Phenex Family

Bab 01

Suatu ketika Hamdi dan Arif dipertemukan oleh dewa tua.

"Yo kalian berdua!" seru sang dewa

"Yo," sahut Arif.

"Kalian berdua akan hidup di keluarga Phenex, Arif jadi Riser dan Hamdi akan jadi Ravel," ucap si dewa memberikan peran.

"Hah?" Beo mereka yang terasa aneh dengan apa yang dialami

"Ehe... Ayolah sesekali kalian dikasih peran yang sulit," ucap sang Dewa sambil tersenyum

"Ehe matamu, apa nggak ada peran lain selain Ravel?" tanya Hamdi rada kesal

"Ayolah, Ravelkan imut," ucap si dewa sedikit mengerjai Hamdi

Mendengar kata-kata itu, Hamdi langsung merengut, lalu Arif juga tak bisa berkata banyak, hal ini karena sudah keputusan Dewa maka susah diubah.

"Apa kalian punya beberapa hal untuk diminta?" tanya sang Dewa

"Ughhh... Ini agak menjengkelkan," ucap Hamdi yang nampak tidak puas dengan peran yang harus ia jalani.

"Kurasa aku ingin punya istri, baik itu dari game atau Anime, terserah saja" ucap Arif.

"Bukannya Riser udah punya tunangan," tanggap si Dewa itu.

"Soal itu, yah aku nggak mau berakhir dipermalukan seperti event aslinya," balas Arif.

"Ah aku mengerti, siapa istrimu aku yang menentukan yah, baiklah, maunya dari ras mana?" tanya Dewa itu pada Arif.

"Kalau bisa dari Iblis murni," ungkap Arif.

"Iblis murni huh?" gumam pelan sang Dewa.

"Bagaimana denganmu?" ucap sang dewa pada Hamdi.

"Berikan aku alasan kenapa harus aku yang memerankan Ravel dan kenapa juga harus Ravel dan bisakah bukan Ravel?" tanggap kesal Hamdi.

"Kenapa harus Ravel, karena keputusan Dewa tidak bisa diganggu gugat, bisakah bukan Ravel, agak sulit jadi tidak bisa, alasan memerankan Ravel, perintah Dewa, apa kau puas?" tanya Dewa itu.

"Keputusan yang begitu sepihak, itu menyebalkan," tanggap Hamdi.

"Kenapa? Bukankah aku sudah memberikan alasannya?" tanya Dewa itu.

"Ternyata benar, dewa tidak pernah mengerti perasaan seorang Mortal, fakta yang lebih menyebalkan aku rasa," ungkap pelan Hamdi lagi.

"Ayolah, tak seharusnya kau sekecewa itu," ucap Dewa itu sambil tertawa tipis.

Hamdi hanya tersenyum dengan mata yang berkedut tanda kalau ia sangat-sangat marah. "Boleh aku rubah keinginanku, lagi pula tahu atau tidak aku alasannya hasilnya tidak mengubah suasana hatiku," ucap kesal Hamdi.

"Ahahaha, jadi apa yang kau mau?" tanya Dewa pada Hamdi.

"Tidak banyak, tolong ketika sudah berinkarnasi nanti buat aku lupa akan identitasku yang sebelumnya, tanpa menghilangkan hal lainnya seperti pengalaman dan kemampuanku," balas Hamdi.

"Oke," tanggap sang Dewa yang akhirnya mereinkarnasikan Arif dan Hamdi menjadi anak dari keluarga Phenex.

Setelah Hamdi dan Arif direinkarnasi menjadi anggota keluarga Phenex, mereka terbangun di sebuah kamar mewah dengan arsitektur khas keluarga bangsawan. Hamdi, yang kini berwujud Ravel, bangun dengan pandangan yang agak kosong. Tanpa ingatan tentang identitasnya yang sebelumnya, ia hanya merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi tak bisa menaruh jari tepat di atasnya.

