"Aku menyukaimu, Kak Kaizo!"

Sore itu setelah kelasku berakhir, aku memberanikan diri menyatakan cinta kepada Kak Kaizo, senior yang kutaksir sejak empat bulan lamanya. Kami bertemu di suatu proker tingkat universitas dengan mata acaranya adalah pengenalan UKM bagi mahasiswa baru. Aku diamanahi menjadi perwakilan organisasiku, yaitu lembaga dakwah atau rohis setingkat fakultas, karena rekomendasi dari salah satu pengurus.

Akhir pertemuanku yang ketiga dengan Kak Kaizo menyadarkanku bahwa aku diam-diam menumbuhkan rasa untuknya—yah, terkadang hati manusia bisa seunik itu. Perbedaan angkatan dan fakultas tidak membuatku menyerah. Aku berusaha mendekatkan diriku kepadanya dengan mendaftarkan diri sebagai staf di salah satu kepanitiaan tingkat kampus pada akhir tahun kemarin—selain memang karena murni tertarik dengan proker tersebut. Dan kalau aku menyerah, mana mungkin diri ini berdiri di hadapannya untuk menyatakan perasaanku sekarang juga … benar, 'kan?

Kak Kaizo menatapku lekat-lekat. "Sejak kapan, Ya?"

"Sejak … empat bulan lalu, hari ketiga pengenalan UKM kampus." Aku berusaha untuk tetap tenang, meski sebenarnya gugup setengah mati. "Aku cuma pengin ngungkapin perasaanku ini, Kak, nggak ada maksud selain itu."

Dia mengukir senyum tipis sebelum menggeleng singkat.

Wah … ini, sih, positif ditolak.

"Makasih buat pernyataan cintamu, Yaya, aku beneran ngehargain itu. Tapi maaf, ya, aku belum bisa menerimanya," ujar Kak Kaizo. "Ada cewek lain yang kusukain, lagipula aku udah nganggep kamu sebagai adikku."

"Kak Kira'na, ya …" gumamku singkat, tetapi Kak Kaizo masih bisa mendengarku. Dia spontan mengusap tengkuknya, menunjukkan ekspresi gugup seperti habis terciduk melakukan sesuatu. "Kamu tau?"

Kak Kira'na adalah sosok senior yang menjadi salah satu pengurus inti dalam proker tingkat univ di akhir tahun yang kuikuti. Ia cantik, baik hati, dan menjadi panutan banyak orang—termasuk aku, kalau boleh jujur. Rambut merah ikal sepunggungnya yang cetar membahana itu juga menjadi poin plus untuk penampilannya.

Bibirku mengulum senyum. Diriku yang notabene berjenis kelamin sama dengan Kak Kira'na pun terpikat oleh pesonanya, apalagi Kak Kaizo? Ditambah lagi kudengar bahwa mereka memang berteman sejak kecil. Aku justru heran mengapa keduanya belum menjalin hubungan saat ini … hei, mereka sangat melengkapi satu sama lain, lho!

Aku mengembuskan napas perlahan. Seharusnya aku tahu bahwa tidak ada celah untuk masuk di antara keduanya. Perasaan Kak Kaizo bisa terlihat dengan jelas di mataku, tetapi aku tetap memutuskan untuk menyatakan cinta …. Apa aku terlihat seperti orang bodoh, ya? Malah menyakiti hatiku sendiri.

Namun, aku tidak menyesal sama sekali. Sebaliknya, aku lega karena perasaan ini dapat tersampaikan dengan baik—dan kupikir Kak Kaizo berhak mengetahuinya.

Aku membalas tatapan seniorku itu, kemudian mengangguk. "Gapapa kok, Kak! Kayak yang tadi kubilang, aku cuma pengin ngasih tau perasaanku ke Kakak. Nggak ada maksud buat mengajak pacaran atau semacamnya, tenang saja. Tapi kita masih bisa berteman, 'kan, ya?"

