Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.
Story © Panda Dayo
Inaho/Slaine. InaSure.
Isekai(?). Alternate Reality
Sebenarnya draft lama tapi sayang dibuang jadi dipublish aja di sini.
Don't like don't read!
Enjoy~
Bidaknya terhenti.
Inaho melirik, menatap Slaine yang baru saja menyelesaikan langkah pionnya. Membuat penjagaan miliknya sedikit terlihat lengah. Tetapi lelaki itu hanya tersenyum, kemudian menggerakkan bidak benteng untuk melahap perdana menteri pihak lawan. Detik berikutnya, bidak ratu punya Inaho sudah kena skak.
"Sepertinya kau bersemangat sekali hari ini, Slaine."
"Tidak juga."
Dua puluh tahun telah berlalu sejak perang besar antara kekaisaran Vers dan Bumi. Dunia sedang berada dalam keadaan damai, tidak ada yang mengancam. Semua baik-baik saja dan berjalan tanpa kendala.
Kerjasama antara Vers dan Bumi tentunya menguntungkan kedua belah pihak. Teknologi yang maju, perkembangan obat penyakit langka dan sebagainya telah berhasil dilakukan. Bisa dikatakan ini adalah puncak dari kehidupan manusia. Angka kriminalitas juga menurun jauh, sehingga kondisi di luar sangat stabil. Jadi karena itu, Inaho jadi memikirkan sebuah ide.
"Slaine, mau keluar dari sini denganku?"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Jalan-jalan, kau pasti bosan berada di sini selama dua puluh tahun."
"Kau melakukannya setiap akhir bulan. Kenapa tiba-tiba? Ini belum waktunya."
Yah, Inaho juga tidak tahu kenapa. Hanya saja dia tiba-tiba berpikir demikian. Ini sudah dua puluh tahun, orang-orang tidak mungkin tahu bagaimana wajah Slaine yang dinyatakan sebagai penjahat perang, bukan?
"Aku tidak punya teman."
Senyum remeh terpampang di wajah lelaki pirang. "Masih terlalu cepat seratus tahun untuk membodohiku, Kaizuka."
Inaho tertawa pelan. "Iya, aku tahu."
Kegiatan Inaho dan Slaine tidak begitu banyak ketika berjumpa seperti ini. Menggunakan alasan pekerjaan, Inaho selalu menyempatkan diri untuk melihat 'tahanan'nya. Selama dua puluh tahun, rutinitas mereka hanya bicara singkat dan juga bermain catur.
Slaine juga berkebun di lahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Inaho kadang membantunya memberi pupuk atau menyiram benih tanaman. Lalu setiap akhir bulan, si bungsu Kaizuka selalu membawanya pergi jalan-jalan ke luar. Sebenarnya itu baru terjadi setahun terakhir ini, entah apa yang dipikirkan pahlawan bumi itu.
"Aku mau lihat kebunku dulu."
Inaho hanya tersenyum, menyadari fakta bahwa Slaine baru saja melewatkan kesempatan untuk membuatnya kalah. Begini saja juga tidak apa-apa, jadi Inaho segera membereskan papan bermainnya untuk mengantar Slaine ke kebun kecil di sekitar ruang tahanannya. Inaho memang menyiapkan tanahnya, tetapi semua ini Slaine yang mengurusnya karena dirinya juga tidak bisa setiap hari ke sini.
"Lihat, bunganya sudah mekar."
Slaine memberi tahu Inaho sembari menunjuk sebuah kumpulan bunga matahari. Terlihat begitu cerah, sangat cocok dengan lelaki pirang ketika Inaho memikirkannya. Mereka menyiram tanaman setelah itu, kemudian beristirahat di sebuah bangku yang berada di sana.
"Bunga matahari itu cocok buatmu." Komentar Inaho.
"Aku cuma menyiram apa yang kau berikan padaku." Elak Slaine.
"Tapi tanpa tanganmu, itu tidak akan tumbuh. Benar, kan?"
"Ukh, kenapa bicaramu sangat aneh hari ini?"
Aneh?
Inaho tidak pikir dirinya aneh. Dia hanya merasa senang karena Slaine tak lagi merasakan kesepian di tempat ini. Bunga-bunga dan rerumputan di sini bisa menemaninya di kala sendiri. Tapi, sebenarnya, menurut Inaho, Slaine lah yang paling bersinar dari mereka semua.