"Ini... tempat apa ini?" gumam Hamdi—atau sekarang, Ravel—dalam hati. Ia merasa familiar dengan lingkungan sekitarnya, namun ingatan tentang kehidupannya yang dulu tak lagi ada. Yang tersisa hanyalah pengetahuan dan pengalaman tertentu yang terasa seperti refleks.

Sementara itu, Arif yang kini adalah Riser Phenex tampak lebih tenang meski sedikit terkejut. "Jadi ini tubuh Riser... hmm, kuat juga. Sepertinya ini nggak terlalu buruk," pikirnya sambil merentangkan tangan untuk merasakan kekuatan barunya. Arif masih mengingat identitas aslinya dan tahu betul perannya dalam dunia ini.

Tak lama, pintu kamar terbuka dan seorang pelayan masuk dengan hormat. "Tuan Riser, Nona Ravel, selamat pagi. Keluarga telah menyiapkan sarapan, dan ayah serta ibu ingin bertemu kalian di ruang makan."

Ravel hanya diam dan menatap ke arah Riser, "Oniisama, ayah dan ibu memanggil ayo pergi," tegur Ravel dengan nada tenang dan setelahnya berhalan mendahului Riser untuk ikut bersama sang Maid menuju ruang makan.

Riser hanya mengangguk dan berjalan mengikuti Ravel. Ravel yang melupakan siapa dirinya sebenarnya dan hanya menyisakan kepribadian dan pengalamannya, dapat menjalani perannya sebagai Ravel dengan sangat tenang tanpa gugup sedikitpun, yang ada di kepalanya saat ini hanya ingatan milik Ravel tanpa tercampur ingatan siapapun.

Di ruang makan, Riser dan Ravel duduk bersama keluarga Phenex, menghadapi kedua orang tua mereka, Lord dan Lady Phenex. Mereka tampak seperti keluarga bangsawan terhormat, dengan aura kebanggaan yang memancar dari mereka. Makanan yang disajikan di meja adalah hidangan mewah yang hanya layak bagi kalangan bangsawan iblis murni.

Lord Phenex memandang kedua anaknya dengan penuh kebanggaan. "Riser, sebagai putra tertua, kau sudah melakukan tugas dengan baik, hanya saja Ayah agak khawatir dengan wanita pilihanmu itu. Memang benar dia Iblis berdarah murni dan kekuatannya tidak terbayangkan. Namun, memiliki hubungan dengan keturunan Old Satan, seperti Katerea Leviathan, adalah hal yang sangat beresiko, apalagi para tetua pastinya tidak akan senang."

"Tenang saja ayah, aku bisa mengawasinya, dia tidak akan melakukan pemberontakan kok," tanggap Riser sambil mengiris daging di piringnya.

"Haaaah, lalu Ravel," panggil seorang wanita berambut pirang panjang gaya roling bor, bermata biru dengan gaun yang indah yang tidak lain adalah ibu dari Ravel.

"Em, ada apa Hahawe?" tanya Ravel yang dengan tenang dan anggun menggunakan pisau dan garpu untuk memakan daging panggang di piringnya.

"Para tetua mengatakan, karena Riser sudah bulat pada keputusannya, maka kaulah yang akan dijodohkan dengan anak bangsawan lain," ucap sang ibu.

Ravel hanya memasang ekspresi tenang, "Heeeeh, kalau boleh tahu siapa yang akan dijodohkan padaku?" tanya Ravel sambil menggigit panggangan daging yang menancap di garpunya.

Sang ibu tersenyum halus sebelum menjawab. "Kau akan dijodohkan dengan putra keluarga Astaroth. Mereka memiliki kekuatan politik yang sangat kuat dan para tetua percaya bahwa ini akan memperkuat hubungan kita dengan mereka."

Ravel, dengan ingatan lamanya yang telah terhapus, hanya mengangguk kecil, tanpa reaksi berlebihan, "Seperti apa dia, kenapa aku dijodohkan dengannya dan kenapa tidak dengan yang lain, apa kelebihannya, dan apa yang kalian harapkan?"

