The Dawn

Rate : Y/A

Genre : Romance

Story Writer : Die Ara

Naruto Masashi Kishimoto.

Time line setting : Human Exploding arc, after The Last movie (maybe)

...

Dawn acts as a threshold, painting the sky with the promise of new beginnings and the quiet farewell to the day.

In this fleeting moment, the world holds its breath, suspended between the shadows of night and the vibrancy of day.

...

Naruto's POV

Awal sekali ketika fajar muncul menciptakan warna merah pada awan, serupa api yang menyulut kayu bakar di dalam tungku gelap. Cahaya itu menembus mega seperti jarum-jarum emas, makin tegas dan terang sejalan waktu yang singkat namun perlahan-lahan. Langit gelap akan tergantikan dengan warna biru pekat nan suram, dan kian cerah—beriringan bersama sinar mentari yang memutih.

Tapi dunia tidak pernah menjadi lebih jelas, waktu seakan berhenti sebelum hari menjadi pagi ... atau begitulah yang sedang kulihat dalam mimpiku. Keberadaanku bias dan tidak pasti, hanya termenung di tengah hamparan tanah luas dengan bukit-bukit tandus. Aku mencoba berjalan, melayang, menjelajahi dunia sempit yang tak pernah bisa kugapai ujungnya. Ketika logika mimpiku meyakini bahwa tidak ada hasil apa-apa seberapa jauh pun aku pergi, aku memandangi gumpalan awan gelap yang menghalangi cahaya. Bak bilah-bilah pedang yang mengilap putih, cahaya itu menyeruak keluar, mencoba membuat lubang-lubang yang lebih besar lagi.

Bahkan dengan persepsiku yang setengah sadar, aku tahu bahwa diriku akan terbangun dari tidur. Namun tetap kunikmati momen transisi itu; saat cahaya putih merayap menyelimuti dunia suram dalam mimpiku, saat kemilau terang tersebut justru sebuah kegelapan—sepenuhnya hitam. Aku membuka mata, melihat sebingkai sinar dari jendela apartemenku yang terbuka. Suara-suara kecil aktivitas warga di luar mulai terdengar, membangun kesadaranku lebih jauh. Lalu suara pelan dari sebuah gerakan hati-hati—kuasumsikan begitu—di dalam kamarku, di dekatku.

"Selamat pagi, Naruto-kun!"

Disusul suara lembut perempuan yang amat kukenali. Aku tersadar sepenuhnya berkat itu. Kulihat kaki ramping yang berbalut katun tipis dari bawah hingga di atas lututnya, lalu tersingkap sedikit kulit paha seputih marmer yang paling putih—aku tidak melihat lebih lama dari yang seharusnya—lalu celana pendek navy dan baju ungu semi kelabu.

Dia sedang membungkukkan badan ke arahku. Rambut panjangnya berjatuhan seperti hilir air, warnanya sehitam malam. Tentunya, itu tidak seperti dia hendak memberi kecupan pagi. Gadis itu membuat perangai seseorang yang memberikan salam hormat kepada Hokage.

Aku bukan Hokage. Belum. Masih teramat jauh masaku untuk menggantikan Guru Kakashi.

Itu cuma kebiasaan aneh Hinata, si perempuan yang sedang berdiri di samping kasurku saat ini. Aku tahu dia memiliki tata krama yang bagus, mengingat marga keluarganya, dan statusnya. Tapi membungkuk padaku setiap memberi salam itu sesuatu yang kuyakini cuma kejahilan dia saja.

Aku bangun untuk duduk sambil menggosok mataku, dan menahan hasrat terpejam lagi. "Pagi Hinata," balasku parau, otomatis membuatku bergerak untuk menjangkau botol minum di meja sampingku. Gadis itu sudah melangkah keluar dari kamar saat aku selesai menenggak air. Kukenakan celana panjang hitam sebelum pergi ke kamar mandi.

Sesudah mencuci wajah dan gosok gigi, aku menghampiri meja makan. Bau harum dari bumbu makanan menguar memenuhi ruangan. Hinata duduk dengan anggun di sana, sambil membuka kotak bekal yang ia susun di atas meja. Pemandangan ini senantiasa asing, walau sudah berkali-kali terjadi. Tapi berkat frekuensi itu pula, yang masih bisa terhitung, kecanggungan di antara kita berdua kian terkikis. Kemajuan hubungan kita cukup baik, cepat, mengagumkan—membuatku tak percaya.

"Kelihatan lezat." Ujarku setelah duduk di kursi. Keriangan yang terpancar dari suaraku tak dibuat-buat, meski itu sudah menjadi kalimat spontan yang biasa aku ucapkan.

Di dalam kotak bekal kita masing-masing—maksudku milik Hinata keduanya—terisi dengan menu lengkap; nasi putih, irisan ikan goreng, tumis sayur hijau dan potongan jagung. Di samping itu, sup tahu dihidangkan dengan mangkuk kecil. Kami mengangkat sumpit bersamaan, dan mulai makan.

Aku teringat bagaimana hal ini bermula. Sarapan bersama.

Suatu waktu, Hinata terkejut saat mengetahui bahwa aku jarang sekali makan dengan benar, lebih-lebih soal sarapan. Dahulu sekali, amat sulit bagiku untuk bisa mendapatkan seporsi makanan yang bagus. Tidak ada toko yang menerimaku—tidak ada anak dengan usia di bawah lima tahun yang pergi membeli makanan sendiri.

