"Tidak hanya bunga, ternyata, kupu-kupu juga menyukai bau darah."

.

.

Nagoya, 2012.

Kupikir, tsuyu kali ini berlangsung lebih lama. Hujan terus membasahi rerumputan hijau yang mulai tumbuh setelah tiga bulan hibernasi.

Kupikir, gerimis menghambat pergerakan manusia. Tetapi, lalu-lalang mobil polisi itu justru dua hari berturut-turut singgah di rumahku. Pertama, mereka membawa ayah, kedua, memaksa menggeledah rumah.

"Hyuga Hiashi terjerat kasus suap pembebasan lahan. Bersikaplah kooperatif. Kami hanya menjalankan perintah."

Ibu menangis saat beberapa orang itu mengubrak-abrik isi kamar kami. Mereka mengeluarkan barang apapun yang tersimpan di almari hingga semuanya tercecer di lantai dan terinjak oleh sepatu basah mereka.

Ayah hanyalah seorang staf rendah di Biro Kota di bawah naungan Kementerian Pertanahan, Kokudo-Kotsu-Sho.

Bagaimana mungkin seorang pejabat publik di level paling bawah mampu bertindak layaknya seorang kepala? Jika kasus suap itu benar terjadi, bukankah seharusnya kami sudah tinggal di rumah yang lebih mewah, melihat nilai suapnya yang mencapai tujuh puluh juta yen.

Ini ... tidak masuk akal.


"Apakah benar selain uang pelicin, Anda juga menerima gratifikasi dari Tuan Onoki?"

"Pak, kudengar Anda juga mendapat pelayanan lain seperti kelas bisnis untuk trip, dan berkunjung ke kasino. Seseorang bahkan melihat Anda di Roppongi."

Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari bibir para wartawan begitu ayah menyelesaikan sidang yang pertama.

Dua Minggu usai berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan, ayah langsung menjalani sidang, dan, aku sangat terkejut melihat kepala ayah sudah dibotaki. Sementara pelaku utama: Onoki, masih dengan penampilannya yang semula—bahkan sempat melempar senyum ke kamera.

"..."

Kilat lampu blitz memberondong ayah. Mereka mengerubunginya seperti kawanan semut yang bertemu gula-gula.

Mereka mengambil foto terburuk ayah, lalu membagikannya dengan narasi 'Sang Koruptor'.

Aku hanya bisa menggenggam tangan ibu yang bergetar saat itu. Seseorang tampak melempari ayah dengan telur dan tomat busuk. Lalu, beberapa sipir yang bertugas mengawal menghalau masa yang mulai ricuh.

Aku tak melihat eksistensi ayah lagi saat dia dibawa masuk ke mobil tahanan dan mulai meninggalkan halaman pengadilan.


"Hinata, bukankah ini ayahmu?"

"Hahaha, jadi kau anak seorang penjahat?"

Berita tentang tuduhan palsu tersebut juga sampai di sekolah.

Aku masih kelas 6 SD dan belum begitu memahami semuanya. Hanya saja, ibu bilang ayah dijebak.

"Ti-tidak, ayah bukan seorang penjahat!"

"Hei, kau tidak punya teve di rumah? Wajah ayahmu muncul di berita pagi dan sore!"

"Teman-teman, jangan berteman dengan Hinata. Dia anak seorang penjahat."

"Tidak ... itu tidak benar!"

Media benar-benar mem-framing ayah seolah dia manusia yang terburuk. Tagline yang digunakan sangat provokatif, menggiring opini seakan-akan ayahku lah yang bersalah.

Tertangkap, berikut barang bukti apa saja yang ditemukan di rumah Hiashi, tersangka kasus suap.

Kementerian Pertanahan memecat Hiashi dari jabatannya karena skandal suap.

Berita tentang Onoki juga tidak sebanyak ayah. Media seperti memberi perlakuan yang berbeda untuk kasus yang sama.

Uang tujuh puluh juta yen, trip kelas bisnis, judi, semuanya tidak ada yang benar.

Fotonya di Roppongi, saat itu ayah hanya sedang mampir ke kedai makanan sepulang kunjungan dinasnya dari distrik tersebut.

Ayah dijebak oleh atasannya sendiri, dan entah mengapa, media seperti memuluskannya.

Untuk sebagian orang memutarbalikkan fakta memang sangat mudah. Uang sanggup berbicara lebih banyak dibanding bibir. Dan tentu saja, apa yang terlihat belum tentu itu yang terjadi.

Aku jadi menerka-nerka, berapa banyak korban media di luar sana?

Berita yang tersiar semakin hari semakin kusut. Ayah tidak memiliki tempat untuk pembelaan. Sampai, tiga bulan di penjara, ayah akhirnya meninggal karena sakit.

"..."

Di tanah pekuburan ayah yang masih basah, aku hanya bisa menangis sambil meletakkan setangkai bunga lili putih di atas nisannya.

Di tahun itu, bagiku tsuyu berlangsung sangat lama.

Hujan tak mereda membasahi bahuku. Rasa asin bercampur kelu tertahan di ujung bibir, lalu, aku yang masih naif tiba-tiba mulai berjanji pada diri sendiri.

Tidak boleh lagi ada media yang menggiring ke informasi yang salah.

Saat itu usiaku baru dua belas tahun, dan entah bagaimana, aku mendadak ingin menjadi seorang jurnalis yang berjalan di belakang media yang adil.

.

.

.

Butterfly Shades

Story written Kimonoz

Disclaimer: Naruto Masashi Kishimoto

Penulis tidak mendapat keuntungan secara materiil dari fanfiksi ini

Ditulis untuk The Universe Blesses event by NHI_Telegram

Rate M for adult scene, bad words, and violence

Genre: Romance/Crime

.

.

.

Tokyo, 2024

Bau petrikor menguar di udara tak lama setelah tetes-tetes air dari langit itu bercumbu dengan tanah.

Sebelumnya suhu sempat menyentuh angka 37. Tingkat panas yang ekstrem membuat rumah sakit ramai didatangi pasien yang didominasi oleh para lansia.

Pemerintah bahkan sampai membuka pusat-pusat pendingin di beberapa daerah untuk membantu mengatasi gelombang panas ini.

AC tidak pernah mati. Termasuk di gedung-gedung perkantoran yang justru memasang pendingin tambahan untuk menyejukkan ruangan.

.

"Yatta! Akhirnya aku bisa membuka bekalku!"

Gadis berambut biru gelap tersebut tersenyum cerah sembari memisah dua batang sumpit untuk mengambil sushi dari kotak bento-nya.

Udara dingin yang berasal dari air coolar di dekatnya terlihat menggoyang pelan rambut ponytail itu.

Tanpa terasa, waktu berjalan sangat cepat. Dua belas tahun berlalu, gadis kecil berambut pendek nan cengeng tersebut, kini menjelma menjadi seorang wanita cantik berambut panjang yang berhasil menggapai mimpinya sebagai seorang jurnalis.

"Hinata."

Namanya dipanggil, spontan dia menoleh.

"...?"

Laki-laki berkacamata yang baru keluar dari ruangannya sempat melempar pandangan ke arah jendela, sesaat memperhatikan curah hujan yang mulai mereda.

"Ah, Chojuro?"

Lelaki itu mendekati Hinata, dan melihat bekalnya masih utuh.

"Kau baru mau makan siang? Cepat habiskan makananmu. Kita harus pergi sekarang."

"Ehh?"

Jujur, Hinata belum genap lima menit meluruskan punggungnya. Sejak pagi ia sudah sibuk mengerjakan artikel yang harus dirilis sebelum pukul 12:00.

"Ke-kenapa buru-buru sekali?"

"Pembunuh berantai itu berulang lagi. Aku baru mendapat info dari saksi di lokasi."

"Su-sungguh?!"

Chojuro mengangguk,

"Ya, kita harus menjadi media yang pertama datang, Hinata."


Akhir-akhir ini sebuah pembunuhan misterius terjadi. Tragedi berdarah di mana ke semua korbannya adalah wanita yang dilaporkan hilang beberapa hari sebelumnya.

