenang, Sai lagi-lagi membuka pembicaraan. "Jadi, apa yang kau cari dari aplikasi kencan?" tanya Sai sembali menyuap. Hinata yang masih mengunyah, menyelesaikan suapannya sebelum menjawab. "Entahlah. Tentu aku ingin punya pasangan. Tapi, kita hanya bisa melihat ke depannya?" jawab Hinata ragu.

"Betul." Sai mengangkat sumpit tanda setuju. "Aku pun ingin mencari pasangan untuk komitmen jika memungkinkan." Suapan demi suapan sudah mulai memasuki mulut keduanya masing-masing. "Menurutmu, apa kau bisa menjadi ibu rumah tangga jika kita menikah?"

"Uhuk! Uhuk!" Hinata tersedak seketika. Berusaha menenangkan diri, menelan sisa makanan yang ada di dalam mulutnya. Lalu, Hinata mengambil gelas berisi ocha seorang diri meskipun ia dapat melihat Sai yang terlihat agak ragu ingin membantunya.

"Maaf, kau bilang apa tadi, Sai?" tanya Hinata usai menenangkan diri. "Aku bilang, apa kau bisa menjadi ibu rumah tangga jika kita menikah?" Sai mengulangi pertanyaannya.

Dengan lebih tenang, Hinata menghirup udara. "Aku cukup terkejut dengan pertanyaanmu. Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan jawaban yang mungkin akan memuaskanmu." Hinata menegakkan posisi duduknya. "Seperti yang kau tahu, aku masih menjadi mahasiswa dan berdiam diri di rumah setelah lulus belum pernah terpikirkan olehku. Jadi, sepertinya aku tidak bisa memenuhi keinginanmu."

"Lagipula, bukankah ini agak sedikit terlalu awal? Kupikir setidaknya kita bisa memiliki makan malam yang lebih tenang?" tanya Hinata ragu.

"Kau benar." Sai manggut-manggut. "Aku akan berusaha mengobrol lebih santai selanjutnya." Itu yang ia katakan, tetapi kenyataannya sisa obrolan didominasi oleh cerita Sai tentang pekerjaannya. Tentang gaya hidupnya yang jujur menggiurkan sekaligus membuat iri mahasiswa semester akhir seperti Hinata.

"Hinata, mau pergi minum kopi di kafe dekat sini? Besok hari minggu. Kita bisa lebih lama mengobrol, 'kan?" ditodong begitu saat baru keluar restoran setelah pertemuan pertama adalah hal yang paling Hinata hindari. Hampir satu tahun, masih saja takut menjawabnya.

"Ah, maaf sekali, Sai. Aku harus bekerja besok. Jadi, mungkin lain kali?" tolak Hinata halus. Sudah jelas wajah Sai menggambarkan kecewa. "Sayang sekali. Kalau begitu, mau kuantar? Aku tidak keberatan harus mengantarmu ke Shibuya dulu."

Nah, skenario yang juga harus dipikirkan cara menolaknya saat pertemuan pertama. "Tidak perlu, Sai. Aku akan menginap di tempat temanku malam ini."

"Benarkah? Kau tidak bicara apapun tadi." Singgung Sai agak curiga. "Kalau begitu, aku antar ke tempat temanmu? Mobilku parkir tidak terlalu jauh."

"Jangan. Nanti merepotkan. Temanku agak berisik. Aku tidak ingin menimbulkan gosip dulu." Hinata mengibas-ibaskan tangannya canggung. "Aku benar-benar harus pergi. Jadi, maafkan aku." Menjaga jarak, Hinata menunduk untuk pamit.

"Baiklah kalau begitu." Sai mengalah dengan kecewa. Begitulah mereka berpisah malam itu. Hinata yang berusaha berjalan pelan-pelan, menghela napas lega saat melihat mobil Sai melintasinya. Setelah memastikan Sai tak lagi berada dalam pandangannya, ia segera memesan ojek online untuk kembali ke kediamannya.