Aku terbiasa pergi ke hutan, jauh keramaian tapi aman, untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perutku. Aku tahu cara memancing ikan, membidik burung, mencabuti jamur, semua hal yang tidak dilakukan oleh anak seusia itu pada umumnya. Karenanya, aku terbiasa makan makanan yang acak sejak kecil. Paling bagus, aku bisa makan ramen atau yakiniku. Sampai beberapa bulan yang lalu, setelah aku kembali dari bulan.

Hinata menawarkan kesediaannya untuk memberiku menu sarapan yang layak, dibuat olehnya sendiri. Dengan senang hati kuterima, membuat upaya setengah marah nan memaksa dari Hinata kala itu sia-sia.

Alhasil, peristiwa seperti pagi ini sudah sering terjadi. Bukan berarti setiap hari. Ada saat-saat dari kita yang punya kesibukan misi panjang. Terkadang Hinata juga dihadapkan dengan urusan klannya, dia tetap merupakan nona muda dari keluarga Hyuuga yang masyhur. Hal itu membuatku merasa lega—sekaligus gundah. Aku tak mau merepotkan dirinya terlampau sering, kendati kebersamaan kami merupakan hal yang tiap hari kunanti.

Makanan kami hampir habis—aku mencoba berusaha makan pelan-pelan, menyamai Hinata, yang makan dengan penuh etika.

"Sebentar lagi musim dingin," kataku memecah keheningan nan nyaman di penghujung sarapan.

Hinata menyuarakan gumaman setuju, menelan terlebih dahulu makanan di mulutnya. "Sudah hampir akhir tahun." Imbuhnya dengan sedikit ekspresi. Bayangan lampau perihal musim dingin melintas di pikiranku, yang bermacam-macam, tapi mudah diurutkan—terutama mengenai gadis ini.

Kala itu usiaku sekitar lima tahun, atau kurang barangkali. Aku terlampau kecil dan tak tahu apa-apa, tapi diriku di masa itu lebih bijaksana ketimbang beberapa tahun setelahnya. Tiada ambisi yang kelewat tinggi, tiada angan-angan nan gadang. Walau banyak pikiran, tapi sedikit kekhawatiran.

Suatu malam bersalju, aku sengaja membuat diriku kelelahan dengan berkeliaran di luar, supaya bisa tidur cepat—dalam keadaan lapar. Udara begitu dingin hingga ke tulang-tulang. Salju turun lebat, melapisi jalanan yang kutapaki tebal-tebal bak lumpur ladang. Aku sibuk menyaruk butiran es dengan kakiku saat menangkap suatu keberadaan, pergerakan, sesosok hitam yang tak jauh—anak kecil, seperti noda tinta di kertas putih. Dia berjalan terseok-seok, mencoba memaksa kaki mungilnya menjejak tebalnya salju yang sudah mencapai punggung kaki.

Dia jatuh tertunduk kemudian, pasrah dan terancam, ketika aku berjarak dua puluh langkah di depannya. Kuteriaki dia, menanyakan keadaannya, serta rumahnya. Tidak perlu ada anak sekecil dia yang berkeliaran malam-malam di musim seperti ini—sepertiku. Namun tiada jawaban apa pun. Aku terpaksa menariknya, mencoba membuatnya bergerak di suhu yang membekukan. Beruntung aku berhasil mengantarkan dia pulang ke rumahnya yang begitu besar nan luas. Sementara diriku mengelana kembali, baru pulang beberapa jam kemudian, ke apartemen kecil nan lusuh.

Dua tahun setelahnya, sesaat sebelum aku masuk akademi, sewaktu aku baru menapak fase terkagum-kagum dengan ilmu ninja. Susah untukku memercayai jika peristiwa saat itu merupakan kebetulan. Kebetulan aku sedang duduk berayun-ayun di bawah pohon berdaun es. Kebetulan Hinata lewat di sana, di jalanan sempit yang tak diperhatikan warga. Dan kebetulan juga ada tiga anak yang mengikutinya, anak-anak yang mungkin lebih tua dari kami. Mereka mencegat Hinata, merundung dan mengerubunginya seperti tikus-tikus ulung.

Aku tidak bisa diam saja menyaksikan tingkah memalukan mereka. Kepercayaan diriku senantiasa tinggi, makin melambung berkat secuil pengetahuan yang baru kulihat dan kucoba pelajari. Walau kenyataannya, aku dikalahkan dengan teramat mudah—diserang secara bersamaan oleh tiga anak yang tubuhnya lebih besar dariku. Mereka memukuli dan menendangiku seperti bola. Mereka bersenang-senang, bangga, dan begitu merasa hebat hingga tiap kata-kata yang keluar terdengar sombong bukan main.

Meski begitu, serangkaian serangan itu urung membuatku tumbang. Sebatas memar, tapi tidak berdarah. Lebam, tapi tidak patah. Yang hancur lebur justru syal merahku. Robek dan tercabik, menyisakan sedikit bagian lusuh. Menjadi benda rusak tiada guna. Yang dahulu terbuang dan terabaikan olehku. Yang ternyata diambil oleh Hinata, senantiasa tersimpan, bahkan dirajut ulang hingga utuh kembali. Yang baru-baru ini mengantar kami lagi ke sebuah peristiwa musim dingin memilukan—yang masih membekas segar di otakku.