"Pelakunya pasti psikopat."

Turun dari mobil, Hinata telah siap dengan payung di tangan.

Saat mereka tiba, rupanya polisi sudah datang. Mereka memasang garis pembatas di sekitar gang sempit tersebut, dan beberapa petugas yang mengenakan jas hujan tampak mengatur jalannya arus lalu-lintas.

"A-apakah itu korban?"

Hinata seketika membungkam mulut. Dari kejauhan, kaki seorang perempuan menjuntai dari sebuah koper yang tergeletak di dalam garis polisi tersebut.

Walau ini bukan kali pertama Hinata melihat mayat, tetap saja, kondisi yang seperti ini membuat iris ametisnya bergetar perlahan.

"Hinata, ayo kita mendekat."

.

Chojuro langsung mengambil beberapa foto ketika tim forensik kepolisian membuka koper merah itu.

Jasad perempuan muda tergolek dengan bibir dan tangan yang terlakban. Ada lebam membiru di sekitar lengannya yang bercampur tetesan darah kering yang sepertinya berasal dari tengkuk.

"—ugh."

Mungkin karena terkejut, Hinata mendadak merasakan napasnya sesak.

Sebagai perantau, jelas dia bukan penakut. Hinata juga bukan seseorang dengan pemikiran yang rumit. Namun, peristiwa ini cukup mengganggunya.

Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu kejam melakukan pembunuhan terus-menerus, bahkan dia menandai korbannya dengan sayatan aneh.

"Simbol ini terlihat seperti sayap kupu-kupu 'kan?" seorang petugas melempar pertanyaan kepada rekannya.

Tak peduli seberapa dalam Hinata menarik dan membuang napas, luka di leher wanita itu benar-benar membuatnya merinding.

Sayatan sepanjang tujuh senti—menyerupai huruf X—terlihat cukup dalam sehingga daging merahnya terkelupas dari kulit yang menganga.

"Hinata, kenapa kau diam saja? Cepat ambil fotonya!" Tegur Chojuro melihat Hinata yang justru membeku.

Dalam keadaan gugup, Hinata mengambil ponsel dari saku kemejanya. Gadis itu mengarahkan kameranya ke tengkuk wanita tersebut.

Begitu dia sadari, ini adalah keempat kali ia mengambil gambar dengan pola yang serupa. Bukan sebuah de javu, melainkan kejadian nyata yang berulang.

"Butterfly shades."

Hinata menoleh mendengar Chojuro melafal klausa tersebut dan mencatatnya ke dalam sebuah buku saku.

"... butterfly shades?"

"Ya," Chojuro mengafirmasi rasa penasaran Hinata, "kita bisa menggunakannya sebagai tagline untuk berita utama hari ini. Hinata, kau mewawancarai polisi yang di sana, aku akan mengecek keberadaan CCTV di sekitar jalan ini."

"A-ah—baiklah, aku mengerti."


Pukul sepuluh malam setelah menyelesaikan hasil liputannya hari ini, Hinata akhirnya bisa kembali ke apartemen.

Karena hujan cukup deras, malam ini dia pulang memesan taksi.

Mobil hitam metalik itu memasuki halaman lobby kondominium Kanimarimon House. Apartemen Hinata, yang sebetulnya berlokasi tidak jauh dari kantor.

Saat dia menginjakkan kaki di halaman lobby, seorang security buru-buru membawakannya payung.

"Nona Hinata, Anda pulang larut lagi?"

"Ah, terima kasih, Pak."

Hinata menggapai uluran tangan pria paruh baya tersebut—segera berteduh di bawah payung untuk melangkah ke dalam gedung.

Sejak surya tenggelam di ufuk barat, semakin banyak mendung yang bergumul di angkasa. Langit seperti ditelan awan gelap, tanpa menyisakan sedikit celah untuk memamerkan ronanya.

"Nona, ada titipan bunga untukmu."

Lagi? Hinata membatin.

Mata gadis itu mengerjap, bulu matanya yang lentik bergerak teratur memperhatikan seikat bunga tulip yang dibungkus pita warna putih.

Itu memang bunga yang cantik, tetapi, juga menakutkan.

"..."

Hinata merasakan bahunya meremang. Seketika ia menoleh ke belakang memastikan tidak ada yang mengikutinya.

"Pria itu menitipkannya tadi sore. Sekarang dia sudah pergi."

"Huff ...."

Setidaknya, Hinata bisa sedikit bernapas lega.

Pria yang dimaksud security ini ialah lelaki bertubuh gemuk, berkacamata yang senantiasa memperhatikannya dari jauh sembari tersenyum di lobby apartemen. Security sempat menegurnya, namun sepertinya lelaki itu tak mengindahkan.

"Nona, Anda tidak ingin membawanya?"

Hinata menggeleng, mungkin dia juga sedikit cemas mengenai beberapa hal yang akhir-akhir ini terjadi.

"Buang saja, Pak. Mungkin bunga itu sudah dibubuhi racun."

"E-eeh?!"

Security terlihat terkejut karena dia sempat menghirupnya.


Kamar Hinata berada di lantai tujuh. Malam itu sangat sepi, sehingga hanya dia sendirian yang ada di dalam lift.

Tiga bulan ia bekerja di stasiun berita yang baru, pindah ke apartemen ini, dan dua bulan terakhir hal-hal aneh terus mengusik pikirannya.

Butterfly shades, mengapa pelaku hanya mengincar para wanita?

Lalu, 'penggemar' misterius yang mengamatinya di lobby seperti seorang penguntit.

Sepintas, Hinata menamatkan pantulan wajahnya di dalam lift tersebut.

"... apakah aku cantik?"

Meski kenyataan, Ya! Hinata tak sekalipun berpikir dia memiliki penampilan yang menarik—apalagi sampai memiliki seorang penggemar rahasia.

Wajah khas Asianya rasanya cukup familier di negara ini. Jika disebut kelebihan, mungkin kulitnya yang seputih salju dan tubuhnya yang tak terlalu tinggi.

Hinata kembali mengembus napas lelah, bukankah itu justru sebuah kekurangan?

Sibuk dengan asumsi dan kontemplasi di dalam kepala, Hinata baru sadar jika dia telah sampai.

Saat pintu lift terbuka, Hinata segera melangkahkan kakinya keluar, menuju kamar apartemennya.

.

Kamarnya berhadapan dengan kamar seorang pria aneh—setidaknya, itulah pendapat Hinata.

"...?"

Dari jauh dia bahkan melihat tetangga apartemennya tersebut tengah menyandarkan punggung di pintu kamar.

Pria berambut pirang itu selalu memasang wajah dingin setiap kali mereka bertemu. Padahal seingat Hinata, ia tidak pernah berbuat salah, selain beberapa kali paketnya tersasar di kamar pria itu.

"Ko-konbanwa—"

"Bukankah ini milikmu?" potongnya melempar tatapan dingin kepada Hinata.

"Lagi-lagi kau tidak bisa menulis alamatmu dengan benar."

Hinata berkedip cepat.

Kontras dengan cuaca di luar, iris biru lelaki di hadapannya ini bersinar sangat terang di bawah sorot lampu.

Hinata lekas mengambil paket yang masih terbungkus itu dari tangan Naruto. Seingatnya, ia sudah menuliskan alamat dengan benar. Apa mungkin karena kurir salah membaca nomor kamar?

"Te-terima kasih."

"Aku akan membuangnya jika terjadi lagi."

"...?"

"Kau melakukannya berkali-kali, membuatnya berserakan di depan pintu kamarku."

"Ah, aku minta maaf. Sebetulnya aku sudah sudah menulis alamatku dengan benar—?"

Apa-apaan pria ini, mengapa dia menatapku seolah tidak percaya?

Hinata meneguk ludah. Situasi ini terasa sangat canggung.

Suara Naruto yang berat terdengar lembut, tetapi juga dingin di waktu yang sama.

Bagaimana dia mengaturnya untuk menghasilkan suara yang seperti itu?

"Terima kasih telah mengamankan paketku. Aku minta maaf untuk ketidaknyamanan ini."

