BoBoiBoy © Monsta
Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet
The author gained no material profit from this work of fiction.
Alternate Universe, Historical, Family, Friendship
#Octoberabble Day 13: Reckless
Bab 13: Maitri
.
.
.
.
.
Yogyakarta, 1899.
.
Gusti Pangeran Harya Mawais Amarta Husada sudah pernah merasakan dunianya runtuh. Satu kali saat putra kembarnya berusia tujuh tahun. Mawais ceroboh, membiarkan Duri main-main tanpa pengawasan di pantai. Seharusnya dia tahu putranya akan memakai baju warna hijau kesayangannya di laut selatan, tapi dia tidak mengecek warna baju di balik kemeja hitam Duri.
Waktu itu, Duri akhirnya memang pulang ke pelukannya, tapi anak itu tak lagi utuh. Dia menjadi gagap dan mudah terkejut. Sebuah harga yang harus dibayar akibat kecerobohan sang ayah.
Kali ini pun, Mawais kembali ceroboh. Seharusnya dia tahu, putra Kolonel Pyrapi bukan kawan sepermainan yang boleh berurusan dengan dapur bersama Ais, putra kembar Mawais yang satu lagi. Ada sumber api dan bahan-bahan yang bisa meledak kalau salah ditangani, dan rupanya itulah yang terjadi.
Sang pangeran bisa merasakan darahnya mulai mendidih di dalam kepala sembari menyaksikan pemuda malang itu, Nova namanya, bersujud minta maaf di kaki ayah Mawais, Sultan Balakung. Meski kelakuan Nova memang kelewatan, Mawais tidak bisa marah pada anak itu. Dia lebih marah pada dirinya sendiri yang kembali berbuat ceroboh. Dia tidak pernah mengawasi kegiatan Ais bersama Nova di dapur.
Balakung masih menanyai Nova perihal urut-urutan kejadian ledakan di dapur dengan nada dingin. Mawais bisa melihat bahu Nova yang lebar itu berguncang menahan emosi yang entah apa—takut? Marah? Kecewa? Anak muda itu bahkan belum cukup umur dan ayahnya baru saja meninggal dunia. Nova hanya tak tahu harus berbuat apa terhadap berbotol-botol bir yang disimpan ayahnya yang mabuk-mabukan sejak dipensiunkan dini dari ketentaraan. Kolonel Pyrapi kehilangan kakinya akibat perang dan dia kehilangan kariernya karena itu.
"Ampuni Hamba, Tuanku …." Suara lirih Nova yang memohon membuat Mawais menangis dalam hati. Bukankah harusnya dirinya yang minta ampun pada sang ayah, karena telah ceroboh dan membahayakan cucu Balakung sekali lagi? Namun, Balakung belum berbicara lagi dan entah mengapa Mawais merasa bahwa setelah ini Nova pasti diusir dari keraton. Bagaimana dengan pabrik gula yang dikelola Kolonel Pyrapi sampai dengan hari-hari kemarin? Dahulu, Pyrapi dan Balakung adalah kawan baik. Apakah kesalahan putra Pyrapi yang sedemikian fatal ini (nyaris membunuh cucu sultan) bakal menghapuskan hubungan baik yang pernah ada?
Mawais menarik mundur seluruh pikirannya. Tak perlu memikirkan Nova dulu. Semua kegiatan anak-anaknya harus dalam pengawasan agar hal seperti ini tak terulang lagi. Ais dan Duri harus mematuhi jadwal yang akan disusun Mawais dengan ketat. Tidak boleh ada lagi bermain-main bersama Nova, atau—
"Kau bisa jalankan pabrik gula ayahmu. Pangeran Mawais akan membantumu sampai umurmu delapan belas tahun."
Titah Balakung bernada final. Mawais menoleh keheranan. Sang Sultan mengampuni pemuda ini?
"Dan sampai waktu yang tidak ditentukan, kau dilarang pergi ke dapur keraton. Mengerti?"
Nova juga tampak sama herannya. Dia sudah mengangkat kepala, ekspresinya bengong.
"Mengerti, Nova?" Sultan Balakung tersenyum lembut. "Selesaikan tugas-tugasmu dan kau bisa bertemu Ais dan Duri lagi saat waktunya sudah tepat."
Tidak ada hukuman, bahkan tongkat rotan yang biasa dipakai Balakung untuk menakut-nakuti Ais kecil yang malas belajar tidak terpakai kali ini.
Mawais terdorong untuk merengkuh bahu Nova yang berguncang sekali lagi. Sejak hari itu, Nova juga seperti anaknya sendiri.
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Maitri dalam bahasa Sanskerta berhubungan makna dengan persahabatan.
Terima kasih sudah membaca!
[13 Oktober 2024]