"Biar aku bersihkan," bilangku setelah makanan kami habis.

"Terima kasih." Jawabnya sambil tersenyum lembut. Dia melengkapi rasa manis yang kurang dari menu sarapan kami dengan senyum itu. Memang manis sekali. Aku menyayangkan tahun-tahun lampauku yang luput akan keberadaannya—beserta senyumannya itu.

Aku berdiri dengan membawa kotak bekal kayu yang kutumpuk, beserta sumpitnya. Tempat cucian berada tak jauh dari meja makan, masih di ruangan yang sama. Untungnya aku tak perlu menghadap Hinata karena kegiatan ini. Dan untungnya tidak banyak lagi yang kupikirkan di tengah kesibukan ini. Meski seperti yang kutegaskan, peristiwa musim dingin tahun lalu masih jelas di ingatanku—tentu Hinata juga sama, bahkan nyaris menjadi trauma.

Aku pernah mencoba membahasnya, basa-basi di tengah obrolan pagi kami yang sunyi. Tidak mampu kubayangkan lagi bagaimana raut wajahnya kala itu; sendu, gelisah, mungkin juga kecewa. Aku tidak mengerti alasannya. Tentunya, aku kontan meminta maaf andai perkataanku telah memancing perasaan tak nyaman baginya. Dan dengan teramat baik hati, Hinata memberi penjelasan singkat dan tersirat. Kata-katanya lirih nan pedih, tersimpan lara sedalam samudra.

Belakangan aku sudah bisa mengerti apa yang hendak ia sampaikan ketika itu. Dengan kepekaanku yang payah, aku simpulkan jika ... Hinata terganggu dengan penyesalan akan kenyataan bahwa dirinya pernah mencoba menyerah atas perasaannya. Kemalangan yang terjadi kepada adik semata wayangnya saat itu membuat dirinya terpaksa mengambil keputusan memerihkan. Keputusan yang baginya—secara pribadi—menciptakan sebuah noda bercelah terhadap perasaan yang telah terbangun dengan begitu indah, sempurna, yang dijaga begitu lama.

Mungkin itu cuma sentimen samar-samar, tidak nyata. Tapi aku paham Hinata tak bisa mengendalikannya. Kuharap waktu bisa menyembuhkan dia.

Kuharap diriku bisa menyembuhkan dia.

Seusai mencuci bersih dan mengeringkan kotak bekal, aku pergi ke kamarku lagi. Sekedar ganti pakaian. Jaket hitam tanpa banyak model—berlambangkan klan Ibu, klanku, melingkar di bagian lengan kiri. Celana oranye, tak lupa tas kunai. Lalu ikat kepala logam kebanggaanku.

Kututup jendela kamarku sebelum keluar, mendatangi Hinata. "Ayo pergi!"

Dia menggumam antusias dan berdiri dari kursi meja makan, melangkah keluar mengikutiku. Dia pula yang menutup pintu, serta menguncinya, dengan kunci miliknya yang ia gunakan untuk masuk tadi pagi. Saat kukira kami sudah siap pergi, terdengar suara batuk yang dibuat-buat dari Hinata. Kulihat dia bergeming seperti batu, dengan sedikit ekspresi. Sedari awal gadis ini minim air muka, tapi kini seolah hilang, cuma tersisa kerutan alis yang lurus. Aku lupa. Kalau boleh dilakukan, sepintas ingin kutepuk dahiku sendiri.

Aku mengulurkan tanganku, menyentuh kepalanya dengan canggung—sedetik dan, kuberikan senyuman hangat. "Makanannya sangat enak," kataku tulus nan riang, seraya mengusap rambut hitamnya. Sekalipun tangan kananku berbalut perban, sensasi sejuk dari surai lembutnya tetap bisa kurasakan.

"Syukurlah," ujarnya dan, sekejap saja raut gembira muncul di wajah itu. Rona merah bersemi di pipinya seperti kelinci. Bahkan gerak-gerik kepalanya yang makin menunduk—menikmati sentuhanku—sangat persis seekor kelinci.

Aku tidak berlama-lama melakukan itu. Berbahaya. Meskipun nyatanya hatiku luar biasa senang. Awalnya aku iseng saja ingin mengusap rambut Hinata, ingin berterima kasih karena sudah mau repot-repot. Siapa sangka dia malah ingin lagi, terus-menerus, tiap kita selesai sarapan bersama. Aku tidak keberatan—andai dia memang ketergantungan.

Selanjutnya kami beranjak dari teras apartemenku di lantai dua. Kami tidak repot-repot pergi ke tangga. Langsung saja melompat ke atap-atap, ke baris-baris pohon jalanan, menuju bangunan paling ikonis di pusat desa.

...

Di dalam ruangan Hokage ada Guru Kakashi dan Shikamaru, si Pemimpin dan Penasihat—magang. Aku pikir mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting, sebab keduanya bermuka kaku. Mereka, tak terkecuali, sama-sama tipikal yang baru bisa kelihatan serius ketika dihadapkan dengan situasi yang pelik. Guru, kentara sekali dari matanya yang biasanya sayu lelah. Dan Shikamaru, dia sedang berdiri tegak, bersedekap, sesuatu yang sama langkanya.