Hinata membungkuk. Bibirnya mendadak terasa kering.

Ngomong-ngomong, setelah dia meminta maaf, lelaki itu justru berpaling ke kamarnya tanpa mengucap sepatah kata pun.

Bunyi pintu yang ditutup membuat Hinata merasa bungkukkan bahunya menjadi percuma.

Dia benar-benar pria bar-bar yang tidak sopan!

Tanpa sadar, bibir Hinata cemberut. Matanya menyipit menatap kamar nomor 3B tersebut.

.

Paket itu berisi sebuah lampu tidur berbentuk bulan yang disangga oleh sebuah kayu.

Di dalam kamar, Hinata memandang alamat tujuan yang tertera pada bungkusnya baik-baik. Tak ada yang salah. Bukankah ini kecerobohan pihak ekspedisi?

Hinata ingin memprotes dengan memberi ulasan buruk, tapi, itu terkesan seperti dia gadis yang emosional.

"Haah, lupakan saja ..." Toh lampunya tidak pecah.

Merebahkan punggung di atas ranjang, Hinata mengangkat bola keabu-abuan tersebut ke depan wajahnya—menimangnya seperti seekor kucing.

Sangat mirip dengan yang di etalase, lampu ini memang sangat cantik.

"Aku akan menyimpanmu dengan baik."

Beranjak dari tempat tidur, Hinata meletakkan lampu tersebut di atas nakas yang berada persis di samping ranjang. Senyum di bibirnya mengembang puas. Di sini ia bisa melihatnya dari posisi manapun.

"Perfect!" Hinata mengerlingkan mata kirinya.

Di sebelahnya, jam digital memperlihatkan angka 22:45. Sebaiknya dia lekas mandi.

Di sana, perempuan itu membuka kancing kemejanya. Menggelung rambutnya yang terikat, dan berjalan ke kamar mandi.

Pinggangnya yang ramping, lenggok lekuk tubuhnya yang indah lamat-lamat menghilang di balik pintu.

Hinata tidak menyadari jika sebetulnya ada yang aneh dengan lampu itu: sebuah sinar berwarna kemerahan tampak memantul dari balik corak kawah yang menjadi ornamennya.

Bola kecil yang tersembunyi di dalam berputar 180 derajat, mulai merekam segala aktivitas yang tertangkap oleh lensanya.


"Aku tidak berbicara denganmu, aku mengamatimu, dan sesekali menyediakan apa yang kamu butuhkan."

.

Butterfly Shades


"Ah?"

Di pagi hari, Hinata tidak sengaja bertemu dengan Naruto lagi. Saat ia keluar dari kamar, rupanya pria itu juga melakukan hal yang sama.

Pertemuan mereka tidak pernah lepas dari rasa canggung seolah pria itu membawa atmosfer angin kutub di kedua sisi bahunya.

"Se-selamat pagi ,hehe ...." Sapa Hinata usai men-tabkartu untuk mengunci pintu.

Uzumaki Naruto, setahunya bekerja sebagai seorang profesional tattoo artist. Jika dilihat dari akun sosial medianya yang diikuti hampir dua ratus ribu orang, kelihatannya dia tattoo maker yang terkenal.

Pria itu memiliki tinggi kira-kira 190 senti. Berkulit sedikit cokelat, garis rahangnya tegas, dan mempunyai wajah tampan yang diamini oleh siapapun.

Ketika Hinata berdiri di sampingnya, 'ketimpangan' itu begitu terasa. Hinata bahkan perlu menengadah hanya untuk melihat hidung mancungnya dengan jelas.

"Kenapa kau memandangku seperti itu?"

"Eehhh?"

Terkejut, buru-buru Hinata memalingkan muka. Entah berapa detik ia memandangnya, Hinata baru menyadari.

"Si-siapa yang memandangmu? Aku ... aku hanya sedang melamun."

Mereka lalu berjalan bersama menuju lift, kebetulan, saat itu keduanya memang hendak turun menuju lobby.

Roda koper Naruto yang bergesekan dengan lantai menimbulkan bunyi gelinding tipis, sampai keduanya masuk ke dalam lift dan diam untuk beberapa detik.

Saat itu, Hinata tengah sibuk mencermati barisan tulisan yang bergulir di layar ponselnya. Bahan berita hari ini baru saja dikirim oleh rekannya. Hinata membalas pesan itu dengan mengatakan dia dalam perjalanan menuju kantor.

Naruto tersenyum tipis lantaran bisa membaca balasannya dengan jelas.

"Kau terlihat cukup santai untuk menjadi seorang reporter."

"...?"

Hinata sempat menoleh ke kanan dan kirinya, "Aku?" tumben sekali pria ini mengajaknya berbicara lebih dulu.

"Apa ada orang lain di sini?" tanya Naruto mengerutkan kening.

"A-hahah ...."

Tawa Hinata terdengar sumbang. Sesuai dugaannya, pria ini memiliki selera humor yang buruk. Yah, itu tergambar jelas di wajahnya. Kombinasi antara aura dingin dan lidah yang tajam.

"Aku menyimpan semua berkas dalam bentuk soft file. Jadi, cukup dengan tas kecil."

Hinata melirik koper Naruto dengan mimik seolah sedang mengejek. "Pasti, itu sangat berat sehingga kau harus menariknya?" lanjutnya.

"Koperku? Tidak, aku menggunakannya karena lebih praktis."

Bibir Hinata mencebik, bola matanya bergulir bosan ke samping.

Bibir merah muda itu tampak segar seperti buah delima matang: ranum dan lembut, juga sedikit berair. Hinata pasti memakai lip-gloss.

Luput dari kesadarannya, Naruto semakin berani menurunkan pandangannya ke bawah.

Ada rasa aneh yang menghinggapi hatinya hanya karena memandang tubuh mungil yang selalu terbalut pakaian membosankan tersebut.

Hinata sangat menyukai kemeja longgar dan rok span selutut. Padahal jika dia memakai baju yang lebih seksi, itu sangat cocok dengan lekuk tubuhnya.

"Jaa ne ...."

Belum lama keluar dari lift, di lobby langkah Hinata tiba-tiba terhenti. Wanita itu beringsut, mundur beberapa langkah dan bersembunyi di belakang sebuah pohon artifisial di tengah-tengah area itu.

"Ada apa?"

Naruto menyipitkan matanya, memandang penuh penasaran pada hal yang membuat Hinata mengendap-endap.

"Hei, kenapa berdiri di sana? Nanti dia melihat kita—!" Pupil Naruto membola, tiba-tiba saja Hinata menarik lengannya.

"Sembunyikan tubuh besarmu dengan benar!"

Hinata meremas tangan Naruto seperti sedang mengancam. Rasa paniknya benar-benar lucu. Tidak peduli seberapa bahaya posisinya, tapi melihat gadis yang tingginya tidak mencapai sebahunya memperlakukannya seperti anak kecil, bukankah itu menggemaskan?

"Kau lihat dia? Dia stalker!"

Hinata menunjuk pemuda berambut cokelat, bertubuh gemuk, memakai kaus anime yang berdiri di dekat pintu. Naruto melihat lelaki itu memegang sebuah buket yang dari kejauhan rangkaiannya mirip bunga lili.

"Kau mengenalnya?"

"Tentu saja tidak. Tapi dia selalu datang ke sini untuk memberiku bunga." Hinata menggigit cemas ujung jarinya. Matanya yang sendu dan ketakutan mirip seekor rusa di bawah kungkungan serigala.

Anehnya, bagi Naruto, mata Hinata yang seperti itu justru sangat cantik—seolah ia menikmati pemandangan yang indah, yang membuat sudut bibirnya tanpa sadar terangkat.

"Oh Tuhan, kenapa dia terus di sana? Aku sedang terburu-buru."

Naruto membungkukkan punggungnya agar tinggi mereka sedikit setara, "Sepertinya pria itu berbahaya. Kau tahu cerita seorang stalker? Penguntit biasanya melakukan observasi dan terkadang berkontak dengan korbannya untuk mencari perhatian. Menurutku dia masuk ke level itu."

