haikyuu! © haruichi furudate.
penulis tidak mengambil keuntungan komersial apapun dari pembuatan cerita ini. cerita ini adalah murni fiksional, tidak ada kaitannya dengan orang-orang di dunia nyata—jika terjadi persamaan maka hal itu adalah hal yang tidak disengaja.
Tiba-tiba saja, Tokyo menjadi kota yang asing dan sedikit misterius. Kei bergeming sampai kereta mencapai peron dan menunggu perubahan hatinya, menduga apakah ini hanya perasaan sementara sebelum dia menghadapi tantangan yang sesungguhnya. Namun hingga kereta mengerem dan berhenti pada titik terakhirnya pun, Kei masih merasa cukup was-was. Dia berjalan menuju pintu kereta, mengikuti seorang pria tua yang hanya membawa tas kecil di pinggangnya, lantas menghilang di barisan manusia yang menuju ke sebelah kanannya. Kei berdiri sejenak di peron, menunggu, menoleh ke kiri dan kanan, tetapi tak menemukan sosok yang dia cari. Dia pun menyeret kopernya lebih jauh ke depan.
Di tengah hiruk-pikuk stasiun, seseorang berlari menembus keramaian, melambai-lambaikan tangannya di kejauhan. Kei hanya bisa melihat ujung tangannya, tubuh mungil itu nyaris tak kelihatan di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Setelah cukup dekat, barulah Kei mendengar suaranya.
"Sori, agak telat." Rambutnya terlihat cukup berantakan, satu kepang ekor kuda yang longgar dengan helai-helai yang menjuntai membingkai wajahnya. "Ada kerjaan mendadak di menit-menit terakhir." Ia menyeka keningnya dan membuat poninya lebih kacau. "Sudah lama nunggu?"
"Baru turun," Kei mengedikkan dagu pada barisan penumpang terakhir yang meninggalkan kereta di belakangnya. "Kamu sibuk? Harusnya nggak usah jemput saja. Aku bisa sendiri."
"Nggak, nggak. Kamu adalah tamuku. Seenggaknya aku bisa melakukan sesuatu."
Kei diam, membiarkan Hitoka berjalan satu langkah di depannya. Dia sudah berkali-kali pergi ke Tokyo, melihat keramaian seperti ini, tetapi entah kenapa dia merasa seperti anak berusia enam belas lagi; kebingungan dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa bersikap tenang dan menganggap semuanya baik-baik saja.
"Uhm, Tsukki-kun? Kamu mau makan malam dulu? Aku belum beli stok makanan di apartemen, sih, jadi—"
"Kita makan di luar saja." Kei mengedikkan dagu sekenanya pada kedai yang berada tak jauh dari gerbang stasiun. Dia menyadari bahwa dia barusan menunjuk sebuah kedai ramen, dan menyadari juga bahwa membayarkan temanmu yang akan memberimu tumpangan selama beberapa hari ke depan hanya dengan ramen mungkin kurang pantas, tetapi Yachi Hitoka bukan seseorang yang mungkin akan keberatan dan tersinggung.
Hitoka menyingkap tirai di depan kedai, dan ia membalas sapaan ramah pemilik kedai dengan langsung menyebutkan menunya. Kei membutuhkan waktu beberapa lama sebelum memutuskan. Dia sudah lama tidak makan ramen karena program pengaturan dietnya, tetapi dia berpikir sesekali membuat pengecualian tidak apa-apa.
Secara alamiah mereka duduk berhadapan, Kei menaruh kopernya begitu dekat dengan kakinya. Aroma kuah yang hangat dan penuh bumbu mengundang nostalgia yang tak dinyana, dia seperti dibawa kembali ke malam-malam latihan terutama pada musim dingin, ketika Pelatih dan Pak Guru mengajak mereka untuk makan bersama setelah latihan yang panjang atau pertandingan yang menyenangkan melawan sekolah-sekolah lain di prefektur yang sama, mereka semua memenuhi satu meja panjang dan berimpitan menghabiskan makanan. Sesekali ada keributan yang merambat dari sudut ke sudut, keramaian yang menular, kuah atau minuman yang tumpah, dan cerita pertandingan yang tak habis-habis. Hitoka Yachi juga bagian dari semua itu hampir sepanjang masa sekolahnya, dan sekarang, bagi Kei, tidak banyak yang berubah, kecuali meja yang menjadi sepi di sini.
"Bulan lalu aku ketemu Kageyama, sebelum dia berangkat kembali ke Italia." Hitoka meniup-niup kuah ramennya sebelum menghirupnya dengan suara yang puas. "Dan aku baru tahu kalau salon milik kakaknya berada cuma dua blok dari kantorku."
"Kakaknya punya salon?"
"Iya. Tapi dia jarang berada di sana. Miwa-san sekarang menjadi tim penata rambut di agensi model. Tapi dia selalu membantuku setiap kali aku bikin janji temu ke sana."
Kei menikmati makannya, meskipun dia mencoba untuk santai, dia tetap makan jauh lebih cepat dari Hitoka. Satu suapannya barangkali sama dengan dua atau tiga kali suapan Hitoka. Dia menunggu, sesekali mengamati bagaimana orang-orang di sekitar. Ada banyak pekerja yang baru pulang di sekitar sana, makan dengan punggung membungkuk, terlihat lelah dan buru-buru. Dia melihat dunia yang berbeda di Tokyo, semua yang serba cepat dan berbeda jauh dengan kehidupan tenang di Miyagi. Pekerjaan yang ringan, latihan yang tidak terlalu menyiksa di akhir minggu. Dia memikirkan banyak hal tentang klub barunya, dia pun telah mengamati performa mereka di liga sampai dua tahun ke belakang, dan menyadari bahwa kompetisi sesungguhnya barangkali terjadi di ruang latihan alih-alih liga profesional.
"Kapan kamu ketemu orang-orang klub baru?"
"Besok. Kuroo-san mengajakku ketemu dan makan malam dengan orang-orang di manajemennya."
"Oh, semoga lancar." Hitoka tersenyum lebar. "Hati-hati. Kudengar Kuroo-san punya kadar toleransi alkohol yang tinggi. Dia kuat minum, bisa-bisa kamu yang jadi bulan-bulanan kalau nggak bisa minum sebanyak dia."
"Orang aneh itu," seloroh Kei, menjauhkan mangkuknya ke tengah meja sebagai tanda bahwa dia telah selesai. "Aku nggak bakal mabuk. Nanti orang itu menjebakku."
Hitoka tergelak renyah, dan Kei entah mengapa merasa harus menyaksikannya. Tawa itu membuktikan Hitoka sama sekali tidak berbeda dari yang pernah dikenalnya dahulu, dan mungkin segala hal di Tokyo tidak pernah bisa membuatnya berubah, bagaimanapun caranya. Mungkin ada banyak hal di Tokyo yang membuat Hitoka tetaplah menjadi Hitoka, dan untuk sesaat, Kei tidak menyesali apapun, termasuk kedatangannya ke kota ini untuk mengadu nasib di klub yang baru, meninggalkan segala kenyamanan di Sendai.
Apartemen Hitoka dua kali lipat lebih besar daripada dugaannya. Dia berhenti di depan pintu dan menyadari ada dua kamar dengan luas yang sangat mencukupi di dalamnya, bahkan sebuah minibar yang cantik yang membatasi ruang tengah dan dapurnya yang tertata rapi. Perempuan semungil ini tinggal di apartemen sebesar ini sendirian—betapa Kei ingin melontarkan komentar dengan nada semacam ini, hanya saja kali ini dia berusaha menahan lidahnya karena dia adalah tamu yang akan memanfaatkan kebaikan Hitoka untuk beberapa hari ke depan.
"Kei, silakan tidur di kamar ini." Hitoka membukakan pintu kamar yang berada paling dekat dengan pintu depan. Kamar itu sudah dirapikan, bahkan Kei bisa mencium aroma pengharum yang segar dari ruangan itu. Hanya ada lemari yang merangkap dengan meja kerja dan sebuah kursi selain tempat tidur yang mengisi kamar tersebut.
Kei menyeret koper dan membiasakan diri dengan memandangi sekeliling. "Kamar ini selalu kosong?"
"Biasanya Mama tidur di sini kalau dia mengunjungiku." Hitoka tersenyum masam. "Aku selalu bilang bahwa apartemen ini terlalu besar untukku sendirian. Tapi Mama bersikeras. Dia bahkan sering membayarkan sewanya diam-diam lebih dulu. Katanya supaya aku kerasan dan nyaman, tinggal di tempat yang cukup leluasa."
"Oh. Jadi—"
"Nggak apa-apa. Mama sudah tahu ada temanku yang mau menginap. Lagipula Mama sepertinya juga tidak punya jadwal berkunjung dalam minggu-minggu ini. Atau mungkin sampai bulan depan. Kalau beliau mendadak datang, aku dan Mama bisa tidur sama-sama di kamarku."
Kei berbalik dan tahu-tahu Hitoka juga memasuki kamar ini, menyalakan lampu dan mengecek air purifier di sudut ruangan. Ia juga membukakan lemari untuk Kei, memastikan bahwa lemari tersebut lowong. Ia pun menunjukkannya. "Silakan pakai saja dulu lemari ini. Anggap rumah sendiri, ya, Tsukki-kun. Jangan ragu-ragu untuk memakai kamar mandinya, atau mengambil apapun di kulkas. Kamu juga boleh masak, kalau kamu nggak keberatan."
Kei mendekat ke lemari dan mengeceknya. Ada dua lembar selimut bersih di dalamnya, dan dia menyimpulkan itu memang untuk dirinya. Dia pun mengangguk, "Terima kasih. Maaf merepotkan. Aku akan segera menemukan apartemen baru setelah ini."
"Kamu nggak usah pusing. Kamu bisa tinggal di sini selama apapun yang kamu mau, kok. Pindah ke kota yang baru itu nggak mudah. Sesuaikan saja diri kamu dulu sebelum kamu tinggal di tempat punya kamu sendiri." Hitoka mengangguk, meyakinkan. Ia pun menepuk lengan Kei pelan untuk menenangkan sebelum berpamitan keluar kamar, tangannya berada cukup lama di sana sebelum Kei memandangi tangan itu—dan Hitoka buru-buru menariknya, menunduk, dan segera pergi.
Kei mengikuti langkah Hitoka dengan pandangannya. Perempuan mungil itu dengan segera menghilang di balik pintu, dan Kei menelan rasa asam yang aneh di pangkal lidahnya. Dia merasa menyesal untuk alasan yang janggal, dan memikirkan dalam-dalam kalimat Hitoka barusan, sesuatu yang mungkin berasal dari pengalamannya sendiri. Hitoka merantau ke Tokyo jauh sebelum Kei, di usia yang jauh lebih muda daripada Kei sekarang. Mungkin tidak seharusnya dia mematahkan gestur Hitoka barusan, tetapi memangnya apalagi yang harus dia lakukan?
Kei berusaha untuk terlihat berguna di hari pertama.
Menurut peta daring, ada sebuah toko dua puluh empat jam di utara gedung apartemen, berjarak sekitar lima puluh meter. Dia pergi ke sana pada pukul lima pagi, diam-diam meninggalkan apartemen dan menemukan bahwa peta tersebut sedikit menipunya. Toko tersebut dua kali lipat lebih jauh, dan stok sayur-sayurannya hampir habis. Telur di sana lebih mahal daripada yang terakhir kali dia ingat di Sendai, tetapi setidaknya ada lebih banyak pilihan sereal yang mungkin saja Hitoka sukai.
Hitoka belum bangun saat dia kembali, dan Kei pun membuat panekuk ala kadarnya sebelum pergi untuk jadwal rutin olahraga pagi dan meninggalkan pesan di kertas tempel di lemari es. Hitoka punya banyak stok kertas tempel dengan bentuk dan corak yang lucu, yang diletakkannya di sudut dapur, beberapa di antaranya berisi pengingat soal masakan atau menu mingguan yang tak sempat ia tempelkan di pintu lemari es.