"Selamat pagi, Hokage-sama!" Hinata yang memberi salam, membungkuk hormat. "Shikamaru-kun!" Imbuhnya kepada si rambut nanas.

"Hinata—Naruto," Guru mengangguk, dan terdengar tiada niat memberikan jeda saat menyebut nama kami.

Shikamaru sekedar memberi balasan kasual dan ringan. Kedua tangannya pindah ke saku, terlihat lebih normal. Ketegangan merosot dari bahunya, seolah menerangkan sudah ada kami yang siap mengambil alih. Barangkali kepadaku saja. Karena dia tidak mungkin tega menyerahkan masalah berat—yang menaikkan tensi keseriusan antara dia dan Guru—kepada Hinata, sementara ada diriku.

Meskipun memang, aku berharap ada misi yang bisa dikerjakan berdua dengan Hinata.

"Shikamaru, wajahmu kelihatan baru kalah main shogi." Tuturku bercanda. Tentu saja bercanda. Praktis tidak ada orang yang mampu mengalahkan dia dalam permainan itu. Jikalau ada, hanya ayahnya sendiri. Dan kalah dari ayahnya tidak akan sampai membuat wajahnya kusut.

"Mana mungkin. Bidakku saja belum kugerakkan." Jawabnya, berusaha membalas kelakarku yang murahan. Tapi harus kuakui, dia terdengar lebih tepat sasaran.

Aku memandang Guru Kakashi, menunjukkan maksudku yang mudah dimengerti.

"Masalahnya belum dikonfirmasi," katanya lesu, mengharapkan aku paham cuma dengan kalimat itu saja. Tapi dia tahu watakku, jadi dilanjutkannya kalimat tersebut. "Ada laporan beberapa Shinobi hilang dari desa. Kami sedang memastikan bahwa mereka bukan sedang melakukan misi atau bepergian keluar dalam jangka waktu."

"Dari laporan para penjaga gerbang," Shikamaru menimpali, "hanya dua orang dari yang dikabarkan hilang tengah menjalani misi ke daerah di dekat Kumogakure. Mereka seharusnya sudah kembali selambat-lambatnya sejak dua hari yang lalu."

Jika memang telah dihitungkan estimasi yang paling lambat, artinya sudah bisa diambil kesimpulan bahwa mereka mengalami masalah yang menghambat mereka.

"Apa mereka diserang?" Maksudku apakah itu misi yang punya risiko terjadi pertarungan.

Dengan otak cerdasnya, Shikamaru bisa menangkap itu. Dia menggeleng ragu, "Itu hanya misi tingkat C."

Tingkatan itu sudah memungkinkan untuk bertemu bandit atau penjahat rendahan. Kendati sekarang merupakan masa damai—masa paling damai, karena lima desa sudah bergandeng tangan, dan sudah tidak banyak lagi bandit atau ninja buron seperti dulu.

"Dan keduanya merupakan Chuunin senior." Sambung Shikamaru. Artinya, kalaupun mereka bukan yang paling terampil, mereka sudah masuk usia dewasa yang punya banyak pengalaman. Dan jika memang begitu, maka misi tingkat C mestinya mudah diatasi. Kecuali terjadi hal-hal yang tidak bisa terkirakan.

Sebelum aku berhasil merangkai beberapa kemungkinan, sebelum kami yang berada dalam ruangan melontarkan suara lagi, seseorang masuk dengan tergesa-gesa. Dia adalah Sakura, teman satu timku. Walau tampak sedang terdesak, dia masih sempat menatapku—tanpa ekspresi, dan memberi senyum singkat kepada Hinata.

"Guru, ada yang ingin aku laporkan!"

Yang kami dengar kemudian adalah sesuatu yang kebetulan menyangkut situasi sebelumnya. Sakura bilang, dapat kabar dari Ino—teman kami si penjual bunga dari klan Yamanaka. Kabarnya, seseorang pelanggan tetap toko bunga mereka sudah tidak kelihatan selama dua hari.

Guru menghela nafas. Bukan karena meremehkan kondisi sekarang, tapi memang seperti itu perangainya. Dan, barangkali cuma aku yang menyadari reaksi kaget Hinata. Sedangkan Shikamaru sudah siap untuk menanyakan detail kabar yang disampaikan Sakura.

Namun suara ledakan keras menginterupsi kami semua, begitu menggelegar dari arah timur. Asap hitam membubung tinggi, tampak mencolok meski jaraknya terbilang jauh, praktis di pinggiran desa. Kami, kecuali Guru Kakashi, langsung pergi ke arah tersebut.

Di dekat lokasi kejadian, muncul Ino dan Chouji yang datang beriringan. "Aku baru mau menyusulmu, dan mendengar ledakan." Ino mengucapkan itu kepada Sakura. Sepertinya dia buru-buru ingin ke kantor Hokage sebelumnya.

Kami berhenti di area lapang, dekat gerbang timur. Evakuasi warga dilakukan dengan tertib, walau suasana panik masih tetap menyebabkan riuh nan ricuh. Dan, pemandangan di depan kudeskripsikan seperti pertikaian setengah hati dari pasukan patroli desa dengan para penyerang dari luar. Mereka bergerak pasif, mayoritas cuma bertahan. Sedangkan para musuh justru lebih ganjil lagi; berjalan lambat-lambat, lunglai, dengan sorot mata datar.