Mendengar ucapan Naruto, Hinata jadi merasa ngeri. Jujur saja dia teringat dengan kasus 'Butterfly Shades' yang sedang ia angkat. Mulanya gadis-gadis itu menghilang dan beberapa hari kemudian ditemukan tewas.

"Ini ... menakutkan."

Mungkinkah ia yang akan jadi korban selanjutnya?

"Karena itu kau harus berhati-hati Hinata."

Sementara waktu terus berjalan, Hinata tidak mungkin tetap bersembunyi di sana mengingat pria tersebut bisa menunggunya sampai sore.

Resah, Hinata menggigit kecil bibir bawahnya. Reaksi alaminya mengundang Naruto mau tak mau ikut campur lebih jauh. Lagi pula mau sampai kapan mereka sembunyi? Naruto pikir dia tidak sedang bermain petak umpet.

"Kau terburu-buru 'kan?"

Hinata menoleh, mata biru Naruto mirip kilau lampu yang bersinar di atasnya.

Pria itu melempar tangannya yang besar ke wajah, menggerutu sedikit frustrasi. "Haah ... lagi-lagi kau merepotkanku. Baiklah, karena aku juga harus bekerja, aku akan membantumu."

Saat Naruto mengalungkan lengan ke bahu Hinata, itu di luar ekspektasinya.

Siapa sangka mata yang selalu menatapnya dengan apatis, sekarang memeluknya seperti seorang kekasih.

"Aku akan memegang tanganmu seperti ini. Kita pura-pura berpacaran, mengerti?"

Hinata hanya mengangguk pelan. Jika dia bisa kabur sekarang, ia akan memilih melarikan diri ke lorong yang gelap.

Rasa hangat yang menjalar di pipinya terasa meluas hingga ke telinga dan tengkuk. Hinata harap itu luput dari pengawasan pria itu.

"Buka matamu, Hinata. Kau harus berjalan dengan santai."

Mereka benar-benar melewati si pengintai dengan gestur layaknya sepasang kekasih. Naruto terus memeluk bahu Hinata dari samping, sesekali melempar senyum seolah terlibat dalam percakapan romantis.

"Dia tidak berkedip melihatmu. Mungkin dia shock." Bisik Naruto berjalan sambil melirik pria itu. Matanya menyipit mengikuti arah mata si penguntit yang mengekor ke mana dia pergi.

.

Pintu mobil yang ditutup kasar sesaat berdengung di telinga Hinata. Sampai di mobil Naruto, Hinata akhirnya bisa menghirup napas dengan tenang.

"Dia tidak mengikuti kita 'kan?" tanyanya menoleh ke arah lobby.

Naruto memakai sabuk pengaman, dia memberi kode agar Hinata melakukan hal yang sama.

"Sepertinya tidak. Penguntit tetap akan berpikir jika mendekati milik orang lain itu berbahaya."

"Haah ... syukurlah—"

Karena Hinata kurang peka, Naruto jadi berinisiatif menarik seat belt itu dari sisi lengannya.

Hinata terkesiap, sebab jarak singgungan di antara wajah mereka kurang dari sepuluh senti. Sangat dekat, sialnya, dia terlambat menyembunyikan raut gugup di wajahnya.

"A-apa yang kau lakukan?!"

Mata Naruto yang tertunduk mampu berkata lebih banyak dari apapun, jika dia hanya berniat mengambil sabuk pengaman itu dan ingin memakaikannya.

"Bukankah aku harus mengantarmu ke kantor? Jadi kau juga harus memakai ini!"

Hinata terdiam malu-malu. Dia sedikit mengangkat lengannya saat Naruto menautkan sabuk pengaman itu.


Kanimarimon Hospital,

"Putriku sudah mati dan kalian masih membiarkan psikopat itu berkeliaran?"

"Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar? Jawab! Kapan kalian akan menangkapnya!"

Isak tangis pecah di depan ruang jenazah yang dingin. Seorang ibu yang baru melihat putrinya meninggal dengan tragis meraung-raung di hadapan polisi yang hingga detik ini masih belum dapat mengungkap siapa tersangka.

Dari penyidikan yang juga dilakukan oleh Chojuro, pembunuh berantai itu seperti memahami lokasi. Dia tahu di mana saja letak CCTV dan di mana bagian blank spot-nya.

Polisi juga telah melakukan autopsi serta pengambilan DNA di kuku dan rambut korban, sementara ini hasilnya masih dalam proses identifikasi.

Hinata bersama sejumlah media lain tampak berada di sana untuk liputan. Dia terlihat mencecar seorang pria paruh baya yang sepertinya menjadi ketua tim penyidik.

"Kapten, apakah benar tidak ada DNA pelaku sama sekali di tubuh korban? Butterfly shades telah menelan empat nyawa. Peristiwa ini membuat resah banyak orang. Mengapa polisi terkesan lambat menanganinya?"


Semburat jingga membentang di langit Barat. Langit yang kemerahan ini adalah pemandangan langka bagi Hinata, sebab, dia selalu pulang ketika petang sudah datang.

Dari rumah sakit, Hinata sempat ke kantor kepolisian, lalu kembali ke gedungnya untuk menyelesaikan beberapa laporan. Hari ini memang melelahkan, tapi dia lega karena masih melihat matahari saat kembali ke apartemen.

Dalam perjalanannya, Hinata melewati pusat perbelanjaan dan kafetaria. Wilayah ini akan lebih ramai di malam hari.

Hinata jadi teringat Naruto. Kalau tidak salah, dari kartu namanya galeri pemuda itu ada di kawasan ini.

"Kurama Tattoo Art."

Hinata menengadah, lalu menunduk memastikan itu sama dengan yang tertera di name card yang ia pegang.

"Di sini 'kan?"

.

"Permisi?"

Hinata mendorong pintu kayu yang ternyata bisa terbuka meski di depan sudah terpasang tanda 'closed'.

Begitu dia melangkah ke dalam, hawa sejuk dari pendingin ruangan yang masih menyala menyentuh pori-porinya. Tempat ini lumayan rapi. Didominasi warna monokrom, terdapat beberapa sofa di ruang tunggu, dan lukisan-lukisan tubuh.

"Aku sudah tutup."

Suara datar tersebut Hinata tahu berasal dari Naruto.

Pria berambut pirang itu tampak membereskan sejumlah peralatannya di belakang etalase.

Hinata mendekat, sesaat dia melirik-lirik apa yang sedang Naruto lakukan.

"Aku hanya ingin mampir. Kebetulan aku melintas."

"Oh." Jawaban Naruto singkat tanpa basa-basi.

Sebetulnya Hinata ingin berterima kasih dengan memberinya sesuatu, tapi, dia tidak tahu apakah pria ini akan mau.

"Etto—"

"Kau ingin menumpang 'kan?"

"Apa?"

Bahkan dia belum menuntaskan perkataannya.

"Aku membawa banyak barang kali ini. Jika mau kau bisa duduk di bagasi."

Hei, yang benar saja? Dasar! Naruto no Bakayarou!

"Ti-tidak, aku tidak mengajakmu pulang bersama. Justru aku ingin mentraktirmu makan malam."

Meski bibirnya tersenyum, dalam hati Hinata mengumpat.

Apa pria ini tidak pernah diajari sopan santun? Hinata pikir, mulutnya benar-benar tanpa filter.

Bahkan setelah ucapannya tadi, Naruto hanya mengerutkan kening tanpa rasa bersalah.

"Jadi kau mau tidak?!" Nada bicara Hinata naik satu oktaf.

Setelah mengemasi barang-barangnya, Naruto berdiri.

Pria itu memakai kaus hitam yang lumayan merefleksikan dada bidangnya.

Di situ Hinata sedikit terkejut, sebab ia baru tahu jika sepanjang kedua lengan Naruto dipenuhi tato kupu-kupu.

"Baiklah, kita makan di mana?"

.

Gelas yang berdenting, teko air yang mendidih, kepulan uap tipis dari panci pemasak, bercampur hiruk-pikuk suara pengunjung yang di malam hari menyerupai jamur yang muncul setelah hujan. Semakin malam, kedai semakin ramai.

