::
:: All-Seeing White Eye ::
:: Bagian 2: Perubahan ::
Byur!
"Bangun."
Dinginnya air di pagi itu seolah dapat membuat badan membeku. Hinata, yang tanpa persiapan apa pun bersentuhan secara langsung dengan air itu, tentu saja merasa kaget. Saking kagetnya, Hinata sampai bangkit memuntahkan air yang masuk ke dalam mulutnya. "Guh! Uhuk... uhuk."
"Rupanya tidurmu nyenyak," ujar Ootsutsuki.
Hinata kedinginan. Ia menyilangkan tangan di depan dada dengan tubuh yang menggigil. Ia mundur sedikit demi sedikit berusaha untuk menjaga jarak dari Ootsutsuki. Sebisa mungkin ia menghindari tatapan mata dengan Ootsutsuki.
"Ma... maafkan aku. A... Aku tidak bermaksud untuk—"
Belum sempat Hinata menyelesaikan perkataannya, Ootsutsuki sudah mengumpulkan chakra berwarna biru muda. Chakra itu terbentuk menjadi sebuah Gudoudama, yaitu sebuah bola kecil yang melayang mengelilingi Ootsutsuki. Bola chakra itu berubah wujud, memanjang seperti tombak, lalu lalu melesat dengan kecepatan tinggi menusuk bagian samping paha Hinata.
"Kuh...," rintih Hinata. Air matanya sudah tak terbendung karena tak kuasa menahan rasa sakit.
Dalam sekejap, Ootsutsuki meraih leher Hinata. Ia mengangkat Hinata hingga kakinya tak bersentuhan dengan tanah. "Ini peringatan, Hyuuga Hinata. Sekali lagi kau melakukan perbuatan bodoh, kau tidak akan berakhir hanya dengan kaki yang terluka. Tapi tenang saja, kau tidak akan aku biarkan mati."
Hinata mengangkat lengannya. Ia meraih pergelangan tangan Ootsutsuki untuk melawannya agar melepaskan genggaman pada lehernya. Namun percuma, semakin lama melawan, tangan Hinata malah semakin lemas.
"Jawabanmu?"
Hinata mengangguk pelan sambil menepuk-nepuk tangan Ootsutsuki.
Akhirnya, Ootsutsuki melepaskan leher Hinata. Namun, sebelum kaki Hinata menapak tanah, Ootsutsuki segera menarik paha Hinata yang terluka lalu membanting tubuhnya pada pohon di dekatnya. Benturan itu membuat Hinata terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Beruntung baginya, dalam kurung waktu yang singkat itu rupanya Ootsutsuki masih berbelas kasih menyembuhkan luka di pahanya.
Hari itu adalah pertama dan terakhir kalinya Hinata mencoba untuk melarikan diri.
:: All-Seeing White Eye ::
Disclaimer: Naruto Masashi Kishimoto.
Warning: Mengandung unsur kekerasan (yang mungkin beberapa pembaca nggak terima kalau fanfic ini rating T), out of character, god-like Hinata.
Karya ini terinspirasi dari sebuah artikel yang saya baca dari fandom Naruto.
:: Selamat Membaca! ::
Jauh di sebelah timur Desa Konoha, ada hutan lebat yang dikelilingi oleh kabut. Warga desa di sekitar hutan itu melarang siapa pun mendekatinya karena tidak ada seorang pun yang pernah terlihat kembali dari hutan itu. Rumor yang beredar mengatakan bahwa kabut di hutan itu mengeluarkan ilusi yang membuat orang tersesat dan terperangkap di dalamnya.
Sayang sekali, rumor itu tidaklah benar. Kenyataannya, dalam hutan itu terdapat sebuah rumah tua yang menjadi tempat berkumpulnya para penjahat. Berkat rumor yang beredar, tidak ada yang berani mendekati hutan sehingga para penjahat itu pun percaya diri dengan tempat persembunyian mereka. Adapun orang yang masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan para penjahat itu, hidupnya tidak berlangsung lama.