Ting

'Hei manis. Bagaimana kencannya?'

Satu pesan dari Ino masuk saat Hinata sudah berada di dalam flat. "Berhenti menggodaku, Ino. Itu bukan kencan. Hanya pertemuan biasa." Balas Hinata.

'Ah, yang benar? Tidak perlu malu. Aku siap mendengar ocehanmu seperti sebelumnya'

Hinata menimbang-nimbang, bergerak gusar di atas tempat tidur. "Tidak terlalu bagus. Dia agak narsis." Ketik Hinata. Ting. Pesan baru masuk lagi. Namun, kali ini bukan dari Ino. Melainkan pesan dari aplikasi kuning yang akhir-akhir ini sering dibukanya. 'sampai bertemu besok hinata', katanya.

.

.

Esoknya, Hinata mengulangi rutinitas seperti kemarin. Masih diantar oleh Toneri, ia mulai bercerita tipis-tipis pada Ino. "Benarkah? Aneh sekali membicarakan pernikahan saat pertemuan pertama." Ujar Ino. "Mungkin dia memang sedang benar-benar mencari pasangan untuk menikah dalam waktu dekat?" nah inilah sifat Hinata yang kurang Ino suka. Berteman sejak awal kuliah, pemikirannya terlalu positif. Tidak belajar dari sebelum-sebelumnya.

"Kalau terburu-buru seharusnya pakai biro jodoh saja, 'kan?" Ino berdecak sembari merapikan stok pakaian. "Tuh liat orang itu." Ino menunjuk dengan kepalanya. "Umurnya sudah tiga puluh tapi tidak pernah kepikiran mencari istri lewat aplikasi kencan."

Hinata mengikuti arah yang ditunjuk Ino. Alisnya sedikit bertaut setelahnya. "Kak Deidara? Dia 'kan kakakmu." Ino mengedikkan bahu, membuat Hinata sedikit bingung. "Setiap orang 'kan punya prinsip yang berbeda. Bagi Kak Deidara pasangan belum jadi prioritas, tapi bisa saja berbeda baginya, 'kan?" Hinata merujuk pada Sai.

"Iya. Tapi tetap saja agak mencurigakan." Ino menghentikan aktivitasnya, berfokus menatap Hinata. "Kalau menurutku, jangan terlalu serius dengannya, Hinata. Lihat saja sikapnya ke depannya, oke?" Ino menepuk pelan bahu Hinata. "Oh ya, bisa kau bekerja sampai tutup hari ini? Nanami bilang akan izin tadi. Sebagai gantinya, kau boleh ambil libur minggu depan."

"Tidak bisa." Hinata menjawab cepat. "Aku sudah ada janji."

"Lagi?" Ino memicing curiga, dibalas senyuman canggung Hinata. "Astaga. Yasudah, semoga pasanganmu hari ini tidak norak seperti pria semalam, ya." Doa Ino disertai sindiran karena lagi-lagi ia harus mengurus toko bersama Deidara saja.

Dan seperti yang dikatakan Hinata, jam tujuh malam ia pergi menuju kafe dan bar sebelah ujung timur Shibuya. Berbeda dari kemarin, Hinata sudah membawa pakaian ganti hari ini. Ia memakai celana jeans dan atasan crop top berwarna ungu yang disarankan Ino padanya.

Menarik tote bag yang dibawanya di lengan kanan, Hinata melangkah masuk ke dalam kafe. Mencari ke sudut kafe seperti yang dikatakan pasangannya melalui pesan, Hinata bisa melihat surai merah yang menatapnya di sudut kiri.

"Gaara Sabaku?" sapa Hinata saat menghampiri pria bersurai merah. "Ya." Jawab si pria. Suaranya yang agak berat sedikit mengejutkan Hinata. "Sudah menunggu lama?" Hinata bertanya sembari menarik kursi di hadapan Gaara. "Tidak kok, aku juga baru datang."