Ibu Ravel tersenyum lembut melihat ketenangan putrinya. "Anakku, putra keluarga Astaroth memiliki kepribadian yang baik dan kekuatan yang luar biasa. Dia dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan sangat dihormati di kalangan para bangsawan. Di samping itu, keluarganya memiliki hubungan yang kuat dengan para tetua. Ini adalah kesempatan yang baik untuk memperkuat posisi kita di antara kalangan bangsawan lainnya."

"Ibu, apa kau sedang menutupi sesuatu, walaupun aku jarang bergaul, aku juga sering mendengarkan gosip-gosip para bangsawan mengenai bangsawan lain. Aku dengan Putra dari keluarga Astaroth punya fetis menjijikan pada Biarawati, selain itu banyak rumor mengatakan kalau dia adalah orang aneh dan punya gerak-gerik mencurigakan. Dalam rumor jelek itu apakah ibu yakin menyerahkanku dengan iklas padanya? Jika iya aku tidak akan protes, tapi jika ibu punya perasaan janggal maka tolong minta para tetua mengubah lelaki yang dijodohkan padaku," ucap Ravel dengan nada serius, tapi tetap santai, terlihat dari cara makannya yang tidak berantakan atau tidak seperti gadis labil yang suka melempar-lempar piring saat marah.

Ibu Ravel menatap putrinya dengan penuh perhatian, menyadari kedewasaan yang tidak biasa dalam cara Ravel berbicara. "Anakku, rumor itu sering kali tidak akurat. Namun, aku mengerti kekhawatiranmu. Biarkan aku berbicara dengan ayah dan para tetua mengenai hal ini," jawabnya lembut.

"Terima kasih, Ibu. Aku hanya ingin memastikan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk kita semua," ucap Ravel, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun ada rasa cemas di dalam hatinya.

Sementara itu, Riser mendengarkan percakapan itu dengan seksama. Meskipun ia ingin mendukung adiknya, ia juga tahu bahwa jodoh yang ditentukan bukanlah hal yang mudah. "Ravel, jika kamu tidak nyaman, aku bisa berbicara dengan ayah. Kita bisa mencari jalan keluar," tawar Riser, berusaha memberikan dukungan.

Ravel mengangguk pelan. "Aku menghargai niat baikmu, Oniisama. Tapi ini adalah keputusan keluarga dan tradisi yang harus kita hormati. Kita perlu menunjukkan bahwa kita dapat mengambil langkah maju meski ada tantangan di depan."

Selesai sarapan, mereka berdua beranjak dari meja. Riser merasa ada sesuatu yang berat di hatinya. "Ravel, aku merasa ada banyak hal yang harus kita persiapkan. Sebagai anak tertua, aku harus menjaga kehormatan keluarga. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang masa depan keluarga Phenex," jelas Riser.

"Setiap tindakan kita akan dipantau. Kita harus siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi," tambah Ravel, dengan ekspresi wajah serius.

Di luar ruangan, mereka bertemu dengan para pelayan yang mempersiapkan segala keperluan harian. Riser melihat sekeliling, merasakan kekuatan dan tanggung jawab yang kini ia emban. "Apa kamu sudah memikirkan tentang kekuatanmu, Ravel? Kita harus melatih diri kita agar dapat menghadapi segala tantangan yang datang," tanyanya.

Ravel mengangkat bahu, menanggapi dengan sikap santai, "Kakanda terlalu memikirkanku, sebaiknya kau fokus pada dirimu sendiri, besok kau harus menikah dengan Katerea bukan? Maka sebaiknya kau persiapkan dirimu saja, mulai dari pakaian dan lain sebagainya agar tidak gugup," ucap Ravel yang terus mengeluarkan kobaran api setiap kali ia mengeluarkan serangan tinju dan tendangan.