Setelah lelaki itu menyanggupi permintaanku, aku kembali melanjutkan seraya tersenyum, "Makasih udah ngeluangin waktu buatku, ya, Kak. Good luck buat hubungannya dengan Kak Kira'na! Cewek secantik itu harus Kakak dapetin, kalian cocok banget bersama soalnya."

Kemudian, aku pamit duluan untuk pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, barulah aku tersadar bahwa kedua netraku terasa perih. Perlahan, air mataku semakin deras berjatuhan dan berlomba-lomba membasahi pipiku. Aku menggigit bibir, menahan sengatan di hati yang tiba-tiba menyerang. Dadaku sesak sehingga menarik napas pun rasanya menjadi berat.

Diam-diam, aku bersyukur karena sedang menggunakan masker sekarang. Mau ditaruh di mana nanti mukaku jika orang-orang melihatku menangis di dalam KRL?

Orang-orang bilang, patah hati diumpamakan seperti hati yang pecah berkeping-keping. Sekarang aku mengerti maksud dari kalimat tersebut. Kupikir, inilah patah hati pertamaku yang disebabkan oleh romansa.

.

.

.

Realization by Nakashima Asuka 1704

BoBoiBoy milik Animonsta Studios/Monsta. Tidak ada pengambilan keuntungan atas pembuatan fanfiksi ini.

Pair: Halilintar x Yaya

Warning: College!AU, maybe OOC, no super power, bahasa semibaku, 20 y.o.!characters, ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama (Yaya)

Prompt: I Love You

Dedicated for: #LOVEctober2024

.

.

.

Tujuh bulan berlalu semenjak aku menyatakan perasaan kepada Kak Kaizo, dan selama itu pulalah aku mengeluarkan usahaku untuk move on total darinya. Dari kabar yang kudengar, ia telah menjalin hubungan dengan Kak Kira'na. Baguslah, mereka memang sangat cocok untuk satu sama lain.

"Tapi aku penasaran, rasanya dicintain oleh orang yang kita cintain itu kayak apa, ya …?" Aku bergumam pelan seraya memandang lembaran kuesioner tugas penelitian di tanganku.

Suzy, teman baikku, mengembuskan napas perlahan. "Yaya … daripada mikirin itu, mending kita nyari responden lagi, deh. Hari ini kita belum dapetin responden offline sama sekali, lho! Kita harus bagiin link kuesioner online juga, 'kan?"

Aku memutar bola mataku dengan malas. Masih masa liburan gini, sempat-sempatnya fakultasku mengadakan rangkaian kegiatan matkul penelitian selama lima belas hari kerja! Rajin banget, sih.

"Lanjut besok aja, yuk … udah mau sore, dikit lagi rush hour, nih. Aku takut kegencet di kereta," kataku setengah memelas, memberi alasan.

Kini giliran Suzy yang menatapku datar, tetapi karena kami sesama pejuang KRL, ia akhirnya menyerah dan menyetujuinya, "Oke, oke, kita lanjutin besok." Yang ditanggapi oleh sukacita olehku.

Sebelum pulang, kami berpapasan dengan sesosok laki-laki yang mengenakan topi dinosaurus dengan emblem petir merah di sisi depannya. Aku langsung mengenalinya—dia adalah Halilintar, sulung dari kembar tiga Boboiboy. Cowok itu adalah teman satu organisasi fakultas yang kuikuti sejak tahun lalu, kami berkenalan saat sama-sama masih menjadi staf. Sama sepertiku yang melanjutkan amanah sebagai pengurus, kini ia memegang jabatan sebagai ketuanya.

"Kamu duluan ke stasiun aja, Zy. Aku mau ngobrol bentar dengan Halilintar, nanti aku nyusul. Tapi kalo kelamaan, kamu bisa pulang duluan, ya," ujarku kepada Suzy. Setelah ia mengangguk, badanku berbalik arah dan menyusul lelaki itu.

"Halilintar!"

Dia menengok dan menghentikan langkah. Halilintar menyapaku begitu mengenali siapa yang memanggilnya, "Ada perlu apa, Yaya?"