Dia lari pagi di sekeliling blok apartemen tersebut, terus hingga ke ruang publik terbuka yang paling dekat, mencoba menghafal sekitarnya seakan-akan dia akan tinggal di sini lebih lama lagi.
Hitoka bangun tanpa menyadari bahwa ia memiliki seorang tamu di apartemennya; dan ia baru mengingatnya saat menemukan panekuk di meja dan catatan yang menempel di lemari es: aku pergi olahraga, mungkin agak lama.
Panekuk itu terasa manis, pas untuk lidahnya, seakan-akan Kei hafal seleranya. Ia terkesan, dan makan dengan riang, sebuah permulaan yang baik untuk hari Selasa yang mungkin akan menyibukkannya lagi dengan pekerjaan-pekerjaan yang seolah tak ada habisnya, garis mati tugas-tugas yang saling bertumpang-tindih, perintah tanpa ujung, dan mungkin ia harus pulang malam lagi hari ini.
Kei baru pulang saat Hitoka sudah rapi untuk berangkat ke kantor. Pria itu masih memakai jersey klub lamanya di Sendai, dan Hitoka menyadari bahwa sepatu Kei yang bernada warna hijau banyak mengingatkannya pada sepatu Kei semasa SMA dulu. Banyak hal yang tak berubah dari masa-masa mereka baru saling mengenal dahulu, yang ternyata merupakan tonggak dari masa dewasa yang membentuk mereka. Hitoka tersenyum tanpa ia sadari ketika Kei menyapanya, sesuatu yang seharusnya normal.
"Berangkat sekarang?"
"Iya." Hitoka mencangklong tasnya. "Maaf ya, kutinggal."
"Aku akan menemui Kuroo-san sekitar jam 7 malam." Kei menyeka keringat di kening dan lehernya, Hitoka tak bisa menghentikan matanya memandangi gestur tersebut, dan baru menyadari apa yang ia lakukan ketika Kei menelengkan kepala dan memandang pada matanya.
"Oh—yah. Silakan. Jam 7, seharusnya aku sudah pulang, kecuali ada kerjaan tambahan. Pergi saja tanpa menunggu aku pulang, oke? Pakailah apapun sesukamu. Kalau barang di kamar mandi dan toilet habis, ada stok di kabinetnya, ambil saja. Kalau mau mencuci juga boleh, stok sabunnya ada di lemari yang sama."
"... Oke." Kei mengangguk. "Terima kasih. Selamat bekerja."
"Iya! Aku berangkat dulu, ya." Hitoka lagi-lagi refleks menepuk lembut lengan Kei sebelum pergi, dan Kei dengan cepat membalasnya, mengacak pelan rambut Hitoka sebagai salam ringan untuk melepasnya.
Ketika melangkah keluar dari pintu, Hitoka merasa ada yang berbeda. Rasanya seperti memiliki seseorang yang menunggunya pulang, dan ini tidak biasa bagi penyendiri sepertinya.
Hitoka kembali ke rumah mendekati jam 7, dan ketika ia membuka pintu, Kei yang telah siap dengan kemeja yang rapi menyambutnya di balik pintu, rasanya sungguhan seperti ditunggu oleh seseorang, dan itu cukup untuk membuatnya tersenyum-senyum sendiri hingga Kei pamit pergi. Terlebih ketika ia menemukan bahwa Kei kembali memasak untuk malam ini, meninggalkan sup sayuran untuknya meski sebenarnya pria itu pergi untuk makan-makan setelah ini. Ia begitu terkesan sampai-sampai nada riangnya terdengar oleh ibunya yang kebetulan meneleponnya malam itu.
"Kamu kedengarannya berbeda. Ada sesuatu, Sayang?" Mama berhenti sebentar. "Oh, ya. Katamu ada temanmu, laki-laki, yang akan menginap, apa dia sudah datang?"
"Sudah, Mama. Malah dia yang berkali-kali membuatkanku makanan."
"Eh? Calon bapak rumah tangga yang baik, rupanya?"
"Mama," tegur Hitoka dengan suara sedikit memekik. "Dia teman lamaku. Ingat teman-teman di Karasuno? Tsukishima Kei, yang waktu itu kerja di museum dan main di Sendai Frogs."
"Oh. Oh. Yang tinggi besar itu?"
"Hmm, mm."
"Dia nggak menakutkan? Rasanya dulu kamu takut sama cowok-cowok bertubuh besar, Toka-chan. Sekarang kamu malah satu rumah dengan orang seperti itu."
Hitoka mengambil lagi sup sayur dari mangkuk besarnya, merasakan bahwa masakan ini terlalu enak jika hanya ia makan dalam satu porsi. "Aku sudah besar, Mama. Tsukki-kun bukan orang yang menakutkan, kok."
"Yah, setidaknya kamu sudah pernah belajar bela diri."
"Mama?! Memangnya dia orang jahat?"
"Laki-laki sulit dipercaya, Toka-chan."
"Uh, tapi dia Tsukki-kun, teman lamaku …." Hitoka menyeruput kuahnya lebih banyak lagi, dan akhirnya menumpahkan seluruh sisa sayur tersebut ke mangkuknya, dan menghabiskannya. "Dan masakannya enak. Aku tidak tahu ternyata Tsukki-kun pintar memasak."
"Baguslah. Dia tidak hanya menumpang."
"Tapi aku tulus, kok, menampungnya!"
"Beri tahu saja Mama kalau dia macam-macam, Sayang."
"Macam-macam gimana?"
"Kamu ini, katanya sudah besar?"
Hitoka tertawa pahit. "Aku tahu, Mama, dan aku bisa menjaga diriku. Lagipula, ini Tsukishima Kei, bukan orang asing. Aku tahu apa yang harus kulakukan dan dia juga tahu apa yang harus dia lakukan. Kami sama-sama orang dewasa."
Terdengar jeda yang begitu lama, dan Hitoka mulai yakin ini saat yang tepat untuk menutup panggilan. Namun akhirnya Mama melanjutkan lagi, "Kenapa dia pindah ke Tokyo?"
"Dia dapat panggilan dari salah satu klub besar di sini. Dia mendapat perhatian setelah peringkat klubnya di Sendai naik, dan akhirnya dia memutuskan untuk pindah klub untuk mengasah kemampuannya."
"Jadi sekarang dia pemain profesional?"
"Sejak di Sendai dia juga sudah menjadi profesional, Mama."
"Tapi katamu dia dulu kerja di museum."
"Dia sudah berhenti, karena sekarang ingin fokus di klub yang baru. Tapi dia bilang, jika waktu dan jadwal memungkinkan, dia ingin kuliah lagi di sini. Entahlah. Dia baru satu hari tinggal di sini, biarkan dia menyesuaikan diri dulu."
Jeda lagi. Hitoka maju-mundur untuk memutuskan panggilan, tetapi Mama selalu punya momentum yang lebih tepat. "Mama sedih, Toka-chan. Kamu terdengar dewasa sekali, kamu memang sudah besar. Berapa lama lagi waktumu menjadi anak Mama?" Mama terdengar sendu, Hitoka sulit membedakannya apakah ibunya sungguh-sungguh sedih atau hanya sedang sentimental berlebihan. "Kamu sudah bisa memutuskan banyak hal dan menilai orang lain dengan bijak, oh, sampai kapan Mama bisa menikmati ini sebelum kamu jadi milik orang lain dan jadi seorang ibu?"
"Mama!" Hitoka tidak tahan lagi, dan ia pun meringis, "aku bukan mau menikah besok!"
"Tapi tetap saja, Hitoka. Mama senang dan sedih karena kamu memang bukan anak kecil Mama lagi!"
"Bisa, nggak, biasa saja?"
Minggu tersebut berjalan dengan rutinitas yang masih selalu mengejutkan bagi Hitoka. Ia belum terbiasa bangun mendapati sarapan telah siap di atas meja, dan berangkat bekerja tepat ketika Kei pulang dari olahraga paginya. Hitoka juga meyakinkan Kei untuk tidak repot-repot memasak setiap petang sebelum ia pulang, tetapi Kei selalu melakukannya. Hitoka berpikir bahwa mungkin pria itu senang ketika ia memuji masakannya, tetapi mungkin separuhnya adalah karena Kei merupakan orang yang tahu rasa terima kasih. Mereka teman lama, tata aturan tentang kepedulian dan kepekaan pada satu sama lain telah menjadi bagian yang lama mereka lewati. Mereka saling membantu pada masa SMA ketika Hitoka menjadi manajer mereka dan Kei sebagai senior di tim voli, dan sekarang, ketika mereka dewasa, seharusnya tidak perlu lagi terkejut dengan hal-hal yang telah ada sejak awal.
Hari ini, ia pulang lebih awal dari biasanya, sore Jumat yang entah mengapa lebih damai daripada sepanjang minggu yang penuh badai itu. Ia menemukan Kei duduk di ruang tengah sambil menonton TV, sebuah pertandingan voli dari negara lain ditayangkan di sana. Kei mengedikkan dagu ke arah layar. "Ushijima-san," ucapnya singkat, dan Hitoka pun berhenti di ruang tengah sebelum menuju ke kamarnya. Sebuah pertandingan dari liga di Polandia, rupanya, dan Hitoka mencuri-curi pandang untuk melihat bagaimana Kei menyaksikan pertandingan itu dengan saksama dan nyaris tidak berkedip. Ushijima Wakatoshi, seseorang dari pertandingan saat mereka masih di tingkat satu dan mengubah banyak hal di diri Kei.
Pertandingan belum selesai bahkan setelah Hitoka selesai mandi. Ia sengaja membiarkan Kei dan memaklumi bahwa pria itu tidak memasak hari ini. Ia mulai memilah-milah barang di lemari es dan memutuskan untuk mengolah tofu dan sisa sayuran yang ada. Ketika ia sedang mengiris-iris bahan, Kei tiba-tiba mengejutkannya di sampingnya.
"Acaranya sudah selesai?"
"Babak terakhir."
"Yah, nonton saja sana." Hitoka menjauhkan tangan Kei yang berusaha merebut tofu darinya. "Kamu masak terus belakangan ini. Tsukki-kun boleh istirahat, kok."
"Aku yang menumpang di sini."
Hitoka tergelak. "Memangnya kamu orang asing? Kita teman. Santai saja, kali ini giliranku memasak. Hush, nanti kamu ketinggalan set penting." Hitoka berusaha mengabaikan tatapan Kei yang seolah-olah melubangi pelipisnya ketika ia mencoba untuk mengelak lagi. "Nggak lama. Makanannya simpel aja, kok. Mungkin bakal selesai sebelum pertandingannya selesai."
"Yakin?"
"Sana, sana. Ceritakan padaku nanti permainannya."
"… Oke." Kei pun meninggalkannya, dan dia pun mengacak-acak rambut Hitoka sampai perempuan itu pura-pura mendengus sebal. Dia kembali ke tempat duduknya, dan Hitoka berulang kali memutar momen barusan di dalam kepalanya, bagaimana tangan besar Kei tampaknya begitu senang memanfaatkan perbedaan tinggi badan mereka. Sambil mengiris buah-buahan sebagai penutup hidangan malam ini di minibar, Hitoka mengamati bagaimana Kei menonton; mimik ingin tahunya yang membentuk kerutan pada keningnya begitu jenaka di mata Hitoka, hingga ia pun tersenyum-senyum sendiri. Ia berdiri di sana dan Kei sedang menonton, rumah ini terasa seperti milik bersama, dan Hitoka senang sekali berpura-pura seperti itu.
Jadi seperti ini rasanya membagi hidup dengan seseorang?
Hitoka buru-buru menggeleng dan mengabaikan pikiran yang mulai merambat lebih jauh. Kei adalah temannya, ia tidak mungkin dan tidak boleh mengandaikan lebih jauh.
Hitoka membawa makanan itu ke ruang tengah, menghamparkan taplak kecil sebagai alas, dan mereka berdua menonton sisa permainan tersebut sambil makan malam. Kei tidak bicara sama sekali kecuali seruan terkejut atau marah ketika bola terjatuh dengan cara yang seharusnya bisa dihindari. Dia tampaknya tidak mendukung siapapun, tetapi Hitoka bisa melihat arah pandang Kei yang selalu menilai gerak-gerik Ushijima Wakatoshi saat beraksi.