Mereka bukan musuh.

Saat salah satu dari kami mempertanyakan keanehan yang sedang terjadi, Shikamaru kontan menjelaskan identitas mereka semua, yang ternyata adalah Shinobi Konoha. Aku baru paham setelah mereka cukup dekat, ketika pertarungan mau tak mau menjadi makin intens—bahwa beberapa memang mengenakan ikat kepala Konoha. Didukung dengan pekikan Ino yang keras, menyuarakan nama seseorang dengan nada tersekat. Dia membelalakkan mata terkejut nan getir.

Itu pelanggan tokonya yang dikabarkan hilang.

Salah satu dari pasukan bertarung dengan si pelanggan toko. Walaupun gerakan pria tua itu tampak linglung, dia masih cukup tangkas dan susah dihadapi, terlebih dengan kondisi yang memaksa pihak kita untuk menahan diri. Namun tidak mungkin terus-menerus begitu. Seseorang melempar shuriken ke bagian non-vital, sekedar untuk menghentikan pergerakan target.

Namun pria tua itu seolah tidak kesakitan sedikit pun, serta-merta mencabut senjata yang menancap di bawah bahunya tanpa ragu. Darah kontan saja mengucur, kelewat banyak, kelewat gelap—tidak normal. Sekejap kemudian, ada gejolak aneh dari darah tersebut, beserta keseluruhan chakra di dalam tubuhnya. Semua menyadari fenomena itu, namun barangkali aku saja yang tahu bahaya dahsyat setelahnya. Persepsiku yang terlatih berkat kepiawaian menggunakan Sage Mode membuatku mampu mendeteksi perubahan chakra ekstrem yang tidak biasa.

Aku membuat empat bayangan dan segera bergerak, melesat dengan kecepatan terbaikku. Kubawa masing-masing dari pasukan desa mundur menjauh. Tiada sedetik setelah itu, ledakan besar terjadi, lebih besar ketimbang kertas peledak. Kulihat wajah teman-temanku yang terperangah ngeri. Lebih-lebih Hinata. Lebih lagi Ino—dia yang paling tidak bisa mengendalikan reaksinya, bahkan kesiagaan sirna, menjadikannya rentan—Sakura berusaha memegangi dia yang terguncang.

Momen-momen terjadi dengan begitu cepat, panas, bak kilat mentari siang yang menusuk. Dampak dari ledakan itu membuat angin berembus kencang, membawa serta tanah kering dan butiran kerikil. Ranting-ranting pohon yang meluruh gugur, melecut seperti peluru. Tidak melukai kami, namun sudah pasti menyebabkan goresan terhadap penerjang lain yang berjarak cuma selangkah. Luapan dari chakra yang mendidih seketika terjadi.

Empat orang! Satu saja sudah amat parah.

Aku bukan tipe yang lamban dalam pertarungan, namun bakal selalu ada orang yang lebih sigap dariku. Saat kupikirkan hendak menggunakan perubahan bentuk Kyuubi guna menanggulangi daya ledakan—satu kibasan ekor niscaya cukup—si rambut nanas telah melontarkan perintah.

"Chouji, bisa kau atasi itu?!" Shikamaru tidak akan membuat keraguan dalam detik seperti ini, dia mempercayakan secara penuh. Teman kami yang besar menjadi makin besar, menciptakan sayap raksasa bercahaya biru di punggungnya. Angin topan hadir ketika itu dikepakkan, menerjang badai api ke depan.

Aku pikir itu tidak cukup, dua badai tersebut beradu masif namun statis. Kufokuskan chakra di tanganku, membuat bola angin yang berpusar kuat, lalu berlari ke arah badai. Ukurannya tak sebanding, seperti kelereng yang menabrak dinding. Tapi aku mahir betul dengan jurus andalanku. Aku hafal tiap perubahan, intensitas kekuatan, bahkan dampak yang diakibatkan. Kuberikan tekanan lebih besar, kucurahkan chakra lebih banyak lagi tanpa ragu. Selama aku bisa mendorongnya keluar, tak masalah walau badai ini akan memorak-porandakan pinggiran hutan.

Kendati yang kuniatkan telah tercapai, kami tak lantas mengendurkan kewaspadaan. Tapi setidak-tidaknya kami mendapat waktu untuk mengambil nafas dan mencermati sekitar dengan teliti. Butuh puluhan detik untuk melihat asap dan debu diterbangkan angin. Dan saat itu mulai menipis, kami melihat beberapa manusia lagi yang datang dari ujung tanah lapang—di luar desa.

Jika saja kudorong lebih keras lagi.

Angan-angan itu tercela, tak sesuai, dan aku merutuki diriku yang sempat memikirkannya. Tidak boleh ada korban lagi. Tidak boleh ada yang meledak lagi.

"Merepotkan," keluh Shikamaru dengan nada khasnya.

"Sepertinya, mereka dalam pengaruh ilusi."

Genjutsu? Aku menyetujui opini Sakura. Kesulitan perkara jadi lebih mudah andaikan begitu. "Hinata, tolong periksa," kataku, meminta bantuan pada orang yang mampu memeriksa jalur chakra ke si pengendali.