Sekitar satu setengah tahun lalu, sekelompok penjahat melihat sesosok perempuan tak jauh dari rumah tua itu. Rasa senang tersirat dari wajah para penjahat ketika mendapati bahwa perempuan itu ternyata masih muda, dengan paras cantik dan rambut lembut, lurus, panjang serta tubuh indah yang membuat mereka terpikat. Tidak akan salah apabila orang menganggap perempuan itu akan menjadi korban pemuas nafsu bagi para penjahat di sana. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Hari itu, Ootsutsuki tanpa ragu melakukan pembantaian.
::
Hingga saat ini, Hinata sudah tidak berani melarikan diri dari kediaman kecil itu. Dahulu, ketika berada dalam perjalanan menuju kediaman saat ini, Hinata pernah sekali mencoba melarikan diri saat Ootsutsuki tertidur. Ia berlari sepanjang malam sampai kakinya tidak sanggup untuk meneruskan. Kemudian, ia pingsan dalam keadaan lelah. Sayangnya, meski sudah sekeras itu berusaha, Hinata gagal melarikan diri. Esok paginya adalah pengalaman yang sangat buruk.
Kehidupan Hinata saat ini sangat menyedihkan. Ia tidak diperbolehkan keluar dari hutan berkabut. Satu langkah saja ia melewati batas, Ootsutsuki akan langsung muncul di hadapannya untuk menendangnya kembali ke dalam hutan. Ootsutsuki nampaknya memiliki kebencian yang sangat dalam pada Hinata.
Pagi itu terasa dingin. Hinata sedang berjalan dari kamarnya ketika suara perutnya kembali terdengar. Ia lapar. Ia lemas. Hinata tahu ada makanan di rumah itu, tapi ketika ia membayangkan dirinya bertemu Ootsutsuki, hal itu membuatnya ragu untuk memakan hidangan di sana. Ia takut.
Langkah lemas Hinata membawanya menyusuri koridor di rumah itu. Malangnya Hinata, di ujung koridor itu nampak Ootsutsuki menoleh ke arahnya. Hinata bergidik. Ia terkejut. Kakinya yang sudah lemas itu tiba-tiba kehilangan keseimbangannya hingga harus terjatuh. Tangan mungilnya yang ia niatkan menopang badannya ketika terjatuh, sayangnya malah mendorong meja kecil dengan vas bunga di atasnya.
Ti... tidak!
Tidak!
Kumohon, tidak!
Batin Hinata sudah berteriak. Sayangnya, sekeras apa pun ia memohon, vas bunga itu pada akhirnya pecah.
"Ma... maaf—"
Sebelum sempat Hinata menyelesaikan ucapannya, ia sudah terhempas ke belakang karena ledakan chakra dari arah Ootsutsuki. Tubuh Hinata melayang, hingga akhirnya terhenti karena benturan pada punggungnya yang mengenai dinding rumah. Tubuh mungil itu tidak bisa menahan tekanannya, hingga darah menyembur keluar dari mulut Hinata.
"Guh!"
Merasa tak cukup, Ootsutsuki menghampiri Hinata dengan tekanan chakra yang kuat. Hinata tertunduk lemas di ujung koridor. Ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat Ootsutsuki. Normalnya, orang yang marah akan membentak dan berteriak. Itulah yang selama ini ia alami di kediaman Hyuuga ketika dia gagal untuk memenuhi harapan keluarganya. Namun, Ootsutsuki yang menatapnya dalam diam dengan sikap dinginnya, hal itu lebih menakutkan bagi Hinata. Dalam rintihannya, ia mendengar perkataan Ootsutsuki.
"Selalu perhatikan langkahmu, Hinata."
Setelah itu, Ootsutsuki menginjak kaki kiri Hinata dengan tenaganya yang sangat kuat. Pemandangan saat itu tidaklah pantas untuk dilihat. Kaki kecil Hinata kini tidak dalam bentuk asalnya.
Sa... sakit!
Tolong!
Ko...