Tidak banyak hal yang kami bicarakan. Aku hanya mengangkat topik mengenai salah satu program kerja kami beberapa hari lalu, dan dia memberitahuku untuk menyimpan dokumentasi acara di Google Drive agar siap dipublikasikan di medsos.

Aku menyanggupi dan berniat untuk pulang, tetapi pikiranku mengingat tugas penelitian yang sedang kujalani. "Oh iya, Hali, boleh minta tolong bantu share broadcast penelitian timku, nggak?" tanyaku sambil menunjukkan kuesioner yang sejak tadi kupegang.

"Boleh aja. Kirim aja posternya via chat, ya," tanggapnya. Netra merah Halilintar memindai daftar pertanyaan di dalam kuesioner, lalu menyadari sesuatu saat membaca nama lokasi penelitian. "Hmm, kayaknya aku memenuhi kriteria responden, deh. Aku pernah ke sini soalnya."

"Eh, serius?" ujarku dengan kaget sekaligus antusias. "Kalo gitu, kamu mau jadi responden offline-ku, nggak? Aku baru nemu satu orang, soalnya … masih butuh empat lagi."

"Boleh, mau wawancara kapan?"

"Aku butuh secepatnya, sih … kalo besok gimana, kamu berkenan nggak?" Aku kembali bertanya seraya menatap lelaki itu. Kepalaku sedikit mendongak disebabkan tingginya yang di atas rata-rata—hei, bahkan tubuhku hanya setinggi bahunya!

For your information, tinggiku ini termasuk melebihi rata-rata tinggi perempuan di negaraku, ya. Halilintar saja yang kelebihan kalsium!

(Oke, lupakan klarifikasiku tadi dan kembali ke laptop.)

"Oh iya, Hali … sekalian boleh temenin aku nyari responden offline nggak, kalo lagi luang? Aku baru nemu dua orang termasuk kamu, sementara jumlah yang kubutuhin ada lima …" pintaku seraya memainkan dua telunjuk. "Tapi kalo lagi sibuk, nggak usah gapapa, kok."

Halilintar tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya besok aku harus turun lapangan ke lokasi penelitian timku, sih. Tapi kayaknya aku bisa ke kampus sebentar, mungkin pukul setengah 11 siang, ya …. Kamu bisa, 'kan, kalo pukul segitu?"

Aku mengangguk cepat. "Insyaallah bisa, kok! Mungkin cuma butuh waktu lima belas sampai dua puluh menit aja buat wawancara dan ngisi kuesioner ini, jadi harusnya nggak lama."

"Oke, Yaya. Besok kita kabar-kabaran lagi, ya," pungkas cowok bertopi dino itu sambil mengembalikan lembar kuesioner. "Kalo memang sempat, pasti aku bantu kamu."

Aku tersenyum semringah, berteriak antusias dalam hati. "Okeee, Hali. Kita ketemu di sini lagi pukul setengah 11, ya. Sampai jumpa besok!" Aku melambaikan tangan kepada Halilintar—yang dibalas dengan gestur yang sama olehnya—dan bergegas pulang menuju stasiun.

0o0

Aku mendudukkan diri di kursi kafe dekat gedung fakultas, menunggu presensi Halilintar. Sepuluh menit kemudian, lelaki itu datang dan duduk di hadapanku. "Maaf lama, Ya, tadi aku mendadak ada urusan sebentar."

Hari ini cowok itu mengenakan kaus hitam simpel dan celana denim. Ia melepas topi dinosaurusnya dan meletakkannya di atas meja.

Kalau ganteng, mau pakai apa pun juga kayaknya bakal cocok-cocok aja, ya … aku membatin. Kuakui bahwa diriku terpesona dengan penampilan kasualnya itu, tetapi langsung tersadar kembali ke dunia nyata. Kepalaku mengangguk dan mengeluarkan lembar kuesioner.