Pertandingan berakhir dengan kemenangan untuk tim Ushijima Wakatoshi, dan Kei tampak puas meski tak mengatakannya sama sekali. Hitoka menyodorkan piring berisi potongan-potongan mangga untuk Kei, dan mereka menikmatinya bersama, TV berubah menjadi kebisingan yang jauh dan terlupakan.
"Kapan latihan perdana dengan tim baru?" Hitoka mempersilakan Kei untuk mengambil potongan yang lebih besar di piring.
"Belum ada panggilan," tukas Kei, "tapi mungkin, dari pembicaraan malam itu, mungkin sekitar minggu depan atau dua minggu lagi."
"Pasti menyenangkan, tim baru."
Kei hanya mengedikkan bahu. "Siapa yang tahu."
Hitoka mengamati wajah Kei, tidak ada perubahan ekspresi yang berarti. Malah ekspresinya sendiri yang berubah menjadi sendu karena pikiran yang tiba-tiba mengusiknya. "Kamu meninggalkan semuanya di Sendai untuk yang di sini, Tsukki-kun. Seharusnya kamu mendapatkan semua yang terbaik."
Kei mendengus sambil menyeringai tipis. "Biasa saja. Kamu juga sudah melakukannya saat kita baru lulus SMA."
Hitoka mengulas senyum tipis. "Itu berbeda. Saat itu aku baru memulai segalanya dari nol. Sementara kamu, Tsukki-kun, kamu sudah punya segalanya, dan sekarang … kamu memulainya lagi dari awal."
"Ini bukan memulai dari awal." Kei menyodorkan piring buah tersebut, yang berisi dua potong kecil untuk Hitoka. "Aku naik tingkat. Aku datang ke klub yang lebih besar, dan aku ingin kuliah lagi di musim gugur ini."
Senyuman Hitoka memudar sedikit. "Ah, mungkin kamu benar." Ia pun mengumpulkan piring-piring kotor sambil menyuap dua potong mangga terakhir sekaligus. "Semoga kamu bisa lebih bersinar kali ini, Tsukishima Kei. Aku senang sekali bisa sedikit menjadi bagian perjalananmu ke Tokyo." Ia pun mengangkut seluruh piring dan mangkuk kotor ke wastafel tanpa menoleh. Ketika ia mulai membuka keran untuk mencuci, pergelangan tangannya ditahan secara tiba-tiba.
"Biar aku saja." Kei masih menggenggam pergelangan tangannya. "Terima kasih atas makan malamnya."
Hitoka mematung, menatap lurus ke mata Kei tetapi tidak bisa mengatakan apapun, pandangan mereka saling terkunci, dan baru kali itu Hitoka mengamati bagaimana bentuk kacamata Kei yang memakai bingkai lebih tipis, rambutnya yang rapi menutupi keningnya, dan perbedaan tinggi mereka yang begitu jauh. Ia bisa mendengar Kei mengembuskan napasnya dengan berat, dan entah mengapa hal itu mengusik Hitoka dengan cara yang janggal.
Kei pun menarik mundur tangannya. Dia mengulangi lagi. "Kamu, istirahat saja. Biar aku yang cuci piring."
Hitoka lekas-lekas menunduk begitu perhatiannya mulai terarah pada bagaimana Kei membentuk kalimat itu dengan bibirnya, dan ia pun mundur perlahan, membiarkan pria itu mengambil alih, dan ia pun menyibukkan diri dengan membereskan taplak di ruang tengah, mematikan TV, dan mengelap konter dapur.
Betapa menyenangkan, pekerjaan yang dibagi berdua; hidup yang dibagi bersama.
Hitoka terbangun pada pukul setengah tujuh, dan begitu menyadari bahwa hari ini adalah akhir pekan, maka ia pun melanjutkan tidurnya, dan baru terbangun nyaris pukul sembilan, ketika Kei sudah pulang dari berolahraga pagi dan membawakan kue-kue manis dan segelas kopi untuk Hitoka. Hitoka, yang masih terhuyung-huyung karena kantuk, membuka kotak kue itu di minibar dan menatap Kei tidak percaya. "Buatku semua?"
"Aku nggak makan yang manis-manis," dia mengangkat bahu sambil berjalan menuju kamar mandi. "Kecuali jika benda itu strawberry shortcake. Ambil saja semua. Kopinya juga."
"Tapi ini banyak … banget. Apa boleh kubagi dengan orang lain? Tetangga di pintu sebelah sini, Bibi Moritaka, suka sekali kue-kue."
"Bagi saja," Kei menjawab sebelum menutup pintu kamar mandi yang berada di dekat dapur, tak jauh dari kamar Hitoka. Hitoka pun menyisihkan beberapa untuknya, dan membawa sebagiannya untuk tetangga yang ia maksud. Ia sempat mengobrol beberapa saat dengan bibi tersebut, dan kembali tepat ketika Kei baru keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggangnya, dan mereka sama-sama menghentikan langkah begitu menyadari apa yang terjadi.
Mereka bersitatap, dan rasanya seperti selamanya.
Wajah Hitoka memerah, padahal ia dengan penuh kesadaran mengingat bahwa, sebagai mantan manajer klub yang seluruhnya adalah laki-laki, sudah terlalu terbiasa melihat mereka semua berganti baju tepat di depan wajahnya. Seharusnya biasa saja, dan Kei juga bukan orang asing yang belum pernah ia lihat sama sekali. Namun pertumbuhan dan pendewasaan mengubah segalanya. Hitoka menelan ludah, dan segera memalingkan wajah seraya bergumam, "Maaf."
Ia melaju cepat ke kamarnya, yang sialnya masih harus melewati Kei yang mematung di sana, dan aroma wangi sabun lemon yang segar membuatnya kepayang. Kei pada akhirnya melangkah tanpa kata ke kamarnya, dan momen canggung itu baru cair pada menjelang siang hari ketika Hitoka keluar kamar dan melihat Kei sedang mengamati isi lemari es.
Hitoka berusaha menyingkirkan bayangan akan Kei yang bertelanjang dada, tubuhnya yang kokoh dan bahunya yang tegap dengan tetes-tetes air menguarkan wangi menyegarkan, dan tatapan tanpa berkedipnya beberapa jam yang lalu ketika menyapa pria itu. "Tsukki-kun mencari sesuatu?"
"Mungkin kamu mau makan siang?" Dia berdiri tegak seusai membungkuk meneliti laci kulkas. "Aku ingin membuat sesuatu."
"Nggak usah. Hari ini libur, kita makan di luar saja."
Kei mengangkat alis, lantas menutup pintu kulkas. "Kalau kamu maunya di luar, aku menurut saja."
"Sekalian jalan-jalan." Hitoka nyengir, merasa lega ia bisa kembali ke momentum yang biasa karena Kei menanggapinya dengan normal.
"Ke mana?"
Hitoka mengedikkan bahu. "Tsukki-kun maunya ke mana? Aku bisa mengenalkan bagian Tokyo manapun yang kamu inginkan."
Kei pura-pura mendengus. "Kamu kedengaran kayak pemandu wisata."
"Oh tentu saja, kali ini aku adalah pemandu wisata untuk Tsukishima Kei! Kalau kamu sudah biasa jadi pemandu museum, maka lihatlah kemampuanku memandu kota!"
"Memangnya aku nggak pernah ke Tokyo?"
"Ih, kamu! Antusias sedikit, dong."
Kei bersandar pada kulkas, bersedekap, dan Hitoka tidak bisa menghentikan pikiran yang terlintas bahwa pose itu cukup seksi. "Kalau begitu, tunjukkan padaku museum yang paling menarik di Tokyo, selain Museum Nasional Tokyo, karena aku sudah beberapa kali pergi ke sana."
Hitoka membuka mulutnya, nyaris saja menerima tantangan itu dengan jemawa, sebelum menyadari sepenuhnya apa yang diminta oleh pria itu. Ia menutup mulutnya kembali seiring seringai Kei terbit, melebar melihat kekalahannya.
Namun Hitoka telah terbiasa untuk menyelam di dalam tantangan sejak remaja. Ia terbiasa untuk menerima hal yang lebih berat daripada dugaannya sendiri untuk melihat bahwa dirinya bisa, bahwa ia adalah gadis kecil yang bisa lebih keren daripada sekadar pemeran pohon di drama kelas. Ia mengajak Kei ke Museum Hokusai di Sumida. Mereka berhenti di depan gedung dan Hitoka membuat penilaian untuk dirinya sendiri dengan melihat ekspresi Kei saat mendongak mengamati museum tersebut: ia cukup berhasil. Hitoka tersenyum bangga ketika melangkah masuk.
"Hmm. Jadi mereka menyusunnya sesuai dengan alur hidup Hokusai," simpul Kei hanya dengan melihat beberapa jenis pajangan. Dia mengangguk-angguk sembari mereka melewati lagi lukisan raksasa dari Kanagawa-oki Nami Ura untuk kedua kalinya, dan akhirnya mereka pun menaiki tangga. Hitoka melihat Kei membuat catatan mental setiap kali bersinggah di satu macam pajangan, dan Hitoka terenyuh melihat bagaimana Kei mempelajari setiap inci museum dengan hasrat yang sama seperti dia mengamati pertandingan voli. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki semangat yang sama besarnya untuk dua hal yang sama sekali berbeda, saling bertolak belakang, dan punya kekuatan untuk semua itu? Menjadi seorang kurator museum menuntut ketelitian dan kehati-hatian, sedangkan bermain voli membutuhkan ketangkasan dan kekuatan. Tekad dan kemampuan Kei sekokoh fisiknya, dan Hitoka merasa lebih mengecil lagi ketika membandingkan dirinya dengan Kei.
Pada langit yang luas dari bumi yang lapang, bagaimana mungkin bintang yang kecil bersaing dengan bulan yang bersinar terang?
Kei mengakhiri perjalanan di museum itu dengan wajah puas, Hitoka sesekali mencuri tatap pada wajahnya. Kei tidak banyak bicara, tapi senyum tipisnya mengatakan sebaliknya. Hitoka pun berdeham, membuat Kei menoleh sebelum Hitoka memulai bicaranya.
"Aku akan traktir kamu makan," ucap Kei mendahului.
"Karena aku berhasil membawa kamu ke museum yanh cukup menyenangkan?"
Kei menyeringai tipis. "Karena aku lapar, tentu saja."
"Huu." Namun Hitoka juga tidak bisa mengkhianati suara yang bergejolak di perutnya, rasa lapar yang benar-benar mengganggu, yang akhirnya mengantarkan mereka berdua ke sebuah kedai di perjalanan pulang.
Pada minggu berikutnya, di tengah-tengah minggu Kei pulang satu jam lebih lambat daripada jam kerja Hitoka dengan membawa pamflet dari kampus, dan dua kotak pizza. Sambil menikmati makan malam yang hangat itu, Hitoka mengamati program graduate school tentang ilmu seni dan kuratorial yang diminati Kei, dan sekali lagi membandingkan dengan dirinya. Hitoka hanya bisa berkomentar sambil tersenyum, "Kamu keren, Tsukki-kun."
Kei hanya menatap sebentar dari sudut matanya, dan lanjut menuangkan soda ke gelasnya yang penuh dengan balok es batu. "Biasa saja. Hanya bagian dari hidup."
"Tapi nggak semua orang bisa melakukan ini."
"Tapi banyak orang di luar sana yang bisa melakukannya."
Hitoka menopangkan pipi pada tangannya. "Tetap saja, itu nggak mengubah bahwa kamu bisa melakukan dua hal besar sekaligus."
Kei mengerling lagi, Hitoka buru-buru menunduk. Pria itu mendeham sebentar sebelum mengubah topik. "Tadi orang klub meneleponku."
"Oh ya? Kamu sudah boleh ikut bergabung dengan latihan mereka?"