Naruto dan Hinata duduk di salah satu meja di tengah keramaian itu. Hinata terlihat begitu menikmati ramen yang baru datang di mejanya.

"Ayo makan. Kau tidak lapar?"

Naruto tidak menyangka jika tempat makan pilihan Hinata adalah kedai yang cukup sederhana. Biasanya para gadis menyukai restoran-restoran prestise, yang mana harga air mineralnya setara satu botol sake di tempat ini.

"Tunggu gajiku masuk di awal bulan. Nanti aku akan mentraktirmu lagi dengan makanan yang lebih enak."

"Ini juga enak."

"Sungguh?"

"..." Naruto mengangguk.

Sebelum menikmati mie ramennya, terlebih dulu Naruto mencoba kuahnya. Rasanya khas dan berkaldu, lumayan cocok di lidah. Ini memiliki rasa yang sedikit berbeda dengan ramen instan yang terkadang ia buat di apartemen.

Kedua sumpit dirapatkan untuk menarik mie. Kuahnya lebih nikmat jika diseruput langsung dari mangkuknya.

"Aahh, ramen Ichiraku memang terbaik. Naruto-kun, kau bisa memesan lagi jika mau."

Pemuda itu menggeleng. Mienya sudah habis dalam beberapa suap.

"Tidak, aku sudah kenyang. Biar aku yang membayar untuk malam ini."

"Hei, aku tidak terlalu miskin untuk mentraktirmu. Aku masih ada uang, kau ingin memesan sake?"

Hinata bersedekap. Mengapa laki-laki sering merasa harga dirinya dilukai jika makanan atau minumannya dibayar oleh wanita? Padahal, wanita juga ingin berkontribusi sekalipun untuk hal-hal sederhana.

"Kau bisa mentraktirku lain kali. Tapi malam ini biar aku yang membayar." Ujar Hinata menumpuk mangkuk mereka.

"Aku memang sering kekurangan uang di akhir bulan, tapi pendatang selalu memiliki cara menuntaskan masalah finansial mereka. Jadi, kau tidak perlu khawatir, Naruto-kun."

Naruto mengambil segelas matcha dingin di atas meja. Hinata tampak menikmati es cokelatnya dengan wajah yang cerah.

Lagi-lagi, Naruto mencuri pandang pada wajah cantik itu. Dia menyandarkan dagunya di tangan, memutar telunjuk dalam lingkaran gelasnya seraya menatap Hinata yang sedang bercerita.

Orang-orang mungkin melihatnya seperti seorang anggota Yakuza yang sedang berkencan dengan anak kecil.

Tapi, Hinata memang sangat manis.


Di kamarnya, Naruto menegakkan kepala, memandang layar laptop yang menyala.

Tawanya cukup keras, dia meremas tisu di sampingnya ketika melihat gadis berambut gelap tersebut menyeka bibirnya sendiri menggunakan kapas.

Apakah Hinata tidak tahu jika bibirnya memiliki warna merah yang alami?

"... huh?"

Setelah dari kedai, mereka pulang bersama. Bohong jika Naruto tega menempatkan gadis itu di bagasi. Nyatanya, Hinata duduk nyaman di sampingnya dan terus bercerita sepanjang jalan pulang.

Kira-kira, apa yang Hinata pikirkan jika mengetahui pria yang dianggap telah menolongnya diam-diam memasang kamera pengawas di kamarnya?

Naruto sejatinya bajingan seksis yang memikirkan Hinata nyaris 24 jam, kecuali saat dia tertidur.

Topeng wajah dingin itu dia pakai seolah tanpa ketertarikan. Kamuflase. Seekor rubah jelas lebih paham bagaimana cara agar terlihat menyerupai domba yang penurut.

Bibir Naruto menyeringai,

Ia menggigit ibu jari kanannya kecil-kecil, sementara tangan yang lain menarik ritsleting celananya ke bawah.

Di layar, Hinata terlihat tengah berganti baju.


"Biasanya, yang berbahaya adalah seseorang yang sedekat nadi dan jantungmu."

.

Butterfly Shades


Di pagi hari hujan kembali turun. Keluar dari apartemen, Naruto langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan sebatang rokok.

Belum sempat mengisap rokoknya, Naruto mendengar jendela mobilnya diketuk.

Ia mengenali sosok itu berdasar postur tubuh. Pria berbadan gemuk, berambut cokelat yang tempo hari dia lihat di lobby membawa bunga.

Begitu Naruto menurunkan kaca mobilnya, pria itu seketika tersenyum.

"Bos, hehehe ...."

"Kangho?"

"Aku datang untuk misi yang kedua. Aku butuh uang, Bos."

Ya, Naruto lah yang membayar pria itu untuk menjadi penguntit. Naruto menyuruhnya membawa bunga setiap pagi, tersenyum kepada gadis itu, namun tidak melakukan kontak fisik dengannya.

Naruto sengaja melakukannya untuk menyerang psikologis Hinata agar ketakutan.

"Tunggu dia sampai keluar dari kantor." Naruto memberinya sejumlah uang.

Lelaki tersebut kontan menghitungnya, tak lama dia mencium lembaran yen itu dan tertawa.

"Hahahah ... baik, aku akan melakukan tugasku dengan benar, Bos!"


"Bagaimana mungkin file-nya bisa hilang? Kau tidak menyimpannya atau tidak mengerjakannya, Hinata?"

"Kita rilis setengah jam lagi. Kau pikir bisa menyelesaikannya kurang dari 30 menit?"

Kepala Hinata langsung terasa sakit. Dia hanya bisa tertunduk ketika Kurenai sebagai penanggung jawab divisi memarahinya.

Hinata sadar ini kelalaiannya membiarkan flashdisk itu tertinggal di atas meja. Tapi, siapa yang sengaja menjahilinya menghapus file penting hasil liputan kemarin?

"Saya akan buat laporan susulan."

Kesekian kali Hinata membungkukkan bahu, akan tetapi Kurenai tidak peduli.

Dalam dunia kerja tidak ada kata lupa atau lalai. Sekalipun kau adalah pegawai teladan kemarin, yang dinilai adalah kontribusimu hari ini.

"Hah, kamu pikir waktu mau berhenti barang sedetik? Aku sangat kecewa padamu, Hinata. Setelah ini kau ke ruanganku untuk mengambil surat peringatan."

.

Lengannya lunglai menutup pintu itu nyaris tanpa tenaga. Dari beberapa staf yang berada di mejanya, hanya Chojuro yang menyambut penuh simpatik.

"No-Nona Kurenai memberimu sanksi?"

Mata ametis Hinata mengedar mengamati mimik rekan kerjanya satu per satu. Apakah sudah saatnya dia berhati-hati? Siapa rubah yang memakai topeng kelinci di ruangan ini?

"Hinata, hei—!" Chojuro sedikit kesal lantaran Hinata mengabaikannya. Gadis itu memilih menghela napas panjang, tapi, dia memberi isyarat pada Chojuro akan menghubunginya lewat telepon.

Untuk saat ini Hinata ingin menenangkan diri. Mencuci mukanya sebentar mungkin akan membuat perasaannya jauh lebih baik.

.

Angin yang dingin bertiup di atas kepala. Barangkali Tuhan sedang menyukai hujan sehingga itu turun sepanjang waktu.

Akibat file pentingnya hilang tanpa jejak, Hinata terpaksa membuat semuanya dari nol, dan yah, akibatnya dia pulang nyaris tengah malam.

Hinata mengetuk-etuk keningnya menggunakan dua jari. Dia sungguh-sungguh tidak memiliki gambaran tentang siapa yang mengerjainya.

"Sial!"

Kelopak matanya terbuka—Hinata berkedip cepat. Konon, kesialan selalu datang beruntun. Hal-hal menyeramkan kerap terjadi bersamaan saat Tuhan menggulirkan rodamu ke bawah.

Hinata tak kuasa meneguk ludah begitu melihat sosok yang berdiri di seberang jalan itu adalah pria yang sering menunggunya di lobby apartemen.