"Kekuatan apimu kecil, kau yakin tidak ingin berlatih denganku?" tanya Riser.

Ravel yang mendengar itu langsung menatap Riser, "Mau sparring?" tanya Ravel.

"Eh? Kenapa tiba-tiba mengajak sparring?" tanya Riser.

"Aku tidak suka diremehkan, tunjukan kemampuan kakak, biar aku tunjukkan bagaimana aku mengalahkanmu," ucap Ravel.

Arif atau Riser sebenarnya agak ragu. Namun, ia tetap menerimanya dan dalam hitungan detik kobaran api raksasa langsung mengarah pada Ravel Phenex. Ravel yang melihat itu, Ravel membuka kipasnya dan dalam satu ayunan kipas ke arah atas, api dari Riser berbelok ke udara dengan mudah, "Karena apimu bentu kobaran besar, strukturnya tidak padat, rapuh dan mudah dihancurkan, sekarang giliranku," ucap Ravel.

Riser terdiam apalagi ia melihat Ravel yang meledakkan tanah yang dipijaknya dan Riser, kembali dibuat terkejut dengan Ravel yang ada di di depan mata memberikan tinju Uperhand dan menghantam batok kepalanya, lalu meledak karena ada kobaran api kecil yang sangat padat dengan struktur energi yang dipadatkan hingga dalam ledakan itu terlepaslah ledakan dengan daya 200 joule.

Ravel tidak menahan kekuatannya karena targetnya adalah Riser Phenex, hal ini karena sebagai anak keluarga Phenex Riser pasti bisa selamat meski kepalanya hancur satu kali, karena regenerasi yang cepat.

"Oi kau tak menahan diri sama sekali!" seru Riser ketika kepalanya sudah pulih.

Ravel hanya tersenyum sambil bermain dengan kipasnya menggunakan pose elegan ala bangsawan, "Kuhuhu, Bagi keluarga Phenex, selama masih bisa pulih dengan sempurna, maka itu bukanlah luka berat," tanggap Ravel.

Riser mengusap kepalanya yang baru saja pulih, masih merasakan efek dari serangan Ravel yang tak terduga. Ia tertawa kecil, namun ada sedikit kekesalan di balik tawanya. "Kau benar-benar serius, Ravel. Sejak kapan kau jadi seberani ini? Biasanya kau lebih suka mengamati dari jauh."

Ravel, yang sekarang benar-benar tenggelam dalam perannya sebagai anggota keluarga Phenex, hanya tersenyum tipis. "Kakanda, di dunia ini hanya ada dua pilihan: berkembang atau tertinggal. Dan aku memilih berkembang. Sudah cukup aku bertindak sebagai bayang-bayangmu."

Riser mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar pernyataan itu. "Bayang-bayangku? Kau memang selalu jadi adikku, tapi bukan berarti kau harus merasa tertinggal."

Ravel tertawa pelan, suara tawanya dingin namun anggun. "Mungkin kau tidak pernah menyadarinya, Oniisama, tapi selama ini aku terus memerhatikan. Kau selalu menjadi pusat perhatian, pahlawan keluarga Phenex. Tapi sekarang, aku ingin menunjukkan bahwa aku bukan hanya adik kecil yang perlu dilindungi. Aku bisa berdiri di sampingmu, bahkan mungkin melampauimu."

Riser merasakan ketegangan di antara mereka meningkat. Ini bukan lagi tentang sparring atau latihan ringan. Ini tentang posisi, pengakuan, dan mungkin bahkan harga diri. Ia menghirup napas dalam-dalam, memanggil lebih banyak api, kali ini dengan struktur yang lebih padat dan fokus.

"Baiklah, kalau begitu," kata Riser dengan suara yang lebih serius. "Jika kau ingin menunjukkan bahwa kau bukan hanya bayang-bayangku, maka tunjukkan! Aku tidak akan menahan diri lagi."