Air mata muncul di ujung mata Hinata, lalu mengalir melaui pipinya, kemudian menetes mengenai lantai. Gadis kecil itu sudah tidak kuat. Meskipun pada akhirnya Ootsutsuki akan menyembuhkan lukanya, mentalnya tidaklah kuat untuk menanggung semua rasa sakit yang luar biasa itu. Hinata hanyalah seorang bocah. Bahkan seorang dewasa pun tidak layak mendapat perlakuan sekasar ini.
Sambil menahan sakit itu, Hinata membuka mulutnya. "Ma... maaf..."
Tak lama, Ootsutsuki berhenti menginjak kaki Hinata. Sorot matanya dingin, tertunduk melihat Hinata. Bocah itu mengeratkan giginya, menangis menahan sakit. Pada akhirnya Ootsutsuki berbalik meninggalkan Hinata. Pada saat yang sama, Hinata yang terluka di sana perlahan mulai pulih. Bahkan secara ajaib, kaki kecilnya yang terluka parah itu mulai kembali ke dalam bentuk asalnya. Rasa sakit yang ia alami perlahan menghilang hingga akhirnya nafas berat yang dikeluarkannya kini mulai teratur. Merasa lega, ia menjatuhkan diri ke lantai, sampai kesadarannya mulai menghilang.
Pagi itu, tidak ada sarapan bagi Hinata.
::
Di sebuah desa tak jauh dari hutan berkabut, anak-anak mulai berkumpul. Mereka pergi ke sebuah lapang dekat dengan pasar. Sore hari seperti ini memang sudah biasa bagi mereka untuk bermain. Yang membuat hari ini berbeda dibanding hari lain, yaitu ketika seorang anak berlari-lari dari arah pasar. Nafasnya terengah-engah, tetapi ia memaksakan diri membuka mulutnya untuk berbicara, seakan ada hal sangat penting yang ingin ia beritahukan kepada teman-temannya.
"Teman-teman! Huh..."
Anak-anak berhenti bermain sejenak, berusaha mendengarkan. "Ada apa?"
"A... ada Nona Kabut!"
Tanpa perlu bertanya lebih lanjut, anak-anak itu segera berlari ke arah pasar. Mereka ingin melihat Nona Kabut yang dibicarakan temannya.
Sekitar beberapa bulan lalu, seorang perempuan asing datang ke desa ini. Rambutnya panjang dan terlihat berkilauan meski di bawah sinar matahari yang redup. Rambut itu melambai anggun di belakangnya seperti tirai malam yang menyelimuti angin. Kulit nya pucat, nyaris seputih marmer, yang kontras dengan rambut gelapnya, membuatnya terlihat seperti sosok yang berasal dari dunia lain. Tubuhnya tinggi dan langsing, dengan postur yang tegap namun tidak berlebihan. Ia membawa dirinya dengan anggun seperti seorang bangsawan, tetapi ada aura dingin, menakutkan, dan berbahaya yang terus mengintai di balik keanggunan itu.
Saat perempuan itu muncul, suasana di sekelilingnya langsung berubah. Tentu saja, itu karena dia menarik perhatian. Siapa pun akan penasaran ketika ada sosok seperti itu memasuki desanya.
Perempuan itu pergi menuju pasar. Ia terlihat membeli sayuran dari sebuah toko. Ia juga mampir ke beberapa kios yang menjual ikan segar. Sebelum pergi, ia membawa satu kantong buah-buahan dari seorang pedagang di sana. Dalam beberapa hari, ia akan terlihat kembali, membeli bahan-bahan yang ada di pasar itu.
Rasa penasaran bagi anak-anak adalah hal yang wajar. Begitu pun anak-anak di desa itu. Suatu hari, ketika perempuan itu datang kembali, anak-anak mengikutinya setelah selesai berbelanja di pasar secara diam-diam. Mereka penasaran dengan asal-usul perempuan itu. Mereka sangat percaya diri bahwa perempuan itu tidak sadar sedang diikuti.