"Santai aja, Hali, lagipula hari ini aku nggak ada kegiatan apa-apa selain nyari responden, kok. Btw, ini kuesionernya, ya."

Alih-alih mengambil kertas itu, Halilintar kembali berdiri. "Bentar, jangan langsung ngisi dulu. Kamu mau minum apa? Sini aku traktir."

Aku terperangah mendengar tawaran itu. Diriku sempat menolak karena segan, tetapi ia tampak teguh pendirian dengan ucapannya. Akhirnya aku menyetujui dan menunjuk salah satu menu andalan yang ditampilkan standing banner kafe tersebut.

Tidak butuh waktu lama sampai pesanan kami datang. Aku dan Halilintar bertukar obrolan mengenai pertanyaan dalam kuesioner tersebut hingga beberapa menit kemudian.

Setelah semua pertanyaan terisi dan dokumentasi sudah dilakukan, cowok itu menginisiasi percakapan, "Kamu masih butuh orang buat ngisi, 'kan, Ya? Ayo, kita ke kantin fakultas. Kalo nggak salah, ada beberapa temenku yang memenuhi kriteria responden."

"Oh, oke …" Kepalaku hanya mengangguk karena tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Akhirnya, aku dan Halilintar beranjak ke kantin untuk menemui teman-teman yang ia maksud.

0o0

"Yeay, jumlah responden offline-ku udah terpenuhi semua! Alhamdulillah." Aku memekik senang. "Makasih udah bantuin aku nyari responden ya, Hali! Sekarang aku tinggal nyari yang online aja."

"Sama-sama, Yaya." Si lelaki tersenyum tipis. "Setelah ini kamu langsung pulang atau gimana?"

"Hmm … iya, kayaknya langsung pulang. Kamu sendiri gimana, Hali?" Aku menatap manik kembar rubi milik Halilintar.

"Nanti sore aku ada zoom meeting bareng asdos, sih … tapi mungkin aku mau pulang sekarang aja, mumpung masih lama."

"Oh, ya? Hmmm …" Sebuah ide terlintas di benakku. "Kalo gitu, mau pulang bareng, nggak? Kamu naik KRL ke arah utara, 'kan? Beda satu stasiun denganku, ya, kalo nggak salah … nanti aku turun duluan."

Pemuda bertopi dino itu tampak mempertimbangkan tawaranku, lalu mengangguk. "Boleh, deh. Kupikir bakal lebih efisien kalo kayak gitu, ya. Yuk, kita pulang."

Aku tersenyum senang mendengar afirmasi darinya. "Oke deh kalo begitu, let's go!" Badanku berbalik dan kami berjalan beriringan menuju stasiun.

0o0

"… Jadi begitulah ceritanya, Ying."

Aku menelepon Ying, sahabatku sejak kami masih menjadi remaja puber alias anak SMP, dan menceritakan pengalamanku menghabiskan waktu dengan Halilintar pada siang kemarin.

(Ngomong-omong, kami berbeda kampus sehingga jarang bertemu. Namun, terkadang aku berinteraksi dengannya melalui pesan instan atau telepon. Yah, katakanlah persahabatan kami ini low maintenance friendship.)

Cewek itu memekik senang di seberang telepon sampai aku harus sedikit menjauhkan telingaku darinya. "Kalian gemes banget tau, Ya! Kayaknya dia ini green flag, ya."

Aku meringis menanggapi ucapan sahabatku, tidak tahu harus menjawab seperti apa. "T-tapi … selama ini aku cuma nganggep dia teman satu organisasi, Ying …"

"Gapapa, hari ini teman dulu. Siapa tau besok jadi demen, 'eaa. Lagipula, hati manusia itu gampang berubah-ubah, 'kan?"

Aku semakin salah tingkah mendengar godaan Ying. Meskipun tidak melihat wajahnya secara langsung, diriku sangat yakin bahwa dia sedang cengar-cengir sekarang—aku hafal betul kelakuannya.