Hinata mengangguk mengerti. Usai menaruh tote bag-nya di kursi sampingnya, Hinata bersiap untuk berdiri. "Apa kau sudah memesan? Aku akan memesan minuman dulu." Tawar Hinata. "Baiklah, mari memesan."

Gaara ikut berdiri. Mereka berdua berada di depan kasir untuk memesan minuman. "Sudah ingin memesan?" suara Gaara dari sisi kanan kembali mengejutkannya sedikit. Entah kenapa, suara berat Gaara membuatnya agak berdebar. "Smoothie blueberry?" Hinata balas menatap Gaara yang juga melihatnya. "Baiklah. Satu smoothie blueberry, satu iced americano, satu mix platter, dan dua sandwich."

Sedikit terkejut dengan pesanan Gaara, Hinata tersadar sesuatu. "Ah, dompetku." Hinata hendak kembali ke kursi, tetapi sebuah tangan menahan lengannya. "Tidak perlu, aku yang akan membayarnya untukmu." Tidak ingin bersikap aneh, Hinata hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih seperti biasanya.

"Kesibukanmu apa, Hinata?" Gaara memulai pertanyaan saat mereka kembali ke meja. "Mahasiswa dan bekerja sambilan. Bagaimana denganmu?" Hinata bertanya balik sembari memerhatikan penampilan Gaara. Lelaki itu memakai celana jeans abu dan sweater lengan panjang berwarna merah bata. Syukurlah ia mengganti pakaiannya malam ini. Penampilan mereka sama-sama santai, berbeda dengan pertemuannya dengan Sai kemarin.

"Aku baru menyelesaikan studiku. Sekarang aku ikut membantu kakakku mengurus usaha dan aktif mensponsori klub olahraga yang aku suka."

"Kau suka olahraga apa?"

"Baseball."

"Benarkah?" Hinata bersemangat. "Aku juga suka baseball." Akhirnya menemukan seseorang yang sepertinya memiliki hobi sama dengannya. "Klub mana yang kau suka?"

"Untuk sekarang kami mendukung Tiger."

"Tiger? Itu 'kan tim Nara Shikamaru sampai tahun lalu."

"Iya. Kenapa? Kau suka dengan Nara Shikamaru?" Hinata mengangguk semangat. Dari ujung matanya Gaara bisa melihat pelayan mendekat ke arah mereka. "Aku sangat senang kombinasinya dengan Akamichi Chouji. Sayang sekali mereka berpisah sekarang." Hinata menghela napas lelah. Kepalanya yang agak miring hampir saja mengenai nampan yang dibawa oleh pelayan. Entah refleks atau apa, tangan Gaara terulur ke arah kepala Hinata. Menahannya kalau-kalau minuman yang dibawa pelayan terjatuh.

"Terima kasih. Tolong bawa dengan lebih hati-hati." Gaara memperingatkan sang pelayan setelah minuman dan pesanannya ditaruh. Hinata masih agak bingung dengan apa yang terjadi, tetapi sedikit banyak ia senang dengan sikap Gaara yang ternyata lebih lembut dari penampilannya.

"Kenapa kau diam? Makanlah sandwich-nya."

"Eh?" Hinata baru sadar jika satu sandwich diletakkan di depannya. "Ah, ini milikmu." Tangannya bergerak hendak memindahkan piring tapi lagi-lagi Gaara menahannya. "Tidak. Aku membelikannya untukmu. Kau baru selesai bekerja, 'kan? Sudah pasti kau lapar."

Hening selama beberapa saat, Gaara melepaskan sentuhannya. "Kau tidak masalah dengan sandwich, 'kan? Seingatku kau tidak punya alergi pada makanan."

"Tidak. Kalau begitu, terima kasih banyak, Gaara." Anggukan dan senyuman kecil terlihat dari seberang Hinata. "Tentu."