Hal yang mengejutkan bagi anak-anak di sana, yaitu asal-usul perempuan itu, yang ternyata adalah hutan berkabut. Mereka berbisik, apakah perlu mengikutinya lebih lanjut atau tidak. Mereka penasaran. Sangat penasaran. Tetapi rumor mengenai hutan berkabut yang beredar di desa membuat mereka takut untuk melanjutkan. Dalam keraguan itu, sosok perempuan yang sedari tadi mereka ikuti tiba-tiba menghilang.
Anak-anak terkejut. Mereka mulai ketakutan, apalagi saat hawa aneh mulai muncul di belakang mereka.
"Memasuki hutan ini sangat berbahaya. Sebaiknya kalian pulang."
Suara yang tenang dan lembut terdengar dari belakang anak-anak. Namun, ada sesuatu di balik kelembutan itu yang membuat orang merasa waspada. Anak-anak berbalik, lalu terkejut ketika mereka melihat perempuan itu tiba-tiba ada di belakang mereka. Setelah itu, mereka lari terbirit-birit kembali ke desa. Pada hari itu, anak-anak mulai menyebutnya Nona Kabut.
Dalam salah satu kunjungannya ke pasar, Nona Kabut pernah menemui sebuah masalah. Sekelompok penjahat mencoba untuk merampok sebuah toko. Nona Kabut, yang merasa terganggu, dengan tenang melangkah masuk. Ia mengalahkan sekelompok penjahat itu dengan mudah menggunakan kekuatannya. Pada hari itu, kekaguman warga desa terhadapnya mulai tumbuh. Tanpa sadar mereka pun mengikuti anak-anak menyebutnya sebagai Nona Kabut.
Hingga hari ini.
Anak-anak mulai terlihat berlarian menuju Nona Kabut. Dalam beberapa minggu ini, itu selalu terjadi. Mereka selalu penasaran, menanyakan berbagai macam hal seperti tentang dirinya, penampilannya, kekuatannya, asal usulnya, mengenai bagaimana cara memasuki hutan berkabut, mengenai apa saja yang ada di dalam hutan itu, dan masih banyak pertanyaan yang mereka lontarkan.
Hari itu, ada yang beda. Nona Kabut sekilas melihat seorang pria dengan masker menutupi mulut, hidung, hingga mata kirinya. Anak-anak merasa kecewa karena ia langsung menghilang tanpa berbelanja.
::
Sore itu, Hinata terbangun oleh suara perutnya. Ia masih di tempat yang sama sejak pagi tadi. Tidak ada yang memindahkannya. Meskipun begitu, luka-lukanya di pagi hari sudah sepenuhnya pulih. Rasa sakitnya pun sudah sepenuhnya hilang. Hanya saja, ia masih lapar.
Hinata menguatkan dirinya. Ia berdiri, lalu berjalan keluar rumah. Ia berniat mencari buah-buahan yang bisa dipetik di sekitar hutan. Langkah lemas Hinata membuatnya beberapa kali tersandung di tengah hutan. Sudah lama waktu yang ia habiskan hanya untuk menjelajahi semak-semak, tanpa menemukan apa pun kecuali beberapa buah beri kecil yang itu pun masih pahit. Matahari terbenam semakin rendah, menghasilkan bayangan panjang yang menyatu dengan kabut sehingga membuat penglihatannya kabur.
Pikiran Hinata melayang, mengingat rasa takutnya akan Ootsutsuki. Ia putus asa. Ia merasa apa pun yang ia lakukan tidak akan bisa membuatnya lari dari Ootsutsuki. Terhanyut dalam pikiran itu, tubuhnya bergerak secara tak sadar membawanya menuju labirin pepohonan.
Hinata tidak menyadari ke mana kakinya membawanya, hingga matanya menangkap sosok di dekat pohon yang tinggi, sedang berjuang untuk memanjat.
"Se... dikit... lagi... Huaaak—"
Bruk.
"A... aduh!" Baru setelah sosok itu terpeleset dan jatuh ke tanah dengan bunyi yang lumayan keras, Hinata membeku, jantungnya berdegup kencang.
I... itu... Naruto-kun?