"Belum, tapi mereka hanya mengabarkan—mereka punya asrama untuk para pemain."
"Ah, begitu."
"Aku akan pindah ke sana kalau ada kamar yang kosong dan aku resmi bergabung dengan mereka."
"Kapan tanda tangan kontrak?"
"Minggu depan."
"Oh." Hitoka diam, memandang potongan pizzanya yang dipenuhi oleh potongan pepperoni yang saling bertumpuk. Ia kehilangan kata-kata, menyadari bahwa apartemen ini akan menjadi sepi kembali dan tidak ada hari-hari yang bisa dibagi dengan seseorang.
"Nggak terlalu jauh dari sini. Ternyata asrama mereka itu adalah gedung yang sering kulewati setiap kali olahraga pagi. Cuma lima menit berlari dari sini."
"Dekat juga," seloroh Hitoka, "mungkin sekitar sepuluh menit jalan kaki?"
"Lima belas menit kalau kamu," tukas Kei ringan, membuat Hitoka mengernyit, dan pria itu menambahkan, "karena kamu kan kecil. Kakimu pendek."
"Hei!" Hitoka refleks melebas punggung Kei sambil memekik. Kei cuma mendengus sambil menahan tawa karena sedang mengunyah makanannya. Hitoka lantas mengumpulkan lagi pamflet yang dibawa Kei menjadi tumpukan yang rapi. "Kalau jadwal di pamflet ini nggak berubah, berarti mereka akan mengadakan tes penerimaan akhir bulan ini? Kamu sudah siap dengan berkas pendaftaran?"
"Semua sudah kubereskan sejak sebelum berangkat ke sini."
"Bagus." Diam-diam Hitoka memikirkan betapa detail dan rapinya pria ini dalam mengerjakan sesuatu. Kei tidak pernah kerepotan dengan pelajaran di sekolahnya bersamaan dengan kegiatan klub, sudah sangat jelas terlihat dia akan membawa kebiasaan itu hingga sekarang. Dia akan menjadi atlet profesional dengan latar belakang pekerjaan yang bisa menjaminnya hingga melewati masa pensiun atlet yang sangat dini dibandingkan pekerjaan lain. Kei telah memetakan kehidupannya dengan teliti, dan Hitoka tidak bisa berhenti mengaguminya.
Hitoka baru tersadar dari lamunannya saat Kei menyodorkan kotak pizza kedua pada Hitoka, yang isinya telah berkurang dua potong. Dia hampir menghabiskan satu kotak pizza sebelumnya sendirian, sebuah jumlah yang bisa dimaklumi Hitoka dengan mudah. Hitoka mengambil satu potong, mengunyahnya dengan pelan, berusaha mengabaikan Kei yang melirik ke arahnya.
"Kenapa? Ada sesuatu yang aneh di wajahku?"
Kei menggeleng, membetulkan letak kacamatanya, dan menghindari tatapan Hitoka. "Nggak apa-apa."
Hitoka menyeka sudut-sudut bibirnya dengan jari hingga ke sekitar pipinya. Keningnya berkerut. Tidak ada apa-apa sejauh ini. Tidak ada yang aneh, hanya Kei yang aneh.
Pada suatu tengah minggu yang sibuk, Hitoka terpaksa lembur hingga pukul delapan malam, dan ia sudah mengirim pesan pada Kei untuk tidak memasak untuknya, atau jika Kei membeli makanan di luar, dia tidak perlu menunggu Hitoka untuk menghabiskannya. Aku sudah beli makanan pesan-antar buat lembur, tambah Hitoka, yang kemudian menutup pesannya dengan tujuh emoji menangis.
Ketika Hitoka pulang, ia mendapati Kei sedang membersihkan ruang tengah, memvakum bagian bawah sofa. Hitoka mematung sebentar di ambang pintu, masih terlalu pusing untuk mencerna kejadian di sekitar selain pekerjaan di kantor yang nyaris membuat kepalanya meledak, termangu memandang Kei yang balas menatapnya datar.
"Selamat datang."
Hitoka tersadar dan dengan terburu-buru menyadari kesalahannya, sambil tersenyum canggung ia menyahut, "Aku pulang."
Ia tahu Kei menyembunyikan senyumnya sambil menunduk untuk membersihkan lantai. Hitoka tidak bisa menahan debaran yang membuat perutnya turut bergejolak dan aliran darah naik ke pipinya. Ia melewati punggung Kei dan menepuknya pelan sambil bergumam, "Terima kasih, ya." Hitoka segera berlalu ke kamarnya, dan mengabaikan firasat bahwa Kei sedang menatap punggungnya.
Rasanya menyenangkan sekali ketika ada yang menyambutnya pulang, dan hatinya mencelus memikirkan bahwa ini semua akan berakhir sebentar lagi.
Hitoka pulang tepat waktu pada suatu sore lainnya, membawakan banyak makanan street food mulai dari okonomiyaki, takoyaki, kue-kue kecil manis, hingga buah-buahan untuk Kei. Minibar hampir penuh karenanya, dan Kei tidak bisa menahan diri dari okonomiyaki yang masih hangat itu.
"Makan saja duluan," Hitoka memberinya izin. "Aku mau buru-buru."
Kei tidak sempat bertanya untuk apa buru-buru barusan, Hitoka sudah menghilang ke kamarnya. Kamar mandi Hitoka berada di dalam kamar, tetapi samar-samar Kei bisa mendengar suara air yang jauh. Setengah jam kemudian, setelah Kei menghabiskan porsinya dan sedang makan buah-buahan sebagai penutup, Hitoka keluar dari kamarnya dengan dress biru tua selutut yang tampak lembut, rambutnya ditata rapi, ia bahkan memakai lipstik yang lebih merah daripada biasanya. Kei terdiam sesaat memandanginya, dan aroma wangi vanilla parfum Hitoka membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
"Sori ya, aku keluar lagi." Ia berdiri di sebelah kursi Kei. "Bosku bikin acara ulang tahun buat istrinya, sekaligus pertemuan dengan rekanan-rekanan kami. Acaranya di ballroom hotel, jadi kurasa aku harus mengeluarkan gaun yang berbau lemari ini." Ia mengendus lengan gaunnya baik-baik. "Sudah kusetrika dan kuberi banyak parfum, sih. Sungguhan wangi, kan?"
Kei cuma mengangguk.
"Aku berangkat, ya. Mungkin pulangnya agak malam."
"Hm," Kei berucap singkat. Dia merasa harus mengucapkan sesuatu, tetapi dia masih berusaha memilih kalimat yang tepat. Hitoka telah melangkah pergi, menuju pintu depan, dan Kei masih mematung, diam saja di meja makan, memandangi sosok mungil itu yang kemudian menghilang di balik pintu. Yachi Hitoka, si mungil itu, seseorang yang dulunya gadis kecil penakut dan ragu-ragu akan kemampuannya sendiri, sekarang berada di tengah-tengah arus kota yang selalu cepat, yang bahkan kadang membuat Kei kewalahan dan kebingungan. Yachi bisa melakukannya sendiri, terbiasa, dan sekalipun Kei tak pernah melihatnya mengeluh atas keadaan. Hitoka menceburkan diri di kehidupan urban yang berisik dan iramanya terlalu cepat di usia yang jauh lebih muda dari Kei, dan ia menerima banyak hal dengan tangan mungilnya.
Kei tidak bisa berhenti menatap pintu yang telah tertutup rapat.
Kei memutuskan untuk tidur pukul sebelas, dan hingga dia memasuki kamar, Hitoka belum datang. Kei berusaha menganggapnya biasa saja karena Hitoka pasti telah melewati hal serupa berulang kali tanpa Kei ketahui sebelum ini, tetapi dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana wanita mungil itu, yang memakai pakaian yang begitu indah dan cantik, pulang di malam hari yang sunyi dan berbahaya ini. Ada berapa pasang mata yang mengincarnya? Apakah rekan-rekan kerjanya bisa dipercaya, ketika mereka melihat wanita secantik itu? Apakah sopir taksi yang membawanya pulang akan mengantarkannya dengan patuh, atau memiliki niat lain?
Kei bisa saja memanggilnya sekarang, menanyakan apakah Hitoka perlu dijemput pulang atau sekadar bertanya apakah dia baik-baik saja dan dalam keadaan aman di sana, tetapi siapa dia? Bagaimana jika Hitoka sudah punya janji dengan seseorang di sana, dan orang itu akan mengantarkannya pulang?
Malam itu, Kei menyadari posisinya. Dia tertidur dengan sebuah penerimaan pasrah yang dia harap dia lupakan besok pagi. Namun sesuatu membangunkannya pukul dua belas tepat, dan dia pun keluar kamar.
Hitoka baru saja masuk, berada di ambang pintu sambil melepaskan sandal hak tingginya. Mereka bersitatap, dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kei yang setengah mengantuk itu adalah, "Kamu pulang sendiri?"
Hitoka tertawa kecil. "Berdua." Jantung Kei hampir melompat, dan dia mendadak menyesalinya begitu Hitoka melanjutkannya, "Dengan sopir taksi."
Kei hanya mengangguk, kemudian berbelok menuju dapur, mengambil air minum. Dia sadar Hitoka mengikutinya, dan mencuci tangannya di wastafel. Hitoka minum banyak air di samping Kei, dan Kei pun mengerling. Cuping telinganya tampak memerah, mengantarkan Kei pada satu kesimpulan, "Kamu mabuk?"
"Sedikit." Hitoka menggambarkan dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Padahal aku cuma minum satu gelas."
Kei menahan seringainya. "Jadi kamu nggak kuat alkohol."
"Kuat, kok!" elak Hitoka dengan keras. "Biasanya aku bisa minum anggur lebih dari segelas!"
"… Yang barusan bukan anggur?"
Hitoka berbisik, "Sejenis vodka."
Mata Kei membelalak. "Siapa yang menyuruhmu minum vodka?"
Hitoka menunjuk dirinya sendiri. "Aku penasaran."
"Hei. Lain kali jangan berani-berani mencoba sesuatu yang kamu belum tahu risikonya."
"Mmmm." Hitoka bersandar pada lemari es. "Aku tahu. Makasih, ya."
Kei mengalihkan pandangannya, karena Hitoka dengan wajah memerah dan senyuman yang hanya tertuju ke arahnya tersebut sungguh mengganggunya. Kei pun berbalik, tetapi di saat yang paling tidak diduganya, Hitoka meraih kaos Kei, menggenggam bagian punggungnya. Kei berpaling, mendapati Hitoka tersenyum ke arahnya.
Kei menunggu, tetapi tidak ada satu ucapan pun meluncur dari bibir Hitoka, gadis itu hanya tersenyum. Dia melirik pada kaosnya sebagai isyarat minta dilepaskan, tetapi Hitoka lantas bicara, "Aku senang kamu di sini. Makasih, ya."
Kei mengerutkan kening. "Senang?"
"Ya." Hitoka mengangguk cepat. "Rasanya senang punya teman lama yang bisa diajak berbagi di kehidupan kota yang terlalu merepotkan dan sering menyedihkan ini. Sepi sekali. Tempat ini terlalu besar. Waktu kamu datang, aku senang punya teman berbagi setiap hari."
Kei mengerjap. Pembicaraan di tengah malam, di mana salah satunya berada dalam keadaan setengah mabuk, dia tidak yakin semua ini akan berakhir sesuai dengan perhitungannya.
"Dan Tsukki-kun adalah teman lamaku, orang yang bisa kupercaya. Rasanya senang memiliki bagian lama dari masa mudaku selama ini." Pegangan pada kaos Kei pun melonggar, Kei tidak tahu apakah dia harus merasa lega atau sedih. "Tidurlah. Sori, mengganggu. Aku juga bakal langsung tidur setelah ini."
Kei berangkat tidur dengan perasaan yang tidak pernah bisa diduganya sebelumnya.
Sore menjelang akhir minggu yang hening, Kei mendekati Hitoka yang sedang membuat smoothie di dapur, setelah ia pulang bekerja. Dia mengamat-amati gadis itu sebentar sebelum akhirnya mulai bicara.
