Nirmala dan Laksamana Muda © Roux Marlet
BoBoiBoy © Monsta
-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-
Historical Alternate Universe, berlatar Indonesia di masa penjajahan Jepang
Untuk #LOVEctober2024 hari ketiga belas: "I Love You"
.
.
.
.
.
[1942]
.
"Maaf."
Serdadu muda itu membungkuk sedikit sesuai tata krama yang mendarah daging. Kalau bukan gara-gara rekannya tadi terlalu jauh melempar bola sampai ke pelataran ini, dia tak bakalan berdiri di sini untuk memintanya dari gadis pemilik rumah.
Ralat, pemilik keraton. Si pemuda tahu lapangan luas itu adalah milik ningrat pribumi yang diperbolehkan dipakai barisan tentara Jepang untuk berlatih.
Gadis berambut kemerahan dalam baju kaos dan bawahan kain bermotif itu mengulurkan bola tenis yang dicari sambil memandanginya ingin tahu.
"Terima kasih," gumam si serdadu sambil mengambil bolanya.
"Siapa namamu?" Gadis itu bertanya. Suaranya, demi Kami-sama, begitu manis dan murni.
Si pemuda terpana sejenak sebelum menjawab, "Kaizo."
"Kaizo? Orang Nippon?"
Telinga Kaizo geli mendengar nada sinis yang mendadak muncul. "Ya," balasnya singkat.
"Aku mau tahu kenapa orang Nippon main bola di halaman rumahku." Gadis itu kini berkacak pinggang dan melotot, membuat Kaizo kebingungan. Apa putri ningrat kelakukannya memang sekasar ini? Berbeda jauh dengan gadis-gadis pribumi yang setahu Kaizo banyak menunduk dan bertutur halus, serba menurut dan tidak mungkin berbantah dengan lelaki.
"Memangnya ini lapangan gratis?" Gadis ningrat berambut merah itu meneruskan.
"Kami minta maaf."
"Kalau begitu, membungkuklah minta maaf sekali lagi!"
Kesan pertama Kaizo tadi runtuh seketika, digantikan rutukan kasar dalam bahasa ibunya yang pikirnya tidak akan dipahami lawan bicaranya.
"Apa?! Siapa bilang kau boleh misuh di halaman rumahku?!"
Tangan gadis itu sudah terangkat dalam amarahnya. Kaizo bisa melihat bahwa ternyata si gadis mengerti bahasa Jepang dan kini dia benar-benar marah, tapi dengan gesit ditangkapnya tangan yang hendak memukulnya itu.
"Kau bisa diseret ke penjara kalau memukul serdadu Nippon, Nona," ucap Kaizo. "Putri sultan sekalipun."
Gadis itu tertegun, amarahnya surut. "Lepaskan aku."
Kaizo melepaskannya.
"Kau seharusnya tidak boleh menyentuhku," ujar si gadis.
"Kenapa begitu?" Kaizo mengernyit.
"Haram, tahu! Apa kau pernah tahu apa itu haram?"
Kini Kaizo menelengkan kepala. "Tidak."
"Haram itu tidak halal."
"Apa itu halal?"
Gadis itu tertawa mendengar lafalnya yang ganjil. "Kalau kau suamiku, barulah kau boleh menyentuhku. Itu yang disebut halal."
"Jadi, kau sudah punya suami?" Kaizo bertanya lagi.
Dan sekali lagi si gadis tertawa. Tawanya berderai, menampakkan seluruh deret giginya yang rapi dan putih.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang tidak kukenal." Gadis itu tak menjawab pertanyaannya. "Apakah para orang tua memang selalu bodoh tentang apa yang diinginkan anaknya?"
"Entah. Aku tak punya orang tua."
Gadis itu membelalak terkejut. "Aduh, maaf."
"Bukan masalah," sahut Kaizo singkat. Saat dia hendak menanyakan nama gadis itu, seseorang telah memanggil dari arah bangunan rumah,
"Kirana!"
Gadis itu menoleh dan mencibir ketika mendapati seorang wanita paruh baya dalam kain batik berseru dari teras. "Ah, ketahuan."
"Kau sedang melakukan apa tadi?" Kaizo bertanya.
"Aku kabur dari pelajaran menari." Gadis bernama Kirana itu angkat bahu.
Kini, ganti Kaizo yang tertawa. "K-kau kabur dari pelajaran menari?"
"Apa yang lucu?" Gadis itu cemberut, tapi lalu ekspresinya melembut. "Hei, kau tampan juga kalau tertawa."
Kaizo masih belum mengerti mengapa dirinya spontan tertawa barusan, seolah ada yang memompa tawa itu menyeruak dengan sendirinya, padahal seingatnya dia belum pernah tertawa seumur hidupnya. Yang jelas, rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan—atau bunga-bunga sakura bermekaran—di dalam dadanya saat Kirana tersenyum lagi dan melambaikan tangan.
"Sampai jumpa, Kaizo."
.
.
.
.
.