Nafas Hinata tertahan, terasa menyakitkan di dadanya. Ia tidak dapat mempercayai matanya.
Naruto mendorong tubuhnya yang terjatuh untuk bangun. Pakaian oranye terangnya tidak dapat dikenali dengan jelas melalui kabut ini. Ketika ia menoleh, barulah matanya terbelalak. "Hi... Hinata?"
Suara Naruto memecah keheningan. Mata lebarnya menatap tajam ke arah Hinata. Rasa bingung dan lega menyerang Hinata sekaligus. Sebelum sempat bereaksi, Sakura dan Sasuke muncul di samping Naruto. Keduanya sama terkejutnya.
Sakura melangkah maju, "Hinata, ternyata benar kau..."
Hinata ingin berbicara, mengatakan sesuatu, apa pun itu. Namun, kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Sudah berapa lama Hinata tidak melihat mereka? Rasanya sudah bertahun-tahun, meskipun baru setengah tahun berlalu. Air mata mengaburkan pandangannya. Ingatan tentang masanya di akademi mulai berputar di kepalanya. Ia rindu.
"Hinata, ada di mana kau selama ini?" Naruto melangkah lebih dekat. Seringainya yang biasanya terlihat konyol kali ini tak nampak, tergantikan oleh kekhawatiran. Apalagi ketika melihatnya dengan pakaian compang-camping, badan yang kotor, dan rasa takut yang menempel padanya seperti kulit kedua.
Beban di tenggorokan Hinata mengencang.
"Aku... aku..." Hinata tergagap, hampir tidak dapat membentuk kalimat. Namun, kehangatan dalam mata Naruto, juga kehadirannya di depan Hinata saat ini, itu menggugah sesuatu dalam diri Hinata. Sesuatu yang telah lama terkubur di bawah rasa takut terhadap Ootsutsuki.
Harapan.
Untuk pertama kali sejak lamanya ia menyerah pada Ootsutsuki, Hinata merasakan secercah harapan kembali menyala di dadanya. Kabut di sekelilingnya, sekarang tampak sedikit memudar. Namun saat momen itu tiba, hawa dingin menusuk tulang punggungnya.
Karena apa yang ia rasakan saat ini, Hinata melupakan sesuatu. Yaitu sosok absolut, Ootsutsuki. Kehadiran Ootsutsuki membayanginya, mengingatkannya bahwa reuni ini, kebahagiaan yang cepat berlalu ini, sangatlah rapuh. Sesuatu yang dapat hancur kapan saja.
Ketika Hinata menyadarinya, itu sudah terlambat. Ootsutsuki tiba.
"Sepertinya aku kurang keras dalam memperingatkanmu."
Suara yang tenang dan lembut terdengar dari belakang Hinata. Berkebalikan dengan suaranya, tangan Ootsutsuki dengan cepat meraih leher Hinata, lalu segera melemparkannya menjauh dari Naruto.
"Hinata!" Naruto berteriak karena terkejut akan situasi yang tiba-tiba itu. Ia mengepalkan tangannya, tubuhnya gemetar karena marah. Saat ia melangkah maju, ia melesatkan pukulan pada Ootsutsuki. "Kau! Apa yang kau lakukan?!"
"Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Hinata!" gerutu Naruto, suaranya bergema di hutan berkabut. Berbagai kombinasi antara pukulan dan tendangan Naruto luncurkan pada Ootsutsuki. Namun percuma, tidak ada yang mengenainya.
Ootsutsuki Hinata tersenyum. Itu bukanlah senyum dengan ekspresi dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya, kini ada sedikit kehangatan di dalamnya. Mulutnya yang sedang tersenyum itu sedikit terbuka, sayup-sayup terdengar ia berkata, "aku tahu itu, Naruto-kun."