"Tadi siang aku pergi ke kantor klub." Dia berdiri tepat di samping gadis itu. "Tanda tangan kontrak."
Hitoka mendongak ke arahnya dan menyunggingkan senyuman antusias. "Oh ya?"
Kei mengangguk. "Besok Minggu aku akan ikut latihan perdana." Dia mengedikkan bahu. "Dan aku sudah diperbolehkan memakai kamar asrama."
Senyuman Hitoka memudar, dan ia termangu selama beberapa saat, sebelum mengangguk secara naluriah. "Bagus. Aku turut … senang. Selamat bergabung di klub barumu, Tsukki-kun. Akhirnya—satu langkah baru lagi."
Kei bergeming, tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya. Dia mengangguk seperti cermin dari gestur Hitoka, dan mereka berdua berhadapan dengan canggung selama beberapa waktu. Hitoka akhirnya tertawa kecil. "Selamat datang di impianmu yang lain. Senang sekali setiap kali aku melihat teman-temanku dulu sudah memiliki apapun yang mereka inginkan sekarang."
"Kamu sendiri?"
Hitoka tercenung.
"Kamu sendiri, bagaimana?" Kei mengulanginya. Tangannya mengepal lebih erat. Tidak dia tahu, hati seorang gadis mungil baru saja mencelus karena ini adalah kali pertama seseorang bertanya padanya tentang bagaimana perasaannya akan pilihan hidup yang telah diambilnya. Kei menunduk, menyamakan tatapan mereka.
"Aku … baik-baik saja." Hitoka memperlihatkan senyuman menenangkan. "Beginilah hidupku. Aku bekerja di tempat yang mungkin sesekali terasa berat, tetapi aku masih bisa menikmatinya. Tempat itu sesuai dengan kemampuanku, dan … yah, aku merasa cukup."
Kei menutup mata sesaat, kemudian mengangguk. "Bagus." Dia pun berbalik, merasa tidak ada yang bisa dia ungkapkan lagi, tetapi Hitoka menahannya.
"Tsukki-kun."
Dia berpaling lagi.
"Terima kasih."
Kei menggeleng. "Aku yang harus berterima kasih." Kamu sudah memberiku banyak hal, memberiku tempat—tetapi tidak satu pun kalimat itu bisa keluar dari bibirnya. Dia benci melihat dirinya sendiri terpaku bingung hanya karena seorang gadis baru saja berterima kasih padanya.
Mengisi suasana canggung tersebut, Hitoka pun tertawa renyah. Ia menarik kedua tangan Kei dan menggenggamnya, terlalu besar untuk tangannya yang mungil. Kehangatan menjalar ke tangannya, merambat hingga ke pipinya, dan ia menerima semua gejolak rasa yang tidak bisa berhenti membuat jantungnya berdebar-debar. Hitoka pun menatapnya dengan mata berbinar-binar, "Terima kasih sudah menjadi temanku. Aku jadi mengerti bahwa berbagi dengan seseorang itu selalu menyenangkan. Termasuk berbagi tentang bagian hidup kita yang terkecil sekalipun."
Kei berkemas pagi-pagi sekali, menyelesaikannya pukul enam pagi. Dia berpikir mungkin Hitoka belum bangun, tetapi ketika dia keluar dari kamar, perempuan itu telah berada di dapur, mengisi sebuah stoples bening dengan kukis yang baru dikeluarkan dari pemanggang. Mereka bersitatap dan Hitoka mengangkat stoples tersebut dengan cengiran lebar di wajahnya.
"Apa itu?"
"Buat kamu." Ia menyodorkan stoples tersebut di minibar. "Tenang, ini bukan kue manis. Agak asin, karena rasa keju. Aku sudah menyesuaikannya dengan seleramu, kok. Tapi kalau kamu memang kurang suka, bagikan saja dengan teman-teman barumu." Ia bertopang dagu di minibar, "Kata orang-orang, cara berteman paling mudah adalah dengan makanan."
Kei mengambil stoples tersebut. "Terima kasih."
"Santai saja. Kita teman, kan?" Hitoka pun mengitari minibar dan berdiri di hadapan Kei. Kei benci dirinya tidak bisa mengatakan bahwa Hitoka terlihat lucu dan menggemaskan dengan apron kuning bermotif bunga matahari itu, dengan rambut dikepang longgar dan wajah dinodai tepung. "Ada yang bisa kubantu untukmu bersiap-siap?"
"Semua sudah siap. Aku akan berangkat pagi ini juga. Jam tujuh."
"Oh, lima belas menit lagi!" Hitoka pun melepaskan apronnya, merapikan kepang rambutnya, dan mencuci tangannya. "Aku akan mengantarkanmu ke bawah."
"Nggak perlu—"
"Aku perlu repot-repot buat kamu, kamu temanku!" Hitoka mengibaskan tangannya yang baru saja dicuci. "Sebentar ya, aku mandi dulu. Masih sempat, kan?"
Kei tidak sempat mencegahnya, Hitoka telah melesat ke kamarnya. Kei akhirnya membawa stoples kue barusan ke dalam kamar, memasukkannya ke dalam sport bag yang sudah bertengger rapi di atas kopernya. Jauh di ujung apartemen, bunyi air pun berhenti, Hitoka benar-benar mandi dengan kecepatan seperti kilat. Perempuan itu keluar dari kamarnya bersamaan dengan Kei yang membawa barang-barangnya, dengan aroma wangi yang membuat kepala Kei seolah-olah berkabut. Mereka turun bersama, Hitoka mengajaknya bicara tentang antusiasme Hitoka sendiri akan tim baru Kei, Kei hanya menanggapinya pelan dan sesekali. Hitoka ingin memanggilkannya taksi, tetapi Kei menganggapnya konyol, karena baginya jarak itu terlalu dekat untuk ditempuh dengan kendaraan. Aku bisa berjalan kaki saja, katanya, dan akhirnya Hitoka pun mengalah.
"Sampai jumpa," Kei berpamitan, mengacak rambut Hitoka, dan Hitoka pun segera menangkap tangan Kei.
"Jangan lupa berkunjung sesekali." Hitoka mengeratkan genggamannya. "Langsung masuk saja. Aku nggak akan mengubah kode kuncinya."
Kei tidak bisa menahan diri dari tersenyum. "Aku berutang padamu."
"Jangan menganggapnya utang. Kita teman dan seharusnya saling bantu, kan?"
Kei pun melepaskan tangan Hitoka dengan berat hati, sembari menghela napas dia pun melambaikan tangan dengan canggung. Hitoka membalasnya dengan riang, dan Hitoka tidak menghilang dari sana sampai Kei berbelok di persimpangan jalan.
Ada ruang kosong yang ironisnya menyesakkan karena kepergian Kei. Hitoka masih merasa seseorang menunggunya pulang setiap sore, dan kecewa pada dirinya sendiri ketika mendapati apartemen ini kosong, senyap seperti biasanya. Sesekali ia makan di depan TV dengan taplak yang dihamparkan di lantai, sembari menonton pertandingan voli apapun yang disiarkan oleh kanal mana saja di seantero dunia, berpura-pura seseorang ada di sampingnya untuk mendengarkan komentar-komentarnya untuk permainan itu.
Berbagi setiap inci kehidupan pada orang yang tepat itu menyenangkan, tetapi ketika ruang berbagi itu telah kosong, rasanya lebih menyesakkan daripada sekadar hampa.
Oleh karena itu, Hitoka kelewat riang pada suatu siang ketika Kei mengirimi pesan, meminta izin untuk memasuki apartemennya untuk belajar. Ia tidak sabar untuk pulang, mengejar bus pertama yang ia lihat sejak keluar dari kantor, dan berjalan cepat sampai ke apartemennya. Ia tidak tahu betapa menyenangkannya seseorang yang menanti di rumah sampai ia merasakannya sendiri, dan ketika kehilangan, ia tidak ingin melepaskannya lagi. Sampai kapanpun, jika bisa. Ia tumbuh dengan ibu tunggal yang bekerja keras demi dirinya, yang jarang berada di rumah untuk menyambutnya, dan sekarang setelah ia mencecap manisnya—ia berharap rasa sedih masa kecilnya tidak pernah terulang lagi.
Dengan ceria ia membuka pintu dan nyaris memekik, "Aku pulang!"
Kei berada di lantai ruang tengahnya, buku-buku bertumpuk di lantai, pria itu memakai hoodie ungu tua dengan motif bintang kuning besar di depan, menatapnya tanpa sedikit pun rasa terkejut, seolah-olah ini adalah bagian dari rutinitas, dan Hitoka lebih senang menganggapnya begitu. "Selamat datang," gumamnya sambil mengembalikan perhatiannya pada buku.
Hitoka segera duduk bersila di hadapannya, tidak peduli bahwa ia belum berganti baju dan tas kerjanya dijatuhkan begitu saja di lantai. "Kamu belajar? Di sini? Memangnya ada apa di asrama?"
"Kurang tenang," Kei beralasan.
"Kalian bisa dengan bebas keluar-masuk?"
"Ya. Tidak ada aturan khusus. Hanya ada separuh anggota tim yang tinggal di sana, yang dari luar daerah Tokyo. Kebanyakan dari anggota sudah punya tempat tinggal sendiri."
"Begitu." Hitoka mengintip pada materi belajar Kei. Hanya sebuah buku kompilasi soal-soal tes masuk graduate school berbahasa inggris. Sisanya, yang bertumpuk di lantai, sepertinya buku materi utama kuliah Kei sebelumnya. "Mau kumasakkan sesuatu?"
"Aku sudah makan. Aku bawakan untukmu di sana." Kei mengedikkan kepalanya ke arah minibar.
"Kei baik banget," celetuk Hitoka sambil terkekeh, yang membuat Kei meliriknya tajam. Perempuan itu pun bangkit berdiri, "Aku mandi dulu, ya. Thanks makanannya!"
Hitoka kembali lima belas menit kemudian, dan membawa serta makanan yang dibelikan Kei. Ia makan dengan tenang sambil menemani Kei yang belajar tanpa suara, sesekali mengintip isi buku yang dibawa pria itu. Keheningan yang dibagi berdua ini terasa lebih mengisi daripada apapun, dan perlahan Hitoka mengerti bahwa ketika kita ingin membagi hidup kita dengan seseorang, bahkan sekadar membagi keheningan pun terasa menyenangkan.
Kei memutuskan untuk berhenti di pukul setengah sembilan malam, menutup dan mengemasi buku-bukunya. Dia berpamitan dan Hitoka mengantarkannya sampai ke lantai bawah, melihatnya menjauh sampai ke persimpangan dan ia tidak pernah merasa seantusias ini melepas seseorang, karena ia sadar bahwa kepergian itu adalah penanda bahwa Kei akan kembali lagi, dalam waktu dekat, yang selalu dinantikannya.
Kei sudah menyadari bahwa langkahnya kali ini memang tentang naik tingkat dan menghadapi tantangan yang mungkin akan lebih berat lagi. Tokyo dan segala persaingannya, tingkat kemampuan diri yang jelas berbeda karena pengalaman yang lebih banyak di liga yang lebih kuat, Kei tahu dialah yang harus berlari lebih kencang kali ini. Orang-orang muda datang dengan lebih banyak bakat dan kesempatan mengasah pengalaman yang lebih besar, dan dia menyadari bahwa dia memang tak semuda dulu. Bukan lagi anak enam belas tahun yang baru saja memulai kehidupan klubnya. Dialah yang harus mengangkat beban lebih berat sekaligus berlari lebih cepat.
Dua kali pertandingan resmi bersama klub di tingkatan yang setara, mereka belum mempercayai Kei untuk menjadi starter. Satu-satunya alasan mengapa Kei tidak mengizinkan Hitoka untuk menontonnya meski perempuan itu selalu menagihnya kapan pertandingan pertamamu? Di mana? Aku akan menyempatkan untuk nonton! Dia berusaha mengelak dengan berbagai alasan, karena, bagaimana mungkin dia menunjukkan sebuah awal yang kurang sempurna untuk gadis yang ingin dia perlihatkan segala yang terbaik?