Sepasang mata tealnya sangat indah. Helai pirangnya pun cantik. Kulit putihnya akan menjadi lebih cerah jika terkena sinar matahari. Bahkan nada bicaranya juga terdengar manis. Inaho tidak aneh, dia hanya bicara fakta. Bukankah semua orang melihat Slaine seperti itu?
"Kau kurang tidur, ya? Mau kutemani?"
Slaine memucat. "A-apa?! Kau membuatku merinding, Kaizuka."
"Kau bisa memanggilku Inaho saja."
"Kita tidak sedekat itu."
Inaho tertawa sebelum akhirnya merebahkan dirinya. Kepalanya diletakkan di paha Slaine, hingga membuat empunya terkejut karena terlalu tiba-tiba. Iris mereka bertemu ketika tak sengaja bertukar pandang, membuat keduanya terdiam selama beberapa saat.
"Matamu indah sekali." Puji Inaho. "Dilihat dari dekat, apalagi."
Slaine bisa membalasnya dengan ucapan kasarnya, tetapi entah mengapa ia tidak melakukannya saat itu. Dirinya melihat bagaimana Kaizuka bungsu itu menatapnya dengan lurus. Seolah-olah ingin mengatakan sesuatu padanya. Setelah kesadarannya pulih, Slaine pun menjawabnya.
"Kau mulai bicara tidak masuk akal."
"Jika melihatmu, itu hal yang wajar."
"Hah?"
Dua puluh tahun ini, Inaho tidak pernah berhenti memperhatikan Slaine. Dia mengurus semuanya dari penjagaan, makanan, dan lainnya. Seiring waktu, pribadi Slaine tidak lagi dingin kepadanya. Mereka pun akhirnya bisa berbicara normal seperti sekarang, buah dari kesabaran selama dua dekade.
Inaho tidak pernah menyesal bertemu dengan Slaine. Bahkan jika dia harus mengulang kehidupan, dirinya tetap ingin seperti ini. Berdua saja dengan Slaine, tidak diganggu oleh siapapun.
"Slaine," panggil Inaho.
Pemilik rambut pirang terkejut ketika tangan Inaho menyentuh pipinya, seraya melemparkan senyum tulusnya.
"Apa?"
Slaine tidak pernah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Inaho. Bahkan sampai hari ini. Mengapa lelaki tersebut menatapnya sampai seperti itu? Apakah dia sudah melakukan sesuatu?
"Kita sudah kenal selama dua puluh tahun."
"Lalu?"
"Kita juga tahu satu sama lain lebih baik daripada sebelumnya."
"Cepat katakan apa maksudmu."
Inaho memberi jeda sebentar. Mulutnya terkatup saat angin musim panas membelai wajahnya. Slaine terlihat begitu indah, bagaimanapun dia melihatnya. Bahkan meski konversasi mereka hanya itu-itu saja, tidak pernah ada sedikitpun bosan yang dirasakan oleh Inaho. Dia merasa sudah cukup untuk tetap seperti ini.
"Maukah kau menghabiskan sisa hidupmu denganku?"
Jika ini adalah masa dua puluh tahun lalu, Slaine pasti berpikir Inaho bercanda. Sengaja membuatnya kesal dan marah. Namun sudah selama itu pula keduanya saling mengenal, jadi Slaine tahu jika saat ini lelaki beriris merah itu tidak berdusta sama sekali. Ada kesungguhan yang terlihat di dalam matanya, membuat Slaine tertegun hingga kelu, tidak bisa menjawab secara cepat.
"Kau tidak perlu menjawabku sekarang, aku bisa menunggu."
"Kau aneh sekali."
Inaho memeluk perut Slaine dari posisinya, dengan sedikit memiringkan kepala. Menyamankan dirinya di sana.
"Iya, aku memang aneh."
Slaine tidak tahu harus bilang apa lagi. Baru pertama kali ini ia menerima konfesi, dan itu sangat serius. Ia ingin bertanya sejak kapan Inaho merasakan semua itu, tetapi debaran di dadanya sedikit merepotkan. Tidak mau berhenti setelah mendengar ucapan Inaho barusan.
"Apa cuma itu keinginanmu?"
"Aku hanya ingin bersamamu."
Slaine menunduk. "Tapi aku tidak punya apa-apa."
Inaho sedikit mendongak, "Itu tidak penting, aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Menghabiskan hari-hari secara normal bersamamu."
Normal.