Hinata mengaktifkan byakugan, pandangannya mengitari jauh ke bukaan hutan di depan kami. "Aku tidak menemukan siapa pun." Terangnya tak lama setelah itu, dengan nada tak percaya.

Beberapa alasan manusia-manusia itu menjadi keberadaan yang mengancam desa, yang mampu kutebak, memang mengarah ke kemungkinan terkena Genjutsu. Tidak adanya orang yang mengendalikan mereka tak lantas mematahkan kesimpulan tersebut. Seperti kasus Pain bertahun-tahun silam; awalnya tak pernah terdeteksi, bahkan orang-orang tercakap pun tidak bisa tahu siapa dan dari mana pengendali Enam Pain.

Tapi sekarang tak mungkin begitu, tidak akan pernah. Tidak akan ada lagi kasus seperti Pain. Aku menggertakkan gigiku ketika pemikiran itu muncul—pandanganku tak lepas dari Hinata.

"Bagaimana pun, kita tetap harus menghentikan mereka." Sakura mengatakan hal yang sudah jelas.

Shikamaru terus menatap ke depan. "Tapi akan sulit melakukannya tanpa menimbulkan luka."

Saat mendengar sanggahan tersebut, aku terpikirkan sesuatu. Ada seseorang di antara kita yang mampu melakukannya, melumpuhkan orang tanpa luka. "Shikamaru, Hinata," seruku buru-buru, ancaman sudah kiat mendekat. "Aku punya rencana!"

Setelah menjelaskan singkat, kami mulai bergerak. Kuciptakan beberapa bunshin lagi, semua berpencar ke arah masing-masing penerjang. Sebetulnya, hal ini cuma antisipasi kecilku untuk meminimalkan dampak yang tak diinginkan. Shikamaru mestinya mampu menjebak orang-orang lamban ini dengan bayangan tanpa bantuanku.

Setelah memastikan jurus Shikamaru telah mengikat mereka semua, berikutnya giliran Hinata. Dia menyerbu masing-masing dari orang itu dan memberi pukulan di titik pusat chakra, langsung melumpuhkan dalam sekali serangan. Meski begitu, aku tidak mengurangi kesiagaan. Bayangan tetap kupertahankan di posisinya.

Hanya diriku dan Hinata yang petarung garis depan. Shikamaru menjerat dari jarak aman. Sakura beserta Ino memberi perawatan kepada pasukan patroli yang terluka di awal—dan Chouji menamengi mereka. Walaupun aku mampu melindungi semua sekaligus jika terjadi ledakan lagi, perhatianku senantiasa tercurah kepada Hinata yang bersamaku.

Ketika matahari siang mulai melingsir dari posisinya di atas kepala kami, pertempuran—penyelamatan—akhirnya usai.

...

Aku tidak betul-betul memperhatikan bagaimana waktu berjalan, jam demi jam yang terlewat semenjak aku berada di dalam gedung fasilitas kesehatan di area timur.

Runtutan kejadian yang kuingat; para korban dibawa ke tempat terdekat untuk diberi penanganan secepatnya—beserta pengawasan paling instan yang bisa dikerahkan. Guru Kakashi datang dan mengobservasi secara langsung. Memberi arahan, menerima masukan, dan membuat keputusan; untuk memerintahkan Sasuke kembali ke desa guna membantu menghapus efek ilusi yang katanya cuma bisa diatasi dengan sharingan.

Namun bukan berarti satu-satunya solusi. Sakura, yang konon paling mahir dalam ilmu pembalik ilusi di angkatan kami, tidak lantas berpangku tangan dan duduk diam menunggu pujaan hatinya datang. Dia berpamitan, menitipkan pengawasan korban kepada kami yang tersisa untuk pergi ke perpustakaan desa. Dia berkata akan mencari cara, dan kalau perlu bakal berkonsultasi ke nenek Tsunade juga. Kepergiannya praktis memakan waktu lama, melewati petang, hingga pertengahan malam. Tapi dia membawa hasil baik.

Sakura menemukan cara mengekstraksi chakra asing para korban yang sudah bercampur dengan keruh di pembuluh darah. Namun dia membutuhkan Hinata dalam proses itu, yang punya kemampuan menerawang chakra hingga sudut paling dalam—dan mengerti sedikit ilmu medis.

Kunci terpenting adalah supaya tak salah sebut di bagian mana chakra asing itu berpusat. Karena, menurut yang Sakura tuturkan, jika salah sedikit saja dalam proses penguraian maka akan memicu chakra itu berfluktuasi secara negatif—walau mereka sedang dalam kondisi lumpuh. Dan mengingat fitrah alami dari sifat chakra asing itu adalah api unik, atau yang biasa disebut Kekkei Genkai, perubahan negatif yang dimaksud ialah melepuhnya jaringan kulit dari dalam. Hasilnya ... mereka akan meledak, seperti yang sudah kita saksikan tadi siang.

Maka proses penguraian dilakukan, oleh mereka berdua, dengan penuh kehati-hatian dan tanpa sedikit pun rasa lelah.