Dengan kobaran api yang kini lebih padat dan terkontrol, Riser melancarkan serangan langsung ke arah Ravel. Api yang membentuk semacam pedang raksasa mengiris udara menuju Ravel, namun dengan kecepatan dan kelincahan yang luar biasa, Ravel menghindar dan mengayunkan kipasnya sekali lagi, mengirimkan serangan balik berupa ledakan api kecil yang tepat sasaran.

Kali ini, Riser tidak lengah. Ia mengantisipasi gerakan Ravel dan memblokir serangan dengan penghalang api, tapi bahkan dengan semua persiapan, serangan Ravel tetap membuatnya mundur beberapa langkah. Boom! Api kecil itu meledak tepat di hadapannya, menghasilkan daya ledak yang jauh lebih besar dari ukurannya.

"Strukturnya... benar-benar padat," gumam Riser sambil memulihkan posisinya. "Kau benar-benar meningkatkan kekuatanmu, Ravel."

Namun Ravel tidak memberikan waktu bagi Riser untuk berpikir lebih jauh. Dengan gerakan cepat, ia sudah berada di udara, melepaskan lebih banyak serangan api yang terukur dan mematikan. Setiap serangannya bukan hanya semburan kekuatan, tapi juga perhitungan yang teliti, dengan fokus untuk memanfaatkan setiap kelemahan dalam pertahanan Riser.

Riser, meski sudah lebih berhati-hati, merasa dirinya sedikit kewalahan. "Aku tidak percaya ini, Ravel benar-benar setara denganku," pikirnya, merasakan tekanan dalam setiap serangan adiknya.

Akhirnya, Riser mengumpulkan semua kekuatan apinya dalam satu gerakan besar. "Cukup! Mari kita akhiri ini!" serunya. Ia menciptakan bola api besar yang berputar di tangannya, menyiapkan serangan pamungkas.

Ravel, yang masih berada di udara, hanya tersenyum melihat kakaknya yang mencoba mengeluarkan serangan terkuatnya. "Kakanda, itu api yang besar lagi. Kau belum belajar, ya?" katanya sambil melayang turun, siap menghadapi serangan tersebut.

Dalam sekejap, Riser melemparkan bola api raksasa itu ke arah Ravel. Ledakannya begitu besar, hingga tanah di sekitarnya bergetar hebat. Namun Ravel tidak gentar. Dengan satu kibasan kipasnya yang kuat, bola api itu terbelah menjadi dua dan melesat ke arah yang berbeda, menghindari dirinya sepenuhnya.

Sebelum Riser sempat bereaksi, Ravel sudah berada di hadapannya lagi. Ia mengayunkan tinju dengan api kecil namun padat yang menyelimuti kepalan tangannya, dan kali ini ia menargetkan perut Riser.

Boom!

Riser terdorong mundur jauh, terjatuh dengan keras ke tanah. Ia terengah-engah, meski tahu tubuhnya akan segera pulih, serangan Ravel meninggalkan kesan mendalam.

Ravel berdiri dengan anggun di depannya, kipasnya dilipat kembali. "Ini pelajaran, Kakanda. Kadang, lebih sedikit lebih baik. Jangan terlalu mengandalkan kekuatan besar tanpa perhitungan."

Riser, yang masih terbaring, menatap langit sambil tersenyum lelah. "Hah... aku benar-benar harus mengakui, kau jauh lebih kuat dari yang aku duga. Kau menang, Ravel."

Ravel menunduk sedikit, memberikan hormat kecil. "Terima kasih, Kakanda. Tapi ingat, kita ini keluarga. Aku tidak pernah ingin mengalahkanmu, hanya ingin diakui sebagai setara."

Riser duduk perlahan, masih tertawa. "Aku mengerti. Kau sudah mendapatkan pengakuanku. Tapi jangan harap aku akan menyerah begitu saja. Lain kali, aku yang akan menang."