Slaine tidak pernah ingat dia menjalani kehidupan yang normal. Berasal dari bumi, tanpa masa lalu yang berkesan. Bekerja untuk Vers dan mengabdikan seluruh hidupnya di sana. Kemudian kembali ke kampung halamannya sebagai seorang penjahat. Itu … tidak normal sama sekali.
Bukankah aneh Inaho menyukai seseorang yang sepertinya ini? Dari sisi mana lelaki itu menilainya? Ia tidak tahu. Hanya saja, Slaine paham jika Inaho takkan mengatakan sesuatu yang tidak diyakininya.
Tidak terasa sudah dua puluh tahun ia bersembunyi dari khalayak. Menghabiskan waktu dengan Inaho, Inaho dan … Inaho. Siapa lagi memang yang mau mengunjungi orang sepertinya? Tidak ada. Slaine tidak punya keluarga atau teman. Lalu tanpa ia sadari, dirinya membiarkan Inaho masuk dalam kehidupannya. Sedikit demi sedikit, hingga sampai pada saat ini.
"Inaho, aku akan menjawabnya sekarang."
"Tunggu, biar aku menutup telingaku dulu. Aku tidak tahan mendengar penolakan darimu."
Slaine tersenyum, sembari menarik rambutnya ke sisi telinga supaya bisa melihat Inaho lebih jelas.
"Kata siapa aku menolakmu?"
"Aku tahu kau akan … apa?"
Inaho berkedip. Apakah dia salah dengar tadi? Tapi melihat ekspresi di wajah Slaine, sepertinya bukan itu yang terjadi. Satu detik, dua detik, Inaho masih memproses kalimat Slaine. Dia tidak ditolak? Apakah itu artinya?
"Benarkah?"
Slaine senewen. Ia kemudian menjewer telinga Inaho karena kesal. Sedangkan lelaki berambut cokelat hanya diam saja menerima perlakuan itu. Dirinya terlampau senang hingga tak peduli apa yang dilakukan oleh Slaine.
"Apa kau yakin?" Inaho bertanya kembali, memastikan.
Slaine memalingkan wajah. "Me-memangnya aku harus hidup dengan siapa jika bukan dirimu?"
Inaho beralih ke posisi duduk, tepat di sebelah Slaine seperti sebelumnya. Matanya sedikit berbinar, meski wajahnya tetap saja datar. Slaine merasa sedikit mengantuk karena terkena angin, jadi dia menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu.
Tidak disangka, sepertinya cukup kuat. Bila diperhatikan, tubuh Inaho juga tegap dan lebih tinggi daripada dirinya sekarang. Menjadi lelaki dewasa yang baik serta begitu tampan. Dua puluh tahun ini, apa saja yang dia makan? Namun, mengenyampingkan semua itu dia hanya memejamkan matanya.
"Aku lelah."
"Mau tidur juga tidak apa-apa."
"Kau benar-benar aneh sekali, orenji."
Inaho tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar Slaine memanggilnya demikian. Sejujurnya dia juga tidak ingat kapan mulai merasakan hal ini.
"Sepertinya begitu."
Tapi mungkin, Inaho sudah jatuh hati sejak pertama kali bertemu dengannya.
Ada yang bilang, kebahagiaan takkan bisa berlangsung selamanya.
Inaho tidak tahu apa yang terjadi, ketika dirinya membuka pintu rumah, beberapa petugas datang. Mereka bilang, tiba-tiba harus diperintahkan menuju markas besar UFE. Ia pikir ada situasi darurat atau serangan teroris, tetapi yang dia dapatkan adalah kedua tangannya diborgol dan kemudian matanya ditutup oleh petugas. Inaho tidak tahu dibawa ke mana dirinya,
Inaho kehilangan kesadaran setelah sesuatu menyuntik tengkuknya. Rasanya tidak sakit, tetapi ia jadi mengantuk perlahan-lahan. Begitu sadar, Inaho sudah berada di tempat lain, dengan beberapa petugas yang menemaninya di sebuah ruangan asing.
"Dia sudah sadar rupanya."
"Sebaiknya kita segera memberitahukan kondisinya. Supaya persidangan bisa segera dilakukan."
Persidangan?
Kalau mereka hanya butuh Inaho sebagai saksi, tidak mungkin melakukan ini, bukan? Apa yang sebenarnya terjadi? Tampaknya dia harus menuruti kemauan mereka untuk sementara waktu. Tanpa perlawanan, dia akhirnya mengikuti para petugas itu, digiring ke sebuah ruangan lain yang pintunya cukup besar.