"Harusnya kamu dari dulu lirik beliau, tau! Ada yang sedekat itu, kamu malah ngelirik Kak Kaizo. Kakak tingkat, beda fakultas … beda perasaan, pula! Apa nggak makin kecil itu kesempatannya? Mana dia sekarang udah pacaran dengan Kak Kira'na, 'kan?"

Ouch, perkataannya langsung tepat sasaran dan menancap di hatiku.

"Stop roasting aku, sis. Toh, sekarang aku udah move on," ujarku sambil mendengkus pelan. Ying hanya tertawa di seberang sana sebagai balasan.

Setelah itu, kami sedikit membahas mengenai hal-hal selain percintaan, misalnya kegiatan selama liburan ini—walau sebetulnya aku lebih sering menjadi pengangguran banyak acara sebelum kegiatan penelitian ini berlangsung, sih.

Merasa bahwa hari telah larut, Ying berinisiatif mengakhiri percakapan. "Kalau ada perkembangan dalam hubungan kalian, kabarin aku, ya," katanya sambil cengengesan. "Aku suka nyimak kisah cinta orang lain. I'm rooting for both of you. Semangat, Yaya!"

Aku menggeleng pelan setelah menangkap kalimat terakhirnya. Dasar Ying, dia selalu semangat kalau mendengarkan kisah percintaan! Padahal hubungannya sendiri dengan Fang belum jelas mau dibawa ke mana—sejauh ini, sih, masih bertepuk sebelah tangan.

Namun, aku terdiam memikirkan celetukan sahabatku.

"Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga, ya …?" ucapku, mulai bermonolog.

Kalau boleh jujur, kesan pertamaku terhadap Halilintar adalah dia ganteng dan bertubuh tinggi, padahal saat itu aku masih menyukai lelaki lain alias Kak Kaizo. Selain itu, netra merahnya yang menyerupai rubi juga menghipnotis orang-orang untuk menatap dirinya lebih lama. Meskipun dia memiliki dua adik kembar yang berwajah sama, tetapi … Halilintar memiliki pesonanya sendiri yang mungkin sulit dijelaskan oleh kata-kata.

Dari pengamatanku sebagai salah satu bawahannya di organisasi, dia juga seseorang yang pekerja keras dan selalu mengusahakan yang terbaik.

Kami sudah berteman selama setahun, tetapi … aku baru menyadari bahwa Halilintar ternyata memang setampan itu. Yah, bisa jadi karena selama ini atensiku terfokus kepada Kak Kaizo sehingga aku tidak terlalu memperhatikan laki-laki selain dia, terlepas dari ayah dan adikku.

"Ada yang dekat, kamu malah ngelirik yang jauh!"

Celetukan Ying terngiang-ngiang di kepalaku. Meski terdengar seperti hanya asal bunyi, tetapi ia benar … aku tidak bisa menyangkalnya. Aku sadar bahwa diriku terlalu memperhatikan seseorang yang sulit kugapai, padahal sebenarnya sosok yang kucari tidak berada jauh dariku.

Mungkin setelah ini, pandanganku terhadap Halilintar jadi berubah. Yang tadinya dari seorang teman terhadap temannya … menjadi seorang perempuan terhadap lelaki.

Yah, kita lihat saja ke depannya nanti bagaimana perkembangan dari perasaanku ini. Lagipula, tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa selain Tuhan Yang Mahakuasa. Aku benar, 'kan?

.

.

.

FIN.

A/N:

Halo, semuanya~ Apa kabar? Semoga pembaca sehat selalu.

Asuka kembali menulis untuk event LOVEctober 2024 day 13. Harusnya ini ku-publish kemarin, tapi baru bisa kulakukan sekarang karena tanggalnya tepat berada di tengah-tengah pekan ujianku, huhuhu. QAQ

Aku udah lama kepikiran buat nulis HaliYa college AU, tapi baru terealisasikan sekarang. Semoga kalian menikmati cerita ini, yaa.