"Orang gila itu tahu tempat kerjaku?" Hinata bertanya dalam hati. Satu-satunya hal yang bisa dia andalkan sekarang hanyalah kecepatan lari, dan ... payung yang sepertinya akan patah jika dipukulkan ke pria itu.

Hinata merasa hari ini adalah hari terburuknya setelah berumur 24 tahun. Jika dia menunjukkan rasa takut, bukankah pria nerd sialan itu akan kesenangan?

Jadi, sebisa mungkin Hinataberusaha tetap tenang.

.

Tidak!

Dia berlari. Nyalinya menciut usai terang-terangan Kangho mengejarnya. Menemukan alamatnya jelas bukan alasan. Memikirkan semua itu, kaki Hinata gemetar. Dia melupakan payungnya yang terlempar kena angin.

Di bawah kubah sang malam, hujan membasahi rambut dan tubuhnya. Menggigil, siapapun, bahkan jika itu iblis yang melintas, Hinata berharap akan menolongnya.

"—akh!" Hinata tersungkur.

Rupanya, ujung heels-nya yang runcing menancap pada grill penutup saluran air dan tak bisa dilepas.

Dia terjatuh. Pipi merahnya membentur badan trotoar, tubuhnya ambruk, sementara laki-laki itu tinggal berjarak empat langkah darinya.

"U-uhh ...."

Mengapa jalanan sangat sepi malam ini?

"Hahah ... kau tidak bisa kabur lagi."

Hinata memandang wajah menyeramkan pria itu dari sudut penglihatannya yang membayang. Air mata bercampur air hujan membuat korneanya sakit.

"Le-lepaskan aku, apa maumu?"

Terbata Hinata menyusun kalimatnya. Jangankan kabur, beringsut saja dia tidak memiliki kekuatan.

"...!"

Hinata menutup matanya melihat tangan besar tersebut hendak menyentuhnya.

Silau cahaya lampu seakan membutakan. Bunyi klakson yang kencang, deru suara mesin, Hinata tidak tahu bahwa dia akan ditolong dengan cara yang gila.

Jantungnya nyaris berhenti berdetak saat sebuah Range Rover hitam melompat ke atas trotoar dan menabrak pria itu.

Tubuhnya menggigil menyadari cairan merah melintas di bawah kakinya. Darah.

'Dia mati?'

'Lelaki itu terlindas?'

Mata Hinata membelalak.

Tubuhnya membeku beberapa detik, yang normalnya dia mampu berteriak karena terkejut.

"Hinata, kau baik-baik saja?"

Perempuan itu masih belum sadar bila Naruto yang menghampirinya.

Tremor merambati sepanjang lengan, Hinata sempat berusaha melarikan diri ketika Naruto mendekat.

Sampai, sesuatu yang dingin dan lembut menyeka air matanya. Dari situ, Hinata baru tahu jika yang datang adalah Naruto.

"Hinata, tenanglah. Kau sudah aman sekarang."


Lelaki itu sangat licik dan manipulatif.

Kegilaan yang muncul di matanya adalah obsesi. Bahkan, rasanya orang gila tidak bisa memerintah seseorang membuntuti wanitanya, lalu, dia juga yang berusaha membunuhnya.

Seharusnya Kangho menyadari lebih awal, sehingga dia tidak bernasib sama dengan seekor tikus.

"Pipimu lebam. Ini terasa sakit?"

Anggukan pelan membuat Naruto menggerakkan tangannya lebih hati-hati.

Mengambil es batu, kemudian mengusapkannya ke pipi Hinata yang membiru.

Inilah wajah yang selalu ia tamatkan setiap malam. Sebuah kemajuan karena sekarang dia bisa menyentuhnya.

"Kenapa kau pulang larut malam? Itu berbahaya."

Naruto sedikit putus asa dalam menyembunyikan senyumnya.

Dia mengulum bibirnya sendiri, sayangnya, matanya tak dapat menghapus binar yang tersirat. Berbeda dengan gadis itu di mana matanya terus sendu. Hinata masih berulangkali menangis, dan sesekali Naruto menghapusnya.

"Ma-maaf aku berkali-kali merepotkanmu ..."

Naruto membawa Hinata ke galerinya. Dia mengatakan, sementara tempat ini lebih aman dari apartemen. Naruto juga membuatkannya susu hangat. Meminjaminya kaus ganti, serta memakaikan handuk ke rambut Hinata yang basah.

Sekilas, Naruto seperti pria lembut yang rendah hati.

"Aku tidak punya hairdryer, ini membutuhkan waktu yang lebih lama. Apa perlu ku matikan AC-nya?"

"Ti-tidak. Rambutku akan kering dengan sendirinya. Lagipula aku tidak kedinginan."

Sebagai pria dengan tinggi 190 cm dan berat 85 kg, kausnya terlihat kebesaran di tubuh Hinata yang petite size. Kala perempuan itu bergerak sedikit saja dan memengaruhi ke mana bajunya tertarik, Naruto bisa melihat cekungan tulang selangkanya yang tersembunyi di balik kulitnya yang putih.

Apa yang dia pikirkan, sebisa mungkin tidak memandang kulit Hinata secara terus terang.

"Bagaimana kau tahu aku di sana? Apa kau juga pulang malam? Tadi itu kebetulan sekali."

Mereka duduk bersama di sebuah sofa di ruangan khusus yang menyerupai kamar. Di sana terdapat mini bar, rak buku, sebuah meja kecil dan televisi.

Naruto terlihat menggulung lengan kemejanya ke atas, mau tak mau mengundang Hinata menatap tato di sepanjang garis lengannya.

"Aku baru pulang membeli minuman. Awalnya kupikir dia stranger, tapi setelah mendekat bentuk tubuhnya tidak asing. Bagaimana dia bisa mengikutimu lagi?"

"Aku juga tidak tahu!" Hinata meremas bantal dalam pelukannya, "Tiba-tiba dia berdiri di seberang kantor lalu mengejarku. Sial. Dia membuatku takut."

Hinata jadi teringat kondisi terakhir pria itu. Naruto menabraknya dan membiarkannya terkapar begitu saja.

"Naruto-kun, apa menurutmu dia sudah mati?"

Naruto kentara tak ambil pusing. Terbukti ia masih bisa menikmati segelas sampanye yang baru dia tuang.

"Entahlah, kurasa tak ada yang membawanya ke rumah sakit."

Oh astaga,sebagai seorang reporter Hinata tidak mau memiliki jejak kriminal.

"Ba-bagaimana jika dia benar-benar mati? Apa kita akan dihukum?"

"Hah, Hinata, dia nyaris memperkosamu. Mengapa kau memedulikannya? Apa hatimu terbuat dari busa yang sangat lembut?"

"Aku ... tidak. Aku hanya khawatir jika itu menjadi bumerang."

"Di sana sangat sepi. Tidak ada yang melihat. Jika ada, mungkin itu hantu?"

Naruto mencondongkan tubuhnya pada Hinata. Dia menggoyang gelas sampanye yang telah kosong.

"Kau mau?"

Ragu-ragu, Hinata menggeleng,

"Tidak, aku tidak minum alkohol."

"Baguslah. Alkohol bisa menghambat pertumbuhan."

Beberapa menit lalu Naruto adalah pria terlembut yang pernah dia kenal. Namun, kesimpulannya salah. Naruto tetaplah tetangganya yang menyebalkan.

Saat mereka berbincang, sebetulnya sejak tadi Hinata salah fokus pada tato kupu-kupu di lengan Naruto.

Meski ada hewan lain seperti ular, kupu-kupu mengambil lebih banyak tempat serupa lalat yang mengerubungi bangkai.

"Kau kaget karena aku memiliki tato?"

"A—ah, tidak."

Tentu saja. Karena Naruto seorangtattoo makerjadi sangat wajar dia memilikinya.

Entahlah, mungkin karena itu kupu-kupu Hinata jadi sedikit sensitif.

"Kau sangat menyukai kupu-kupu?"

"Aku menyukai apa pun yang terlihat cantik."

Entah apa maksudnya tapi Naruto menatap dalam ke arahnya.