Inaho terkejut ketika mendapati ada banyak orang yang berada di dalam sana. Tubuhnya didorong untuk berada di tengah, tak ada yang bisa Inaho lakukan. Dia akan melihat dulu situasinya.
"Apakah dia Kaizuka Inaho?"
"Benar, Yang Mulia."
"Baiklah, kita mulai saja."
Suara berisik dari bisikan orang-orang terdengar. Inaho tak memperhatikan, karena lebih ingin tahu alasan mengapa dirinya dibawa ke mari. Hampir semuanya adalah petinggi UFE di tempat ini. Dia tak bisa sembarangan.
"Kaizuka Inaho, kau didakwa atas tuduhan telah menyembunyikan penjahat perang selama dua puluh tahun ini."
Inaho masih berdiri di tempatnya ketika beberapa dakwaan disebutkan kepadanya. Jadi karena Slaine? Berarti yang melaporkannya pasti seseorang di penjara. Salah satu petugas, ya? Tapi apa urgensinya hingga dia mengatakan persoalan Slaine?
"Katakan apa pembelaanmu, Kaizuka Inaho."
Inaho menutup mata. "Pertama, saya dibawa ke sini tanpa sepengetahuan saya sebelumnya. Jika dimungkinkan, harus ada seorang pengacara di pihak saya."
"Oh, begitu kah?"
"Akhh!"
Inaho menoleh, melihat kedatangan seseorang selain dirinya ke ruangan itu. Matanya melebar, terkejut setengah mati. Belum sempat ia mengatakan sesuatu, seluruh tubuhnya kembali ditahan oleh para petugas saat raga sosok yang dikenalnya ditendang dengan keras hingga jatuh.
"Penjahat biadab! Rupanya kau masih hidup selama dua puluh tahun ini!"
"Uhuk … "
Slaine terbatuk-batuk. Sekujur tubuhnya sakit semua saat ini karena selalu diperlakukan dengan kasar sejak tiba-tiba ditangkap pagi ini. Ia baru saja bangun lalu mendadak diseret. Akan tetapi, sepasang netranya melihat Inaho yang berdiri tak jauh darinya dengan tubuh ditahan oleh banyak orang. Sekilas, sepertinya Slaine sudah mengerti apa yang terjadi.
"Hukum penjahat itu sekarang!"
"Tunggu, kalian tidak bisa—"
Inaho ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak sempat karena mulutnya disumpal dengan kain agar tidak bicara. Suaranya tertahan, dan hanya bisa diam melihat Slaine yang menjadi bulan-bulanan semua orang di sana. Tanpa ditanyai, tanpa diadili.
Sekuat tenaga, Inaho berusaha melepaskan diri. Sedikit demi sedikit, ia bisa menemukan celah untuk kabur. Saat berhasil, lelaki itu segera berlari menuju Slaine yang tengah dikepung banyak orang dan menginjaknya. Inaho menyeruak barisan, menemukan orang yang berharga baginya dalam keadaan tersiksa.
Inaho segera mendekapnya, berusaha melindunginya dari amukan massa. Ia harus mencari cara supaya bisa keluar dari situasi ini. Tapi bagaimana? Slaine merupakan musuh umat manusia di Bumi dan tidak memiliki rumah untuk kembali ke Vers. Oleh sebab itu, Asseylum mempercayakan Slaine kepadanya, supaya ia bisa menjaganya sampai nanti. Sang Puteri sudah memikirkan ini begitu jauh ke masa depan.
Tapi … apanya yang menjaga?
Inaho bahkan tak bisa melakukan apapun meski sudah dewasa. Injakan dan tendangan semua orang yang mengenainya tidaklah seberapa dengan rasa sakit Slaine selama ini. Tubuhnya kian lemah karena menerima semua itu, ia tidak tahu harus membawa Slaine ke mana.
"Hukum saja mereka berdua!"
Slaine tidak mengatakan apa-apa sejak tadi, ia hanya memeluk Inaho dengan erat. Suaranya yang lirih terdengar pelan, lalu membisikkan sesuatu di telinga lelakinya.
"Maaf."
Tepat setelah itu, sebuah peluru mengenai kepala Slaine. Warna merah mengucur deras dari pelipisnya, lalu tidak sadarkan diri. Raganya terkulai lemah dan Inaho menahannya. Lelaki itu melirik, melihat seseorang yang tengah membawa pistol di antara kerumunan.