Kini, berteman semilir angin malam, aku berdiri di luar pintu, di bawah temaram lampu, di bawah langit gelap dan bintang-bintang yang bersinar terang. Sudah cukup aku menunggui mereka di dalam sana, tanpa bisa memberi kontribusi apa-apa. Terlebih, aku akhirnya menyerah telah berusaha mengukuhkan hatiku melihat Hinata yang tanpa henti mengaktifkan jurus matanya.

Aku tidak mencoba merutuki keputusannya, dan jiwa patriotisme yang ia miliki. Andaikan diriku ada di posisi yang sama—menjadi satu-satunya yang kekuatannya diharapkan—maka aku pun tiada ragu untuk mencurahkan segalanya, walau taruhan nyawa.

Kuangkat daguku untuk menatap langit, memakukan pandangan ke bintang nun jauh di sana, menerawang masa lampau yang sama jauhnya.

Aku tidak lupa peristiwa ketika Hinata berlebihan menggunakan byakugan, dan membuatnya jatuh dalam kondisi yang amat miris. Mendiang kakaknya—temanku yang sudah tiada karena mengorbankan dirinya untukku, untuk kami—dahulu juga sempat mengorbankan diri untuk mencari ramuan penyembuh mata. Aku tidak begitu ingat nama lokasinya yang asing. Di masa itu aku juga kelewat bodoh dan ceroboh, meski tetap menjadi bagian-bagian terbaik dalam hidup.

Teringatkan sosok Neji malah menambah kegetiran dalam diriku, menaburi rasa khawatir yang sedang berapi-api dengan minyak—butiran penyesalan. Kuusir perasaan itu sekeras mungkin, menggantinya dengan doa-doa baik dalam hati. Rasa hormatku pada pemuda itu begitu besar, niscaya mampu menampik penyesalan yang hadir di waktu bersamaan.

Akan kutunjukkan dan kujanjikan; dua nyawa yang dulu ia lindungi dengan punggungnya, dua kehidupan yang dulu ia tukar dengan kehidupannya ... akan senantiasa ada dan hidup berdampingan bersama.

Tenang saja, teman. Aku akan menjaganya.

Lamunanku dibuyarkan oleh suara pintu yang terbuka, membawa keluar tiga sosok manusia bermuram lelah. Shikamaru tak henti-hentinya menguap, air mata muncul di sudut matanya. Sakura tampak melemaskan jari-jari tangannya yang kaku, darah seakan telah mengucur habis karena saking pucatnya wajah yang biasanya cerah. Berikutnya, kehadiran Hinata membuatku tegang hingga ke tulang-tulang. Anehnya dia kelihatan biasa saja. Hinata memang berkulit pucat sedari awal, dan dia pribadi yang banyak diam.

Bukan berarti aku tidak bisa menangkap sorot matanya yang redup. Netra indah yang tiada henti kupuja kini seakan kehilangan cahaya. Pupilnya bergetar sekilas ketika bertatapan denganku, sebelum ia alihkan pandangannya jauh-jauh. Perutku melilit nyeri, tanganku mengepal erat hingga kukunya menusuk-nusuk kulit. Kucoba menenangkan diri dengan memulai percakapan. "Apa sudah selesai?"

"Ya, letih sekali rasanya." Sakura menjawab dengan suara serak.

Shikamaru menggaruk kepalanya, dan memicingkan mata ketika melihat langit yang sudah malam. Nyaris mau kubilang bahwa ini sudah menjelang pagi. "Kalian pulanglah, biar aku yang melapor ke Hokage." Ujarnya lambat-lambat. "Itu pun jika belau masih kelihatan."

"Saran yang bagus, Shikamaru." Balas Sakura dengan penuh rasa lega. Dia hendak melangkahkan kaki, menjadi yang paling awal pergi dari tempat ini. "Hinata, terima kasih! Kau bekerja sangat keras. Ini bisa selesai berkatmu."

"Sama-sama," Hinata tersenyum lembut, kentara sekali upayanya yang ingin bersikap normal—setidaknya begitu di mataku. "Sakura-chan yang mengobati mereka semua. Aku hanya membantu semampuku."

"Pastikan kau istirahat betul-betul." Kata Sakura sebelum akhirnya berpamitan, melompat dengan sisa-sisa tenaganya ke atas pagar tembok, kemudian ke atap gedung, dan menghilang ditelan kabut tipis.

Shikamaru menghadapkan tubuhnya ke arahku. Bahkan dengan perangai malasnya, aku sadar jika ia akan memberi wejangan serius. "Tugasmu adalah mengantar Hinata pulang."

Aku melayangkan senyum kecil. "Tidak perlu kau suruh." Jawabku seadanya. Dia pasti tahu aku akan melakukan itu, tanpa diingatkan. Walau nyatanya dia memang serius.

Berbeda dengan Sakura, Shikamaru tidak perlu repot-repot melompati bangunan. Dia berjalan kaki dengan kedua tangannya di belakang kepala, membiarkan punggungnya terlihat oleh kami sepanjang jalanan lurus hingga belokan.

Tersisa diriku dan Hinata, yang berdiri dengan jarak bak jurang. Walaupun benar jurang, aku tak akan menyisakan waktu untuk pergi menerjang. Kuhampiri dirinya, tepat di depannya. Aku tidak memaksanya menatapku, jadi kugunakan satu tangan untuk menyentuh kepalanya. Aku menyusupkan jariku, membelai alisnya yang sedingin es. Sensasi itu menyayat hatiku tanpa ampun, membuatku bergetar dalam diam. "Pejamkan mata saja," tuturku sehalus mungkin.