Dia sangat lihai mengubah atmosfer sesuai kemauan hati. Apakah pria itu tahu jika tatapan matanya bisa menghipnotis?

Hinata pura-pura terbatuk,

"—kupu-kupu serangga yang mengitari bunga. Aku terkejut karena pria sepertimu memilih hewan yang cukup feminin."

Naruto tertawa.

Tak tahukah Hinata bahwa kupu-kupu lebih menyeramkan dari yang terlihat?

"Ke-kenapa? Apa pertanyaanku lucu?"

"Hahah ... ya, tidak hanya bunga, kupu-kupu juga menyukai bau darah, Hinata. Ada juga yang menyukai air mata. Karena itu jangan terlalu sering menangis."

"Hah?"

Hinata bergumam sambil menatap Naruto yang kembali menuang minuman.

Walaupun jawabannya terkesan asal, pada kenyataannya yang dikatakan Naruto ada benarnya.

Di alam liar, spesies lain yang tidak mengisap nektar mendapat makanannya dari darah, keringat, serta air mata.

"Aku menyukai kupu-kupu karena mereka memiliki proses hidup yang tak mudah. Sebelum menjadi sesuatu yang indah, seekor ulat yang menjijikan mengurung diri dalam selubung di kegelapan.

Mereka bermetamorfosis agar dicintai semua orang. Itu seperti menjungkir balik logika manusia bahwa apa yang terlihat buruk sebetulnya sesuatu yang indah jika dipandang dari sudut yang berbeda."

Hinata meneguk ludahnya. Dia mengambil alih gelas Naruto yang berisi anggur putih dan meminumnya dalam sekali teguk.

Sejujurnya, Naruto selalu memiliki hal-hal baru yang mengejutkannya. Apa lagi yang tidak ia tahu tentang pria itu selain dia bisa mengatakan hal-hal filosofis?

"Kau terkejut?"

"Ya, gayamu itu tidak cocok dengan wajahmu yang tidak manusiawi."

Lagi, Naruto tertawa. Setelah mencoba satu kali, Hinata kembali menuang minumannya sendiri.

Mereka berbagi sampanye dalam satu gelas yang sama. Menghabiskan satu botol, lalu Naruto membuka tutup yang kedua.

Pipi Hinata terlihat memerah. Dia meluruskan kakinya sehingga kaus Naruto yang longgar tertarik ke atas—memperlihatkan pahanya yang mulus.

"Masih mau minum lagi?"

Pertanyaan Naruto adalah jebakan. Dia bertanya sembari menuang minuman dan menyodorkannya pada Hinata.

Naruto yakin ini bukan pertama kali Hinata minum. Tapi, dia percaya bahwa gadis itu bukan tipe yang sanggup menghabiskan satu botol sendirian.

Hinata pasti akan sempoyongan.

"Apa kau tidak ingin membuat tato kupu-kupu di badanmu?"

"Apa itu akan cocok denganku?"

"Hm, bagaimana jika mencobanya? Sayap kecil di bahu kiri ..."

.

Hinata menurunkan sedikit kausnya. Bahunya yang putih bersih tersibak.

Beberapa pelanggan wanita terkadang menggodanya secara frontal. Meski begitu dia tetap tidak bisa merasakan apa pun. Miliknya tidak serta merta berdiri hanya karena wanita di depannya memasang wajah sensual.

"Aku akan membuat polanya lebih dulu."

Naruto membersihkan kulit Hinata dengan cairan alkohol. Setiap kali dia berkedip, Naruto kembali memuji keindahan tubuh di depannya. Hinata tidak melepas kausnya, hanya turun sedikit, tapi matanya seolah bisa menembus secara transparan.

Alkohol yang dingin diratakan menggunakan kapas. Jari-jari Naruto yang tebal dan sedikit kasar menekan lembut lengan kiri Hinata.

Sesaat, Hinata bergidik. Mengapa tiba-tiba tubuhnya terasa aneh? Apakah karena sampanye? Atau justru sebab lelaki itu?

"Bahumu meremang. Apa kau takut?"

Pori-porinya yang membesar dan ia tidak bisa menyembunyikannya. Kulitnya menjadi sangat sensitif hanya karena diberi sentuhan kecil. Memalukan. Sebagai perempuan Hinata baru menyadari seberapa vulgar pikirannya.

Naruto mulai menggambar sebuah pola. Sementara, dia menggunakan pena yang aman untuk kulit sebelum memasukkan tinta menggunakan jarum-jarum kecil.

"Cobalah tersenyum. Rileks."

Hinata menuruti permintaan Naruto. Bahunya berjingkat setiap kali garis ditarik di atas kulitnya yang dingin.

Bagi Naruto, respons tubuh Hinata sangat menggemaskan. Dia ingin tahu, apa yang akan terjadi bila ia melakukan sesuatu, seperti ... menyibak rambutnya dan mengecup tengkuknya dari belakang.

"—akh!"

Benar saja sekujur tubuh Hinata tersentak. Hatinya melompat kaget merasakan sensasi bibir yang hangat menekan lehernya. Itu sangat lembut, dan panas ketika lidahnya yang basah menyapunya layaknya menikmati sebuah ice cream.

"Tu-tunggu, Naruto-kun—"

"Ada apa? Mengapa kau sangat terkejut?"

Naruto mengerutkan kening melihat Hinata membalik tubuhnya.

"Ki-kita tidak bisa melakukan itu ... maksudku, kita tidak memiliki ikatan apa pun—"

Naruto membalas tegas dengan menarik pinggang Hinata ke dalam pelukannya. "Melakukan apa? Mentato tubuhmu? Bukankah usiamu sudah legal?"

Dia mengerang puas, membenamkan wajahnya ke bahu Hinata.

Semburat merah menyebar di pipi gadis itu. Rambut Hinata yang sedikit basah jatuh di pipinya. Naruto lalu menyelipkan lengannya ke belakang, mengangkat pinggul Hinata agar duduk di pangkuannya.

"Orang dewasa bebas melakukan hubungan apa pun karena mereka sudah legal."

Hinata melayang. Lengan yang kokoh merengkuhnya. Setiap kali hidung mancung Naruto mengendus lehernya, aroma maskulin pria itu mencumbu indra penciuman dan membuat tubuhnya semakin panas.

Hinata meremas bahu pria itu. Ujung jarinya yang halus pelan-pelan merangkak membelai rahangnya. Hidung Naruto yang tegas dan lurus, bibirnya terasa hangat, sama sepertinya, wajah Naruto juga ikut memerah.

Dia sangat menawan dengan bibir yang terbuka.

"Hinata ..."

Naruto mengecup bibir Hinata. Mata birunya perlahan diliputi kabut gelap.

Kaus hitam kebesaran itu sangat mengganggu, Naruto tergesa-gesa membantu melepasnya, lalu membuangnya ke meja di sisi mereka.

"...!"

Pupil Naruto membola.

Demi apa pun, tubuh telanjang Hinata yang mengilat di bawah sorot lampu sangat cabul.

Dagingnya yang berwarna putih dengan ujung kemerahan menyembul. Hinata tak menutupinya, seolah itu permintaan terang-terangan untuk diterkam, digigit, dan diremas.

"A-aku baru pertama melakukannya. Tolong pelan-pelan ..."

Naruto tidak ingin membuang waktu lagi. Segera dia menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.

.

Hinata jatuh ke dalam neraka dan ia tidak sadar. Di antara semua hal yang memulai kegilaannya malam ini, adalah minuman itu. Hinata belum pernah semabuk ini sampai meletakkan kewarasannya di dasar jurang.

"Naru—haa ...."

Dia gemetar. Melalui sudut matanya yang lembab, Hinata melihat kepala Naruto turun usai berlama-lama menciumi perutnya.

Dalam sepersekian detik, jari yang tebal itu membelai bukaannya yang tidak ditumbuhi bulu. Tindakan lembutnya membuat Hinata malu. Hinata terkesiap. Tangannya mencengkeram erat bantalan sofa yang menyangga punggungnya, sementara kakinya terbuka lebar dan kepala pria itu berada persis di tengah.