Saat tinju Naruto kembali mengincar Ootsutsuki, pergelangan tangannya tiba-tiba diraih dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
"Maaf, tapi ini akan sedikit sakit." Sebelum sempat Naruto bereaksi, Ootsutsuki memutar lengannya ke belakang, membuatnya berlutut. Dia mengangkat Naruto dengan satu tangan di bagian leher, kakinya tergantung tak berdaya di atas tanah. Lalu dengan sedikit kekuatan, Ootsutsuki melemparkan Naruto ke pohon di dekatnya. Benturan itu membuat kulit pohon retak. Naruto terjatuh ke tanah, terengah-engah.
"Hanya itukah yang bisa dilakukan oleh orang yang katanya ingin menjadi Hokage?" Ootsutsuki mengejek, dengan suara lembut itu.
Sasuke melesat maju, matanya bersinar merah menujukkan Sharingan saat ia mengayunkan kunai ke arah Ootsutsuki. Ootsutsuki tidak gentar. Tangannya menahan bilah kunai itu, lalu mencengkeramnya dengan kekuatannya hingga kunai itu malah tertekuk dan patah. Meskipun begitu, tidak ada luka sama sekali. Ootsutsuki membalas kembali dengan tendangan cepat yang membuat Sasuke melayang, menghantam semak-semak.
"Sasuke-kun!" teriak Sakura. Sakura membalas dengan pukulan kuat, tetapi Ootsutsuki menangkap tinjunya di tengah serangan, lalu memutar lengannya hingga bunyi keras bergema di tempat terbuka itu. Sakura menjerit, jatuh berlutut.
Naruto berjuang untuk berdiri, pandangannya kabur karena rasa sakit. Seluruh tubuhnya terbakar oleh rasa frustrasi. Dia menyerang lagi, tetapi kali ini, Ootsutsuki menghadangnya di tengah jalan. Telapak tangannya menghantam dada Naruto, mengirimkan gelombang kejut ke seluruh tubuhnya. Naruto merasakan napasnya keluar dari paru-parunya saat dia terlempar ke belakang, darah berceceran dari mulutnya.
Dalam pertarungan yang berat sebelah itu, chakra oranye mulai terkumpul menyelimuti tubuh Naruto. Mata Naruto berubah merah, taringnya terlihat memanjang, begitu juga kukunya yang semakin tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Hinata!"
Ootsutsuki tersenyum kecil mendengar Naruto. "Maaf, Naruto-kun, aku senang mendengarnya, tetapi itu tidak diperlukan."
Ya, tidak lagi.
Ootsutsuki Hinata segera menepis serangan Naruto. Bahkan energi ganas yang menjadi perwujudan kekuatan dari Kyuubi itu tidak dapat mendaratkan serangan, apalagi luka pada Ootsutsuki. Ootsutsuki menari-nari di sekitar serangannya, bergerak lebih cepat dari yang bisa Naruto ikuti, sampai ia muncul di belakang Naruto dalam sekejap. Dengan satu serangan ke punggung Naruto, Ootsutuki menjatuhkan Naruto ke tanah. Tubuhnya kejang-kejang, kesakitan.
"Kuh!"
Naruto tergeletak di tanah, terengah-engah, tubuhnya babak belur, penuh memar. Tangannya gemetar saat ia mencoba bangkit lagi, tetapi ia jatuh kembali ke tanah. Nafas Hinata tercekat saat ia menyaksikan kejadian itu. Anak laki-laki yang ia kagumi, yang selalu berdiri tegak menghadapi setiap tantangan, kini hancur. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri di sana, tak berdaya.
"Ti... tidak..." Hinata duduk mematung, jantungnya berdebar kencang saat ia melihat Naruto. Melihatnya, terluka dan berdarah, menggetarkan sesuatu dalam dirinya. Tangannya mengepal. Saat ini, rasa takut yang selama ini membuatnya lumpuh perlahan menghilang. Yang Hinata rasakan saat ini hanyalah satu, yaitu perasaan membara untuk melindungi Naruto, apa pun konsekuensinya.
Hinata berdiri. Ia bergegas ke sisi Naruto, berdiri di antara Naruto dan Ootsutsuki. "Cukup! Aku tidak akan membiarkanmu melukai Naruto-kun lagi!"