Namun tentu Hitoka bisa dengan mudah menemukan jadwal resmi dari internet, dan ia dapat membaca Kei semudah mengamati garis telapak tangannya sendiri,
"Apakah karena kamu bukan starter?" tanyanya pada suatu malam, saat Kei menumpang belajar lagi di sana.
Kei menghindari tatapan Hitoka yang sedang memandanginya dengan mata bulatnya yang jenaka, bertopang di atas lututnya yang menekuk. Piyama merah jambunya terbuat dari kain seperti satin yang mengilap, pasti lembut seperti pipinya yang merona itu; Kei begitu ingin menyentuhnya dengan cara yang membuat pria itu gelisah.
"Ya kan, Tsukki-kun?" Hitoka tertawa ringan, seperti menenangkan. "Memangnya kenapa? Aku akan tetap menontonmu."
Kei masih bungkam. Tidak mungkin egonya membiarkannya bicara soal ketidakinginannya untuk memperlihatkan bahwa dirinya belum menjadi siapa-siapa di klub tersebut.
"Aku akan tetap nonton lewat streaming."
"Tonton saja," jawab Kei datar, berusaha terlihat tidak peduli.
"Kamu jadi starter atau jadi cadangan saja, aku nggak peduli. Aku akan tetap bangga, kok."
Kei membalik halaman buku yang sedang dipelajarinya tanpa bisa mencerna apapun dari halaman sebelumnya.
"Tsukishima Kei."
Kei mengangkat pandangannya sebagai isyarat menjawab.
"Bagaimana bisa, kamu bermain voli sambil melakukan semua ini?" Tangannya menunjuk pada buku-buku yang dibawa oleh Kei. "Aku sadar, kemampuan belajarku sendiri sudah nggak sekuat dulu." Ia tertawa getir. "Kita sudah tua. Rasanya tidak semudah saat SMA dulu, aku perlu membaca bahan pelajaran dua kali sebelum benar-benar menyerapnya ke dalam pikiranku."
"Itu karena otak dewasa kita telah mempelajari dan membentuk kebiasaan lain seiring waktu. Kita juga punya lebih banyak tanggung jawab sekarang. Waktu SMA, pekerjaan kita cuma belajar. Kita lebih mudah fokus."
"Hmm, mungkin itu benar."
"Aku bermain voli dengan tubuhku. Aku mempelajari ini dengan pikiranku. Memori otot dan memori pikiran."
Hitoka terkekeh. "Kompartementalisasi otak yang bagus."
"Aku hanya merasa perlu mengasah keduanya."
"Kamu luar biasa." Hitoka mengambil sebuah buku, membuka halaman demi halamannya dengan cepat seperti mesin penghitung uang. "Nggak setiap hari aku menemukan orang seperti kamu."
Kei mendengus. "Kamu harus memperlakukanku dengan spesial."
"Oh ya? Tentu saja. Kamu mau makan apa malam ini? Akan kumasakkan, atau kubelikan?"
"Tidak boleh makan di atas jam delapan malam."
"Ah, diet yang ketat sekali. Padahal fish and chips jam segini enak, lho."
"Kamu saja sendiri," cibir Kei.
"Eh, serius. Kamu mau apa? Bilang saja."
Kei menggeleng. "Jangan dianggap serius."
"Mmm, padahal aku mau membantu perjuanganmu."
Kei mengangkat pandangannya sebentar. "Kenapa kamu mau membantuku?"
Hitoka mengangkat bahu. "Ya karena memang ingin. Bukankah menjadi bagian dari perjuangan seseorang itu menyenangkan?"
Kei mengernyit.
"Karena aku sudah nggak tahu apa yang harus sungguh-sungguh kuperjuangkan dalam hidupku, Tsukki-kun," tanggap Hitoka dengan suara yang pelan, membuat Kei berhenti membaca dan seketika saja melupakannya. "Aku sudah melewati bagian itu. Aku sadar seiring waktu, yang kucari adalah ketenangan, kestabilan. Namun lama-lama, aku merasa butuh memperjuangkan sesuatu lagi. Tapi, apa? Aku sudah berada di titik yang kuinginkan dalam hidupku, tapi kalau tidak ada tantangannya—rasanya cukup hambar …."
Kei, sepanjang usianya, tidak pernah memikirkan dan merenungkan masa dewasanya sedalam yang barusan Hitoka ucapkan. Kebersamaan yang Hitoka tawarkan di hari-hari pertamanya menjadi landasan yang nyaman sebagai permulaan, dan sekarang kalimatnya menenggelamkan Kei dengan cara yang tak pernah dia alami sekalipun dalam hidupnya.
"Dan kalau dengan membantumu aku bisa merasakan tantangan itu juga," Hitoka menutup buku yang dimainkannya dan memeluknya, ia bersandar pada sofa dan mendongak menatap langit-langit, "maka aku dengan senang hati akan melakukan apapun."
Kei mengerjap. Dia, satu jam kemudian, melangkah keluar dan berpamitan dengan perasaan yang jauh berbeda daripada saat dia datang pada petangnya. Tidak akan ada yang sama lagi setelah malam ini, dan Kei merasakan ketetapan hati yang luar biasa.
Kei membiarkan Hitoka datang pada suatu pertandingan melawan tim tamu dari Osaka, dan meskipun dia lagi-lagi bukan starter, Kei masuk di set-set terakhir dan salah satu blocking yang dia lakukan berhasil menjadi poin kunci untuk kekalahan lawan. Dia bisa melihat seseorang dari bangku penonton bangkit berdiri lebih dulu dari yang lain, bertepuk tangan riuh yang kemudian digemakan oleh deretan penggemar lainnya. Matanya hanya tertuju pada penonton tersebut, dan ketika gadis itu mengacungkan kedua jempolnya, dia menyeringai di tepi lapangan dengan puas.
Betapa menyenangkan membagi kemenangan kecil bersama orang lain, membagi kehidupan dengan seseorang yang tak asing. Dia membiarkan Hitoka mengetahuinya, terutama pada suatu sore ketika gadis itu meneleponnya.
"Aku sedang beres-beres," tukasnya, "kamu meninggalkan baju-bajumu di lemari ini?"
"Sengaja kutinggalkan beberapa di sana."
"Kapan?"
"Terakhir kali aku ke sana." Yang berarti, kemarin sore. Kemarin Hitoka lembur, dan mereka hanya bertemu setengah jam, ada banyak hal yang sempat dilakukan Kei di sana sebelum Hitoka pulang, termasuk memasak. Kemarin adalah jadwal libur dari latihan klub, Kei punya banyak waktu luang.
"Oh." Hitoka terkekeh pelan. "Kenapa?"
"Supaya gampang."
"Apanya yang gampang?" Kedengaran dari tanggapan itu, Hitoka hanya pura-pura tidak tahu.
"Supaya aku bisa sering-sering numpang mandi di sana."
"Kamu boleh mandi kapan saja di sini." Lagi-lagi, ia tertawa renyah.
Kei terdiam dan menyadari bahwa candaan tersebut cukup berbahaya, dan hal itu bersambut, membuatnya enggan memikirkan lebih jauh.
"Um, Tsukki-kun."
"Hm."
"Lusa kamu ujian masuk, kan?"
"Ya."
"Aku mungkin harus pergi keluar kota, menemani atasanku rapat. Dua hari. Maaf, ya, nggak bisa mengantarkan."
"Nggak masalah." Semua yang kamu lakukan sudah cukup. "Aku bisa berjuang sendiri."
Hitoka terkikik. "Aku tahu. Selamat berjuang, Tsukki-kun. Nanti aku telepon lagi, ya."
"Ya. Selamat malam."
"Malam, Tsukki-kun. Semoga kamu memimpikan semua hafalanmu." Ia terkekeh sebelum benar-benar mengakhiri panggilannya.
Kei menatap ponselnya cukup lama setelah panggilan itu berakhir dan menyadari bahwa foto yang Hitoka pajang di profilnya sangat indah, fotonya di tengah padang salju Hokkaido yang dingin, sementara senyumnya begitu hangat.
Mungkin ada bagian kehidupan yang tidak pernah tercipta untuk disesali.
Berangkat ke Tokyo dan mengubah cerita hidup mereka sendiri adalah salah satunya. Berlaku untuk keduanya; Hitoka, untuk kehidupannya yang lebih berwarna dan pada akhirnya bisa membantu Kei, dan Kei, untuk tantangan yang baru dan merasakan warna yang disukai Hitoka.
Kei diterima di sekolah pascasarjana untuk ilmu seni dan kuratorial, sesekali menjadi starter dan sesekali duduk di bangku menanti giliran. Klub berada pada peringkat yang stabil, dan dia masih sering datang ke apartemen Hitoka, kali ini adalah untuk mengerjakan tugas dan membuat rancangan penelitian. Dia hanya membuat-buat alasan bahwa belajar di apartemen Hitoka lebih tenang, karena pada faktanya asramanya sendiri adalah tempat yang sepi dan dia memiliki kamar sendiri, anggota tim yang memanfaatkan akomodasi semakin sedikit. Kenyamanan adalah hal yang utama. Teman-teman satu timnya adalah kawan berjuang untuk satu hal, sementara bersama Hitoka, dia bisa merasa punya teman berjuang untuk banyak hal lainnya.
Membagi perjuangan bukan soal membagi beban saat berjalan, tetapi soal memandangi sekeliling bersama.
"Jadi proyekmu adalah mencoba untuk membuat display yang lebih atraktif, tetapi sederhana dan bertema futuristik?" Hitoka menurunkan kertas berisi coretan kasar Kei dari depan wajahnya. "Untuk sebuah sport museum?"
"Kurang lebih seperti itu."
"Tapi kamu banyak mengambil sampel dari museum luar negeri."
"Karena museum dan perpustakaan yang bertemakan olahraga, yang saling terintegrasi, hanya ada satu di Jepang."
Hitoka mengernyit. "Yang di—oh, sori. Itu museum olimpiade. Sejarah Jepang dalam olimpiade."
"Spesifik, tidak general."
"Tapi kurasa ada sesuatu di Universitas Waseda yang seperti ini? Aku ingat karena kantor kami pernah menerima anak magang dari Waseda, dan dia memperlihatkan proyeknya mendesain ulang museum di kampusnya."
"Itu museum kampus, kan?" Kei mengalihkan perhatian sebentar dari laptopnya. "Kembali ke yang sebelumnya, itu spesifik. Bukan general."
Hitoka menatap lagi konsep tersebut dengan rasa penasaran sekaligus heran. Kei menjembatani dua dunianya sendiri, dan Hitoka mengingat sendiri ucapannya waktu itu: tidak setiap hari ia bisa menemukan seseorang seperti Kei. Tidak semua orang punya kesempatan memiliki seseorang seperti Kei.
Sekarang bagaimana caranya, agar Kei selalu berada di sini?
"Kamu mau kubuatkan sesuatu?"
Kei mengangkat alis. "Kamu selalu menawarkan diri begitu. Bukannya kamu sendiri pula yang bilang bahwa aku bebas melakukan apapun sendiri di sini?"
Hitoka tertawa masam. "Aku cuma ingin membuat diriku berguna."
Kei mengedikkan dagu. "Kamu sudah berguna."
"Dengan duduk diam seperti arca begini?"
Kei mendengus pelan, menahan tawa yang janggal.
"Ya sudah. Aku mau ke bawah saja. Beli onigiri di toko itu. Aku lapar." Hitoka pun menyambar kardigannya yang tergeletak begitu saja di atas sofa. Ia melesat menuju pintu, dan saat membukanya, Kei tiba-tiba memanggilnya. Hitoka mengangkat alis.
"Seperti biasa."
"Iya, iya., strawberry shortcake yang biasa, kalau mereka masih punya stok," Hitoka pun pura-pura mencebik. Hitoka lantas bergumam, yang ia pikir tidak disimak Kei padahal pria itu mendengar hingga akhir, badannya besar, hobinya kue yang imut-imut.