Dirinya di masa lalu terduduk di pojok ruang, di mana isakannya tak bakalan didengar orang. Rumah kecil kumuh yang disebut panti asuhan itu hampir rubuh. Tak hanya bangunannya yang runtuh, tapi jiwa dan raga penghuninya juga perlahan-lahan luruh.
Kaizo kecil hanya punya adiknya, Fang, yang masih bayi ketika perang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Fang bahkan tidak mencapai usia balita dan ikut menyusul orang tua mereka karena wabah muntaber di pengungsian.
Kaizo dibawa orang ke panti asuhan yang buruk itu. Kemudian dia masuk tentara saat umurnya mencukupi.
Karena dirinya pernah begitu sengsara, Kaizo merasa orang-orang juga perlu setidaknya mencicipi sengsara yang sama. Dunia ini begitu jahat, Kaizo sama saja. Dia berlatih menjadi mesin pembunuh dan mendapat kenaikan pangkat yang pesat. Negara kepulauan di Asia Tenggara ini adalah medan perangnya yang berikut. Yogyakarta adalah markasnya yang berikut.
Kaizo, yang seumur hidupnya tak pernah tahu yang namanya cinta, butuh waktu berbulan-bulan sebelum paham sensasi ganjil apa yang hinggap di dadanya ketika mengenal putri sultan yang bernama Kirana.
.
.
.
.
.
[1945]
.
Dirinya di masa kini terduduk di pojok barak. Perbekalan pribadi dan bedil-bedil kosong terserak. Agustus 1945, sinar sang Cahaya Asia di atas tanah itu telah padam di usia yang baru tiga tahun. Kaisar Hirohito menyerah terhadap Sekutu; mereka semua diberi pilihan untuk pulang ke tanah kelahiran atau, jika memilih untuk tinggal, bakalan dihukum mati di negara yang dalam beberapa hari kemudian akan merdeka sebagai Indonesia ini.
Pulang? Ke mana Kaizo akan pulang? Kaizo tidak bisa pulang, Laksamana Muda ini tidak punya tempat untuk pulang.
Lagipula, di sini ternyata ada satu sosok yang telah menawan hatinya … tapi, jika tetap di tanah ini, bukankah hanya hukuman mati yang menanti bekas penjajah sepertinya?
Dia sudah pernah membunuh orang. Banyak, tentu saja. Dia juga banyak berbohong. Bukan, bukan sepenuhnya bohong. Tidak ada tentara Jepang yang melewatkan hiburan malam bersama para jugun ianfu, tak terkecuali Kaizo. Kaizo memang bilang dirinya masih lajang, hanya saja sudah berkali-kali kawin.
Masa lalunya sebegitu kelam, gelap pula masa depannya. Ke mana dia akan pergi kalau negaranya kalah perang begini? Apa dia punya nyali untuk harakiri sebelum ditembak mati? Hukum karma rupanya benar adanya. Orang yang menghunus pedang kelak akan mati karena pedang. Dalam kasus Kaizo, di perang modern ini, pedang digantikan bedil dan senapan.
Tepat pada malam Kaizo begitu putus asa, sebuah surat membuat segalanya mendadak bercahaya. Surat dari sang nirmala.
Dia hanya pernah mengirimkan satu surat ke alamat itu, berisi pernyataan cintanya dan tak bisanya mereka bersatu bahkan sebelum Jepang kalah. Putri sultan mustahil menikahi tentara penjajah. Dunia kotornya tak mungkin bersatu dengan dunia Kirana yang tak bercela; gadis itu juga pasti tahu segala sepak terjangnya di tanah ini. Kaizo tidak menulis banyak hal, langsung kepada topik utama, disertai permintaan maaf sekali lagi karena pernah menyentuh Kirana di waktu dulu. Diawali dengan preambul, "Kepada perempuan yang membuatku tertawa untuk pertama kali."
Surat itu dibalas oleh Kirana,
"Kepada lelaki yang menertawakanku karena kabur dari pelajaran menari.
"Aku tak akan pernah melupakan kejadian waktu itu. Aku tak keberatan disentuh lagi olehmu, Kaizo. Aku mau menjadi istrimu. Aku mau hidup bersama Kaizo, orang Nippon yang membungkuk minta maaf dengan sopan karena bolanya tersasar ke halaman rumahku lalu mengumpat dalam menit yang sama.
"Kau memang benar, aku tak bisa menikah dengan penjajah. Tentara penjajah yang 'kotor' menurut bahasamu sendiri.
"Tapi, lain cerita kalau penjajah ini berbalik membela tanah ini dari Belanda yang coba menguasainya kembali …."
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Boleh nggak sih Roux bayangin tokoh Kaizo ini semacam Laksamana Muda Tadashi Maeda dalam sejarah, anggota militer Jepang yang membantu kemerdekaan Indonesia? X"D
Cerita ini terinspirasi dari lagu "What Love Really Means" oleh David Heller / Jennifer J. Heller:
"Who will love me for me? Not for what I have done or what I will become."
Catatan terakhir, 'nirmala' dalam KBBI artinya tanpa cacat cela; bersih; suci; tidak bernoda.
Terima kasih sudah membaca!
[13 Oktober 2024]