Ootsutsuki sedikit terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Hinata. Selama ini ia menanamkan rasa takut pada bocah itu. Ini sedikit di luar dugaannya.
"Ootsutsuki!" teriak Hinata sangat keras, menggema di hutan berkabut itu. Itu pertama kalinya ia menyebut nama Ootsutsuki. Matanya menatap Ootsutsuki dengan tajam. "Aku akan menghentikanmu, meskipun kau mematahkan kakiku, meskipun kau memotong tanganku, meskipun kau menusuk dadaku! Aku tidak akan takut lagi kepadamu!"
Ootsutsuki juga menatap tajam Hinata, tidak menyangka akan perubahannya. "Kau terlalu lemah untuk menghentikanku, Hinata."
"Meskipun begitu, aku akan tetap menghentikanmu! Aku akan menjadi kuat, sangat kuat hingga melampauimu! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan seenaknya!"
Bocah itu sudah menetapkan tujuannya.
"Kalau begitu akan kutunjukkan seberapa tidak berdayanya dirimu, Hinata." Ootsutsuki menghilang, lalu muncul kembali di samping Hinata. Hinata terkejut, belum sempat ia berbalik untuk menahan serangan Ootsutsuki, tubuhnya menerima tendangan langsung. Hinata terhempas.
"Kau bilang meskipun kakimu patah?" tanya Ootsutsuki.
Ia melesat ke hadapan Hinata yang masih tersungkur di tanah. Kakinya mengulang gerakan yang ia lakukan pagi ini, yaitu menginjak Hinata hingga kaki kecil itu tidak dalam bentuk asalnya.
"Kuh...!" Hinata merintih kesakitan. Namun, api dalam hatinya belum padam. Ia sudah menetapkan dirinya untuk tidak takut pada Ootsutsuki.
"Kau bilang meskipun tanganmu terpotong?" tanya Ootsutsuki.
Sekumpulan chakra terbentuk di tangan Ootsutsuki. Ia mengayunkannya pada kedua tangan Hinata. Dan lagi, Hinata kembali merintih.
"Kau bilang meskipun dadamu tertusuk?" tanya Ootsutsuki.
Jleb. Beberapa Gudoudama yang membentuk tombak membuat lubang di tubuh Hinata. Ia sudah tak berdaya. Ootsutsuki sudah tidak mendeteksi adanya kesadaran dari Hinata. Ia pingsan. Meskipun begitu, nyala apinya belum padam. Ketidakberdayaan itu malah memicu keinginan Hinata untuk menjadi lebih kuat.
::
Setelah kejadian itu, Hinata kembali berada di rumah kecil, memulihkan lukanya. Sinar matahari menembus jendela kamarnya yang terbuka, menampakkan pepohonan yang tinggi dan rimbun di luar sana. Hari ini, kabut tidak setebal biasanya. Suara burung berkicau menggema di udara, sementara angin lembut membawa aroma segar dari tanah basah dan dedaunan. Embun pagi yang menempel pada rumput-rumput itu terlihat berkilau seperti permata kecil. Suasana yang hangat dan nyaman.
Segala sesuatu terasa lambat dan tenang, seolah waktu berdiri diam. Suasana ini mengajak Hinata untuk merenung.
Hinata tidak tau kenapa Ootsutsuki selalu memulihkannya setelah memberikan luka dan rasa sakit pada tubuhnya. Namun, sekarang ini itu semua tidak penting. Dia merenungkan kelemahan dan ketidakmampuannya untuk melindungi Naruto. Ingatan tentang Ootsutsuki menyakiti Naruto, dan dengan mudah mengalahkannya, semua itu terus menghantuinya.
Perlakuan Ootsutsuki pada Hinata tidak berubah, seolah perkataan Hinata padanya saat itu tidak berarti apa-apa. Ootsutsuki membuat Hinata merasa dia tidak berarti apa-apa. Ia hanyalah kerikil yang berusaha menghalangi jalan Ootsutsuki. Sekali lagi, Hinata mengepalkan tangannya.
Hinata ingin berubah.
:: Bersambung ::