Hitoka kembali ke apartemennya sambil bernyanyi ringan, membawa dua karton jajanan ringan untuk dibagi, dan tiba-tiba saja, sebuah penyadaran membanjiri benaknya: bahwa semua ini sama saja seperti sebuah pengabdian. Pengabdian adalah bagian dari kesediaan untuk membagi hidup, dan ia kembali ke sisi Tsukishima Kei dengan perasaan yang tak pernah lagi sama.
Bahwa diam-diam, benaknya, batinnya, telah membuat ketetapan dan tekad yang tidak bisa ditarik mundur lagi.
Rasanya seperti enam belas, tujuh belas, dan delapan belas lagi. Hitoka memberikan handuk cadangan pada Kei yang baru saja menyelesaikan sebuah pertandingan persahabatan dengan tim tamu. Hitoka menunggunya di luar gedung, dan Kei memisahkan diri dari timnya hanya untuk menemuinya. Rasanya seperti anak SMA yang membiarkan dirinya ditangani oleh manajer klub lagi. Menyenangkan berpura-pura bahwa mereka masih menghadapi dunia sesederhana cara pandang mereka saat SMA dahulu.
"Pertahanan yang bagus. Libero kalian juga energinya lebih daripada yang biasanya. Tapi sayang sekali, tadi di set kedua seharusnya ada block yang bisa saja menjauhkan gap kalian."
"Akan kuperbaiki di cara pertahananku sendiri." Kei menyeka wajahnya dengan handuk yang dibawakan Hitoka, sementara handuknya sendiri menganggur di dalam tas yang dicangklong di bahunya. Dia melipat baik-baik handuk itu sebelum menyerahkannya lagi pada Hitoka.
"Teknikmu sudah bagus, kok. Itu cuma masalah momentum saja, kurasa."
"Mm. Malam ini kamu nggak ke mana-mana?" Kei melepaskan kacamata khusus olahraganya, dan menggantinya dengan kacamata biasa yang dia ambil dari dalam tasnya.
"Nggak ke mana-mana. Mau bikin model tiga dimensi itu, kan? Kutunggu."
Kei berhenti sejenak, tampaknya mengubah pikirannya. "Sebentar. Kalau diizinkan, aku akan langsung ke sana saja. Aku numpang mandi di tempatmu saja."
"Begitu lebih bagus." Hitoka nyengir lebar. "Bilang saja ke manajermu dulu. Kutunggu di sini."
Kei pergi, dan Hitoka menunggu sambil bersandar di tembok luar gedung. Pemain lawan pulang dengan bus besar mereka, dan beberapa orang dari tim Kei memisahkan diri. Sebagian pulang dengan bus akomodasi, sebagian dijemput oleh keluarga mereka karena menurut Kei mereka mendapat libur tiga hari dari latihan rutin setelah ini, beberapa lagi menunggu di sekitarnya. Hitoka tersenyum pada salah satunya yang kebetulan bersandar di dekatnya, baru saja selesai menelepon.
Hitoka membungkuk ringan ketika orang itu juga membungkuk padanya. Wing spiker, starter, Hitoka mengingatnya dengan jelas. Dia pun tersenyum. "Pacarnya Tsukishima-san, ya?"
"Eeh?" Hitoka tertawa canggung. "Bukan. Aku teman SMA-nya."
"Oh, maaf. Kukira Tsukishima-san punya pacar. Soalnya dia setiap kali keluar, selalu bilang ada janji. Kupikir dia berkencan."
Hitoka menggeleng sambil menahan hatinya yang tiba-tiba mencelus. "Dia kuliah, kan. Jadi mungkin itu maksudnya janji dengan dosen untuk proyeknya."
"Kalau kuliah, aku tahu. Tapi kurasa tidak sesering itu. Kupikir dia memang punya pacar. Aku pernah mendengarnya membantu mengatur strategi sebelum bertanding, dan kapten kami mengomentari mengapa dia sangat bersemangat hari itu. Dia bilang karena dia harus membuktikan sesuatu pada seseorang hari itu."
"Oh ya?" Hitoka berusaha untuk tidak membuat praduga, dan mengikuti saja arah pembicaraan itu. "Dia memang teliti sejak dulu. Strategi yang dia bantu buat sejak kami di klub dulu sering berhasil."
"Begitu. Pantas saja kami bisa menang melawan tim tamu dari Osaka waktu itu."
Hitoka memilah ingatan tentang pertandingan tim ini melawan tim dari Osaka, dan sepanjang pengetahuannya, mereka baru sekali bertemu dengan tim tamu tersebut, dan Kei menjadi salah satu pemain kunci dari tengah-tengah hingga akhir permainan. Ia tidak sempat memikirkan lebih banyak tentang hal itu karena tiba-tiba saja Kei berada di sampingnya, menatap dirinya dan sang wing spiker itu dengan kerutan tipis di keningnya.
"Aku sudah dapat izin. Ayo." Dia hanya mengangguk pada rekan setimnya tersebut, kemudian mendorong Hitoka pelan dengan tangan pada punggungnya, yang tak lepas-lepas bahkan sampai mereka jauh melangkah, dan Hitoka tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya, yang terus menjadi irama yang seolah-olah normal setiap kali Kei berada di dekatnya sampai malam tiba. Fakta bahwa ia harus mengerjakan sesuatu bersama Kei malam ini hanya memperparah suasana hatinya sendiri.
Kei berada tepat di sampingnya, Hitoka bisa mendengar suara napasnya ketika ia membantu Kei mewujudkan model interior ruang pajang yang dirancangnya untuk proyeknya dengan perangkat lunak yang ada di laptopnya.
"… Ini. Maksudku yang ini. Apa bisa—hei, kamu dengar, nggak?" Kei memainkan tangannya di depan wajah Hitoka.
Hitoka mengerjap cepat. "Oh. Maksudnya? Sori, sori. Aku nggak nyimak." Hitoka mendongak, wajah Kei begitu dekat dengannya, dan, oh, sudahkah ia memikirkan lebih lanjut soal dada bidang Kei yang pasti kokoh dan hangat untuk disandari, ia memikirkannya lamat-lamat—pasti nyaman sekali. Ia sampai meneguk ludahnya, dan jantungnya terasa seperti berhenti sesaat ketika ia menyadari Kei menangkap basah dirinya melakukan itu.
Untungnya, pria itu memilih untuk (pura-pura) tidak mempedulikannya, dan menunjuk lagi pada layar laptop Hitoka. "Bidang ini. Bisa dibuat lebih luas, nggak? Kurasa ini bidang utama dari ruang pajang, pusat perhatian. Sesuatu harus dibuat mencolok di sini."
"Oh. Kuubah pengaturan ukuran bidang lain dulu. Mau dibuat warna berbeda? Kalau menurutmu di sini titik atraksi, dia harus dibuat mencolok secara visual. Sebentar, kuubah jadi abu-abu dulu, kira-kira bakalan terlihat stand out apa nggak?" Hitoka pun sibuk mengubah beberapa poin di pengaturan, mencocokkannya dengan pratinjau, dan mengubahnya lagi ketika ia rasa ada yang janggal. Ia terlalu berkonsentrasi hingga terhanyut, tidak menyadari tubuhnya secara naluriah mencari sesuatu sebagai penopang, dan Kei juga terhanyut pada suasana, mendekat pada Hitoka—dan berakhir menjadi sandaran Hitoka.
Selama beberapa saat, tidak ada yang menyadarinya, sampai kemudian mereka menoleh secara bersamaan, dan napas Hitoka nyaris tertahan di tenggorokannya. Kei bernapas dengan lebih berat ketika mata mereka berserobok, dan bola matanya bergerak liar dari mata, bibir, hingga kemudian ke mata Hitoka lagi. Lima detik itu terasa seperti selamanya, dan intensitas suasana baru pecah ketika suara serak Hitoka membuyarkannya, "Begini?"
Kei terkesiap, dan segera kembali memandang layar. Dia mengangguk, tidak bisa meyakini pikirannya sendiri soal desain itu lagi. Dia juga berdeham, nyaris bersamaan dengan Hitoka, dan mereka menciptakan sedikit jarak demi kewarasan dan keberhasilan desain ini. "Begitu cukup."
Tidak, tidak ada yang cukup malam itu selain desain itu. Tidak ada yang cukup soal perasaan, soal kedekatan, dan soal harapan.
Semuanya tidak cukup sampai di sini.
Pada suatu akhir minggu di akhir bulan yang tenang, Kei menelepon Hitoka, memintanya untuk tidak ke mana-mana hingga malam. Aku ingin membawakan sesuatu, ucapnya, yang membuat Hitoka penasaran. Kei selalu membawakan sesuatu setiap kali datang ke apartemennya, lantas apa yang membuatnya berbeda kali ini?
Kei datang dengan daging-dagingan yang terlihat mahal, buah-buahan yang Hitoka tahu harganya lumayan tinggi, dan sebotol wine yang tidak mungkin murah pula. Ia nyaris saja membuat candaan yang tidak sesuai tempat, mengatai Kei kenapa kamu malah bikin fancy dining di sini dan bukannya mengajakku jalan-jalan saja, karena wajah Kei cukup serius.
Mereka menghamparkan makanan itu di lantai, Hitoka sekarang memiliki taplak yang lebih lebar dan berwarna indah, kuning lembut yang sebenarnya lebih cocok untuk piknik di luar ruangan. Ketika seluruh makanan telah siap untuk disantap, barulah Kei mengeluarkan alasan sebenarnya, yang berwujud sebuah surat yang dikeluarkannya dari dalam tasnya.
"Sebenarnya, aku membuat perayaan, karena ini."
Hitoka membukanya dengan cukup tegang. Ia membaca cepat seluruh bagian surat dan langsung menuju ke intinya, bahwa surat tersebut adalah panggilan kepada Tsukishima Kei untuk bergabung dengan tim nasional.
Hitoka memandang surat itu dan wajah Kei bergantian, dan begitu penyadaran akhirnya memenuhi logikanya, Hitoka memekik girang, dan tanpa ragu-ragu menyerbu Kei dengan pelukan pada lehernya, tidak peduli pada makanan di antara mereka, dan ia pun tertawa gembira.
Hal pertama yang diceritakan Kei setelah latihan pertamanya bersama tim nasional adalah bagaimana tim itu malah menjadi ajang nostalgia. Shoyo, Tobio, sumber sakit kepala utama Kei semasa SMA, menyambutnya dengan berisik, seolah-olah tak banyak waktu yang berlalu antara sekarang dengan latihan awal mereka sebagai anak-anak Karasuno. Mantan lawan dan panutan semasa sekolah, mereka semua adalah starter yang luar biasa. Kei menerima tugasnya sebagai cadangan, baginya ini lebih dari cukup. Latihan dari Iwaizumi-san, Kuroo-san yang senang mentraktir makan anggota tim, Bokuto-san yang tampaknya tak pernah kehabisan energi, Kei merasa seperti menjadi remaja kembali, dan tak ada yang lebih indah daripada nostalgia yang dibagi bersama.
"Olimpiade nanti bakal jadi tantangan pertamamu." Hitoka melihat jadwal yang akan dihadapi Tim Nasional selama beberapa bulan ke depan. "Kita lihat, apakah aku bisa cuti untuk menonton?"
"Jangan paksakan dirimu," tukas Kei sambil menuangkan jus buah ke dalam tumblernya. "Kamu bisa lebih bebas menontonnya di TV."
"Tapi aku mau nonton kalian secara langsung!"
"Di TV lebih leluasa. View-nya beda. Ada mode multi view juga."
"Sensasinya tetap beda, Tsukki-kun."
"Kalau kamu di sana kita juga nggak bisa ketemu."
"Ketemunya di gedung pertandingan, dong."
"Kenapa nggak menunggu aku pulang saja?"
Hitoka tertawa, merasa tidak lagi mampu mengikuti debat tersebut. Ia bersandar pada konter, mencuri-curi pandang pada Kei dan caranya menelan jus tersebut, reguk demi reguk. "Kalaupun kita nggak bisa ketemu, aku mau solo travelling juga di sana. Sudah lama banget sejak aku ambil cuti terakhir …."