"Apakah kamu selalu memangkasnya sehingga itu tidak ada sama sekali di sini?"

Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat porno. Naruto menatap betapa sepuh merah jambu itu mengalir dari pipi, menjalar ke telinga, dan turun ke sekujur tubuhnya.

Tiba-tiba dilanda kepanikan. Jantung Hinata berdegup sangat kencang, panas dalam tubuhnya bertambah. Mendidih, ia seperti mau meleleh.

Betulkah itu hanya jari? Di dalamnya telunjuk Naruto keras seperti tongkat.

"Be-berhenti ... ahh!"

"Ya, terimalah meski terasa sakit. Setelahnya akan ini membuatmu nyaman."

Naruto menyiksanya tanpa henti. Hinata terisak, bibirnya bergetar bingung.

Saat dia terengah-engah, sensasi pusing muncul di ujung kepalanya manakala dua jari Naruto menggali lebih dalam.

Jari-jari tersebut menaikkan ritmenya, tanpa ampun, bergerak lebih cepat dan menyebarkan bunyi decakan basah di udara.

Tangannya hanya bisa menjambak rambut pria itu, anehnya, sesekali Hinata justru menekan kepala Naruto supaya lebih merapat.

"Haa ... hunn ...!"

Sepertinya, Hinata mulai terbawa suasana. Kuncup merah mudanya yang basah dan bengkak berdetak seperti jantung.

Di atasnya Naruto terus menyapukan lidahnya. Cairan madu yang manis bercampur dengan saliva. Ketika Naruto sengaja menggigitnya untuk menggodanya, punggung Hinata melengkung.

Pinggulnya bergetar hebat, spontan paha ramping itu menekan kepalanya.

Naruto merasakan wajahnya basah. Banyak sekali hingga membanjiri dagu dan tangannya.

Ketika dia bangkit, Hinata terlihat terkulai dengan tubuh yang masih gemetar. Ide yang buruk melintas di kepalanya, melihat tangannya yang basah perlu dibersihkan

"Hinata, bagaimana jika kau mencobanya? Nektar yang mengalir dari dalam dirimu."

Naruto memasukkan tiga jarinya yang berlendir ke dalam mulut Hinata, membuat gadis itu tersedak.


Jatuh ke dalam neraka bukan bualan. Ini bukan tentang kehidupan setelah mati, melainkan takdir yang harus dijalani Hinata selanjutnya.

Semalam dia juga tidak sadar bila seluruh aktivitas seksualnya direkam. Banyak kamera rahasia yang terpasang di ruangan itu. Semuanya demi mengabadikan ekspresi di wajah Hinata saat Naruto menyentuhnya.

"A-apa maksud semua ini?"

Hinata tergugu di atas ranjang dalam sebuah ruangan yang remang.

Ketika ia terbangun, Hinata sudah menemukan dirinya dipindah ke kamar ini.

Hal yang mengejutkan lainnya bagaimana dia melihat begitu banyak fotonya tercetak dalam sebuah pigura yang besar dan saling terhubung oleh benang merah.

Fotonya saat keluar dari lift, berjalan di lobby, masuk ke kantor, liputan, hingga potret telanjangnya di dalam kamar.

Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi?

Di ujung penasarannya, tombol pintu kamar berbunyi. Pintu tersebut menggunakan smart lock yang membutuhkan kode khusus. Saat daunnya terbuka, Hinata segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang.

"Selamat pagi, sepertinya kau menikmati tidurmu dengan baik."

Naruto dengan wajah yang lebih lembut dari biasanya datang membawa sebuah nampan. Tudung menutupi isinya, tapi Hinata pikir itu adalah air atau buah-buahan.

"Apa maksudnya ini?!" Hinata langsung menyela.

Naruto mendekat, ekspresinya sama sekali tak berubah. Matanya menyipit seolah itu merupakan senyum paling tulus yang pernah dia buat.

"Kau ... foto itu ... kau yang mengambil semuanya?!"

"Hm ... apa kau senang karena selama ini aku memperhatikanmu?"

GILA!

Pria di hadapannya ini tidak waras.

"Mengapa ekspresimu seperti itu Hinata?"

Ketika Hinata hendak beranjak dari ranjang untuk menamparnya, Hinata baru sadar jika lehernya terikat.

Sebuah kalung anjing berwarna hitam mencekiknya, itu terhubung dengan sebuah rantai yang digembok.

"U-ukh ...."

"Jangan berontak itu akan menyakitimu—"

Hinata menepis tangan Naruto yang mencoba mengelus rambutnya, "Jangan bercanda! Cepat lepaskan aku!"

Tahukah Hinata bila semua gertakannya percuma? Naruto tidak sedang bernegosiasi. Dia hanya tengah menjenguk anjing kecil calon peliharannya, menjinakkannya agar lebih penurut.

Hinata memberinya tatapan tajam.

Tapi, bagi Naruto, dia menyukai mata Hinata yang seperti itu. Mata yang sendu itu sangat cantik. Mata yang terlihat putus asa sangat indah, sama dengan mata yang bersirobok dengan dirinya 10 tahun lalu ketika sedang menjalani konsultasi jiwa di sebuah rumah sakit.

Apakah salah menyukai wajah orang yang depresi?

Naruto tertawa,

"Ya, teruslah memasang ekspresi seperti itu! Aku sudah lama menantikannya. Saat ayahmu mati, bukankah kau juga menekuk wajahmu seperti itu?"

Netra Hinata membulat.

Jujur saja, Naruto telah lama menyelidiki latar belakangnya. Termasuk darimana dia berasal, siapa keluarganya, dan alasan mengapa dulu Hinata ke psikiater.

Hinata sempat depresi karena ayahnya meninggal. Dan saat perempuan itu pindah ke apartemennya, Naruto senang bukan kepalang sampai menghadiahinya 'bunga' setiap hari.

"Kau benar-benar menjijikkan!" Hinata meludah ke wajah Naruto. "tch, sekali pun kau mengikat leher, tangan, dan kakiku, aku akan tetap membuatmu merasa terhina!"

Naruto dengan senyum di bibirnya menekan kepala Hinata ke belakang. Sama sekali ia tidak menyeka ludah Hinata yang menetes di bawah mata kirinya.

Naruto mencekik leher wanita itu dan menghimpitnya ke dinding hingga sulit bernapas.

Ah, bagus, itulah wajah yang dia inginkan. Sorot mata yang seolah ingin membunuhnya, namun di lain pihak bergetar karena takut.

Naruto menggigit kain yang menjadi tudung dari nampan yang sejak tadi dia bawa. Setelah tersibak, rupanya berisi sebuah pistol.

Hinata jatuh dan terbatuk begitu Naruto melepas cengkraman lehernya dan mengambil pistol tersebut.

Apa yang membuat Hinata bisa kencing di celana berikutnya adalah, lelaki itu tiba-tiba menarik rahangnya, menodongkan moncong senjata api tersebut ke dalam mulutnya.

Hinata menangis, seberapa kuat dia menahan rasa takut, air matanya terus meluap.

Akankah dia akan bernasib sama dengan butterfly shades? Atau justru pria ini memang pelakunya?

"Hahah ... menurutlah Hinata. Aku akan memulai pendisiplinanmu hari ini."

Naruto menyebutnya sebagai kamar introspeksi.

Tujuannya agar Hinata sadar bahwa di dunia ini hanya dirinya lah satu-satunya yang diciptakan untuknya.

Tak perlu berkomunikasi dengan orang lain, menatap wajah orang lain, menyapa, apalagi mengobrol.

Naruto akan menyediakan segalanya. Karena Hinata hanyalah miliknya, yang selalu bergantung kepadanya, dan bersandar sepanjang hidup.

Naruto tersenyum miring, dia berpesan, "Jika bukan aku, yang memilikimu hanyalah Sang Pencipta, Hinata."

Hinata harus mencerna kalimat itu baik-baik. Dia ingin berakhir menjadi tikus seperti Kangho, atau kupu-kupu vampire yang berbalik menyerang dan mengisap darahnya.

.

.

FIN