Ravel hanya tersenyum dan kembali berpose selayaknya gadis bangsawan dengan kipasnya sambil berkata, "Ah iya, kau sangat terobsesi dengan sihir api bertipe area. Karena bisa menutupi ruang gerak musuh bukan. Namun, itu percuma saja jika stukturnya kopong, partikel apimu terlalu lembut karena banyak yang terpisah, jika seseorang dengan bakat tinggi menggunakan Demonic power nya, dia bisa mengendalikan sihirmu dengan mudah. Jadi aku sarankan kau gunakan sihirmu seperti ini saja," ucap Ravel yang mulai menciptakan kobaran api besar. Namun, dalam sekejap mata diperpadat hingga hanya sebesar kelereng. Dan saat Ravel melemparkan api itu. Ledakan besar membentuk kawah panas seluas 40 meter dengan kedalaman cekungan 50 meter.

Riser menatap dengan mata membelalak saat melihat Ravel menciptakan kobaran api yang awalnya besar, namun dengan cepat dipadatkan hingga hanya seukuran kelereng. Tidak butuh waktu lama bagi Ravel untuk melemparkan api kecil itu ke tanah, dan seketika terjadi ledakan yang sangat dahsyat.

Boom!

Suara ledakan menggema di seluruh arena. Tanah di bawah mereka bergetar hebat, dan dalam hitungan detik terbentuklah kawah panas yang sangat besar, dengan lebar sekitar 40 meter dan kedalaman hingga 50 meter. Uap panas masih menyembur keluar dari kawah itu, menunjukkan betapa kuatnya kekuatan yang tersimpan dalam api kecil yang dilontarkan Ravel.

Riser berdiri terdiam, rahangnya jatuh. "Itu... hanya dari api sebesar kelereng?" gumamnya tak percaya.

Ravel memandang kakaknya dengan senyum tipis, kipasnya kini terselip di tangan. "Ya, Kakanda. Inilah yang kumaksud dengan mengoptimalkan struktur sihir. Kobaran api yang besar mungkin terlihat mengesankan, tetapi jika strukturnya rapuh dan partikel-partikel apinya tersebar, maka kekuatannya akan melemah. Sebaliknya, api yang dipadatkan seperti ini memiliki energi yang lebih terkonsentrasi, menghasilkan ledakan yang jauh lebih kuat."

Riser menggaruk kepalanya, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Jadi maksudmu... aku harus berhenti menggunakan sihir api besar untuk menutupi area dan fokus pada api yang lebih kecil tapi lebih padat?"

Ravel mengangguk. "Tepat sekali. Dengan struktur yang padat, sihirmu tidak hanya akan lebih sulit dikendalikan oleh orang lain, tetapi juga akan menghasilkan daya ledak yang jauh lebih besar. Selain itu, dengan sihir yang lebih efisien, kau bisa mempertahankan stamina dan energi magismu lebih lama."

Riser menghela napas panjang, sambil tersenyum masam. "Aku harus mengakui, Ravel, kau benar-benar tahu cara memanfaatkan sihir api dengan lebih efektif. Aku mungkin harus banyak belajar darimu."

Ravel hanya tersenyum lembut, menyembunyikan kebanggaan kecil yang dirasakannya. "Itulah gunanya saudara, bukan? Kita belajar dari satu sama lain."

Riser tertawa kecil, rasa kagumnya pada adiknya kini semakin besar. "Kalau begitu, aku akan mulai mencoba metode itu. Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu terus-menerus mengalahkanku."

"Ravel sangat menantikan itu, Kakanda," tanggap Ravel sambil tersenyum tipis dan pergi mendekati Dummy kayu yang biasanya dipakai untuk latihan martial arts, baik tangan kosong ataupun pedang. "Selain itu, aku ingin berlatih Matrial Arts jadi jangan ganggu aku lagi," ucap Ravel yang kembali ke pasa dummy yang ia tinju-tinju ia juga melihat rekaman Muhammad Ali di DvD portable dan meniru semua tekniknya.

Bersambung