Amarah mungkin adalah sesuatu yang belum pernah dirasakan Inaho. Selain rasa kesal, ia bahkan tidak yakin apakah dirinya pernah menunjukkan emosi sebesar itu. Namun Inaho kini nenggemerutukkan gigi, menunjukkan rasa marah pada wajahnya hingga membuat semua orang takut.
"Hei, apa yang kau lakukan?!"
Inaho tidak membawa senjata, jadi ia merebut pistol dari seseorang yang membawanya. Matanya berkilat tajam, seperti hewan buas yang akan segera memakan mangsanya. Orang itu sudah ketakutan, tapi ternyata Inaho tak melakukan apa yang dibayangkannya.
"Tu-tunggu, Letnan Kaizuka—"
Dor!
Suasana hening selama beberapa saat setelah suara mengerikan itu terdengar. Darah kian bertambah banyak, hingga membuat semua orang panik.
"Hei, bagaimana ini?! Kita tidak perlu membunuh Letnan Kaizuka!"
"Kenapa kau menyalahkanku?! Orang-orang yang menahannya tidak becus!"
Inaho tidak bisa bertahan lebih lama setelah menembak dirinya sendiri. Pistol itu terlepas dari genggaman tangannya, lalu hanya memeluk sosok di depannya. Slaine sudah tidak bernapas, jadi kenapa ia harus tetap hidup?
Mimpi Inaho adalah membawa Slaine ke luar dari selnya. Mereka juga bisa berjalan-jalan dengan bebas di luar dan bergandengan tangan tanpa harus mempedulikan semua orang. Mereka mungkin akan mampir ke sebuah bioskop untuk menonton film, kemudian pergi makan di restoran. Slaine akan tersenyum karena merasakan berbagai masakan enak yang baru.
Atau mungkin, mereka bisa berkebun saja. Menumbuhkan bunga-bunga hingga tinggi, mengamati kupu-kupu dan lebah yang berebutan nektarnya. Lalu Slaine akan membuatkan makan siang untuknya, mereka kemudian menyantapnya bersama sambil menikmati embusan angin dan mengamati matahari yang menyilaukan.
Brukk
Inaho jatuh, memeluk Slaine dalam kematiannya. Ia tidak bisa membiarkan para bajingan itu menyentuhnya meski sudah tiada. Mereka yang hanya berbicara keadilan tanpa tahu apa-apa tidaklah lebih dari sekadar sampah. Setidaknya, walau sesaat, Inaho takkan membiarkannya.
Dalam bayangannya, ia hanya menginginkan Slaine berbahagia. Masih banyak hal yang belum mereka lakukan, masih begitu banyak kata yang belum sempat tersampaikan. Mata Inaho perlahan tertutup, melihat wajah Slaine untuk yang terakhir kali. Ia berharap bisa menemuinya di kehidupan selanjutnya, jika hal itu memanglah ada.
Sebab tidak ada tempat bagi orang yang dia cintai di dunia ini.
.
.
.
"Hei, apa kau sudah bangun?"
Inaho merasa matanya begitu berat. Ia tidak ingin membukanya jika saja tidak mendengar suara yang begitu familiar. Secara perlahan, ia berusaha untuk melihat siapa yang memanggilnya.
"Hei, Inaho! Jangan tiba-tiba bangun! Mengagetkan aku saja!"
Sebentar.
Apakah Inaho tidak sedang bermimpi?
Ia masih ingat, Slaine dan dirinya sudah tidak bernyawa. Mereka pergi bersama-sama. Omong kosong apa ini? mengapa Slaine Troyard ada di depannya sekarang?
"Dewan Mahasiswa terus menelponku sedari tadi. Aku benar-benar muak jadi teman sekamarmu."
"S-Slaine … "
"Ya?"
Slaine tentu saja menoleh ketika namanya dipanggil. Ia melihat Inaho yang tiba-tiba menangis dan langsung panik. Segera, ia pun mengambil tisu yang selalu berada di sakunya. Mengusap wajah Inaho yang mendadak basah.
"Ada apa sih, denganmu? Sudah, ya. Pokoknya aku mau berangkat duluan! Sisanya urus saja sendiri!"
Slaine pergi sambil marah-marah, tapi Inaho tidak merasa tersinggung sedikit pun. Slaine tetaplah dirinya, sama seperti yang ia kenal. Tapi masalahnya, kenapa Inaho bisa berada di tempat ini?
.
.
Bersambung