"Jadi, bagaimana tadi? Kau suka Nara Shikamaru? Sejak kapan?" sambil mulai mengemili mix platter yang dipesannya, Gaara kembali memulai obrolan. Dan sepanjang sisa malam itu mereka banyak bicara. Hobi dan sifat yang kurang lebih serupa, Hinata jauh lebih nyaman malam ini.

"Bagaimana kau akan pulang, Hinata?" Gaara bertanya saat mereka keluar dari kafe pukul sepuluh. "Aku..." Hinata menimbang-nimbang. "Naik taksi."

"Oh ya? Malam-malam begini? Bagaimana kalau kuantar saja?" tawar Gaara.

Hinata kembali berpikir. Penampilan Gaara, obrolannya melalui pesan, dan sikapnya saat bertemu. "Jika kau tidak keberatan."

"Tentu saja aku tidak keberatan. Ayo." Gaara meraih tangan Hinata lebih dulu. Sedikit terkejut, Hinata mengikuti Gaara yang pergi menuju mobil sport merahnya. "Silakan masuk." Gaara membukakan pintu mobil agar Hinata naik terlebih dahulu. Lalu, ia pergi dan ikut masuk dari arah yang berlawanan.

"Mau mendengarkan lagu?" tanya Gaara saat ia sudah mulai menjalankan mobil.

"Boleh."

"Aku tidak tahu ini akan sesuai dengan seleramu atau tidak. Jika kau tidak suka, bilang saja."

Lagu mulai diputar. Terdengar lagu band yang Hinata kira sering membawakan lagu agak rock. Memahami, perempuan itu hanya mengangguk kecil untuk diri sendiri.

"Kau tidak suka?" Hinata menoleh pada Gaara yang sering menatapnya. "Tidak papa. Aku masih bisa menikmatinya." Senyuman kecil tersungging di wajahnya. "Syukurlah."

"Omong-omong, apa kau ada kriteria khusus?"

"Hm? Kriteria apa?" tanya Hinata.

"Kriteria laki-laki yang kau suka." Gaara menjelaskan. "Mungkin kau suka laki-laki yang tinggi, berisi atau apa."

"Oh..." Hinata berpikir-pikir sebentar. "Tidak terlalu. Tapi aku memang cenderung lebih suka lelaki yang lebih tinggi dariku. Tidak terlalu berisi dan mungkin wangi?" ucap Hinata ragu, seperti sesuatu terlintas di kepalanya.

"Begitu?"

"Iya, bagaimana denganmu?" Hinata balas bertanya.

"Aku juga tidak punya kriteria khusus." Gaara menjawab sambil fokus menatap jalanan. "Tapi untuk sekarang mungkin... sepertimu?" mereka saling bertukar pandangan saat mobil Gaara berhenti di lampu merah. "Aku tidak tahu kau mungkin sudah berapa banyak mendengarnya. Tapi, kau terlihat cantik secara langsung. Apalagi warna iris matamu. Rasanya seperti menarikku untuk berlama-lama menatapnya."

Lagi, Hinata dibuat terkejut dengan ucapan dan sikap Gaara malam ini. Tertawa canggung, Hinata berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia coba dengan balas memuji, memulai bahasan hewan peliharaan atau memancing Gaara bercerita tentang kuliahnya di Amerika.

"Di sini?" mobil Gaara menepi di pinggir jalan sebelum memasuki gang menuju flat Hinata. "Iya, di sini saja." Hinata bersiap mengambil barang-barangnya yang tak luput dari perhatian Gaara. "Terima kasih atas malam ini, Gaara. Aku senang bisa bertemu denganmu." Hinata bicara tulus yang dibalas dengan dehaman dan senyuman kecil khas Gaara.

Tepat saat Hinata beres membuka sabuk pengaman dan bersiap membuka pintu mobil, Gaara kembali menahan lengannya. Iris mereka kembali bertemu. Hinata menatap bingung Gaara yang terlihat serius. Otaknya berpikir, bertanya-tanya apalagi yang akan pria jade itu lakukan. "Mau ciuman sebelum turun?"


Tahun baru, masalah baru Hinata!