Terakhir, terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca. Silakan tinggalkan review bila ada kritik, saran, atau tanggapan terhadap fic ini.

P.S. Jangan klik tombol back dulu, di bawah masih ada ekstra, lho. XD

Nakashima Asuka 1704

14 Oktober 2024

.

.

Ekstra

(3rd person's POV)

Tujuh tahun kemudian …

"Nasi goreng spesial udah siap!"

Halilintar meletakkan dua porsi nasi goreng di atas meja makan, kemudian melepas celemek dan menggantungnya di dekat konter dapur.

Yaya memperhatikan tindak tanduk sang suami dengan penuh perhatian. Bibirnya mengukir senyum manis dan sebelah tangannya menopang dagu. Ia bahkan tidak memutus pandangan ketika Halilintar mendudukkan diri di hadapannya.

Ditatap dengan penuh cinta seperti itu membuat Halilintar salah tingkah. "Kenapa menatapku begitu, Ya? Ada yang aneh dari mukaku?"

"Nggak," ujar Yaya, masih mempertahankan senyuman penuh arti. "Lagi menatap salah satu karunia terbesar Allah yang diberikan kepadaku. Dulu aku ngapain aja, ya, sampai bisa dapat suami kayak kamu. Udah ganteng, bendera hijau pula, masyaallah tabarakallah."

Lihatlah, pipi Halilintar semakin merona—hampir menyaingi warna iris matanya. Kedua netra rubi itu mengalihkan pandangan ke nasi goreng di hadapannya, masih salah tingkah dengan ucapan Yaya barusan.

"Pagi-pagi udah gombal," sahut Halilintar seraya mengambil sendok dan menyuapkannya ke mulut sendiri. "Lagipula, kurasa ini bare minimum, kok. Aku, 'kan, udah janji mau masakin nasgor buat kamu."

Ya, itu benar. Usia kehamilan Yaya sudah menginjak lima bulan, dan kemarin ia merengek meminta sang suami memasakkan nasi goreng spesial untuk sarapan hari ini—ngidam katanya. Halilintar tak keberatan, toh selama ini ia sering bergantian memasak dengan Yaya, meski terkadang mereka menggunakan jasa pesan antar makanan juga.

Apa, sih, yang nggak buat istrinya itu.

"Iya, iya. Makasih udah memenuhi ngidamku, ya, Sayang." Yaya ikut mengunyah hidangan buatan suaminya itu.

"Tapi serius lho, Lin, aku tadi keinget masa lalu. Siapa sangka hubungan kita, yang dulu hanya rekan satu organisasi, bisa berkembang sejauh ini menjadi teman hidup. Tadinya aku cuma bisa nyimpen perasaanku dalam hati karena takut pertemanan kita rusak, tapi … di luar ekspektasi, kamu ngelamar aku beberapa tahun setelah kita lulus." ungkap sang puan di sela-sela makannya. "Bahkan tiga bulan yang lalu, kita udah ngerayain anniversary pertama! Nggak kerasa, ya."

"Yah … waktu begitu cepat berjalan. Mungkin empat bulan lagi, giliran bayi kita yang menampakkan dirinya ke dunia."

Halilintar menyuapkan sesendok nasi goreng dari piringnya kepada Yaya, yang diterima dengan senang hati.

"Kita sama-sama beruntung karena memiliki satu sama lain. Jadi, kamu jangan pernah mikir cuma dirimu yang beruntung, ya? Soalnya aku juga ngerasa begitu." Lelaki itu tersenyum melihat Yaya mengunyah masakannya dengan sukacita. "Sampai kapan pun, aku nggak keberatan ngabisin waktu denganmu, karena itu hal yang selalu kunikmati. Aku cinta kamu, Yaya."

Kini giliran pipi si wanita hamil yang memerah. Ia mengangguk pelan dan menatap wajah suami tampannya dengan penuh kasih sayang. Ekspresi Yaya berseri-seri dan bibirnya mengukir lengkungan senyum manis yang menyaingi madu.

"I love you too, Halilintar."