"Terserah kamu. Asal jangan terlalu berharap kita bisa ketemu."
"Dih, memangnya ngebet mau ketemu kamu? Setiap hari di sini juga bisa."
Kei mendengus, dan Hitoka pun meminta tumbler jus itu dari tangan Kei, mencicipinya satu-dua teguk. Dia mengembalikannya pada Kei sambil menyeka bibirnya dengan punggung tangannya, dan berpura-pura tidak sadar Kei juga barusan mengamati caranya minum. Keheningan sesudahnya terasa mendamaikan, Hitoka bisa sedikit mendinginkan kepalanya dari Kei yang berjarak begitu dekat dengannya.
"Sudah sampai sejauh ini, Tsukki-kun. Kuharap kamu nggak pernah berhenti berusaha."
"Tentu saja. Ini baru awal dari banyak hal." Kei pun bersandar pada konter, bersisian dengan Hitoka. "Nggak ada akhir dari perjalanan selama kita masih ingin terus berusaha." Ada satu kalimat lain yang menggantung di ujung lidah Kei, begitu sulit dia ungkapkan.
"Aku senang menyaksikan semuanya darimu sejak awal di sini. Mohon maaf karena kamu yang berjuang mati-matian, tapi aku juga merasa seperti aku yang berhasil." Senyuman gadis itu terlihat teduh sekaligus sendu.
"Kamu yang paling berjasa." Kei pun meyakinkan dirinya sebelum mengucapkan, "terima kasih."
"Aku nggak banyak melakukan apa-apa. Aku cuma berdiri di sini, menontonmu." Hitoka menekuri lantai. "Bintang yang kecil nggak bisa menyaingi sinar bulan yang terang, Tsukishima Kei."
"Menurut ilmu astronomi, nggak ada bintang yang kecil."
"Hei, ini hanya perumpamaan."
"Tapi secara sains—"
Hitoka tergelak seraya mengangkat kedua tangannya sebagai gestur menyerah, "Oke, oke, aku mengerti, Tuan Jenius, kamu yang benar."
"Di sudut pandang sains," Kei bersikeras, "bulan yang menerima sinar dari bintang agar dia bisa bercahaya."
Hitoka ingin mendebatnya lagi, tetapi mendadak lidahnya kelu, termenung karena kalimat Kei terasa lebih dalam dari yang seharusnya, seolah-olah ia bisa menangkap makna yang lain, yang tersirat diam-diam, karena Kei bukan tipe lelaki yang bisa mengungkapkan sesuatu secara blak-blakan. Pria itu menaikkan kacamatanya, mendengus pelan. Melipat tangannya di dada, entah untuk melindungi dirinya secara mental dari hal apa. Mungkin pernyataan barusan sungguhlah menyita seluruh energinya, sehingga Hitoka tidak menuntutnya untuk melanjutkan. Sudah banyak hal yang ia pahami dari kalimat itu, dan Hitoka merasa harus mencukupkan dirinya di sini.
"Kalau bukan karena kamu, aku—"
"Tsukishima Kei, ini hasil perjuanganmu sendiri. Aku hanya melakukan apa yang kubisa. Kamu berusaha lebih banyak daripada aku."
"Bisakah kamu lebih percaya diri?"
Hitoka mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Percayalah," Kei menghindari tatapan Hitoka, "bahwa kamu juga telah melakukan banyak hal untuk keberhasilanku."
Hitoka menghela napas, lantas tersenyum untuk dirinya sendiri. "Terima kasih … karena membuatku merasa berharga."
Kei menegakkan tubuhnya, Hitoka mengira dia akan pergi menjauh, tetapi Kei hanya berpindah untuk berdiri di hadapannya. Hitoka mendongak, merasa menciut di depan eksistensi Kei yang begitu kokoh. "Karena kamu memang berharga." Dia pun mengangkat dagu Hitoka, gestur yang Kei harap bisa dimengerti sebagai usahanya mendorong Hitoka untuk lebih yakin pada dirinya sendiri.
Hitoka menelan ludah lagi, merasa detik-detik berlalu dengan lambat dan detak jam seakan-akan menghitung mundur di dalam telinganya. Sekarang, atau tidak sama sekali. Ia membasahi bibirnya, dan dalam sepersekian detik melihat bagaimana binar mata Kei berubah. "Kamu tahu, Tsukishima Kei? Aku pernah menginginkan sesuatu—aku ingin siapapun yang menjadi pasanganku, adalah orang yang kukenal begitu lama, menghabiskan banyak waktu bersamaku, dan berjuang bersamaku. Rasanya nyaman sekali ketika bisa berbagi dengan orang yang bisa membawamu ke nostalgia yang hangat, karena rasa familier itulah yang membuat kita merasa berada di rumah." Ia merasakan suaranya sendiri gemetaran, "Rumah yang nyaman, rumah tempat pulang yang hangat."
Hitoka tidak bisa menahannya lagi, air matanya menetes tanpa ia kehendaki. Ini bukan momen sedih, ini bukan sebuah perpisahan yang menyakitkan, tetapi mengapa rasanya begitu perih dan menakutkan? "Aku menganggap perjuanganmu adalah perjuanganku juga karena dengan membantumu, aku berharap aku bisa punya perasaan itu lagi; perasaan ingin mengejar sesuatu, memiliki alasan untuk tersenyum saat bangun tidur, dan pulang dari kantor dengan semangat yang berbeda karena aku punya seseorang untuk kudukung, untuk kubantu perjuangannya."
Kei menyeka perlahan air mata Hitoka dengan jarinya, dan Hitoka tidak pernah merasa semalu ini pada orang yang sudah mengenalnya luar dan dalam.
"Maafkan aku, aku mungkin nggak bisa sehebat kamu, aku nggak bisa menjadi orang yang luar biasa, aku—" Hitoka berhenti, mendapati tangan Kei yang lainnya menangkup tangannya di atas konter; begitu besar dan hangat, melingkupinya seperti rumah yang nyaman, sebuah konsep yang selalu didambakannya.
"Kamu memang nggak bisa melihat perjuanganmu untukku dari matamu sendiri," Kei menanggapinya dengan suara yang paling pelan yang pernah Hitoka dengar darinya. "Kamu nggak ingin tahu bagaimana caraku melihatnya?"
Hitoka, seolah terhipnotis, mengangguk patuh.
"Aku sudah mengatakannya. Kurasa itu sudah cukup untukmu mengartikannya. Kamu perempuan pintar. Paling cerdas yang pernah kutemui."
Air mata Hitoka meluncur lagi tanpa bisa ia cegah, dan ia sangat benci pada reaksi semacam ini. Kei pun memeluknya, rangkulan terhangat yang pernah Hitoka terima dalam hidupnya.
Tak lama kemudian, Kei pun mengangkatnya, mendudukkannya pada konter, menyejajarkan tatapan mereka. "Kita masih bisa berjuang bersama setelah ini. Jalanku, jalanmu masih panjang."
Hitoka mengangguk. "Aku berjanji. Aku berjanji aku akan terus melakukannya untukmu."
"Kamu baru saja membuat janji yang berbahaya, Yachi Hitoka."
"Aku punya kekuatanku sendiri—akan kubuktikan aku memelihara janjiku sampai mati."
"Yang itu lebih berbahaya."
"Hidup memang penuh bahaya, Tsukishima Kei, dan setiap orang harus mengambil risiko. Aku bersedia."
Kei menatapnya tanpa berkedip, napasnya terasa panas di bibir Hitoka. Hitoka menatap matanya, kemudian bibirnya, lantas kepada mata Kei lagi. Tidak lagi ada kata-kata ketika Kei menutup jarak di antara mereka, menyegel janji, dan Hitoka pun menautkan diri mereka dengan mengalungkan tangannya di leher Kei.
Ada banyak harapan, doa, dan keinginan yang tampak tak berujung. Hitoka bersedia meraupnya, mengumpulkannya di genggamannya, dan mempersembahkannya pada Kei seorang.
Hitoka berteriak maaf sambil berlalu, berlari kencang di antara kerumunan yang sibuk. Ia turut menceburkan diri di dalam keramaian, nyaris menyandung koper yang menghalangi jalan, dan seorang anak kecil ditarik paksa oleh sang ibu yang terkejut dan ketakutan. Lima menit adalah waktu yang krusial, Hitoka tidak sempat menyesali banyak hal yang menjadi efek domino kedatangannya yang terlambat ini.
Di kejauhan, di dalam area keberangkatan, Hitoka melihat teman-temannya. Shoyo yang pertama kali mendapatinya, melambaikan tangan dan teriakan nama "Yachi-chan!" bisa terdengar dari tempat Hitoka berlari. Di sampingnya, Tobio mengangguk. Bokuto-san terkekeh dan juga melambaikan tangannya. Di depan mereka, jauh melangkah, Ushijima Wakatoshi dan Hoshiumi Kourai berbicara satu sama lain, paspor di masing-masing tangan mereka, telah memasuki area yang terlindungi dari para pengantar. Atsumu Miya masih mengobrol di bagian luar dengan kembarannya, dan Sakusa Kiyoomi baru saja berpisah dari keluarga yang mengantarkannya.
Hitoka terengah-engah, memegangi lututnya, sekarang di mana orang terpentingnya? Ia menoleh ke kiri dan kanan, di antara tim yang sibuk, Kuroo-san yang berbicara dengan lantang di telepon dan Iwaizumi-san yang mengatur tim pelatih yang berangkat bersamanya—Hitoka masih kesulitan mencarinya.
"Lihat sebelah sini, Mungil."
Hitoka menoleh cepat. Tsukishima Kei berdiri di sampingnya, baru keluar dari jalur menuju toilet, dan perempuan itu pun tertawa miris. Napasnya masih memburu, Kei menggeleng-geleng melihatnya. Pria itu pun menurunkan headset putihnya, mengalungkannya ke leher. Menunggu Hitoka bereaksi, tetapi gadis itu masih sibuk mengatur napasnya.
"Sampai nanti," simpul Kei, "Pastikan jangan telat menontonku."
Hitoka menubruk Kei dan Kei pun membalas pelukannya. "Selamat bertanding." Ia mendongak, perlahan melonggarkan pelukannya. "Jangan lupa telepon aku kalau sudah mendarat, oke?"
Kei mengacak rambut Hitoka, Hitoka segera menangkap tangannya dan menggenggamnya. Perempuan itu lantas menambahkan lagi, "Jangan lupa menang. Di menit keberapapun kamu masuk, berikan yang terbaik."
"Sudah seharusnya begitu."
Hitoka terkekeh, perlahan melepaskan tangan Kei, lantas melambaikan tangan. "Jangan cedera."
Kei mengangguk, Hitoka mengira dia akan segera melangkah pergi, tetapi pria itu malah maju mendekatinya dan mengangkat dagunya. Tanpa peduli sekitar, dia membungkuk mencium Hitoka; di antara ratusan pasang mata, di tengah-tengah keramaian, di antara orang-orang yang mengenal mereka dan mengubah kebisingan acak di antara para anggota tim menjadi sorak dan siul yang memudar begitu saja di latar belakang.
Ketika melepaskannya, Hitoka tersenyum hangat, dan Kei mengusap kepalanya lagi sebelum benar-benar pergi.
"Dah. Hati-hati."
"Jaga dirimu."
"Selalu."
Kei berbalik perlahan. Hitoka tetap di sana, hingga Kei bergabung dengan teman-temannya. Kuroo-san dan Bokuto-san menepuk punggungnya sambil tertawa, Shoyo, begitu jauh dan tampak kecil, mengacungkan jempolnya, Tobio tampaknya masih belum sembuh dari rasa terkejut akan adegan yang baru saja mereka ciptakan, Atsumu Miya berlalu di sampingnya sambil terkekeh seolah mengejek, rasanya begitu melegakan bagi Hitoka. Kei dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya, hangat, penuh nostalgia dan keakraban.
Karena Hitoka adalah saksi hidup bahwa dari keakraban, akan tumbuh cinta yang menenangkan.