Kata-kataku justru membuat dia menajamkan penglihatan, menaikkan pandangannya yang lemah kepadaku. Hatiku mungkin sudah pecah belah, hancur lebur dalam rasa sakit karena kekhawatiranku yang meledak ketika menatap matanya. Kontan saja, aku merengkuhnya ke dalam pelukan, menenggelamkan tubuh kecilnya ke diriku. "Kerja bagus, Hinata. Aku sangat bangga kepadamu."

Dia baru membalasnya beberapa detik kemudian. Dapat kurasakan tangannya yang berusaha mengeratkan pelukan, tapi dia sudah sangat kehabisan tenaga. Jadi yang dilakukan hanya menggerak-gerakkan kepalanya, menyamankan wajahnya di dadaku. "Terima kasih. Senang sekali mendengarnya."

Aku membelai rambutnya lekat-lekat, mencoba memberi banyak sentuhan, supaya dia paham bahwa diriku ada, menerima segala kesahnya yang mungkin dia ragu untuk ditunjukkan ke siapa-siapa. Sudah cukup dia diam, menahan, dan berkorban—untukku.

Kendati seharian ini begitu sibuk nan melelahkan, surainya tetap saja selembut air. Saat kudaratkan bibir dan hidungku di kepalanya, wangi sejuk tercium dengan perlahan nan dalam. Sekejap aku tersadar, sudah lama sekali sejak kita saling menyentuh, dan memeluk. Aku terlalu mensyukuri kehadirannya. Aku terlampau mengagumi bagaimana waktu berjalan mengiringi kita. Hingga lupa bahwa terkadang, aku butuh merasakan dirinya lebih dekat—sedekat mungkin.

Setelah beberapa waktu yang tak kuperhatikan lagi, aku menarik diri dengan berat hati. "Ayo pulang!" kataku sambil tetap membingkai kepalanya dengan jari-jemari.

Hinata menatapku sekilas, sebelum ia tutup lagi kelopak matanya. "Sepertinya, pintu kediamanku masih tertutup rapat di jam seperti ini." Dia membalas lambat-lambat, butuh usaha keras baginya untuk mengeluarkan banyak suara.

"Pintuku tidak," jawabku sambil memutar tubuh dan menjatuhkan satu lutut ke tanah, memberikan punggungku. "Naiklah, aku akan membawamu."

Aku kira Hinata bakal butuh waktu lama untuk berpikir, namun ternyata dia langsung menyerahkan tubuhnya yang ringan sedetik setelah aku memerintah. "Terima kasih," gumamnya yang masih saja terdengar sopan.

Jalanan begitu sunyi saat kakiku membawa kita pergi. Masyarakat yang tertidur dan mematikan lampu, menciptakan lanskap petak-petak gelap, digarisi pijar lentera jalan yang tak begitu terang. Langit menjadi sedikit berwarna, dan bintang-bintang makin bergelimang. Sudut mataku menangkap semburat merah fajar dari arah tenggara, kilat cahaya yang belakangan menghantui mimpi-mimpiku. Mendadak hatiku gelisah, namun dalam taraf yang kelewat kecil—dibanding rasa-rasa indah yang meruah dari dalam lubuk jiwa.

Aku biasanya tidak mudah merasakan dingin, namun napasku tetap saja beruap—begitu juga napas Hinata yang berembus lemah di samping pipiku.

"Aku sangat mencintaimu." Bisikku pelan. Mungkin saja dia tertidur. Tapi tak masalah andaikan dia mendengar itu. Aku ingin mengatakannya seribu kali lagi, di detik ini.

Dan memang, kurasakan tangannya mencengkeram kerah jaketku, begitu pula napasnya yang tertahan. "Aku? Yang penuh kekurangan ini?"

Aku mendengus geli, tak memercayai yang kudengar. "Di hadapan dunia yang begitu besar dan luas," sambungku sambil menengadah, melihat keremangan langit. "Tidak ada satu pun manusia yang sempurna."

Termasuk diriku. Naruto, yang digadang-gadang sebagai pahlawan, yang berambisi tiada ujung, yang sesumbar tentang keadilan dan kesetaraan, yang merasa paling benar ... juga memiliki sejuta kekurangan. Aku bodoh, dan amat tak peka—dengan dungunya membiarkan gadis ini menanti-nanti dalam perasaannya yang terpendam selama belasan tahun.

"Tapi, di mataku yang kecil ini, Hinata ..." aku membawa lagi pandanganku ke bumi. Detak jantungku terdengar keras di tengah suasana yang begitu sunyi.

"Tidak ada yang sesempurna dirimu di alam semesta."

Cintaku memang baru mekar setelah peristiwa musim dingin, serupa bunga semi. Bertunas dengan secarik wol merah, di bawah rembulan nan indah. Namun kupastikan rasa ini akan tetap ada, senantiasa abadi—selamanya, walau fajar silih berganti.

...

END

.

Notes :

Hai! Aku Die Ara. Terimakasih untuk yg sudah membaca. Dan anw aku aktif di WP dgn user (@Die_Ara). Untuk yang mau baca ff ku yang lain, boleh berkunjung ke sana.

Salam hangat !! _-